Tiga

1270 Words
Cinta sejati cuma ada di dunia dongeng! -Raihan Tanujaya Putra- • • • Mampus, mati gue! umpat Clara saat melihat Papa dan Mamanya berdiri tegap di ujung anak tangga paling atas. "Raina, Clara, kalian belum tidur?" tanya Fania pada kedua putrinya. "Aku haus, abis ambil minum tadi." Hanya Raina yang menjawab. Itu pun pelan. Pecahan beling di kaki Raina seketika membuat Fania khawatir. "Raina kamu kenapa?" tanyanya seraya berjalan ke arah putri bungsunya. "Gak apa-apa, Ma." Raina menjawab berat seraya menggeleng kaku. "Clara, dari mana kamu? Anak perempuan jam segini baru pulang!" Suara tegas milik Rafa menyentak keras. "Abis dari party temen, Pa," jawab Clara tanpa berani menatap mata Papanya. "Party macam apa jam dua pagi baru selesai? Kamu itu kerjaannya clubbing, pulang pagi, mau jadi apa kamu ini, hah?! Bikin malu orang tua aja!" Clara diam menunduk. Papanya berjalan mendekat. Plak Telapak tangan Rafa mendarat tepat di permukaan pipi Clara. Gadis itu kontan memegangi pipi halusnya yang memerah. Dia menangis tanpa suara. Kali ini tidak ada ampun lagi. Rafa terpaksa melakukan ini. Lantaran kelakuan putri sulungnya itu makin hari makin menjadi-jadi. "Mana kunci mobil kamu?" Tanpa bantahan Clara mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas kecil yang menyangkut di tangan kirinya. Kemudian ia serahkan pada Rafa dengan tangan gemetar. "ATM dan credit card-nya juga. Semua Papa sita." "Tapi, Pa-" "Tidak ada tapi-tapi. Atau mau Papa blokir sekalian?!" Tidak berani beralasan lagi, Clara akhirnya menyerahkan semua yang diminta Papanya. Suasana ruang tamu berubah menjadi tegang. Raina, Fania, dan Teh Surti cuma bisa menyaksikan sambil meneguk ludah. Jika Rafa sudah kasar begini, berarti semua sudah kelewat batas. Walaupun tegas, pada dasarnya Rafa tipikal pria yang penyayang. "Sekarang kalian kembali tidur." titah Rafa. Clara berlari menuju kamarnya dibanjiri air mata. Menyebabkan seluruh make-up di wajahnya luntur seketika. "Kamu tidur, sayang." ucap Fania seraya menepuk kedua bahu Raina. Raina menurut. "Teh, tolong bersihin pecahan belingnya, ya," ujar Fania pada pembantu rumah tangganya. "Iya, Nya," sahut Teh Surti. *** Ketika di kamarnya, Raina tidak bisa tidur tenang seperti sebelumnya. Pikirannya masih sibuk bertanya-tanya soal dirinya sendiri. Ini bukan kali pertama tangannya tiba-tiba lemas dan sulit digerakkan ataupun dikendalikan. Selama dua jam penuh gadis itu sibuk berpikir. Hingga saat adzan subuh berkumandang, dia bangun mengambil air wudhu untuk menunaikan ibadah sholat dua rakaat. Sekarang yang bisa dia lakukan hanya berdoa. Berharap semua akan baik-baik saja. Selesai sholat, gadis itu mandi. Kemudian bersiap-siap untuk lari pagi bersama Raihan. Ting nong Ting nong "Assalamu'alaikum, permisi!" Raina memekik sambil terus menekan bel rumah Raihan. Kalau saja pagarnya tidak dikunci, Raina pasti akan langsung masuk dan menerobos kamar Raihan sekarang. Selang beberapa menit, Mang Eko membukakan gerbang. "Wa'alaikumsalam." jawabnya sambil menguap lebar. Masih pukul 04.30 subuh. Pantas Mang Eko masih sarungan. Bahkan suasana kota Bandung pun masih gelap gulita. Tidak ada kendaraan yang melintas sama sekali pada ruas jalan komplek tersebut. "Mang, Raihan udah bangun belom?" sambar Raina saat Mang Eko sedang membuka gembok pagar. "Belom atuh, Neng. Dia aja biasa bangun jam lima, sholat, terus tidur lagi," sungut Mang Eko menggeser pagar. "Yauda, aku masuk dulu, Mang." Raina berjalan setengah berlari menuju kamar Raihan. Begitu memegang gagang pintu kamar Raihan, ternyata tidak dikunci. "Rai, ayuk kita lari pagi, gue udah siap, nih!" Raina berseru sambil mengguncang-guncangkan bahu Raihan. Bukannya bangun, cowok itu malah menyembunyikan kepalanya di balik bantal. Sesaat kemudian menyahut, "Raina, lari pagi, tuh, biasanya jam enam atau jam tujuhan! Kalau ini namanya, lari subuh!" Raina berusaha untuk menarik bantal Raihan, namun gagal, sebab Raihan menahannya. "Bentar lagi juga pagi, kok. Atau mau gue kelitikin, nih?" tanyanya dengan nada menggoda. Sontak Raihan segera bangun dan menutupi pinggangnya yang tidak pernah disentuh oleh siapapun itu. Raina tertawa puas. Dia memang tau betul kalau Raihan orangnya gelian. "Bangun, cepett!!!" "Iya-iya gue bangun." sungut Raihan sembari menyingkirkan selimutnya. "Heran gue, lo mau jogging aja takut telat. Gak ada belnya juga," "Bukannya takut telat, tapi takut kesiangan!" Ketika Raina tengah menunggu Raihan, tiba-tiba ada sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Sebuah album foto berwarna putih dengan ukuran besar, tergeletak di dalam kardus kumpulan benda-benda tidak terpakai. Karena sifat kepo akutnya yang sudah menjalar di sekujur tubuhnya, Raina akhirnya berjalan mendekat. Mengambil benda tersebut, kemudian duduk di lantai untuk sekedar melihat-lihat isi album itu. Mana tahu ada foto aib Raihan waktu kecil. Tetapi tabiatnya untuk membuka halaman pertama, harus gagal. Ketika sebuah tangan tahu-tahu merampas album itu dengan kasar dari tangannya. Raina terkesiap. Dia baru menyadari ternyata sosok jangkung Raihan sudah berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat seperti menahan kesal. Menatapnya nanar. Gadis itu berdiri menghadap Raihan. "Jangan pernah lo sentuh semua benda yang ada di kardus itu. PAHAM?!" Suara Raihan yang membentak―kalap―membuat Raina mengerjap-ngerjap ketakutan. "Maaf," ujarnya pelan. Gadis itu menunduk, menunjukkan rasa bersalahnya. Baru kali ini dia dibentak oleh Raihan setelah bertahun-tahun mereka menjalin persahabatan. Raihan menghela napas panjang. Membentak Raina adalah hal yang paling dia hindari dari dulu. Namun jika sudah menyangkut soal album itu, entah kenapa emosi Raihan seketika bisa meledak-ledak seperti bom perang dunia pertama. Melihat Raina terus menundukkan kepalanya, kini Raihan yang merasa bersalah. Tangannya terjulur mengusap kepala Raina. Merapikan poninya yang menutupi mata. "Udah jangan nangis. Katanya mau lari pagi? Gue udah siap, nih." Setelah mendengar nada suara Raihan yang kembali normal, barulah Raina berani mengangkat kepalanya. Senyum Raihan yang nampak menenangkan membuat Raina ikut tersenyum. "Lo gak marah lagi?" Raihan menggeleng. "Ayuk, cepetan." Selepas menaruh album biang masalah itu kembali ke tempat semula, Raihan langsung menggiring Raina keluar rumahnya. Tanpa pemanasan lebih dulu, Raina berlari mengelilingi perkomplekan dengan penuh semangat. Sedangkan Raihan, berlari di belakangnya sambil terus-terusan menguap. "Anjir, lo lari cepet amat kayak pencopet, Na!" teriak Raihan seraya mengusap wajah bantalnya sembari berlari lambat. "Hah? Apaan?" Suara Raihan yang terdengar samar di belakang membuat gadis itu memperlambat larinya. Tubuhnya berbalik ke belakang, kakinya tetap berlari pelan. "Tungguin!" "Apa?" "Tungguin!" "Gak kedengeran!" Raina menyahut sambil melambaikan tangannya. Kemudian gadis itu kembali berlari meninggalkan Raihan yang jauh di belakangnya. Lima belas menit selanjutnya, di saat Raihan belum ada satu putaran, Raina sudah mendapat dua putaran. Dari sekian banyak kekurangan yang dimilikinya, cuma terselip satu kelebihan pada diri Raina. Yaitu jago lari. "Rai, menurut gue, udah saatnya lo cari cinta sejati lo, tau!" seru Raina sambil berlari kecil. Menyejajarkan dirinya dengan Raihan. "Cinta sejati itu cuma ada di dunia dongeng!" Raihan menandas ketus. Kemudian dia duduk di kursi panjang yang ada di pinggir jalan untuk sekedar istirahat. Raina ikut duduk di sebelahnya. "Lo inget temen gue yang namanya Gabby?" tanyanya tiba-tiba. Sambil mengelap keringat di dahinya Raihan menjawab, "Inget." "Lo gak tertarik sama dia?" "Gak," "Dia cantik, lho," ucap Raina dengan sorotan mata menggoda. "Gak peduli." Raihan menjawab datar. Belum menyerah. Raina meyakinkan lagi, "Primadona di sekolah gue, banyak yang ngincer dia, tau." "Bodo," tanggap Raihan acuh tak acuh. Raina menilik dua bola mata Raihan tajam, "Lo homo, ya?" Plak Cowok itu tanpa segan-segan menggeplak kepala Raina. Geregat dengan kelakuan Raina yang selalu menambah tensi darah semua orang. Apalagi melihat ekspresi konyolnya yang juga terlihat polos-polos b**o itu. "Enggaklah!" "Ah bohong," kata Raina tidak percaya. "Apa gue harus m***m dulu, buat bukti?" Raihan bertanya serius. "Lah, janganlah! Serius amat, sih, jadi orang. Ntar cepet tua lo." Raina cengengesan. "Hidup itu harus serius. Inget, Na, gak semua hal bisa lo jadiin lelucon." Raihan menandas ketus. Sekilas Raihan menengok arloji yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 9 pagi. Matahari juga sudah meninggi. Pancaran sinarnya kian memanas. Lagi pula kawasan komplek tidak sepi seperti tadi. Saatnya untuk pulang dan mandi untuk menyegarkan diri. Tak lama dia berjalan menuju rumahnya. Meninggalkan Raina yang masih termangu di tempat duduknya. ____________________ To be continue... A/n: nah loh, Raihan jadi galak!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD