Bagian Tiga

3209 Words
"Nyonya Selena, Dion terkena gejala tipes. Dia akan baik-baik saja setelah istirahat dan meminum obat." Selena menghela napas panjang. Mendengarkan apa yang dokter muda itu katakan. Dokter dengan nametag Kara itu memeriksa Dion sekali lagi dan tersenyum saat anak itu benar-benar pulas tertidur. "Dia bisa kembali hari ini?" Dokter Kara mengangkat alis. "Bisa. Hanya saja, aku sarankan untuk istirahat di rumah sakit. Kalian bisa kembali besok pagi atau siang." "Baik, terima kasih." Dokter Kara lantas mengangguk dengan senyum. Saat dia pergi meninggalkan Dion yang pulas bersama ibunya di dalam kamar. Selena menopang dagunya setelah duduk. Menatap wajah putranya dan mendesah panjang. Jemarinya terulur, menyentuh pipi pucat anaknya dalam diam. "Waktu cepat berlalu. Mama akan menjadi egois kalau memintamu untuk tidak tumbuh besar," ujarnya lamat. Pintu menjeblak terbuka. Selena menarik napas mengerti siapa yang masuk kali ini. Dari aroma parfum yang mahal tercium, dia tahu hanya satu-satunya pria yang ia kenal memakai parfum ini saat berpergian ke luar rumah. "Dia demam? Berapa tinggi demamnya?" "Tiga puluh sembilan. Masih gejala tipes. Aku tidak tahu kalau badan anak itu agak hangat sejak semalam. Aku pikir, dia akan flu atau apa," balasnya. Saat matanya melirik tajam pada suaminya yang berjalan mendekat. Damien menghela napas. Raut lega terpancar dari wajahnya kala dia bersidekap sembari memeluk jas hitamnya sendiri. Pikirannya kacau. Sampai-sampai dia harus membubarkan rapat dan menundanya sampai waktu yang tidak ditentukan karena putranya masuk rumah sakit. "Kau mengabari orang tuamu?" Alis Selena tertaut. "Tidak. Malah bertambah masalah," dia berdiri dari tempatnya. "Juga, kau tidak boleh mengabari ibu atau ayahmu. Dion akan kembali besok pagi. Tidak ada yang perlu menjenguknya." Damien hanya mengernyitkan kening. Sampai istrinya beranjak ke luar dari kamar, dan kembali melihat Dokter Kara dari pemeriksaan rutin pada kamar lain. "Nyonya Selena." "Senang melihatmu, Kara," sapa Selena ramah. Membalas jabatan tangan dokter muda itu dengan senyum. "Kau masih setekun biasa." "Ah," Kara tersipu malu. "Mungkin, karena aku menjadi ibu sekarang. Usia putraku baru tiga tahun. Dan dia sering sekali bergumam akan menjadi pilot. Aku dan suamiku harus bekerja keras mulai sekarang untuk anak kami." "Benarkah? Kau sudah menikah? Aku tidak tahu itu," Selena tersenyum. "Semoga pernikahan kalian diberkati." "Terima kasih, Nyonya Selena. Kau pun sama," Dokter Kara menepuk bahu Selena dan menghela napas. "Kau belum berubah, ya. Aku masih melihat betapa berkuasanya dirimu sekarang." Selena hanya mendengus. "Dulu mau pun nanti, itu haruslah sama." "Aku rasa, suamimu benar-benar orang yang sepadan. Aku meragukanmu awalnya, tapi melihat pernikahan kalian masih bertahan sampai sekarang dan kau punya anak yang benar-benar tampan. Aku percaya kalau kau bahagia." Selena bersidekap dengan raut masam. "Terlihat sejelas itukah?" Terdengar bercanda, tetapi sinar matanya seperti memancarkan sesuatu yang lain. "Yah, apa pun yang orang katakan akan aku aminkan." Dokter Kara tertawa. "Berhenti bercanda, senior." Suara pintu terbuka menghentikan percakapan mereka. Sementara Selena menoleh, Dokter Kara membungkuk pada suami dari kakak seniornya di organisasi kampus dulu. "Selamat siang." "Siang," balas Damien singkat. Dokter Kara berdeham. Kembali pada Selena dan meremas lengan ibu satu anak itu dengan lembut. "Aku permisi, Nyonya Selena." "Selena saja. Lupakan tentang beasiswa saat itu, Kara." "Panggilan itu terasa lebih pantas," Dokter Kara tersenyum saat dia akhirnya berbalik dan pergi. Meninggalkan ekspresi datar pada Selena dan pada sang suami yang tengah memijat bahunya. "Nyonya Selena?" "Kau mengenalnya? Dia gadis yang sopan saat kami berada di kampus yang sama. Kara menjadi satu dari sekian banyak orang yang beruntung mendapatkan beasiswa dari yayasan milik ibuku." "Ah," Damien menurunkan tangannya saat dia melirik Selena yang masih berdiri mematung di depannya. Tinggi istrinya hanya sebatas pundaknya. Dan melihat dia belum melepas matanya dari dokter muda tersebut, Damienberdeham. "Hanya kau satu-satunya yang tidak bangga saat orang-orang memanggilmu dengan margaku." Selena mengangkat alis. Menurunkan tangannya yang terlipat dan memutar badan. "Untuk apa? Cukup mereka memanggilku dengan nama atau dengan marga keluargaku, rasa hormat itu ada." Iris kelam itu menyipit saat Selena berjalan masuk ke dalam kamar dan meninggalkannya sendiri di luar. Saat Damien meraih ponselnya, menghubungi seseorang di luar sana dan baru beranjak masuk ke dalam. *** "Tidak enak." "Dokter bilang apa? Habiskan," titah Selena tak terbantahkan. Meski Dion telah berulang kali menggeleng dan menutup mulutnya sendiri dengan tangan. "Dion." "Tidak enak, Mama. Hambar rasanya. Belikan aku takoyaki saja," anak itu berujar sembari menatap mata ibunya. Saat Selena memundurkan nampan besi berisi makanan sehat untuk putranya. Dion mendapat jatah makan malam yang berbeda dari bangsal anak. Karena anak itu ditempatkan ibunya di kamar terbaik yang ada di rumah sakit. Otomatis, pelayanan dan fasilitas yang diberikan juga berbeda. "Tiga suap. Mama akan belikan takoyaki," kata Selena mulai membujuk putranya. Kepala Dion masih menggeleng. Pintu terbuka. Mata Dion melebar melihat siapa yang datang. Saat Selena menurunkan nampannya, memindahkannya ke atas nakas dan Damien berjalan mendekat. "Tidak ada takoyaki. Kali ini, kubelikan bubur." Selena menipiskan bibir. "Kau yakin kau yang membeli ini?" Selena mendongak, menemukan manik tajam itu menatapnya dingin. "Bukankah, kau baru saja keluar bertemu Aster di depan rumah sakit?" Bibir Damien menipis kala Selena mengambil bungkusan itu dari tangannya. Kembali berbalik, dan berfokus pada putranya. Dia berdiri, memindahkan bubur bersama sendok ke mangkuk yang lebih kecil. Setidaknya, anaknya harus makan tiga sampai empat suap agar perutnya yang kosong terisi. "Dion harus menurut apa kata Mama. Oke?" Mata kelam anak itu menyapu ekspresi pias sang ayah. Dion mendadak diam. Sebelum akhirnya dia berpaling, menatap mata ibunya. "Mama, jangan marah." Alis Selena terangkat. "Tidak. Bilang siapa? Mama tidak marah sama sekali." Lalu, kembali memasang senyum terbaiknya. Damien menoleh. Menatap mata anaknya tanpa senyum dan menghela napas. "Habiskan makan malammu, Dion. Kau tidak boleh kembali kalau kondisimu masih seperti ini." Marcuss Dion cemberut. Saat iris kelamnya memandang sang ayah, dan beralih pada ibunya yang masih berusaha menyuapinya. Bibir itu akhirnya sedikit membuka dan menyantap bubur ayamnya dalam kunyahan lemah. *** "Ada apa dengan cucuku?" Selena terbangun mendengar suara ibunya. Begitu pula Damien yang baru saja keluar dari kamar mandi, mencari dimana handuk kering dan terkesiap mendapati ibu mertuanya masuk ke dalam kamar. "Mama?" Damien mendekat. Melihat ibu mertuanya menghampiri Dion yang sedang bermain di atas ranjangnya. Dan anak itu tersenyum tipis menatap sang nenek yang datang. "Astaga. Kenapa denganmu? Badanmu hangat? Apa kau salah makan, Dion? Sudah Oma katakan untuk tidak jajan sembarangan." "Dia gejala tipes. Dan sudah biasa terjadi pada anak-anak," Selena bangun setelah mengikat tinggi rambutnya. "Jangan cemas, Mama." Kiara menghela napas panjang. Tangannya terjulur mengusap pipi cucu kesayangannya. Dan beralih pada Selena yang mendekati suaminya. "Kau mau pergi? Seharusnya semalam kau pulang dan tidur di rumah. Kenapa malah tidur di rumah sakit?" Ocehnya. Kiara hanya diam. Matanya belum lepas pada putri semata wayangnya yang bergegas ke kamar mandi, mencuci mukanya dan kembali pada Damien. "Aku tidak bekerja hari ini," katanya tenang. Matanya menatap mata ibu mertuanya. "Hari ini Dion diperbolehkan pulang. Aku dan Selena akan membawanya pulang." Kiara mendesah. "Mama ada urusan di sini. Menjenguk salah satu cucu dari sahabat Mama yang juga dirawat karena demam berdarah. Aku bertemu Kara, dan dia mengatakan kalau Dion dirawat di rumah sakit. Kalian tahu? Aku panik bukan main." "Hanya gejala tipes," Selena melipat selimutnya. "Jangan cemas." "Lain kali, perhatikan pola makan putramu, Selena. Kau juga tidak boleh membiarkan dia jajan sembarangan." Kepala Kiara tertoleh pada cucunya. "Sayang, ada banyak makanan mahal yang terjamin kesehatannya. Jangan suka jajan sembarangan di pinggir jalan. Apa Mama dan Papa pelit dalam memberikan uang padamu?" Selena memutar bola mata. "Mama." Kepala Dion menggeleng. "Tidak, Oma Kiara. Aku tidak jajan sembarangan. Aku selalu membawa bekal dari rumah." "Bagus. Cucuku memang pintar," Kiara mendekat untuk mencium pelipisnya. Sebelum dia berpamitan, dan berjanji akan berkunjung ke rumah setelah Dion pulang. Damien mengantarnya sampai ke depan pintu. "Papa tidak bekerja?" Dion bertanya sesaat setelah Damien masuk ke dalam. Meluruskan lengan kemeja yang tergulung dan menggeleng. Anak itu kembali diam. "Kau harus menuruti Mama setelah ini. Kau mengerti?" Kepala anak itu kembali tertunduk. "Dion?" "Aku mengerti, Papa." Damien hanya mendengus samar. Menyentuh lengan kecil putranya, dan mengusap ibu jarinya di sana. Entah apa maksudnya, tetapi membuat Dion nyaman. Selena yang melihatnya hanya diam. Memandang lekat pada interaksi keduanya, lalu berpaling pada Damien yang masih setia duduk di atas ranjang bersama Dion yang tiba-tiba menginginkan mainan baru padanya. Bibir Selena menipis. Merasakan bulunya meremang penuh debaran antisipasi. Akankah dia belajar menerima dan mengerti bahwa malam itu bukanlah kesalahan? *** "Oh, ya Tuhan." Saphira menyibakkan rambut panjangnya dengan tatapan sinis saat melihat siapa tamu yang berdiri di depan rumah kediaman MarcussDamien bersama Selena. "Benar-benar perempuan pembawa sial itu," gerutu Saphira. Tangannya berkacak pinggang menatap Aster yang masih setia menekan bel dan berharap pintu terbuka. "Mau apa dia? Tidak tahukah Dion baru saja kembali dari rumah sakit dan dia ingin membuat geger rumah tangga orang tuanya? Astaga." "Layanganku putus!" Saphira mengangkat alis. Menoleh menatap Lawson yang berlari mengejar benang layangannya yang terlepas dari genggaman tangan. Membuat mata birunya nyaris melompat dari tempatnya karena anak nakal satu itu tidak tahu tempat. "Lawson! Jangan berlari!" Saphira berteriak keras. Menghentakkan kakinya di atas aspal saat dia melihat putranya tetap berlari memutari jalanan untuk mendapatkan layangannya kembali. "Mama bisa belikan layangan yang banyak untukmu. Jangan kejar itu! Lawson!" Lawson berhenti. Menoleh pada sang ibu yang siap mengamuk dan menyadari dia ada di tengah jalan. Saat ada mobil yang baru masuk ke perumahan mereka, tiba-tiba menghentikan laju mobilnya. "Papa!" "Pulang sekarang," suara Gio mengalun datar. Dan anak itu cemberut, saat dia menyeret sisa benang layangannya masuk ke dalam rumah setelah menaiki tangga teras. "Kau bisa menabrak putramu sendiri kalau mengebut." Gio menghela napas. Saat dia menoleh, menemukan Aster berdiri kaku di antara mereka dengan jarak yang cukup. "Tuan Gio?" Saphira berdecak. Mendengar suara yang membuatnya muak setengah mati. Saat Gio berdeham, mengangguk pada perempuan itu. "Kau darimana?" "Ah, berkunjung ke rumah Tuan Marcuss untuk melaporkan beberapa berkas. Tapi, sepertinya memang aku tidak diizinkan masuk. Tidak ada yang membukakan pintu untukku." Saphira mendengus dengan tangan terlipat di d**a. "Siapa pula yang membolehkan masuk perempuan gatal sepertimu? Kalau kau datang untuk merusak rumah tangga orang, kau tidak akan berhasil. Kau tahu siapa lawanmu sekarang?" Aster menipiskan bibir. Menatap Saphira dengan sorot sinis. "Aku permisi." Gio hanya terdiam. Memandang kepergian gadis itu dengan alis terangkat dan menarik napas berat. "Dia berjalan dari gerbang Distrik Rose sampai sini? Astaga. Tidakkah dia lelah?" "Helooo? Tidakkah dia lelah?" Saphira menjentikkan jarinya agar sang suami sadar. "Tidakkah kau sadar apa yang baru saja kau katakan?" Gio hanya mengangkat alis. Saat sang istri berbalik dan masuk ke dalam rumah mereka. Membiarkan dirinya ikut masuk ke dalam mobil, dan memutar kemudi untuk memarkirkan mobilnya ke dalam garasi. *** "Siapa tamunya?" "Nona Aster," balas asisten rumah tangga mereka, Ayame. Yang segera membungkuk setelah mendapat peringatan dari pemilik rumah untuk tidak pernah menerima tamu atas nama Aster di rumah ini. Selena mendengus. Menggeleng pelan saat dia mengendik pada asisten muda itu dan mengintip dari jendela yang terbuka. Menemukan Aster berbincang bersama Gio, suami dari Saphira. Dan melihat rupa ibu satu anak itu yang masam, rupanya parasit sekelas Aster masih saja berhasil membuat rumah tangga orang lain retak. Haruskah dia menggerakkan tangannya untuk menyingkirkan benalu satu itu? Selena mengangkat alis. Melihat Aster yang berjalan pergi setelah percakapan mereka berakhir. Bibir Selena menipis tatkala dia melihat Saphira menghentakkan kaki berulang kali dan masuk ke dalam rumah. "Siapa yang datang?" "Sekretarismu," Selena menutup kembali tirai jendela rumahnya dan berbalik. Menatap datar suaminya sendiri. "Kau yang memintanya datang?" Alis Damien tertaut. "Tidak. Aku sudah berpesan padanya untuk tidak menyentuh batas rumahku. Dia melanggar perintahku rupanya." "Satu kesalahan, akan merembet pada kesalahan lain. Masih mau mempertahankannya?" Damien berbalik, mengeringkan rambutnya sendiri dengan handuk. "Dia berguna. Aku tidak punya alasan untuk memberhentikannya tiba-tiba." Selena terdiam. Sebelum langkah suaminya kembali hilang di lorong dapur, dia bersidekap menatap lekat punggung kokoh itu. "Apa kau mau memberhentikannya demi aku?" Damien mendengus. Menurunkan handuknya saat dia membungkuk, mencari gelas bersih dalam laci dan menuangkan air dingin dari kulkas. "Kau tahu benar, Aster tidak selevel denganmu." Selena mengangkat bahu. Berjalan mendekati sang suami dan meraih apel dari dalam keranjang. "Selevel dengan Saphira saja tidak. Apalagi denganku?" Dia mengendik pada sang suami yang kembali menuang air. "Aku hanya alergi pada penjilat." "Setidaknya, dia tidak bermuka dua." Damien menaruh gelasnya di wastafel dan berbalik. Bersiap menaiki anak tangga saat dia mendongak menatap pintu kamar putranya. "Aku mendengar beberapa omongan tentang Dion di sekolah. Drian yang bercerita," mata Damien memicing tajam. "Anak itu benar-benar mewarisi sifat darimu." "Lalu?" Damien menghela napas. "Dia belum terlalu besar. Masih anak-anak, dan kau bisa meluruskan masalah yang terjadi. Jangan terlalu terpaku—," "Bukankah, keras kepala anak itu menurun darimu? Apa kau mau lepas tanggung jawab hanya karena Dion menurun nyaris seratus persen fisik darimu?" Damien menarik napas. Tangannya terkepal mencengkram sisi pegangan tangga. "Kita tidak bisa mengelak fakta bahwa dia memang anak kita." Sudut bibir Selena melengkung ke atas. Saat dia memundurkan kursi makannya, meminta asisten rumah tangga untuk pergi dari dapur dan biarkan dia bicara bersama suaminya. "Peringatan terakhir dariku," Alis Damien terangkat. "Sampai bulan depan aku masih melihat Aster, kau tahu apa yang akan kulakukan nanti." Cengkraman tangan Damien mengerat. "Kau mengancamku?" "Peringatan, sayang," kepala cokelat itu menoleh. "Bedakan mana ancaman dan mana peringatan. Understand?" Damien mendengus. "Aku tidak ingin katakan ini. Hanya saja, kalau kau berulah, nasibmu lebih buruk dari Marcuss Regan," Selena tersenyum manis saat manik kelam itu menatapnya. "Menjadi gelandangan bukan mimpi burukmu, kan?" Lalu, ibu satu anak itu berdiri. Melambai pada sang suami sebelum dia berlalu menuju kebun belakang untuk memeriksa bunga-bunga kesayangannya. "Selamat bekerja!" *** "Apa ada PR, Lawson?" Selena menghela napas mendengar suara putranya yang masih lemah. Saat anak itu masih terbaring di atas ranjang, dan Lawson dengan serampangan membuat ranjang itu penuh dengan buku gambar dan krayon aneka warna. "Ada!" Saphira memutar mata. "Tidak sekarang, Lawson. Dion sedang sakit. Biarkan dia beristirahat." Lawson cemberut. "Sejak tadi aku tidak menyebut PR, Mama. Dion bertanya." Selena terkekeh. "Oke, oke. Katakan anak manis, apa tugasnya?" "Matematika. Di buku cetak, halaman seratus sampai seratus tiga, Bibi Selena." "Hmm, baik," Selena mengangguk. Menulis di memo kecil yang ada di meja belajar putranya, dan menempel itu di kaca. "Lihat, Dion? Mama sudah menuliskan ini untukmu." Kepala anak itu kembali mengangguk. Saat Dion dengan semangat membantu Lawson mewarnai buku gambarnya, dan Selena kembali ke sofa di sebelah Saphira yang duduk. "Aster datang. Kau tidak membukakan pintu untuknya?" Selena mengusap wajahnya. "Aku sudah beri peringatan pada asisten rumah tangga untuk tidak membukakan pintu untuknya. Suamiku juga telah melarang perempuan itu datang ke rumah di luar jam kerja." "b*****h," tukas Saphira dingin. "Benar-benar perempuan gatal. Kalau dia tidak pintar bersilat lidah, aku sudah memutilasinya." Selena mendengus menahan senyum saat dia menopang dagu di atas pangkuan. "Ah, ternyata tetangga dekatku pencemburu. Apakah kau begitu mencintai suamimu, Saphira?" Saphira terlihat berusaha menahan tawa. "Apa maksudmu, Selena? Tentu kami menikah karena cinta. Aku akan sangat kesal kalau seseorang mengusik rumah tangga kami. Kemarin, saat mantanku di masa sekolah datang, Gio benar-benar tidak mau bicara. Dan kami hanya berdebat sepanjang malam." "Ah," Selena kembali menegakkan punggungnya. "Cemburu tanda cinta. Begitukah?" Saphira menggeleng tak percaya. "Apa maksudmu, Selena? Jangan aneh. Kau dan suamimu menikah juga karena cinta, bukankah?" Selena hanya tersenyum. Dan topeng ramah itu berhasil membuat seorang Yamanaka Saphira percaya. "Benar, kan! Untuk apa kau bertanya? Lagipula, kau tidak perlu mencemaskan parasit sekelas Aster. Berada di ujung kakimu saja dia tidak. Berani-beraninya mencoba perhatian pria yang telah memiliki anak?" "Aku benar-benar miris dengan gaya hidup seseorang sekarang," ucap Selena saat dia menggeleng. "Menghalalkan segala cara demi uang." "Maka dari itu, kau harus lindungi suamimu." Selena hanya diam. Berpaling menatap putranya yang masih asyik bermain, lalu memasang ekspresi datar tak terbaca.  *** "Mama akan berkunjung besok." Selena tidak mendengar adanya sahutan atau gumaman seperti biasa ketika sang suami menanggapinya bicara. Yang terdengar hanya suara pendingin ruangan. Menghela napas panjang, Selena memilih untuk berbaring beralaskan bantal, dan memandang langit-langit kamarnya yang temaram karena cahaya lampu dari kamar mandi memantul sampai kamar mereka. Tarikan napasnya berubah berat. Manakala matanya ingin terpejam dan dia tidak bisa memejamkan mata barang sejenak. "Aku sengaja membiarkan beberapa halaman kosong. Dan kau malah mengerjakan tugas putramu agar dia tidak kepikiran saat kembali bersekolah nanti." Selena mendengar gemerisik saat Damien memindahkan sedikit tubuhnya untuk tetap membelakangi sang istri. "Berhenti memanjakannya. Anak itu menjadi keras kepala karena dirimu." Kening Selena mengernyit. "Maaf. Aku tidak salah dengar?" Kedua mata Damien terpejam erat saat dia menyamankan posisi kepalanya pada alas bantal. "Telingamu masih berfungsi dengan baik, Selena. Jangan terlalu manjakan dia. Biarkan dia hidup manidri dan sebatasnya." Selena menghela napas panjang. Sebelum dia berdeham, sedikit membenahi letak selimutnya. "Biar kujabarkan apa saja yang Papa hebatnya ini lakukan demi melanggar aturan ibunya. Kau mau mendengar?" "Pertama, kau membiarkan Dion memakan es krim dan jajanan kering saat dia sedang radang." "Kedua, kau meminta tangan kananmu untuk menulis surat izin, memintanya untuk mengirimkan itu pada wali kelas Dion di sekolah. Dan akhirnya, kau bisa mengajak Dion membolos hanya demi menuruti rengekan anak itu karena ingin pergi ke wahana bermain. Kau memanjakannya dengan caramu sendiri. Dan terkadang aku tidak terlalu suka." "Dan ketiga, kau mengawasi putramu terlalu ketat hanya karena takut dia terluka di sekolah." Kedua mata Damien membuka. Iris kelam itu bersinar dingin saat dia menghela napas panjang. "Untuk yang ketiga, aku hanya melindunginya dari Marcuss Regan. Tidak lebih. Karena dia pantas." Selena terdiam sesaat. Memandang punggung itu sebelum dia menghela napas panjang. Memejamkan mata dengan gumaman singkat. "Kau seharusnya bicara padaku." "Siapa yang tahu kau akan mengajak kakak iparmu bergulat di aspal? Aku menghindari kejadian memalukan itu." Kepala itu menggeleng. Saat Selena menyingkap selimutnya, dan merapat ke punggung sang suami dengan senyuman mengurai samar. "Mau bertaruh siapa di antara kita berdua yang menang?" Menghela napas kasar, Damien memutar tubuhnya. Merasakan ada bobot berat lain mengunci sisi sebelah tubuhnya. Membuatnya tidak mampu bergerak barang sedikit saja.  "Jangan bercanda." Selena mendengus. "Biar kuberitahu satu rahasia. Di antara Hyena dan Regan, bukan Hyena yang bermasalah. Tapi, kakakmu. Dan dia tidak tahu. Atau memang dia tidak peduli?" Damien mencibir dengan ekspresi dingin. "Aku hanya akan membantu Hyena lepas dari keluargamu. Jangan halangi aku. Selama yang aku lakukan benar, aku akan terus melakukannya sampai bosan." Damien menghela napas. "Aku akan memperingatimu satu hal. Jangan terlalu sering menyinggung keluargaku. Mereka tidak akan suka disentuh atau kau yang mencampuri urusan mereka." "Tidak ada bedanya antara orang tuamu dan orang tuaku. Jadi, aku akan lakukan yang terbaik untuk membebaskan kakak iparku. Aku melakukannya karena aku ingin dan itu bukan kesalahan." Selena menggigit bibir saat jemarinya terulur. Menggerakkannya dengan seduktif di atas d**a sang suami yang berbalut piyama hitam. Bukan bermaksud merayu. Hanya saja, dia suka melakukannya. Itu terasa menenangkan. "Kau tahu, saat aku memilihmu aku tahu aku sudah lakukan hal yang benar." Manik kelam itu melirik dingin ke arahnya. Bingung harus katakan apa. "Mendapatkanmu mungkin kesialanku. Tapi memiliki Dion sekarang adalah keberuntunganku." Selena tersenyum tipis. Mencoba merangkul dengan perasaan nyaman saat dia berbaring miring. Mendekatkan wajahnya hingga bibirnya mengecup sekilas sudut bibir suaminya yang terpaku. Sebelum dia kembali berbaring, menarik selimutnya untuk membelakangi sang suami dan diam-diam menyeringai kecil. Entah apa yang dia pikirkan, yang jelas ini berbeda. Dia menyukai saat-saat dia dan suami menjadi dekat tanpa batasan di kamar. Tidak ada yang membatasi. Benar-benar merasa dekat. Dan merasa dunia luar tidak perlu tahu apa yang terjadi dengan mereka. Termasuk saat-saat seperti ini. Membuat perasaan Selena menjadi sedikiy lebih baik. Dan tidak akan berpikir apa puin sampai dirinya jatuh tertidur. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD