Bab 3 - Bentuk Cinta Mario

1865 Words
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan : "Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah itu adalah lebih besar keutamaannya." (Al-’Ankabut: 45) Abyan tampak sedang berkaca di depan cermin, dia memainkan pipi, mata, dan bibirnya dengan cermat layaknya profesor yang sedang meneliti sesuatu. Sesekali bibir mungilnya itu dimajukan beberapa centi karena kesal. Kesal lantaran sudah beberapa menit meneliti tapi dia tak kunjung menemukan apa yang dicari. Kesal, karena ia tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan Mario. Kata orang, wajah anak itu akan mewarisi wajah kedua orang tuanya. Tapi Abyan merasa dirinya tidak. Dia tidak mirip dengan Mario, begitu pula dengan almarhumah bundanya. Mario sering memperlihatkan foto Aiza kepada Abyan, tapi Abyan tidak menemukan titik kemiripan pada wajahnya dengan sang Bunda. Malahan sangat berbeda jauh. Mungkin hanya warna kulit yang sama. Teman-teman di sekolahnya selalu bertanya, "Benarkah dia ayahmu? Tapi tidak mirip. Oh, mungkin Byan mirip dengan bundanya yang sudah tidak ada." Abyan mengaminkan ucapan teman-temannya. Semoga setelah dewasa nanti, ia bisa mirip ayahnya yang tampan lagi mapan. Abyan duduk di tepian ranjang, melamun. Dirundung galau karena masalah wajahnya yang berbeda dengan Ayah dan Bunda. Tak lama kemudian, pintu terbuka dari luar, menampakkan sosok Eliza---sang nenek---dengan senyuman mengembang. "Byan cucu nenek, kita makan, yuk." "Byan tidak mau makan." Abyan memalingkan muka. Eliza menaikkan sebelah alis, kemudian duduk di sebelah Abyan. Tapi anak itu bertingkah seolah sedang marah, dia tidak mau berhadapan dengan neneknya. Abyan masih setia bermuram durja. "Ada apa denganmu? Mengapa kamu tidak mengacuhkan nenek?" "Aku sedang kesal, Nek!" jawab Abyan tanpa melirik neneknya yang mulai penasaran. "Kesal?" "Iya, teman-teman aku mengatakan kalau Byan tidak mirip dengan Ayah. Begitupun Bunda, Byan merasa wajah Byan sangat berbeda dengan almarhumah Bunda." Eliza mengelus rambut Abyan, dia dan Mario sudah sepakat untuk tidak mengatakan yang sebenarnya pada Abyan kalau dia bukan anak kandung Mario dan Aiza. Hal itu bisa dibicarakan nanti ketika Abyan sudah tumbuh dewasa agar dia bisa mengerti. "Tidak semua anak akan mewarisi wajah orang tuanya, Byan. Wajahmu ini pasti berasal dari nenek dan kakek moyangmu. Kamu mirip dengan ayahnya nenek." Ketika mendengar itu Abyan langsung mengalihkan pandangannya kepada Eliza, wajah yang ditekuk mulai sirna, berganti rasa ingin tahu. "Iya, Byan. Nanti setelah dewasa kamu akan mengerti segalanya. Sekarang kamu tersenyum, ya. Yang penting kan kamu tetap anak yang sangat tampan. Ketampananmu sebanding dengan ayahmu." "Baiklah, aku percaya." Walau sedikit ragu, Abyan mencoba memercayai ucapan neneknya yang terdengar tulus. Tapi wajahnya tidak seceria biasanya. Ada kesedihan yang ia sembunyikan dari Mario dan Eliza. "Ya sudah kalau begitu, kita makan, yuk. Ayah bisa marah kalau kamu telat makan." "Iya, Nek." Abyan turun dari ranjang, dituntun Eliza keluar dari kamar menuju meja makan. Mario yang baru pulang lantas melepaskan sepatu dan kaus kakinya di kamar. Semuanya ia lakukan sendiri tanpa adanya seorang pendamping. Setiap pulang kerja pasti Abyan tidak ada di rumah lantaran pergi mengaji. Mario betah dengan kebiasaannya. Asal masih ada Abyan, tidak mengapa. "Tidak baik kamu menyembunyikan semua ini dari Abyan. Bagaimanapun dia berhak tahu siapa orang tua kandungnya," ucap Eliza ketika menghampiri Mario di kamarnya. "Bukankah Abyan sudah menjadi seorang anak yatim piatu? Jadi untuk apa membahas masalah itu? Orang tua kandungnya sudah tidak ada, bukan?" Mario hanya takut jika sewaktu-waktu Abyan bertemu dengan ayah kandungnya yang kemungkinan besar masih hidup. Mario belum siap kehilangan untuk kedua kalinya. Kehilangan Aiza sudah membuatnya terpukul dan terjerembab di dasar nestapa. Di luar langit sedang mendung, bahkan sesekali petir menyambar menandakan kalau hujan akan segera turun. Di zaman sekarang ini hujan datang tidak sesuai dengan waktunya. Air itu datang sesukanya. "Apa Abyan membawa payung?" "Sepertinya tidak, karena tadi tidak ada tanda-tanda hujan akan turun." "Aku harus menjemputnya." Mario lekas mengganti pakaian , lalu membawa jaket dan payung. Eliza hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tindakan Mario. Sebegitu cintanya Mario pada Abyan, ia sampai terkena tetes air hujan pun Mario tidak akan membiarkan itu terjadi pada Abyan. Dia keluar rumah beralaskan sandal jepit. Sepeninggal Aiza, Mario menjadi orang sederhana yang tidak terlalu bermewah-mewah dalam berpakaian. Sesampainya di masjid tempat Abyan menimba ilmu, Mario menunggu di luar---lebih tepatnya di teras. Yang lain dijemput oleh ibunya, ada pula oleh ayahnya walaupun hanya satu atau dua, termasuk Mario. Dulu wajah Mario kurang terkenal di komplek tempat dia tinggal, karena terlalu sibuk dan tidak pernah bergaul dengan orang lain. Dia sering pergi jauh dan menutup diri dari para tetangga. Tapi sekarang Mario cukup dikenal oleh tetangga-tetangganya. Mereka terlihat pangling, karena baru kali itu melihat Mario, mereka juga baru tahu kalau di tempat tinggalnya ada pria tampan seperti Mario yang sudah berstatus sebagai duda. Waktu itu pernikahannya dengan Aiza memang tertutup. Mereka hanya kenal nama, tanpa tahu wajah. Anak-anak sudah bubar, mereka berhamburan keluar dengan tampang senang karena proses belajarnya sudah selesai. "Ayah ... " Abyan langsung melihat eksistensi Mario dan serta-merta menghampirinya. "Aku kira aku akan pulang hujan-hujanan dalam keadaan basah kuyup." "Ayah tidak akan membiarkan kamu kehujanan, sebab setelahnya kamu akan jatuh sakit. Ayah membawa dua payung. Pakailah." "Ayah itu lelaki kesayangan Byan." Begitulah ucapan Abyan ketika menerima payung dari Mario. Mereka pun pulang, berjalan di atas jalan yang becek, langit yang kelam, dan suasana sepi. Beruntung intensitas rintikan hujan yang turun tidak terlalu deras. Hanya sesederhana ini, tapi Mario merasa bahagia bisa menjemput Abyan dan melihat Abyan menikmati suasana pulang dari pengajian dengan membawa payung gambar bis Tayo. "Ayah tahu tidak, tadi aku senang sekali." "Senang dalam rangka apa?" "Karena tadi aku bisa menghafal surat Al-Mulk. Ibu guru memuji aku kalau aku adalah salah satu muridnya yang sangat pintar dan cerdas." Mario beruntung sekali memiliki Abyan yang pintar. Zaman sekarang sangat sulit menemukan anak seperti Abyan yang selalu tekun beribadah, mendalami ilmu agama, dan menghafal surat-surat Al-Quran. Abyan adalah hadiah paling indah dan berharga yang pernah Tuhan berikan setelah Aiza. Ternyata ini hasilnya, dulu ketika bayi telinga Abyan selalu dijejali ayat-ayat suci, maka dari itu sekarang Abyan tumbuh menjadi anak yang mudah menghafal Al-Quran. Semoga Abyan bisa memenuhi cita-cita bundanya yang menginginkan Abyan menjadi seorang hafizh Al-Quran termuda. Di sepanjang perjalanan Abyan terus bercerita. "Tadi yang memujiku itu ibu guru baru, dia sangat cantik sekali." "Kamu masih kecil, Byan. Mana tahu mana yang cantik dan mana yang tidak." "Byan sudah besar, makannya Byan tahu. Ayah ini, selalu menganggap Byan anak kecil." Mario hanya tersenyum kecil. Abyan kembali mengingat percakapannya dengan guru baru itu. "Pasti ibumu yang telah mendidik kamu menjadi anak yang sangat pintar. Ibumu pasti baik sekali? Dia pintar mendidik anak, memperlakukan anak, dan dia pasti sosok yang sempurna." Wajah Abyan berubah sendu. Dia sedih jika ada orang yang membicarakan bundanya yang sudah tidak ada. "Ada apa, Byan? Mengapa wajahmu berubah sedih seperti itu?" "Bunda sudah meninggal." "Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Oh, maafkan Ibu, Ibu tidak tahu." "Tidak apa, Bu. Semua ucapan Ibu tentang Bunda tadi semuanya benar. Bunda memang orang yang sangat baik, meskipun Byan belum pernah bertemu dengannya, tapi Byan yakin, dia wanita yang mirip malaikat. Semuanya dibuktikan dengan Ayah yang tidak mau menikah lagi. Ayah begitu setia mencitai Bunda." Sang guru tersenyum haru. Ada kagum yang diam-diam ia rasakan pada ayah Abyan. Dia termasuk lelaki pintar yang berhasil mendidik anak. Dia berhasil membuktikan bahwa tanpa ibunya, anaknya bisa menjadi anak salih. "Jangan bersedih ya, kamu boleh anggap Ibu sebagai ibumu. Anggap semua guru yang mengajar di sini adalah ibumu." "Waah, itu artinya Byan memiliki banyak bunda?" Wanita yang baru mengajar satu hari di tempat itu pun menganggukkan kepala. Dia membiarkan Abyan memeluk tubuhnya, disusul anak-anak lain yang ikut memeluk ibu guru barunya yang sangat baik hati, cantik, dan salihah. Kelembutan dan keramahtamahannya telah membuat anak-anak didiknya langsung lengket. Waktu terus bergulir, ketika magrib Mario dan Abyan pergi ke Masjid. Mario selalu mengajari Abyan untuk pergi ke Masjid jika ingin melaksanakan salat fardu sejak dini. Agar menjadi kebiasaan yang akan terus ia bawa hingga tua. Awalnya Abyan mengaku malas, tapi ketika Mario mengucapkan sesuatu, Abyan langsung nurut. "Kalau kamu tidak salat ke Masjid, berarti kamu lelaki salihah." "Mengapa bisa begitu?" "Karena di rumah adalah tempatnya kaum perempuan melaksanakan salat. Kamu mau menjadi lelaki salihah?" "Tidak mau!" Abyan langsung menggelengkan kepala dengan roman jengkel. "Byan ingin menjadi lelaki salih." "Dan tempat salat lelaki salih itu di Masjid." Walau salat Abyan jauh dari kata sempurna, dia masih sering melirik ke sana-kemari ketika salat, dia tidak pernah meninggalkan waktu salat dengan disengaja. Mario masih memaklumi. Semuanya butuh proses. Dan Mario bangga pada proses Abyan. Di waktu subuh Abyan masih susah dibangunkan. Membuat Mario tidak tega jika harus membangunkan. Meskipun tidak di masjid, Abyan tetap melaksanakan salat di rumah, kadang di ujung waktu. Tetap semenjak sekolah, Abyan mulai belajar tepat waktu. Selesai salat isya, Mario selalu membacakan kisah para nabi zaman dulu. Hari ini giliran kisah nabi Zakaria. "Nabi Zakaria itu salah satu nabi yang senang berzikir, dia tak pernah melewatkan waktunya untuk berzikir pada sang pencipta alam dan seluruh isinya. Dia memiliki istri bernama Al-Isya, yang sangat cantik bahkan mendekari sempurna. Tapi sangat disayangkan, pernikahan mereka tidak dikaruniai buah hati. Namun, ketika Nabi Zakaria sudah lanjut usia, akhirnya Tuhan mau mengabulkan doanya untuk diberikan keturunan. Malaikat Jibril telah memberikan wahyu bahwa Nabi Zakaria akan segera mendapatkan keturunan yang akan lahir sebagai seorang Nabi. Lahirlah ke dunia, putra nabi Zakaria. Dialah seorang nabi dan putra seorang nabi yang disanjung dengan kebaikan." Setiap anak Adam akan kembali kepada Allah dengan dosa yang telah diperbuatnya. Dalam keadaan seperti ini, jika Allah menginginkan, Ia akan mengazab atau memberi rahmat kepada hamba tersebut, kecuali nabi Yahya, putra Nabi Zakaria. Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa Nabi Zakariya suka sekali berzikir dalam keadaan apa pun, termasuk saat kematian menjemputnya dia masih setia berzikir, walaupun tubuhnya sudah dipotong-potong bersama batang pohon tempat Nabi Zakaria berlindung dari perbuatan keji para kaum zalim. "Dalam salah satu kisah disampaikan bahwa darah telah bercucuran ke mana-mana, tubuh dipotong hingga berkeping-keping, namun zikir Nabi Zakaria tiada pernah berhenti." Dalam kekejaman tiada tara itu, Nabi Zakaria telah menjadi panutan dalam keteguhan iman kepada umat manusia setelahnya. Teguhnya zikir telah dihitung khusus dalam timbangan syahid. Setelah Mario selesai menyampaikan cerita itu, Abyan tercenung cukup lama. Dia merasa takut dengan cerita kematian Nabi Zakaria yang mengenaskan. "Orang baik seperti Nabi Zakaria tidak pantas meninggal dalam keadaan seperti itu, Ayah," protes Abyan kesal. "Dalam cerita itu mengajarkan kita untuk tetap teguh dalam ketaatan, meskipun dalam keadaan paling buruk. Dalam kematiannya pun Nabi Zakaria masih diuji, dan tentunya dia berhasil lulus ujian karena dengan ikhlas dia menerima semuanya dengan hati yang terus terpaut dengan Allah. Allah akan berikan rahmat berlimpah kepadanya." Abyan mulai mengerti, kendati masih belum memahami lebih jelas. "Byan ingin seperti nabi Zakaria yang senang berzikir? "Byan tidak mau kalah dari nabi Zakaria," ucap tegas Abyan. "Oh iya, zikir itu apa, Yah?" Mario tertawa. Ia kira Abyan sudah tahu. "Zikir itu mengucapkan kalimat istigfar, tahlil, takbir, tahmid, tasbih, dan lain-lainnya sambil mengingat Allah." "Oooh...." Abyan mengangguk paham. "Jadi bagaimana, Yah?" Mario mulai menerangkan satu per satu lafaz zikir dan keutamaan-keutamaannya. Dengan sabar dan penuh kasih sayang dia menyampaikan sampai membuat Abyan perlahan-lahan menutup mata. Ketika melihat Abyan, Mario selalu melihat dirinya yang dulu selalu bertanya pada Aiza. Bab berikutnya kalian akan tahu, siapa wanita di balik niqab itu Kalau komentarnya banyak, aku next kilat lagi ❤ Seperti biasa, kalau menemukan typo atau kejanggalan, tolong komen ya Jazakumullah khairan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD