BAB 2

1023 Words
"Saya tidak mengenalnya. Lagipula saya masih masa berkabung. Suruh saja dia kesini kalau memang dia merasa ada kepentingan.” Seketika aku emosi. Tak pernah bertemu dan sekalinya datang, malah mengirim orang lain untuk menjemputku. Kepalaku mendadak pusing memikirkan hal ini. Siapa Herdy? Apa mama punya hubungan spesial dengan orang itu?  Atau dia orang yang bertanggung jawab atas kematian mama? “Bapak meminta saya membawa anda. Sebaiknya anda bekerja sama….” “Atau apa?” potongku. “Kalian, bawa Nona sekarang!” Hanya butuh sekian detik sejak perintah itu keluar dari mulutnya. Tiba-tiba dua lelaki gempal berkemeja putih dan celana hitam, mendekatiku. Menahan kedua lenganku dan menyeretku ke depan. “Apa yang kalian lakukan? Lepaskan aku!” Aku menggeliat. Bergerak serampangan agar bisa lepas dari mereka. Tetapi itu sia-sia, tenaga mereka jauh lebih besar daripada perempuan kurus sepertiku. Sebuah Alpard berada di halaman rumah. Seorang lelaki ada di belakang kemudi, diam bahkan seolah menikmati pemandangan ini. Aku didorong masuk mobil dan pintu langsung ditutup. Dua pria itu pergi begitu saja sementara pria yang memanggilku nona, masuk mobil dan duduk di sebelah sopir. “Aku mau kalian bawa kemana?” Aku membuka pintu, tetapi terkunci. Tentu saja seharusnya itu mudah terbaca. “Keluarkan aku dari sini!” teriakku sambil menggedor-gedor jendela dan mencoba membuka pintu. “Kita harus cepat sampai atau Bapak akan marah.” Pria yang tadi sempat bersikap sopan itu kini cocok dengan jati diri aslinya. Aku kesal sekali. Meski tahu kalau takkan berhasil, tetapi tetap saja berusaha membuka pintu, mengetuknya keras dan berteriak meminta tolong sampai suaraku serak. Dua pria itu tak bergeming. Seperti menganggapku tak ada. Aku tidak tahu siapa Herdy dan apa hubungannya denganku. Satu hal yang aku tahu, aku membencinya tanpa perlu mengetahui siapa dia. Mobil terus melaju dengan kecepatan tinggi. Jam sudah menunjuk sepuluh malam, jalanan mulai tampak lengang. Aku tak lagi berteriak minta tolong karena tak ada gunanya. Duduk dengan tenang, memikirkan apa yang harus kulakukan selanjutnya adalah pilihan yang baik. Tiba-tiba jok terasa sangat nyaman, ruang kabin terasa dingin karena embusan AC. “Aku takkan melawan, tapi setidaknya katakan kemana kalian membawaku?” Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. “Sebentar lagi anda akan tahu, Nona.” Bukan jawaban yang kumau, namun kali ini aku tak ingin membuang tenaga secara sia-sia. Musik slow rock mengalun, membuatku teringat mama yang juga sangat suka jenis musik ini. I follow the Moskva Down to Gorky Park Listening to the wind of change An august summer night Soldiers passing by Listening to the wind of change The world is closing in Did you ever think That we could be so close, like brothers Alunan lagu itu membawaku ke sebuah perumahan elit. Rasa penasaran pun akhirnya tumbuh. Siapa Herdy mulai memenuhi kepalaku. Mama tak pernah membahas pria itu dan aku tidak kenal dengan orang yang namanya Herdy. Mobil masuk ke sebuah rumah bergaya renaissance. Begitu megah dan mewah. Pilar-pilar berdiameter besar dan tinggi mengingatkanku pada bangunan di Athena yang pernah kulihat di TV. Enam mobil mewah berjajar di bawah carport. Sementara mobil yang kutumpangi berhenti di depan pintu utama yang tinggi menjulang. Pria tadi membuka pintu dan mempersilakanku turun. Berdiri di depan rumah bak istana membuat mulutku menganga. Tak menyangka memiliki kesempatan melihat rumah semewah ini. Aku pernah ke PTC, salah satu mall yang ada di kawasan perumahan elit. Tetapi aku hanya melihat rumah-rumah elit itu dari jalan. Aku terpukau setiap melihat rumah-rumah bak istana berjajar. Kali ini, saat melihat dari dekat, tak bisa kupungkiri jika aku terkagum-kagum dengannya. “Silakan ikuti saya, Nona.” Pria itu mencekal lenganku. “Hentikan! Aku bisa jalan sendiri.” Aku bukan narapidana yang harus dikawal sedemikian rupa. Masuk ke dalam rumah, aku terpesona dengan kemewahan yang ada. Lampu hias serupa Kristal yang sangat besar menggantung di atas sofa merah di ruang tamu yang luas. Sebuah tangga berkarpet merah mempercantik interior rumah ini. Aku menggeleng, membuang rasa kagum pada rumah Herdy. Bukan saatnya bersantai-santai. Aku belum tahu sebenarnya apa yang akan terjadi dan mengapa Herdy memanggilku. Siapa Herdy? Pertanyaan itu kembali menari-nari. Pria tadi membawaku ke ruang makan. Di ruangan itu ada pasangan suami istri paruh baya, lelaki yang mungkin seusiaku, lelaki yang mungkin beberapa tahun lebih tua dariku, seorang perempuan sepertinya seumuran denganku dan bocah ingusan yang mungkin masih duduk di SMA. “Saya sudah membawa Nona Isyana, Pak.” Pria tadi mengangguk dan berlalu begitu saja. “Aku tahu kamu masih bingung. Tapi percayalah, semuanya akan baik-baik saja. sekarang duduk dan makanlah,” ucap lelaki paruh baya itu. “Apa anda yang bernama Herdy?” tanyaku, masih berdiri di sebelahnya. Lelaki itu memandangku dengan satu alis terangkat dan bibirnya terkatup rapat. Cukup lama sampai membuayku benar-benar tak nyaman. Lelaki bertubuh tambun itu kembali mengambil sendok dan garpu lalu makan seolah hal semacam ini bukanlah masalah yang besar. Aku mengedarkan pandangan pada orang-orang yang duduk di meja makan. Mereka sedang memindaiku, mungkin bertanya-tanya mengapa aku ada disini. “Kalau kamu ingin secepatnya tahu kenapa kamu disini. Cepat duduk dan makanlah!” perintah lelaki tambun itu, begitu dingin. “Sejujurnya, saya tidak ingin tahu. Saya akan pergi dan kalian tak perlu mengantarku. Saya bisa pulang sendiri. Selamat malam.” Aku memutar tubuh. Sejujurnya aku tak membawa apapun saat dipaksa masuk mobil. Tapi harga diriku terlalu tinggi untuk meminta sesuatu selain dibiarkan pulang. “Kamu persis mamamu,” ucapan pria itu menghentikan langkahku. Aku membalik badan lalu menatapnya lekat. “Anda kenal mama saya?” “Tentu saja. Aku sangat mengenalnya. Aku juga tahu mamamu sudah … meninggal,” suaranya melemah saat mengatakan kata itu, seolah menyesal karena kepergian mama. Tapi aku tak ingin terpedaya. Tak ingin terbuai oleh apapun rencananya. “Siapa anda?” tanyaku to the point. Aku menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tetap tenang. “Aku tahu kamu lapar. Makan saja lalu kita bicarakan masalah ini.” “Papa.” Wanita yang duduk di sebelah pria itu memegang tangan pria itu sambil menautkan alisnya. Sepertinya ia tak setuju dengan apa yang akan dilakukan pria itu. “Kamu juga makan. Kalian semua harus makan. Ada hal penting yang akan kubicarakan dengannya dan juga kalian semua.” Pria itu sangat mendominasi hingga tak ada yang berani mendebatnya. Pada awalnya aku merasa bukan di tempat yang seharusnya, tetapi saat ia mengatakan kalau mengenal mama. Kupikir tak ada salahnya kalau aku ikut bergabung. Setidaknya mungkin aku akan menemukan satu petunjuk. Aku duduk di sebelah lelaki berkulit putih pucat dan hidungnya mancung seperti orang Arab, namun matanya sipit seperti keturunan Tionghoa. Ia tersenyum padaku, mungkin bagian dari ramah tamah. Tapi aku tidak merasa harus membalas senyumnya, jadi kuputuskan duduk dan segera menyelesaikan acara makan malam aneh di tengah keluarga yang terasa aneh pula.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD