Keputusanku

2022 Words
Gane tanpa sadar langsung sedikit tertawa dengan suara ringan yang terdengar tak punya beban, “Hahaha. Apaan sih kamu, Mbak Gayatri? Orang aku juga hanya mau main aja lho,” ia membalas. Ia tunjukkan layar teelpon cerdasnya. “Lihat nih email yang mereka pakai menghubungi aku aja bukan domain gratisan. Bisa dipercaya, lah. Lagian kalau aku hilang juga Mbak Mbak dan Mas Mas bisa cari aku, ‘kan?” tanyanya menggampangkan. “Gayatri, Ganendra, ribut-ribut apa kalian di depan pintu masuk seperti ini? Kalau sampai menghalangi orang yang ingin berlalu lalang bagaimana?” tanya seorang pria yang merupakan kakak laki-laki pertama mereka. “Gak tau nih Mbak Yatri. Masa aku pengen pergi ke pentas seni saja pakai acara dilarang-larang segala,” ucap Gane cepu. “Ya Tuhan, Mas Gombloh. Masa pentas seni yang mau adik kita datangi ini punya persyaratan untuk peserta yang mau datang aneh sekali. Kayaknya aku tidak bisa deh rasanya kalau harus biarkan Gane pergi ke acara seperti itu, Mas Gom,” balas Gayatri dengan raut resah ala emak-emak yang paling hobi sen kiri belok kanan, sen kanan belok kiri, sen ke belakang motornya malah terbang ke angkasa. Ctik. Pria bernama Gombloh itu lantas menyentil dengan sangat pelan dahi dari adik perempuannya yang pertama. “Kamu ini jangan berlebihan deh, Yatri. Gane itu anak remaja yang pintar. Dia pasti bisa menangani situasi andai saja ada hal buruk yang sampai terjadi,” nasihat lelaki itu berusaha bijaksana dan berpikir dengan sudut pandang luas. Tak ingin pikiran yang sempit sampai halangi proses tumbuh kembang salah satu adiknya yang masih dalam tahap usia labil bin ababil itu. Gane langsung sok menunjuk-nunjuk ke arah mbaknya. “Bener itu, Mas Gom. Bener banget. Mbak Yatri ini memang lebay sekali seperti emak-emak sen kanan belok kiri.” Mendengar itu Gayatri langsung menyilangkan kedua tangan di depan d**a. Memonyongkan mulut sok bertampang kecut untuk ekspresikan perasaan kesal. “Ah, kalau Mas Gombloh mah hampir selalu belain dan manjain Gane terus,” balasnya, "Adiknya yang paling cantik ini diabaikan terus." Setelah itu Gombloh mendorong punggung Gane menuju pintu. “Sudah, kamu cepat pergi saja sana!” ia memerintah, “Laki-laki itu tidak boleh terlalu banyak ada di rumah. Harus mengeksplorasi dunia luar dan memiliki sebanyak mungkin hubungan dengan orang lain. Tidak boleh kutu buku juga. Lebih baik punya banyak pengalaman dengan orang dari berbagai macam tingkat latar belakang dan tidak boleh memandang siapa pun dengan sebelah mata. Karena semua manusia yang ada di dunia ini sama.” “Heeheehee, makasih banyak ya, Mas Gombloh,” balas Gane tersenyum cerah ceria. Walau disertai nasihat yang seperti orang tua, tapi Gane tidak akan keberatan karena toh juga pada akhirnya pria itu akan beri ia izin untuk hal yang ingin ia lakukan. Jadi, semua tidak ada masalah dan pasti akan baik-baik saja ke depannya nanti. Pasti. “Mas Gombloh! Kok kamu seperti itu, sih? Emang Mas Gom pikir aku ini ga ada, ya?” tanya Gayatri makin emosi jiwa raga. Gombloh balik mendorong punggung adik perempuan pertamanya masuk ke dalam rumah. “Kamu lebih baik segera siap-siap saja sana! Setelah ini akan Mas Gombloh ajak ke pusat perbelanjaan, deh. Nanti kamu boleh beli apa saja yang kamu mau. Akan Mas Gom bayar semua.” Raut sangar wanita itu pun langsung berubah jadi melempem sudah seperti ikan teri yang jadi toping peyek. “Yeeyyyy!!! Begitu dong dari tadi.” * Gane disuruh menunggu di depan universitas swasta yang tepat berada di seberang sebuah halte bus kota. Ini… bukan tempat yang mencurigakan, bukan? Maksudnya, ini adalah tempat yang sangat ramai. Ada banyak orang di sana. Kalaupun akan terjadi sesuatu padanya. Ada ribuan pasang mata yang bisa menjadi saksinya dan seperti kebanyakan orang negeri ini mereka pasti tidak akan sampai diam saja kan apabila melihat terjadi hal yang tidak seharusnya atau mencurigakan. Seharusnya semua akan baik-baik saja. Lagipula… kalaupun sesuatu akan terjadi padaku. Sebenarnya aku tidak akan terlalu peduli, batin Gane tiba-tiba malah sok bermuram durja. Seolah nyawa dan keselamatannya sendiri bukanlah sesuatu yang memiliki makna. Ia juga sudah menggunakan dress code yang ditetapkan oleh pihak SMA Cendekia Waskita. Kaus lengan panjang berwarna putih. Celana pendek berwarna abu-abu. Dan sepatu kets kalau bisa selain warna hitam atau putih. Dan ia pun memilih salah satu sepatu ketsnya yang berwarna merah menyala. Tiiintiintiin. Sebuah mobil kijang hitam berhenti di depannya dan mengklakson beberapa kali. Seolah langsung mengerti. Gane pun segera masuk setelah kunci pintu kendaraan itu terbuka. “Apa kamu keberatan kalau mata kamu harus ditutup selama perjalanan menuju venue acara?” tanya seorang remaja yang tampak miliki usia sama dengan dirinya. Apa dia salah satu siswa SMA Cendekia Waskita, tanya Gane hanya sampai dalam hati. Melihat tubuh anak remaja itu yang dibungkus oleh pakaian cukup ketat. Hingga memperjelas bentuk tubuh yang “terlihat” tidak suka mager seperti dia. Bentuk tubuhnya bagus sekali bahkan untuk sudut pandang seorang lelaki. Ia pun menjawab, “Tentu saja. Tidak masalah. Aku sudah diberitahu soal hal ini di email pemberitahuan.” Anak remaja itu pun melingkarkan sebuah penutup mata di kepalanya. Setelah itu mobil beberapa kali berhenti untuk menjemput para “penonton” pensi yang lain. Apakah yang akan mereka alami selanjutnya? Benarkah pensi SMA Cendekia Waskita akan menjadi tujuan mereka selanjutnya? * “Kalian sudah boleh membuka penutup matanya,” beritahu anak remaja yang kini duduk di jok samping pengemudi itu. Gane bersama empat orang remaja laki-laki di dalam mobil itu pun membuka penutup mata mereka. Auto terperangah menatap betapa indah serta asrinya pemandangan di luar jendela. Tampaknya kini mereka ada di daerah yang cukup pedalaman. Entah di kota atau kabupaten apa. Semua tampak begitu asing sekaligus memabukkan. “Di mana kita sekarang, bro?” tanya Gane sok akrab. Anak remaja lak-laki itu menjawab, “Kalian tidak perlu tau. Yang jelas kami akan memastikan kalian bisa kembali pulang dengan selamat sentausan.” Benar saja kalau SMA Cendekia Waskita itu merupakan sekolah bagi para calon dari calon James Bond-nya Indonesia. Tempat pendidikan yang masih di jenjang sekolah menengah atas saja letaknya sangat terpelosok seperti ini. Tidak ada plang atau tulisan penanda apa pun di mana pun. Setelah memasuki suatu gerbang yang dijaga oleh para angkatan militer bersenjata asli pun. Masih harus melewati rimbun pepohonan yang menjulang tinggi. “Wiiihh, sekolahnya keren banget. Nyesel aku nggak masuk sini dulu,” komentar seorang remaja laki-laki yang duduk di dekat jendela. “Masuk sini bukannya persaingannya berat banget, ya?” tanya anak remaja laki-laki yang lain. “Alah, kalian sok banget acara mau jadi agen intel segala. Salah makan sedikit aja pada langsung diare gak bisa jalan lagi kelen tuh,” komentar seorang anak remaja laki-laki lain yang turut nimbrung. “Eh, kamu kok sejak tadi diam saja?” tanya anak yang duduk dekat jendela. Tepat di samping Gane. “Ah, iya. Aku sedang mengagumi keindahan dari sekolah ini,” jawab Gane yang sikapnya sedikit canggung karena merasa tidak enak. Sebenarnya ia tidak begitu pandai hadapi situasi semacam ini. Aku memang pintar merebut hati wanita. Tapi, kalau bersama laki-laki yang ada malah jadi canggung, batin anak itu. “Heehh, suara kamu bagus, ya?” komentar salah seorang anak yang duduk di jok paling belakang. Ah, aku lupa! “Khm, ekhm, oookhhmm, ah tidak, kok. Biasa saja. Hehehe,” balas Gane malah lagi-lagi bersikap salah tingkah yang ia khawatirkan malah buat wajahnya jadi terlihat semakin aneh tidak jelas. Mobil yang mereka naiki berhenti di suatu parkiran yang sudah terdapat beberapa buah mobil (yang tampaknya) merupakan penjemput juga. Beberapa tamu undangan lain sudah turun dan sibuk saling bercengkrama antara satu dengan yang lain. “Nama kamu siapa?” tanya remaja laki-laki yang duduk bersamanya di jok tengah mobil tadi sambil menjulurkan tangan mengajak bersalaman dengan gestur ramah bersahabat. Gane langsung membalas tanpa ragu. Tidak lupa ia setel dulu pita suaranya agar tidak mengeluarkan suara yang kadang ia anggap mengganggu itu. “Namaku Ganendra Anedera. Panggil saja Gane, ya. Bagaimana dengan kamu sendiri?” ia bertanya balik. “Ah, kalau namaku Afdiansyah Mahameru Saputra. Panggil saja Afdi atau siapa pun sesuka kamu. Aku sekolah di Abhicandra Guinandra International High School. Kalau kamu sekolah di mana?” ia bertanya lagi. Wah, itu kan sekolah yang terkenal sama para siswanya yang sering jadi juara olimpiade robotic nasional, batin Gane merasa sedikit kagum. Yah, bukan sedikit sih sebenarnya, tapi sangat kagum karena ia memang selalu kagum pada mereka anak yang berprestasi di pendidikannya. “Kalau aku dari Rasendrya Onderzoek International High School,” ia menjawab. Perkenalan dua anak remaja laki-laki itu pun selesai hanya sampai di sana saja. Dan mereka pun masuk ke dalam venue acara. Berbeda dengan sekolah biasa yang pentas seninya akan diadakan di tanah lapang terbuka. SMA Cendekia Waskita tidak melupakan prinsip kerahasiaan mereka yang punya moto, "berhasil tak dipuji gagal akal dicaci kalau mati tidak akan dicari". Dengan mengadakan pentas seni di dalam suatu gedung olah raga yang lebih tertutup, namun masih terasa sangat nyaman karena miliki sistem pengaturan ventilasi udara yang bisa dibilang cukup baik. Di dalam sendiri sana sudah terdapat beberapa booth makanan dan minuman yang dijaga oleh para siswa dan siswi SMA Cendekia Waskita dan bisa dinikmati oleh semua orang. Yang ternyata… mereka tidak kelihatan sekaku yang aku pikirkan, ya, batin Gane melihat para pelajar SMA Cendekia Waskita tampak seperti anak SMA biasa. Yang bisa tertawa dan beberapa juga bertingkah konyol. Lagu dan tarian modern yang ditampilkan oleh para siswa pun tampak biasa saja. Hanya karena merupakan calon mata-mata tingkat tinggi. Sepertinya tidak berarti lantas mereka akan melakukan hal aneh seperti menyanyikan “nyanyian kode”. Atau melakukan gerakan dance berdasar rumus dan sandi yang diterima. Imajnasiku sungguh terlalu berlebihan, batin Gane geli pada pola pikirnya sendiri. CTANG! Eh? Apa ini? Perasaan aneh yang baru saja menyerang kepalaku, batin Gane merinding. Merasa tiba-tiba jadi tak enak badan. Dari hiruk pikuk penonton di bagian tengah lapangan. Ia beranjak menepi ke pinggiran. Namun, sayang seorang taruni SMA Cedekia Waskita yang sedang berjaga di balik stand takoyaki memergoki tindakan “anehnya”. “Ada apa? Apa kamu sakit?” tanya siswi berambut pendek itu dengan raut cemas. Saat itu Gane merasa tidak bisa mengendalikan suaranya sendiri. Ia benar-benar merasa kacau balau. Entah apa penyebabnya. Sampai andai saja ia perempuan. Ia pasti sudah dikira sedang hamil atau yang lebih buruk. Maka ia pun berlari keluar dari gedung olah raga yang menjadi venue acara pentas seni. Drap drap drap drap drap drap drap. Ia terus berlari tak tentu arah. Sampai beberapa orang taruna yang mengenakan seragam sekolah mereka menatapnya tidak biasa. “Haahh… haahh… haahh…” Ia membungkuk di suatu lapangan luar ruangan yang terlihat sepi. Udaranya begitu sejuk. Tak nampak siapa pun juga di sana. Hanya pohon-pohon tinggi yang terlihat sepanjang mata memandang. “Sensasi aneh macam apa yang aku rasakan ini?” tanya Gane seraya merinding menatap ke sekeliling. Ia gosok-gosok tengkuknya untuk menidurkan lagi bulu-bulu halus yang berdiri. Tapi, tidak ada gunanya. Gane terus merasa takut dan khawtir pada suatu hal. Yang bahkan tak ia ketahui apa itu. “Apa kamu merasakan hal yang sama?” tanya sebuah suara yang terdengar asing dari arah berlawanan dari posisinya. Gane segera memutar tubuh untuk mencari asal suara. Dan ia melihat seorang wanita muda yang mengenakan gaun kasual pendek tengah berdiri tak jauh darinya. “Apa maksud Mbak?” tanyanya. Langsung menyematkan honorifiks “mbak”. Entah kenapa Gane seolah sudah tau jika perempuan itu pasti lebih tua darinya sekalipun penampilan yang ia gunakan kelihatan “anak muda” sekali. Tak lama kemudian seorang pria muncul dari balik semak di bawah pepohonan tepi tanah kosong itu. ia tersenyum menyeringai dan berkata, “Waow, sepertinya aku tidak datang ke tempat ini sendirian, ya.” DGUBDGUBDGUB. Jantung Gane berdetak dengan sangat kencang. Ia merasa jauh lebih parah ketimbang tadi. Ia merasakan suatu resonansi atau pancaran yang aneh. Dari suara yang keluar dari dua orang asing itu. “Apakah kamu sama seperti kami, Dik?” tanya pria itu membungkukkan badan untuk menyesuaikan tinggi dengan Gane yang menekuk punggung. Berusaha menahan perasaan tidak nyaman yang tengah mendera sekujur tubuh. “Siapa… siapa… siapa kalian berdua… sebenarnya?” tanya Gane. Saat ia merasa pandangannya semakin menipis. Dan semuanya pun jadi tampak sangat gelap di saat bersamaan. Bruuukh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD