Satu

1552 Words
Dear, Udin. Perempuan itu ibarat kembang. Sedangkan laki-laki itu ibarat kumbang. Jadi, mana mungkin kembang mendekati kumbang duluan. • • • Sedetik setelah bel istirahat berdering, lelaki berambut klimis itu langsung bergegas ke toilet. Merapikan ikatan dasinya di hadapan cermin besar toilet sekolahnya. Memastikan tidak ada cabai atau kotoran gigi yang menyelip di sela-sela deretan kawat giginya. Ketika sedang asyik bercermin, tiba-tiba saja seekor semut tanpa permisi bermain-main di bingkai kacamatanya. Dengan sigap pemilik nama lengkap Sarudin itu melepas kacamatanya. Menilik semut itu lamat-lamat. "Tidak sopan kamu, semut!" bentaknya. Sesaat kemudian Udin memberi uap napas pada kacamatanya. Cukup sekali tiup, semut itu mati dan terjatuh ke lantai akibat napas ajaib dari mulut Udin. Udin mengelap kacamatanya dengan tisu yang diambil dari dalam bilik toilet sampai mengkilat.Setelah semuanya siap, dengan perasaan super duper bahagia, Udin berjalan mendekati dua gadis yang sedang bercengkrama sambil menikmati siomay pedas di kantin. "Neng Ella!" pekik Udin memanggil salah satu dari mereka. Dua-duanya menoleh ke sumber suara. Dilihatnya Udin memaparkan senyum tiga jari. Sehingga salah satu dari mereka yang merasa disebut namanya, mendelik kesal. "Apaan sih, lo! Neng Ella Neng Ella, nama gue tuh, Gabriella. Panggil gue Gabby!" Seseorang yang mendapat julukan primadona sekolah di SMA Ellegard itu memang paling tidak suka dengan panggilan yang diberikan Udin. "Biarin aja, By. Lagi juga itu kan hak dia mau manggil lo apa aja," ucap gadis satunya lagi, yang dari tadi justru terkekeh sendiri. "Kalau gak mau kena marah juga, lo mending diem dulu, Na!" titah Gabby pada gadis tersebut. Gabby belum tau, kalau temannya itu adalah biang dari kelakuan aneh Udin saat ini. Mendengar tanggapan Gabby, Udin malah tersipu malu. "Neng Ella jangan sok marahin Udin, deh." Gabby melotot. "Idih idih, kenapa lo? Ayan dadakan?" "Makasih ya, Neng Ella! Udin udah baca, kok, suratnya. Udin gak nyangka kalau Neng Ella juga ada perasaan sama Udin," katanya malu-malu. "Surat?!" tanya Gabby dengan sekali hentakkan. Udin mengangguk sembari tersenyum memaparkan gigi kawatnya. Menyodorkan sebuah amplop bermotif bunga-bunga pada Gabby. Dengan rasa penasaran bercampur kesal, Gabby mengeluarkan lipatan kertas dari dalamnya. Dear Udin, Indahnya bulan, tak seindah parasmu. Manisnya gula, tak mampu mengalahkan manisnya senyummu. Bukan Ella tak suka. Bukan Ella tak cinta. Tapi... Ella malu. Perempuan itu ibarat kembang. Sedangkan laki-laki itu ibarat kumbang. Jadi, mana mungkin kembang mendekati kumbang duluan. Salam manis, Gabriella (Neng Ellanya Udin) Selesai membaca, Gabby meremas-remas kertas itu. Matanya menatap Udin nanar. "RAINA!!!" teriaknya dengan perasaan kesal yang berkecamuk di dalam dirinya. Tapi naas, sosok Raina yang semula berdiri di sampingnya kini lenyap begitu saja. Dia tau, meskipun sahabat, kalau sudah seperti ini Gabby tidak akan segan-segan menjambak rambutnya sampai rontok. Baru saja mengambil satu langkah untuk mengejar Raina, Udin menahan pergelangan tangan Gabby. "Neng Ella mau ke mana?" tanya Udin polos. "Mau gue ke mana kek, itu bukan urusan lo!" bentak Gabby seraya melepaskan tangan Udin dengan kasar. Ketika Gabby ingin melanjutkan langkahnya, tangan Udin menahan lagi. "Jadi, kita jadian, nih?" "Najis!" Gabby menarik tangannya lebih kuat. "jadian-jadian, jadian aja sana sama monyet hutan!" ketusnya, lalu cepat-cepat berlari menjauh dari Udin. Di sisi lain, Raina―gadis yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini―bersembunyi di balik tembok koridor sambil mengintip Gabby kebingungan mencari-mancari sosok dirinya sambil cekikikan. Tapi dalam sedetik, tiba-tiba Raina menarik kepalanya. "Mampus, si Gabby ke sini!" umpatnya dengan perasaan ketar-ketir. Raina hendak berlari, namun seseorang tahu-tahu saja menarik tangannya. Mengapit tubuh Raina di tengah-tengah antara tembok dan tubuh tingginya. "Eh, mau ng-" "Ssstt," Cowok itu berdesis sambil memosisikan jari telunjuknya di tengah-tengah bibir. Raina langsung diam, mendadak urat syarafnya menegang. Cowok itu tersenyum tipis. Saat melewati mereka, Gabbyy sama sekali tidak melihat tubuh mungil Raina yang terhalang oleh orang itu. Setelah sosok Gabby menghilang di tikungan koridor, cepat-cepat keduanya segera mengambil jarak. Anjir, ganteng banget! Kulit putih, idung mancung, tinggi. Gue harus tau namanya, nih! Mana tau dia cinta sejati gue. Gadis itu membatin dengan mata berbinar-binar. Sejenak Raina terperanjat dari lamunannya. "Thanks, ya!" ucapnya sambil bernapas lega. "Hm," sungut cowok itu canggung sambil mengusap tengkuknya dengan kepala menunduk. Sejenak Raina meneliti wajah Aldo dengan seksama. "Lo anak baru, ya?" Raina bertanya hanya untuk sekedar basa-basi. "Tau dari mana?" "Soalnya selama gue sekolah di sini, gue belom pernah liat lo." Ragu-ragu Raina bertanya, "Oiya, nama lo siapa?" "Aldo Mahesa, lo?" katanya seraya bertanya balik. "Gue Raina Anindya Safira." Raina tersenyum ramah, menampakkan gigi gingsulnya. "Gue panggil lo manis, boleh?" Mendadak pertanyaan yang terlontar dari mulut Aldo membuat pipi Raina memanas. Gombal banget ini cowok, jir! Tetapi sebisa mungkin Raina menyembunyikan perasaan senangnya itu. "Manis? Emang gue gula," selorohnya. "Bener apa kata temen gue. Cewek yang giginya gingsul itu manis," pujian Aldo mendadak membuat Raina kini hampir terbang menembus atap lantai teratas. "Bisa aja," sungutnya malu-malu. "gue bukan gula, kali!" Gadis itu berseru sambil berlalu meninggalkan Aldo yang masih senyum-senyum di tempat. Di kelas, Raina mendapati Gabby sudah berada di kursinya. Bukannya merasa bersalah, Raina malah menggoda teman sebangkunya dengan senyuman. "By, jangan marah lagi dong," bujuk Raina sambil mencolek dagu Gabby. Tidak mempan. Gabby terus saja menekuk wajahnya dan mogok bicara. Hal seperti ini memang sering terjadi di antara mereka. Namun, Gabby tidak pernah kapok memberi maaf pada gadis usil nan bawel tersebut. "By, tau gak? Tadi pas gue kabur dari lo, gue diselametin sama anak baru di sekolah kita. Orangnya ganteng, By! Tinggi, putih, mancung, udah gitu ramah, lagi!" Raina cerita dengan semangat yang menggebu-gebu. Tidak peduli mau Gabby masih marah atau tidak. Yang penting cerita! "Namanya siapa?" Setelah diam beberapa detik, akhirnya Gabby terpancing juga untuk menanggapi. Raina tertawa geli. "Namanya Aldo Mahesa. Lo kenal?" tanyanya. "Pernah denger namanya. Kalau gak salah, dia anak Bahasa." Sesaat kemudian, Gabby tersadar. "Eh, gue kan lagi ngambek sama lo." "Masalah Udin doang sampe ngambek?" Raina bertanya dengan nada menggoda. "Biar gue urus, tuh, anak. Ntar gue bilang, kalau lo gak suka sama dia. Tapi, gak tau deh kalau sore," sambungnya lagi. "Kok, omongan lo kayak Dilan, sih! Tapi, mau sore, mau malem, mau sampe kiamat sekalipun gue gak bakal suka sama si Udin!" tandas Gabby masih berpura-pura jutek. "Back to the topic, pokoknya lo mesti bantu buat gue deket sama dia!" Gadis usil itu, kalau minta bantuan memang suka agak memaksa. "Gue bakal bantuin lo. Tapi lo juga bantuin gue buat deket sama sahabat lo yang ganteng itu. Siapa namanya, tuh? Ra... Ra..." "Rahmat?" "Nah iya, Rahmat." Gabby diam sebentar. "Eh, kok, Rahmat? Bukan, Ra..." Raina tertawa geli. "Raihan," "Iya, Raihan! Gimana?" Gabby menawarkan kesepakatan yang bersifat simbiosis mutualisme. Sejak pertama kali Raina mengenalkan sahabat kecilnya pada Gabby, pesona Raihan mampu membuat Gabby klepek-klepek. Berkali-kali dia merayu pada Raina agar memperkenalkannya pada Raihan. Tapi berkali-kali pula Raina menolak. Bukan apa-apa, sifat Raihan yang anti sosial membuatnya ragu untuk melakukan apa yang Gabby minta. Jangankan Gabby, bahkan para gadis yang satu sekolah dengan Raihan pun tidak ada yang menarik baginya untuk dijadikan teman, apalagi pacar. Raina, sih, sudah sering bilang pada Gabby agar segera mengubur dalam-dalam perasaannya pada manusia es itu jika tidak ingin sakit hati. Karena Raina sebagai teman kecilnya tau betul bagaimana watak Raihan. "Oke, deh," ucap Raina menyetujui. Setelah sekian menit gadis manis itu menimang-nimang tawaran Gabby. Dia percaya, segalak-galaknya Raihan, lelaki itu tidak akan pernah bisa memarahinya. "Yes! Akhirnya...." "Eh, eh, tapi gue gak janji, ya, kalau lo bakal jadian sama Raihan. Kan gue cuma bantu deketin lo berdua doang, kan? Sisanya tinggal lo deh yang mesti pinter-pinter ambil hati dia." "Siap, bos!" balas Gabby mantap dengan mengacungkan ibu jarinya. Sambil mengeluarkan seragam olahraga dari dalam tasnya, Gabby mengajak, "Na, ganti baju olahraga, yuk! Mumpung toilet belom begitu rame." "Bentar, gue naruh ponsel dulu." Selepas memasukkan ponselnya ke dalam tas, mereka berdua bergegas menuju toilet membawa seragam olahraga masing-masing. Belum juga sampai toilet, di tengah koridor alih-alih baju olahraga Raina jatuh. Raina jongkok, berniat untuk meraih seragamnya yang tergeletak di lantai. Namun seketika tangannya terasa lemas dan sulit digerakkan. Hingga saat dia berusaha untuk mengambilnya, seragam itu malah jatuh dan terjatuh lagi. Akhirnya Gabby berinisiatif untuk mengambil sekaligus membawakan seragamnya. "Lo kenapa? Sakit?" tanya Gabby heran. Raina masih terbengong-bengong memerhatikan kedua tangannya yang mendadak tidak bisa bisa digerakkan sama sekali. Tadi itu dia merasa seperti benar-benar tidak ada tenaga sedikit pun. Padahal, seberat-beratnya seragam, masa iya ia tidak kuat untuk membawanya? Merasa dikacangi, Gabby mengulangi kembali pertanyaannya dengan volume lebih tinggi sampai memiringkan kepalanya. "Raina, lo gak apa, kan?" Raina terlonjak kaget, kemudian menggeleng cepat. Untungnya beberapa menit kemudian, kedua tangannya bisa kembali normal. Dengan cekatan gadis itu langsung mengambil alih seragamnya dari tangan Gabby. Lalu berjalan terburu-buru menuju toilet dengan seribu pertanyaan di benaknya tentang keanehan yang baru saja ia alami. Selepas kejadian tadi, Gabby jadi khawatir pada Raina. "Lo beneran gak apa, Na?" Bahkan Gabby sampai mengulang pertanyaannya, lantaran tidak yakin dengan kondisinya saat ini kalau dia tetap nekat ikut olahraga. "Gak, palingan cuma keram doang," jawab Raina berusaha untuk tenang agar tidak membuat panik. "Kalau emang lo lemes, mending gak usah ikut jam olahraga," Gabby memberi saran seraya mengusap bahu Raina Priiiitt "Raina, Gabby, ngapain kalian masih berdiri di situ? Kita akan melakukan stretching." Teriakan Pak Santoso yang berlogat Medan itu sukses membuat dua gadis itu nyaris terkena serangan jantung. "Iya, Pak," Gabby dan Raina menyahut kompak. Berjalan menuju lapangan yang sudah dikuasai oleh murid-murid kelas XI IPA Satu. === To be continue... A/n: Selamat menunggu next partnya yaa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD