Bab 6

1191 Words
Semalaman aku tak bisa memejamkan mata. padahal aku tidur di sebuah kamar mewah hotel berbintang lima. Damien meninggalkanku sesaat setelah masuk kamar. Lelaki itu masuk beberapa menit hanya sekedar memeriksa kamar lalu pergi. Suara detik jam terdengar jelas, kuhitung sampai ribuan kali pun tak bisa membuat mataku terpejam. Banyak hal mengisi kepala, terlalu penuh sampai-sampai aku tak tahu apa saja isinya sampai sepenat ini. Seperti benang kusut yang tak mungkin lagi bisa diurai selain digunting. Andai tahu guntingnya diletakkan dimana, tentu sudah kuambil dan menggunting benang itu. Aku berbaring miring kanan, telentang, miring kiri bahkan telungkup lalu duduk sambil bersandar di tumpukan bantal, tapi tetap saja tak menemukan posisi yang nyaman. Di lantai lima belas hotel ini, terlalu senyap hingga suara detak jam bahkan tetesan air terdengar jelas. Sadar kalau tak mungkin bisa tidur, aku bangkit dan mendekati kulkas. Membukanya dan melihat begitu banyak minuman dingin berjajar. Dari minuman bersoda hingga air mineral pun ada disana. Di meja ada beberapa cemilan. Kacang kulit, kacang atom, aneka keripik tertata rapi pada keranjang berwarna putih. Aku mengambil sekaleng coke dan sebungkus kacang atom. Duduk di sofa, kuraih remote TV dan menyalakannya. Beberapa kali menekan tombol remote untuk mencari tontonan yang pas, tapi kepalaku terlalu penat untuk bisa menikmati salah satu tayangan TV yang tersambung dengan TV kabel dengan puluhan channel. Akhirnya aku menonton saluran discovery channel sambil menikmati coke dan kacang atom. Sekaleng coke habis dan aku kembali mengambil minuman yang lain, juga cemilannya. Pagi akhirnya menjelang. Kantuk mulai datang saat sinar matahari menerobos masuk melalui sela-sela kain vitrase. Kuletakkan kepalaku di sandaran kursi. Membiarkan meja penuh dengan bekas bungkus cemilan dan beberapa botol serta kaleng minuman yang telah kosong. Suara jam dinding mulai menghilang. Wajah-wajah orang yang baru kutemui semalam mulai muncul, perlahan makin jelas. Aku ingin mengenyahkan wajah-wajah itu, tapi aku terlalu mengantuk hingga akhirnya tenggelam dalam mimpi. Suara ketukan pintu perlahan membalik semuanya. Wajah Herdy, istri dan anak-anaknya menghilang, menyadarkanku dari alam mimpi. Aku mengucek mata lalu memandang jam dinding yang ada di atas TV. Waktu menunjuk angka sembilan. Aku telah tertidur empat jam, tapi rasanya baru tidur beberapa menit yang lalu. Suara ketukan pintu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Perlahan aku bangun dan mendekati pintu. Baru menarik sedikit, seseorang diluar segera menerobos masuk. “Papa memintaku menjemputmu pulang. Dia tahu keadaanmu semalam.” Tobias melesat dan segera mendaratkan pantatnya di sofa. Sesaat aku terdiam, terpaku. Terkejut dengan kedatangannya. “Semalam Demian menghubungi papa. Makanya aku disini.” Tobias memandang tumpukan sampah di atas meja dengan satu alis terangkat. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya ke udara. Mengacak-acak rambut sambil mendekati Tobias. “Aku akan pulang ke rumahku sendiri. Katakan saja padanya tak perlu mengkhawatirkanku.” “Katakan saja sendiri.” Tobias melipat kedua tangan dan menyilangkan satu kaki di atas kakinya yang lain. Aku belum mengenal Tobias, tapi sepertinya lelaki ini tak jauh beda dengan Demian. Dingin dan seenaknya. Meskipun Tobias lebih mudah tersenyum, tapi tetap saja sama menyebalkannya. “Aku akan mengatakannya nanti. Sekarang kamu pulang saja. Tak perlu menungguiku disini.” “Jangan berharap Demian akan datang menjemputmu. Sebaiknya kamu menghindarinya.” Ucapan Tobias membuatku menyipitkan mata. Tak paham apa maksud ucapannya. “Kita sedarah, sekalipun ibu kita berbeda. Kita di kapal yang sama. Sedang Demian, entah anak siapa dia. Aku hanya tahu dia ada sebelum aku menjadi bagian keluarga, sepertimu.” Tobias ada benarnya, tapi apa benar kami di kapal yang sama. Kalau pun benar, apa ada jaminan dia tidak akan menceburkanku ke lautan dan membiarkanku mati dimakan ikan hiu kelaparan? “Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan,” gumamku, membuatnya mengangkat satu sudut bibirnya. “Aku senang memiliki saudara sepertimu, Isyana.” “Kuanggap sebagai pujian,” sahutku cepat. Tobias memandang jam tangannya, sepertinya dia punya rencana lain setelah menjemputku. “Aku antar ke rumahmu kalau kamu mau, tapi setelah itu kita tetap harus pulang. Aku tak ingin papa khawatir anak perempuannya terancam di luar.” Terlambat dua puluh tahun. Aku mendecih tapi tak menyangkal ucapannya. Lagipula untuk apa juga. Aku butuh tumpangan untuk pulang. Aku terlalu miskin dan tak mungkin juga menyeret kakiku menuju rumah yang jaraknya enam belas kilo meter dari sini. “Aku mandi dulu,” ucapku dan segera ke kamar mandi. Kamar mandi yang mewah dengan bathtub putih plus air hangat akan bisa membuatku rileks. Sabun cair yang wangi dan suasana kamar mandi yang tenang, sungguh tak pernah kubayangkan bisa menikmatinya. Entah berapa lama aku menikmati berendam. Air hangat yang berubah dingin pun tetap enak kunikmati. Kepalaku terasa melayang-layang. Kulitku sudah mengkerut seperti kulit nenek-nenek, tapi tetap saja ini terlalu menyenangkan. “Isyana, apa kamu tidur?” Tobias membangunkanku dari alam mimpi yang hampir saja kutemui. “Tidak,” jawabku. “Kamu baik-baik saja? apa kamu butuh bantuan?” tanyanya lagi. “Jangan sinting. Sebentar lagi aku keluar.” Akhirnya aku bergegas keluar dari bathtub. Membilas badan ala kadarnya dan menggunakan bathrobe. Tobias melihatku dari kepala sampai kaki. Seolah aku badut yang baru selesai melakukan pertunjukkan. “Aku menunggumu diluar,” ucapnya sambil ngeloyor pergi. Aku menghela napas dalam-dalam, entah untuk ke berapa kali. Mengenakan pakaian yang sama dan tak butuh waktu lama untuk segera menemui lelaki itu. “Apa kamu perlu baju baru dan … make up?” tanyanya sambil mengamatiku, dari kepala hingga kaki. “Tidak perlu. Antar aku pulang sekarang.” Tobias tersenyum tipis. Senyum yang membuat wajahnya yang dingin sedikit lebih baik. Ia berjalan lebih dulu dengan langkah pelan, sementara aku harus melebarkan langkah agar tidak terlalu jauh darinya. *** Dibonceng Tobias dengan CBRnya bukan sesuatu yang nyaman. Motor itu keren jika dikendarai sendirian, tetapi duduk di boncengan sangat tidak nyaman. Terlebih jika yang membonceng suka memotong jalan. Beberapa kali aku hampir jatuh sehingga terpaksa aku melingkari pinggangnya. Tak butuh waktu lama untuk sampai rumah. Turun dari motor, sesaat aku terpaku di depan pintu yang masih diberi garis polisi. Kejadian semalam membuat bulu kudukku meremang. Ucapan Demian tentang seseorang yang ingin mencelakaiku tentu saja membuatku takut. “Kamu tidak apa-apa?” Suara Tobias membuatku menoleh kepadanya. “Ambil barang yang kamu butuhkan! Untuk sementara lebih baik kamu tidak tinggal di rumah ini apalagi sendirian.” Aku tidak senekat dan tidak seberani itu. Semalam aku sudah membuat rencana-rencana untuk menjalani kehidupan yang terbalik ini. Termasuk dengan siapa aku akan tinggal sementara waktu, sampai masalah ini selesai. Badanku terasa berat saat melangkah masuk rumah apalagi saat melihat betapa parahnya kondisi rumah, membuatku memeluk diriku sendiri. “Kamu tenang saja. Ini bukan masalah yang penting. Aku pasti akan membantumu.” Tobias menyentuh pundak kananku. “Kalau kamu ada janji, kamu bisa meninggalkanku sekarang. Aku hanya perlu mengemasi baju lalu ke café. Hari ini aku mulai bekerja.” “Tidak perlu terburu-buru. Hari ini aku tidak ada rencana. Aku bisa mengantarmu kemana saja.” Tatapan matanya membuatku merasa ada ketulusan yang keluar dari kata-katanya. Apalagi senyumnya yang begitu sempurna, Tobias mungkin bisa kupercaya. “Tunggu saja. Aku tidak akan lama.” Aku hanya perlu membawa tas dengan beberapa baju serta surat-surat penting. *** Di depan café, aku menyerahkan helm sambil bertukar senyum. “Jam berapa aku menjemputmu?” “Tidak perlu. Mulai malam ini, aku akan menginap di rumah temanku. Terima kasih tumpangannya.” “Isyana, jangan pernah menghindari papa. Kamu tahu, itu takkan mudah.” Aku rasa Tobias benar, tapi menemui orang yang pernah meninggalkanmu sejak lahir bukanlah hal yang mudah. “Jam berapa kamu pulang?” “Kenapa?” “Aku akan menjemputmu.” “Tidak perlu. Aku….” “Aku hanya ingin memastikan kamu di tempat yang aman,” sahutnya. “Terima kasih, tapi aku tidak apa-apa. Aku sudah sangat lama mengenal temanku.” Tobias menatapku lekat sambil mengembuskan napas berat. Tatapannya membuatku tak bisa menolak keinginannya. “Aku pulang jam sepuluh malam.” Tobias merogoh kantong celana dan menyerahkan handphone kepadaku. “Pakai ini untuk sementara. Cari aku kalau ada apa-apa. Jangan sekali-kali meminta bantuan Damien,” ucapannya lebih terdengar seperti perintah daripada permintaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD