Dua

1365 Words
Gue percaya, setiap manusia pasti memiliki cinta sejati. -Raina Anindya Safira- • • • Sore-sore, Raina yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu berlarian. Tapi, tiba-tiba saja, Raina terjatuh. Entah apa penyebabnya, yang jelas sekarang dia tersungkur sampai hampir mencium aspal. Sambil terus tersenyum, Raina bangkit. Berlari lagi menuju rumah sahabat kecilnya juga sekaligus tetangganya. Ketidaksabaran yang menggejolak dalam dirinya membuat besot di sekitar siku dan lututnya mendadak tidak terasa sakit sama sekali. Mungkin sudah mati rasa. Tanpa mengetuk pintu ataupun mengucap salam lebih dulu, Raina langsung menyelonong masuk tidak memerlukan izin apapun dari tuan rumah. Menghiraukan ibu-ibu gemuk yang menyempatkan diri untuk menyapanya di tengah-tengah kesibukannya mengelap sederet pajangan. "Raihan! Raihan!" Raina berteriak sambil menggedor pintu kamar sahabat kecilnya, Raihan. Kalau saja pintu itu tidak terkunci, pastinya Raina tidak akan segan-segan untuk langsung menerobos masuk. Mendengar lengkingan suara Raina yang sama persis seperti orang sedang orasi, membuat cowok itu segera membuka pintu kamarnya sebelum gendang telinganya pecah. "Apaan sih, Na? Berisik banget." tanya Raihan dengan nada kesal dan kerutan di dahinya. Seperti biasanya, tanpa dipersilahkan badan kecil Raina menyeruak masuk ke dalam kamar Raihan. "Ayuk, masuk gue mau cerita!" serunya. Raihan hanya menggelengkan kepala, melihat Raina bertindak layaknya seorang tuan rumah. "Cerita apaan?" tanyanya seraya menutup pintu kamar. Raina duduk di pinggir kasur Raihan sembari senyum-senyum sendiri. Raina emang ekspresif banget! Cukup dengan melihat raut wajahnya saja, semua orang sudah pasti bisa menebak bagaimana mood-nya sekarang. Raihan menarik kursi belajarnya mendekat ke Raina, lalu duduk. "Cepet cerita! Malah senyam-senyum kayak orang gila! Gue banyak PR, nih," keluhnya. "Iya, iya, galak amat si Bapak." Raina menyahut sambil cekikikan. "Jadi ceritanya tadi siang waktu gue dikejar-kejar temen gue karena-" "Lo jailin?" potong Raihan. "Yap, betul! Gue ngumpet. Terus pas hampir ketauan, tiba-tiba tangan gue ditarik cowok ganteng, abis badan gue ditempelin ke tembok sama dia masa!!!" Raina bercerita sangat heboh, sedangkan Raihan cuma menanggapinya datar. "Terus dicium?" tebak cowok itu. "Kagak, ih!" Raina berdecak sebal. "Terus?" Dengan semangat yang bergemuruh, Raina bercerita panjang lebar. Mulutnya nyaris tidak bisa berhenti bicara. Sampai Raihan sakit kepala mendengarnya. Selama Raina mengoceh, cowok serius itu hanya membulatkan mulutnya. Tak lama Raihan memutar kembali kursi belajarnya hingga posisinya sekarang membelakangi gadis bawel itu yang sedang antusias dengan ceritanya sendiri. "Awalnya, gue mau sok jual mahal, tuh. Gak mau ngajak kenalan dulu. Eh, tapi gue mikir lagi, kesempatan gak dateng dua kali. Lagi juga, siapa tau Aldo cinta sejati gue yang selama ini gue cari-cari, iya 'kan?" Tidak ada jawaban. "Rai, lo dengerin gue cerita gak, sih?!" bentak Raina, memandangi punggung tegap milik Raihan. Ini, nih, hal yang paling menyebalkan bagi Raihan tetapi tetap dia lakukan. Mendengarkan curhatan sahabatnya yang lebih panjang dari antrian sembako, lebih lebar dari kulkas dua pintu, dan biasanya memakan waktu berjam-jam. "Iya, ini gue nulis sambil dengerin, elah," sungut Raihan menahan kesal. "Ngadep ke gue, dong!" seru Raina tidak mau kalah. Saat memutar kembali kursinya sampai benar-benar menghadap gadis itu, Raihan malah salah fokus pada lutut Raina. "Itu dengkul kenapa?" Raihan bertanya dengan raut wajah yang serius. Kontan mata Raina beralih pada lututnya sendiri. "Oh, tadi jatoh di depan," jawabnya santai. Tidak pakai ba-bi-bu lagi, Raihan bangkit. Kaki jenjangnya berjalan menuju kotak P3K yang menempel di dinding kamarnya. Mengambil detol, kapas, dan obat merah. "Dan lo tau gak apa yang bikin gue tambah seneng?" Raina masih saja asyik sendiri dengan ceritanya yang belum selesai dari tadi. "Ya gak tau lah! Dari tadi tuh cerita gak kelar-kelar," sewot Raihan sembari membuka pintu kotak P3K. "Dia panggil gue manis!!!! Aih, siapa yang gak meleleh coba digituin!" Saking senangnya, Raina sampai menjerit tidak jelas. Membuat Raihan hanya bisa geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya dia kuat bersahabat dengan makhluk sejenis Raina ini. "Sini dengkul lo, bersihin dulu biar gak infeksi." Raihan jongkok di hadapan lutut Raina, siap mengolesi besot di lutut Raina dengan kapas yang sudah diberi cairan detol sebagai pembersih luka, di tangannya. "Aw." Seketika Raina menjauhkan lutut dari tangan Raihan. "Pelan-pelan sakit tau!" "Makanya diem, biar gak sakit!" Raihan menggertak disertai dengan sorotan mata yang tajam. "Lagian pecicilan amat, sih, jadi orang." "Dih, lo-nya aja yang kasar!" dalih Raina membela diri. "Nih, lo obatin sendiri," ucap Raihan, lalu melempar kapas beserta obat merahnya ke pangkuan gadis itu. "Biasa aja kali. Gitu aja ngambek." Raina terkekeh. Dia selalu ingin tertawa saat melihat tampang serius Raihan. Gadis itu mengambil alih kapas yang baru saja dilempar Raihan. Mengobati lukanya sendiri. "Berisik! Udah kan ceritanya? Kalau udah pulang, gih. Mandi. Lo bau!" usir Raihan. Raina mengangkat lengannya. Mengendus dirinya sendiri. Apa benar yang dibilang Raihan kalau dia bau? Berkali-kali Raina mengecek aroma badannya. Tetapi dia tidak mencium bau sama sekali. Yang tercium justru wangi parfum permen karet kesukaanya yang masih menyengat kuat di baju seragamnya. "Gue gak bau, tau!" Selesai mengobati lukanya, Raina mendekati Raihan yang sedang sibuk menulis. "Eh, mumpung besok Sabtu, kita jogging, yuk?" "Iya, kalau malem ini tugas gue udah kelar." "Oke. Gue balik, ya? Babaii," "Eh, ntar dulu!" Saat gadis itu hendak membuka pintu, Raihan malah menahannya. Raina berbalik badan. "Apaan? Tadi ngusir, sekarang giliran gue mau pulang malah ditahan." "Yee, pede! Kalau bekas pake, kapasnya dibuang. Obat merah sama detolnya taruh lagi di tempatnya. Enak aja main digeletakin di atas kasur gue!" "Lupa," jawabnya sambil cengengesan. Sedikit penjelasan tentang Raina dan Raihan. Dua manusia aneh yang mampu bertahan dalam sebuah ikatan persahabatan sejak kecil sampai kini usia mereka sudah menginjak 17 tahun. Namun saat beranjak remaja, keduanya malah memiliki karakter yang sangat bertolak belakang. Raina Anindya Safira. Gadis yang sedang berkelana mencari cinta sejatinya. Raihan Tanujaya Putra. Cowok yang tidak pernah percaya adanya cinta sejati. Raihan orangnya serius, tidak pernah bisa diajak bercanda. Berbanding terbalik dengan Raina. Hampir semua hal bisa dijadikan lelucon olehnya. Pada pukul 02.00 dini hari, Raina terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Di tengah kantuknya, ia memaksakan diri untuk turun ke bawah mengambil minum di dapur. Hampir semua ruangan dalam keadaan gelap. Pertanda para penghuni rumah sudah terlelap. Hanya tersisa dua lampu yang dibiarkan menyala. Lampu dapur dan lampu toilet. Dengan kondisi setengah sadar, Raina mengambil gelas beling yang kemudian ia tuangkan air dingin dari kulkas ke dalamnya. Setelah meneguk habis air itu, Raina menuangkan air lagi dari botol yang sama ke dalam gelasnya hingga penuh. Sengaja, persiapan untuk di kamar. Jadi kalau merasa haus lagi, dia tidak perlu repot-repot turun ke bawah, pikirnya. Ciiit Mata Raina melotot sempurna kala mendengar suara decitan pintu terbuka. Sambil membawa gelas, Raina berjalan takut-takut ke arah saklar lampu ruang tamu. Sebenarnya Raina ketakutan, tapi rasa penasarannya jauh lebih besar dibanding rasa takutnya. Ctek Tangan kanannya menekan saklar lampu. Saat lampu menyala, ia mendapati sosok wanita berbalut pakaian mini dan modis berjalan mengendap-endap di ruang tamu. Tubuhnya langsung mematung ketika ruang tamu alih-alih menjadi terang benderang. "Huft," Wanita itu menghela napas lega saat tau kalau yang menyalakan lampu itu Raina. Dia pikir mamanya atau papanya. Ternyata bukan. Bisa mati dia kalau sampai benar papa atau mamanya yang memergoki aksinya malam ini. "Kak Clara?" ucap Raina terbengong-bengong. "Ssssttt!!" Wanita cantik itu berdesis kesal sembari memosisikan jari telunjuknya di tengah bibir seksinya yang berwarna merah mencolok. Dia Clara Anastasya, kakaknya Raina. Selisih usia mereka tidak begitu jauh. Cuma lima tahun beberapa bulan. Itu artinya tahun ini Clara sudah menginjak kepala dua. Ini sudah kali ke sekian Raina memergoki kelakuan kakaknya yang tidak patut dicontoh itu. "Kak Clara dari mana? Kok jam segini baru pulang?" Raina bertanya polos seraya mendekati kakaknya. "Gak usah banyak tanya, ini bukan urusan lo! Jangan bilang-bilang Papa! Awas aja," ancam Clara sambil menunjuk wajah adiknya dengan sorotan mata menusuk. Clara berjalan menuju tangga sambil menenteng sepasang hills-nya. Baru saja Raina ingin mematikan kembali lampu ruang tamu, pergerakkan tangannya tercekat dan lemas. Sehingga sulit dikendalikan. Rasanya persis seperti tadi siang saat di sekolah. Prank Gelas di tangan Raina tahu-tahu terjatuh di atas lantai sampai tidak berbentuk lagi. Suara pecahan beling di tengah keheningan rumah, mengakibatkan semua penghuni rumah terbangun karena kaget. Sepasang suami istri beserta pembantunya berjalan tergesa-gesa menghampiri sumber suara. Di bawah, ia melihat dua anak gadisnya sedang berdiri mematung. Mampus, mati gue! umpat Clara saat melihat Papa dan Mamanya berdiri tegap di ujung anak tangga paling atas. _________________________ To be continue... A/n: enakan up berapa hari sekali ya? Bonus pict Raina 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD