BAB 3

1105 Words
“Jadi kamu Isyana. Aku sering mendengar Papamu bercerita tentangmu,” ucap wanita yang mungkin istri lelaki itu. Aku baru saja menyendok nasi dan hendak melahapnya. Tapi mendengar wanita itu bicara, sendok yang baru kuangkat, kuletakkan kembali di atas piring. Aku dan pria yang menyebut dirinya papaku tidak pernah bertemu sebelumnya, jadi bagaimana bisa bercerita tentangku kepada wanita itu. “Mama tahu kamu pasti terkejut. Tapi percayalah ini semua untuk kebaikanmu.” Aku tersedak mendengarnya menyebut mama dengan terlalu mudah. Mamaku baru saja meninggal dengan cara yang tak wajar. Bagaimana bisa dia bersikap seperti tidak ada yang terjadi. Seperti aku dan dia memiliki hubungan spesial. “Maafkan mama. Kamu pasti kebingungan.” Wanita itu berkedip beberapa kali. Meremas sapu tangan sambil tersenyum, menunjukkan gigi-giginya yang sangat putih. “Dia ibu tiri kita. Aku kakakmu. Ehm … dari ayah yang sama. Bocah tengil itu, adikmu dari ayah yang sama. Dia kembaranmu tapi beda ayah dan ibu.” Penjelasan lelaki yang awalnya kupikir seumuran denganku, membuatku menelan ludah. Aku memandang lelaki yang ada di sebelahku. Dia pun memandangku dengan mulut tertutup. Aku tidak tahu apa hubungannya denganku, apa kakak dari ayah yang sama pula? “Dia … pacarku,” kata perempuan berambut coklat tua yang duduk berhadapan dengan pria itu. Lelaki di sebelahku memandang perempuan itu tanpa mengatakan apapun. “Namaku Sofia. Kamu lahir November kan. Aku juga lahir di bulan itu. Jadi secara tak langsung, kita memang kembar.” Ia terkekeh. Seolah itu lucu. Aku mengedarkan pandangan. Tanpa sengaja mataku bersibobrok dengan lelaki yang menyebut dirinya kakak. “Aku Tobias.” Bibirnya melengkung ke atas dengan sempurna, tapi aku tahu dia memaksakan diri untuk tersenyum. “Sebenarnya kamu gadis berprestasi. Aku tidak tahu kenapa Raisa menolak tawaran untuk menyekolahkanmu ke luar negeri. Papamu bisa memberimu semua fasilitas yang kamu perlukan,” ucap wanita. Aku memandang Herdy sambil menyipitkan mata. Jadi tanpa sepengetahuanku, mama dan pria itu bertemu. Mengapa selama ini mama tak pernah membicarakannya padaku. “Tapi tidak apa-apa. Semua belum terlambat. Kamu bisa melanjutkan studimu di negara manapun yang kamu inginkan. Kami akan memberi fasilitas terbaik untukmu, Sayang.” Wanita itu tertawa pongah. Terlalu menyakitkan mendengar tawanya. Mataku sampai berkaca-kaca dan telingaku berdenging karena terlalu sakit mendengar tawanya. Aku jadi penasaran seperti apa hubungan mama, Herdy dan wanita itu. Atau jangan-jangan salah satu dari keduanya adalah dalang pembunuhan mama. Apa motifnya? Aku tak pernah melihat keganjilan dalam diri mama. Mama bekerja siang dan malam dalam membesarkan café makan seorang diri. Dari yang hanya warung kopi sederhana sampai menjadi café empat karyawan, meski aku salah satunya. Dari usaha itu kami tak pernah mengalami kesulitan financial yang berarti. Hidup kami sederhana dan baik-baik saja. Jadi, aneh kalau pria itu menawarkan sesuatu yang memang tak perlu. “Terima kasih tawarannya, tapi saya tidak ada niat melanjutkan S2.” Aku menyeringai lalu mengatupkan rahang untuk meredam emosi sekuat mungkin. “Sayang sekali. Padahal kamu lulus cumlaude, benar kan, Pa.” Wanita itu meletakkan tangannya di atas punggung tangan Herdy. Herdy memandangku dengan dua alis bertaut dan mengangguk kecil, entah apa yang ada dalam pikirannya. “Isyana, ikut aku!” Ia berdiri dan meninggalkan ruang makan begitu saja. Aku terkejut dengan sikapnya yang terlalu dominan dan harus dipatuhi. Tapi agar semua cepat selesai, tak ada yang bisa kulakukan selain mengikutinya. Berjalan menyusuri ruang demi ruang kembali membuatku terpana dengan kemewahan. Aku memandang punggung Herdy sambil menggeleng tak percaya. Baru sekali ini aku bertemu dengan lelaki kaya raya. Sayang sekali lelaki itu telah membuangku dan mama untuk waktu yang lama. Apakah orang kaya biasa melakukan hal semenjijikkan itu. Herdy membuka pintu dan memintaku masuk lebih dulu. Berdiri di sebuah ruangan dengan buku-buku berjajar rapi. Sebuah meja dengan dua kursi berhadapan ada di ujung ruangan. Satu set sofa ada di sebelah kiriku. “Duduklah!” Herdy segera duduk di kursi berbahan kulit berwarna hitam. Tampak sangat pas untuknya. Aku menjatuhkan pantatku di kursi hitam, berhadapan dengannya. Herdy menyerahkan sebuah amplop tebal. Saat melihat isinya, mataku membulat dan napasku terhenti. Sebuah hasil tes DNA yang menyebutkan aku adalah anaknya. Tak hanya itu, ada puluhan foto dari aku bayi sampai kejadian kemarin sore ada disana. “Kalau kamu pikir aku lepas tangan. Kamu salah.” Aku memandangnya dengan perasaan campur aduk lalu kembali memandang tumpukan foto yang membuatku merasa horror. Selama hidup, aku diikuti seseorang yang tak lain ayahku sendiri. Aku tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Kalau memang selama ini ia mengikutiku, mengapa tak sedari dulu ia menunjukkan jati dirinya, bukan setelah mama meninggal seperti sekarang. “Aku sudah melakukan semua yang mamamu inginkan. Aku papamu. Kamu darah dagingku.” Ia menunjuk surat hasil tes DNA sambil mengangkat dua alisnya. Aku tertawa … Getir. Tak pernah kubayangkan bisa bertemu dengan orang yang telah membuang mama sejak aku lahir. Lelaki yang seharusnya mengayomi keluarga, justru hilang entah kemana. Sekarang, saat semua sudah terlambat, tiba-tiba dia datang dan ingin membawaku bersamanya. “Kamu pikir aku percaya?” Memang terdengar kasar, tapi untuk apa juga menjaga sikap di depannya. “Ibumu sudah meninggal. Sekarang saatnya aku yang merawatmu.” Lelaki itu melepas kacamata bacanya. Memandangku sambil menopang dagu dengan dua tangan yang dikepalkan. Duduk di ruang baca, dengan sejuta buku tertata rapi di rak yang mengelilingi ruangan. Aura tak menyenangkan terbangun. Tak menyangka Herdy yang memaksaku ke rumahnya adalah penyumbang s****a ke rahim mama dan akhirnya aku terbentuk. Terdengar sarkas, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak pernah bertanya seperti apa hubungan mama dengan lelaki yang menghamilinya. Waktu kecil aku pernah sekali mempertanyakan keberadaan ayah. Tapi mama memillih diam dan aku tidak mengejar jawabannya. Aku ingin sosok ayah ada bersamaku kala itu. Diam-diam aku menangis, ingin sekali bertemu dengannya walau sekali saja. Namun sekarang nama ayah sudah kucoret dari kehidupanku. “Bapak tenang saja. Saya sudah dewasa dan bisa menjaga diri sendiri.” Aku bangkit dan bersiap pergi dari tempat ini. “Kamu tidak boleh sendiri. Kamu masih punya papa.” Ucapannya sontak membuat langkahku terhenti. Dua puluh tahun hidup dan selama itu aku menganggap ayahku mati. Sekarang tiba-tiba muncul lelaki yang menyatakan dirinya sebagai ayah. Sungguh ironis. Aku memutar badan, menatapnya lekat. Kami bersitatap untuk beberapa waktu. Suara jam dinding seolah mengolok-olok kami. Menertawakan pertemuan kami. Sekarang dia berani menyebut dirinya ayah, lantas dua puluh satu tahun itu … apa yang dia lakukan. “Sudah terlambat,” ucapku. “Selama ini mamamu melarangku menemuimu.” Sebuah alasan yang terlalu dibuat-buat. Mama bukan orang yang mudah menyimpan dendam. Seburuk apapun perbuatan orang kepadanya. Lagipula kalau perasaannya terhubung padaku, seharusnya dia melakukan apapun agar bisa menemuiku. Aku mendecih, membuang muka dan tersenyum miris. “Sudahlah. Kalau toh anda ayah saya, saya tidak menuntut apa-apa. Saya justru berterima kasih, karena … anda, saya lahir di dunia dan bisa menikmati hidup dengan mama terbaik. Saya tidak pernah menyesal telah dilahirkan.” Tak ingin lebih lama di tempat ini. Aku memutuskan meninggalkan ruangan. Saat membuka pintu, aku terkejut saat melihatnya berdiri di depan pintu. Ia tampak tenang dan melewatiku begitu saja, seolah tidak mendengar apapun. Tatapanku mengekor padanya. Lelaki berhidung mancung itu berdiri di hadapan Herdy. Seolah tahu aku melihatnya, tiba-tiba saja ia memutar badan. Kami bersitatap dengan wajah sama-sama tanpa ekspresi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD