Bab 2 - Insiden Jalan Raya

1828 Words
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Jauhkan dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan (sedekah) sebutir kurma". (Muttafaqun ‘alaih) "Kamu menyingkirkan batu, duri dan tulang dari tengah jalan itu adalah sedekah bagimu." (HR . Bukhari). "Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah." (HR . At-Tirmidzi). Mario menjemput Abyan tepat waktu. Begitu keluar dari kelas Abyan langsung mengeluh tentang permennya yang habis karena sudah diberikan pada teman-temannya tanpa bersisa. Hal itu membuat Mario tersenyum. Lucu sekali Abyan. "Kalau kamu cemberut seperti itu, itu artinya kamu tidak ikhlas," tanggap Mario. "Ikhlas kok, Yah. Byan ikhlas. Dengan permen itu, Byan sudah membuat teman-teman senang." "Itu artinya?' "Byan dapat pahala. Tapi ... " "Tapi apa?" "Ayah belikan aku permen lagi, ya? Sekarang!" ada semburat cahaya dari mata Abyan, dan itu adalah kebahagiaan sederhana seorang Mario. Seperti biasa, Mario hanya mengusap kepala Abyan sebagai jawaban iya, lalu mereka berdua masuk ke dalam mobil. "Subhaanalladzii sakkhara lanaa hadza wama kunna lahu muqriniin wa-inna ilaa rabbina lamunqalibuun." "Kamu sudah menghafalnya?" tanya Mario takjub. "Sudah, dong, Yah! Sekarang tiap Byan naik mobil Ayah, Byan akan membacakan doa itu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk membaca doa naik kendaraan ketika kita ingin menaiki atau mengendarai kendaran. Itu yang ustazah ajarkan." Abyan bertingkah seperti ustazah yang sedang menerangkan di madrasah tempat ia menuntut ilmu. Mario mengangguk-anggukan kepala setuju. Baguslah, Abyan belajar dengan rajin dan sangat baik. "Lalu bagaimana dengan sekolahmu? Kamu senang bertemu dengan mereka?" "Senang, lah. Mereka semua baik." Abyan menceritakan semua kejadian yang terjadi di sekolah tadi. Dimulai dari perkenalannya dengan Yasmin---si anak penakut karena tidak mau jauh-jauh dari ibunya. Tapi seiring berjalannya waktu, Yasmin bisa bersosialisasi berkat kecerdikan Abyan. Kemudian saat Abyan membagikan permen-permennya dan membuat teman-teman barunya senang bukan kepalang. Bagi anak kecil, mendapatkan permen gratis pun seperti mendapatkan kartu undian lotere. Lalu, sewaktu Abyan bermain di arena bermain. Salah satunya ketika  bermain jungkat-jungkit, dan Abyan harus bermain dengan anak gendut. Tentu, permainan itu tidak berjalan lancar alias diam di tempat lantaran bebannya tidak seimbang. Kejadian itu susksea membuat yang lain tertawa terpingkal-pingkal. "Mungkin aku yang terlalu kurus." Abyan menyilangkan tangan di bawah d**a. Mario tertawa mendengar cerita-cerita Abyan ketika di sekolah. Tidak salah Mario memasukkan Abyan ke madrasah diniyah dekat rumah yang dimulai pada pukul tiga sore sampai pukul lima. Pengajian khusus anak-anak itu telah membuat Abyan hafal dengan doa harian dan Abyan mampu mengamalkannya. Bukan hanya di madrasah, Mario juga sering mengajak Abyan mengaji bersama di rumah. Selesai salat di masjid, Abyan akan meneruskan murojaah di rumah. Mario tahu, didikan paling utama adalah didikan orangtua. Walaupun Abyan sekolah, tapi tetap saja itu semua tidak menjamin kepintaran dan kebaikan akhlaknya. Akhlak adalah hal yang paling utama dari segalanya. Mario tidak mau Abyan pintar, tapi ia tidak memiliki akhlak yang baik. Prinsip Mario kepada Abyan: ilmu agamanya wajib dikedepankan. Sebab ilmu agama akan berguna di dunia dan akhirat. Jangan sampai Abyan seperti dirinya dulu---seperti saat belum kenal dengan wanita bernama Aiza. Untuk menebus kesalahan-kesalahannya di masa lalu, Mario akan membuat Abyan menjadi anak yang baik nan salih. Sesuai janjinya, Mario berhenti di depan supermarket untuk membelikan Abyan permen lagi. Sebelum masuk Mario menghampiri seorang pengemis kakek-kakek yang sudah keriput dan kecil sekali badannya. Matanya sayu, penuh harapan untuk tetap bertahan hidup. Setiap ilmu yang Aiza berikan, selalu Mario amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang Mario tidak perlu repot-repot berpikir apakah pengemis itu benar-benar fakir miskin atau sebaliknya. Yang penting dia sudah memberi tanpa berharap imbalan apa-apa. Toh, dia tidak akan rugi meskipun orang yang ia beri adalah orang mampu. Allah mahatahu, Allah mahamelihat. Acapkali ayahnya memberikan sumbangan, Abyan selalu memerhatikan dengan saksama. Dia juga kadang berceloteh begini: "Aku ingin cepat tumbuh dewasa, agar seperti Ayah, memberikan uangnya pada para pengemis dengan jumlah yang sangat banyak." Namun Mario selalu menjawab: "Mau besar atau kecil, semuanya sama. Yang diukur bukan dari tingkat jumlah rupiahnya, tapi dari seberapakah ikhlasnya kita dalam memberikan separuh harta yang kita punya. Sedekah di saat kaya itu biasa, tapi sedekah di saat susah itu luar biasa." "Apakah dengan sedekah tidak akan mengurangi harta Ayah? Lalu, jika yang bersedekah orang miskin, berarti dia akan semakin miskin." Kala itu Abyan memasang wajah memelas, mengasihani orang fakir yang masih rela bersedekah. "Sama sekali tidak. Justru dengan sedekah, Allah akan limpahkan rezeki yang tidak akan disangka-sangka, Byan. Allah subhanahu wa ta'ala pernah berfirman dalam salah satu ayat Al-Qur'an, bahwa apapun harta yang kalian infakkan maka Allah pasti akan menggantikannya, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rezeki." "Benarkah?" ada kobaran api terpancar dalam korneanya. "Betul sekali, anak tampan." Semenjak itu Abyan yang polos dan penurut selalu menyisihkan uang jajannya untuk bersedekah. Entah itu limaratus rupiah atau seribu rupiah. "Membuat orang lain tersenyum pun itu termasuk sedekah." Maka dari itu Abyan senang membuat orang tersenyum, memberikan teman-teman sekolahnya permen, agar dirinya bisa dapat pahala. Dia juga senang menebar senyum. Agar pahala yang dia dapat semakin berlimpah. Seperti apa kata ayahnya, Allah akan melimpahkan rezeki lainnya jika kita mau bersedekah dengan ikhlas. Contohnya sekarang, Abyan kembali dibelikan permen oleh Mario. Permennya jadi berlipat ganda dari sebelumnya. Itu adalah rezeki paling memuaskan bagi Abyan si pecinta permen s**u. Begitu Mario akan mendorong pintu, telinganya mendengar suara klakson mobil yang sangat keras memekakkan telinga. Cepat-cepat Mario membalikan badan, begitupula dengan Abyan yang sama terkejutnya. Pandangan mereka tertuju pada jalan raya. Mata Mario yang berbingkai kacamata menyipit, di sana mulai terjadi keributan. Salah satu pengendara mobil keluar dari mobilnya dan langsung melabrak seorang wanita yang mungkin menjadi penyebab kegaduhan ini. Tangan bapak-bapak itu terangkat, menunjuk-nunjuk wajah wanita yang mati kutu di tempat. Mulutnya terus melontarkan kalimat kasar dengan oktaf tinggi. Tidak ada orang lain yang membantu, mereka justru membiarkannya, seolah apa yang mereka lihat adalah perihal biasa. "Byan, kamu tunggu di sini." Ayah ke sana dulu." Abyan mengangguk patuh, lalu Mario berjalan meninggalkannya, kemudian menyeberangu jalan untuk membantu wanita yang sedang dicaci-maki oleh si pengendara mobil. Sesampainya di sana, Mario langsung bertanya. "Ada apa ini, Pak? Mengapa bapak memarahinya?" "Ini, saya hampir saja menabraknya. Dia menyeberang tanpa melihat kiri-kanan, jika tadi saya tidak menginjak rem, sudah tamat riwayatnya, dan saya yang akan disalahkan! Apa dia sudah bosan hidup?!" "Tapi bisakah bapak menasehatinya pelan-pelan? Tidak perlu berteriak seperti itu. Kasihan wanita ini." "Habisnya saya kesal! Saya hampir saja jantungan!" "Dia seorang wanita. Hormatilah wanita, bapak tidak pantas memarahinya di muka umum." "Sekali lagi saya minta maaf, Pak," ungkap sesal wanita yang berpakaian serbahitam itu dengan suara sangat pelan, nyaris tidak terdengar. Wajahnya ditutupi kain tipis. Terlihat sekali dari sorot matanya bahwa dia sungguh menyesal. Tubuhnya gemetar, keringat dingin sudah membungkus seluruh badan. "Aahh sudahlah! Dari pakaiannya saja sudah mengerikan. Dasar wanita aneh!" damprat bapak itu saking kesalnya. "Jangan biarkan ucapanmu itu merendahkan statusmu, Pak. Mobil boleh bagus, pakaian boleh sopan, tapi kalau tidak dibarengi dengan akhlak, tentu semua yang Anda miliki tidak bernilai apa-apa. Semuanya percuma." Entah mengapa Mario tidak bisa menerima orang yang selalu meremehkan wanita. Mereka adalah makhluk lemah lembut yang tidak pantas diperlakukan buruk. Apalagi dipermalukan di depan banyak orang, dan itu hanya karena masalah sepele. Mirip dengan setitik debu yang tidak berarti apa-apa. "Berani sekali kamu berkata begitu." "Saya berani karena saya mengatakan kebenaran. Sekarang giliran Bapak yang meminta maaf." "Halah! Sudah jelas dia yang salah! Saya tidak memiliki kewajiban untuk melakukan hal itu! Dasar payah!" bapak itu berdecak, kemudian masuk lagi ke mobilnya dengan tampang garang. Mario menjangkau kepergiannya dengan raut datar. Semua kekayaan, kedudukan, harta, takhta, tidak berarti apa-apa jika seseorang masih memelihara akhlak buruk dan senang meremehkan orang lain. Itu semua tidak akan membuktikan kualitas baik-buruknya seseorang. Hal ini membuat Mario malu, sebab dulu dia pun seperti itu. Wanita bercadar yang sedari tadi diam mulai mengarahkan atensinya pada Mario. Dia ingin mengucapkan banyak ucapan terima kasih. Tapi lidahnya kelu, tidak bisa digerakkan untuk mengucapkan kata barang sepatah pun di hadapan pria yang barusan menolongnya.  Semua kalimat yang seharusnya dilontarkan menyangkut di kepala. Tersendat di tenggorokan. Dan tenggelam di lautan kecanggungan. Terpenjarakan oleh jeruji tabu. Ada sesuatu yang membuatnya sulit sekali untuk bicara dengannya. "Sama-sama." Seperti mengerti dengan sorot mata gadis itu, Mario berkata demikian. Wanita itu masih diam seribu bahasa. Bagai orang tunawicara yang kehilangan daya untuk bicara. Diamnya membuat Mario memutuskan untuk berbalik. Sepertinya tugasnya sudah selesai. "Tunggu ... " Langkah Mario terhenti. Suara yang baru saja masuk ke gendang telinga itu singkat, tapi mampu mengikat. Desiran darah dalam tubuhnya seolah berhenti. Angin yang menyapu wajah pun seolah berhenti bertiup. Mematikan yang hidup. Mematikan yang menyala. Mematikan yang bergerak. Koor kendaraan ikut mati, berganti hening dalam dunianya. Layaknya sihir yang memaksa waktu untuk berhenti, memaksa bumi berhenti berporos. Lalu tak lama kemudian, Mario membalikkan badan, wanita itu sedang berusaha bicara lagi. Kali ini Mario memandangnya dengan mata menelisik, Mario baru sadar kalau wanita ini mirip sekali dengan Aiza. Bukan, bukan dengan Aiza, melainkan hanya pakaiannya saja yang mirip. "Dari semua orang yang ada di sini dan melihat saya dimarahi habis-habisan, hanya Anda yang membela. Sekali lagi terima kasih banyak." Mario terdiam selama beberapa jenak. Giliran mulut miliknya yang terkunci rekat. Semakin suara itu ia dengar, semakin pula Mario merasa ganjil, semakin pula rasa penasaran menjangkit sanubari. Tapi dia hanya mampu mengingat-ingat, dan waktupun seolah tidak mau memberikan kesempatan. "Semoga Anda selalu bahagia. Baiklah, saya permisi dulu. Assalamualaikum." Wanita itu berbalik, berjalan cepat meninggalkan Mario yang tercenung di tempat, diiringi dengan suara kendaraan lalu-lalang di jalan raya yang kembali tertangkap oleh indera pendengar Mario yang sempat mati tidak berfungsi. Sudah banyak sekali wanita bercadar yang ia jumpai, tapi kali ini terasa berbeda. Apakah ini hanya sebuah manifestasi kerinduannya yang tak akan pernah menemukan titik jemu? Iya, mungkin, sampai kapanpun Mario tidak akan pernah jemu. Sebab merindukan Aiza tidak akan pernah ada akhirnya. Tidak akan ada pernah ada tamatnya. Tidak akan pernah ada habisnya. "Waalaikumussalam ... " Mario menjawab salam itu setelah wanita yang mengucapkan salam nyaris hilang dari pandangan. Mario bermimik layaknya orang yang terhipnotis. Dari suaranya, sorot matanya, gerak-geriknya, Mario seperti sudah mengenalnya sejak lama. Hal ini mampu membuat Mario berdiri cukup lama di atas tanah pijakannya. Dia juga tidak sadar telah membiarkan Abyan menunggu lama di depan supermarket dengan bibir cemberut. Wanita itu mengingatkannya pada seseorang. Seseorang siapa? Aiza? Ah, bukan. Mustahil. Aiza sudah pergi meninggalkan dia untuk selama-lamanya lima tahun lalu. Sampai detik ini, Mario tidak bisa melupakannya. Mengapa aku membantunya? Dia mungkin teman Aiza, dia seperti Aiza, yang pintar menjaga diri. Aku memiliki kewajiban untuk membela mereka. Sebab wanita hakikatnya adalah untuk dilindungi, bukan dicaci atau disakiti. Mario sudah kembali ke tempat semula, memasuki supermarket bersama Abyan yang marah-marah karena Mario telah membuatnya kesal. Sebagai imbalannya, Mario mengizinkan Abyan untuk membeli apa pun yang dia mau. Lagi-lagi, rezeki melimpah menghujani Abyan dengan hujan permen dan makanan. Allah memang mahabaik. Itulah pikiran yang tebersit di benak Abyan sekarang. Berharap nggak wanita bercadar itu Aiza? Baiklah, seperti apa kata Mario, itu mustahil. Sepertinya DBN 2 ini akan singkat Tapi tenang, itu baru prediksi:) Seperti biasa, mohon komentarnya kalau kalian menemukan typo. Sebab ini sangat berharga untuk author. Jazamulullah khairan...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD