4. Berakhir di Rumah Sakit

1392 Words
Para wartawan dan reporter di sana menyadari jika Gianna tidak ada. Mereka mencari dan menjejaki arah yang kemungkinan dilalui aktris itu. Namun, semuanya terlambat, mereka tidak bisa menemukan Gianna, dan mereka hanya bisa melihat sebuah mobil yang baru saja melaju. Gianna terbaring di jok tengah. Gadis itu sedang mengatur napasnya yang tersegal. Akibat lari-lari tadi, jantungnya kini berdetak sangat cepat. "Apa aku akan mati?" tanya gadis itu gusar. "Katakan ... katakan padaku jika aku belum mati!" serunya tambah gusar. "Kau belum mati," ucap Azzima dari belakang kemudi, "kau hanya terbentur aspal," sambungnya. Terdengar suara helaan napas dari lubang hidung dan mulut gadis itu. "Apa wartawan dan reporter itu masih mengejarku?" tanya Gianna sambil menenangkan diri. "Apa aku sudah selamat?" "Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang," ucap Azzima, tak peduli dengan pertanyaan gadis itu. "Mengantarku pulang?" protes gadis itu. "Hei, Pak Dosen yang terhormat. Apa kau tidak sadar, kau baru saja menabrakku. Kau harus membawaku ke rumah sakit!" seru Gianna yang saat ini sudah terduduk di jok tengah. Azzima melirik gadis yang tampak baik-baik saja di belakang sana. Gianna sempat bergeming sejenak sebelum akhirnya tersadar. Segera gadis itu merebahkan kembali tubuhnya dan pura-pura kesakitan. "Aakh! Kepalaku sakit sekali, valid ini harus dioperasi, hiks," kata gadis itu, pura-pura tersakiti. Azzima menghela napasnya. Alamatnya dia memang harus mengantar gadis itu ke rumah sakit sekarang. *** Perawatan luka untuk Gianna akhirnya selesai. Azzima masuk ke ruang perawatan untuk menghampiri gadis itu. Dapat dia lihat Gianna yang sedang menatapi layar ponsel dengan raut lelah. Gadis itu tampak tidak bersemangat seperti sebelumnya. "Kau boleh langsung pulang," ucap Azzima memberitahu apa yang barusan dikatakan dokter padanya. Gianna melepas fokus dari ponsel untuk menoleh pada Azzima. "Hm, terima kasih," jawab gadis itu. Gianna menegakkan tubuh yang semula bersandar. Tampak jelas penutup luka di sisi keningnya. Gadis itu pasti sangat terluka. Ditambah lagi dia harus menerima komentar buruk atas berita kecelakaan ini. Netizen bahkan masih me-mampus-kannya sebab insiden yang dia alami. "Tidak perlu dipikirkan," ucap Azzima ketika melihat Gianna hendak turun dari ranjang. "Hm?" Gadis itu mendongak untuk menatap Azzima, menanyakan maksud dan tujuan dari ucapannya barusan. "Komentar," jawab pria itu. Azzima sudah lebih dulu membaca beberapa tanggapan buruk dalam berita yang diliput satu jam lalu. "Oh. Tidak, aku tidak memikirkannya," kilah Gianna. Mereka melangkah beriringan menyusuri lorong rumah sakit. Hening menemani langkah keduanya. Terlihat jelas dari raut wajah gadis itu yang masih memikirkan masalah ini. Azzima dapat melihatnya menggunakan ekor mata, tapi dia tidak bisa memberi banyak solusi pada gadis di sampingnya. "Berapa usiamu?" tanya Gianna tiba-tiba. Azzima meliriknya. "Apa begini caramu bertanya pada dosenmu," protes pria itu. "Baiklah, Pak dosen yang terhormat, apa aku boleh tau berapa usiamu?" tanyanya ulang. "Tidak penting untukmu," jawab Azzima. "Aku sudah menebak, pasti sama denganku," kata Gianna dengan bibir maju. "Kenapa namamu kuno sekali," ucap gadis itu lagi, seolah tak ingin hening menemani mereka. Azzima kembali meliriknya, kali ini lebih tajam. "Lebih baik daripada nama yang dibenci banyak orang," balas pria itu dengan suara datarnya. Gianna melebarkan mulut setelah mendengar ucapan pria itu. "Hei! Barusan kau menyindirku?" protesnya. "Tidak," jawab Azzima sambil menghentikan langkah, membuat Gianna ikut menghentikan langkah juga. "Barusan aku berkata sesuai fakta," ucap Azzima sambil menoleh dengan tatapan getir pada gadis itu. Gianna mengerjapkan kedua mata dengan mulut yang masih menganga. Gadis itu mendesis geram. "Pria ini! Apa kau salah satu dari haters yang menghinaku di kolom komentar? Bisa-bisanya berkata seperti itu di depanku," gerutunya dengan nada cepat. "Mana mungkin," jawab Azzima, "aku tidak pernah membuang-buang waktuku untuk mengikuti keseharian para selebritis, apalagi berkomentar untuk mereka," sambung pria itu, lantas melanjutkan langkah lebar, meninggalkan Gianna yang masih ternganga di sana. "Beraninya kau--!" Gianna tercekat dan menelan kembali ucapannya. "Hei, Pak, kau harus mengantarku pulang," pinta gadis itu. "Aku akan memesankan taksi untukmu," ucap Azzima sambil melambaikan tangan tanpa menoleh ataupun berhenti dari langkahnya. "Argh! Dosen macam apa yang meninggalkan mahasiswinya sendirian malam-malam begini," gerutunya. "Tunggu aku!" titahnya sambil mengejar pria itu. Kini dua orang itu sudah berdiri di depan gedung rumah sakit, menunggu taksi pesanan Azzima yang akan mengantar Gianna pulang. Tak lama mereka menunggu, sebuah taksi akhirnya menepi di depan mereka. Gianna tidak berhenti menggerutu dalam taksi itu. Dia terus mengumpat bahkan memberikan sumpah serapah pada dosen menyebalkan itu. "Kenapa dia dingin sekali. Kenapa tidak sekalian saja dilahirkan menjadi kulkas. Aargh." Gadis itu meracau. "Apa aku akan jadi seperti ini? Apa semua orang akan bersikap seperti ini padaku," ucapnya khawatir, membuat sopir taksi di depan sana mendelik pada spion tengah mobil. Pukul tujuh malam, Gianna sampai di rumahnya. Gadis itu tidak ingat kalau tadi siang dirinya membawa mobil, dan kepulangannya tanpa mobil ini membuat mamanya yang sudah berdiri di depan pintu bertanya. "Di mana mobilmu?" tanya Leena dengan kedua tangan terlipat di depan perut. Gianna bergeming untuk berpikir sejenak. "Ah, iya, seharusnya aku membawa mobil," ucap gadis itu dengan bodohnya. Leena menghela napas singkat. "Apa yang kau lakukan? Kenapa bisa tabrakan seperti ini? Masalah tentang Yunna saja belum kering, kau sudah membuat masalah lagi dengan menabrakkan diri," omel sang mama. "Aku tidak menabrakkan diri. Aagh, dasar dosen itu, berkata pada media jika aku yang menabrakkan diri." Gianna melangkah masuk ke dalam. "Dosen?" tanya Leena. "Kau ditabrak oleh dosen yang memberimu nilai E?" Wanita itu mengikuti langkah putrinya. "Aku ingin istirahat," ucap Gianna yang saat ini sudah memegang pintu kamar. "Mama ingin memberitahu sesuatu padamu." Sejenak Gianna berhenti untuk mendengarkan apa yang ingin dikatakan ibunya. "Perwakilan agensi tidak ingin memperpanjang kontrak kerja sama denganmu," ucap wanita paruh baya itu, membuat Gianna bergeming dalam kekecewaan. Gadis itu sedang mempertahankan diri agar tidak tumbang hanya karena mendengar kabar itu. Opini publik selalu membuat karriernya berantakan. Padahal apa yang mereka dengar tentangnya dari media tidak selalu benar, tapi mereka hanya akan mendengarkan suara terbanyak. "Aku tidak membutuhkan kontrak kerja sama dengan mereka. Lagi pun aku memang tidak ingin memperpanjang kontrak dengan agensi yang tidak tahu terima kasih itu," ucap Gianna dengan suara lantang. Gadis itu sudah ingin masuk ke kamarnya. Namun dihalangi oleh Leena. "Satu lagi," ucap wanita paruh baya itu. "Besok Devin akan datang melamarmu. Kali ini sebaiknya kamu menerima lamarannya kalau tidak ingin hidup miskin seperti dulu." Bahu-bahu Gianna tampak menurun. Pilihan ini lah yang paling tidak dia sukai. Satu hal yang membuatnya ingin bertahan dalam karriernya adalah sebab dia tidak ingin menikah dengan pria itu. Namun, sekarang apa yang harus dia lakukan. Dia pun tidak ingin menjadi miskin seperti dulu. Kehidupan masa lalu sudah cukup sulit mereka jalani. Dia sudah mendengar kisah pahit yang dilalui mamanya. Sejak Gianna dalam kandungan, dia sudah tidak memiliki ayah. Ayahnya meninggal sebab tertembak, dan Leena harus mendapat pengalaman pahit sebelum itu, diceraikan sebab suaminya menikah lagi. Bahkan keluarga besar menganggapnya sebagai ancaman dan pembawa sial. "Mama tidak mau terlihat lemah seperti dulu, Gianna. Mama harus bisa membuktikan pada keluarga itu kalau Mama bisa berdiri tanpa mereka. Kau satu-satunya harapan Mama," kata Leena. Gianna menghela napas berat. "Mama istirahat saja, tidak perlu memikirkan komentar orang lain," kata gadis itu, mengingat ucapan Azzima tadi yang menyuruhnya untuk tidak perlu memikirkan komentar buruk. "Gianna," cegah Leena lagi sebelum gadis itu masuk ke kamarnya. "Devin sudah menunggumu sejak lama, bahkan dia yang membantumu menekuni dunia entertaiment. Kamu harus berterima kasih padanya." Leena melangkah meninggalkan putrinya setelah menjelaskan hal itu. Gianna menutup pintu kamarnya. Gadis itu segera membersihkan tubuh meski dengan rasa malas. Setelah selesai, dia langsung merebahkan tubuh di ranjang. "Devin," gumam gadis itu. Kemudian terdengar suaranya mendecak. "Kenapa aku tidak bisa menyukai dan menerimanya. Entahlah, aku tidak merasakan apa-apa meski dia berbuat baik padaku." Gadis itu menghela napas berat. "Huuf, apa yang harus aku lakukan besok," desahnya. "Tidak mungkin aku masuk kuliah dengan keadaan seperti ini." Dia memejamkan mata yang lelah, lalu entah mengapa, tiba-tiba saja dia teringat tentang insiden tadi siang. "Dosen itu, kenapa dia dingin sekali. Dia membuat opini publik terhadapku semakin buruk. Aku harus menemuinya besok." *** Setelah rencananya yang ingin mendatangi perpustakaan kota gagal sebab menabrak gadis itu, kini Azzima sudah berada di apartemen. Di tangan pria itu terdapat topi Gianna yang tertinggal di mobilnya. Dia melempar topi itu dan membuatnya tepat masuk ke kotak sampah. Azzima sudah ingin memejamkan mata. Namun, entah mengapa bayangan gadis itu selalu muncul di benaknya. Pria itu kembali terjaga. Detik berikutnya, dia bangkit dari kasur untuk memungut kembali topi milik Gianna, lalu menyimpannya di nakas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD