Bagian Dua

2979 Words
"Apa yang Regan bicarakan?" Selena melepas jepit rambutnya. Menatap pantulan dirinya sekali di meja rias, dan menghela napas. Menyadari benar ekspresi masam Damien sejak mereka masih terjebak di pesta Perdana Menteri. Damien tidak memintanya pulang cepat, tetapi dari gelagat pria itu dia tahu, kalau suaminya mulai tak nyaman. Entah, karena siapa. "Tidak ada. Hanya bertanya tentang dirimu." "Pembohong." Selama menikah, Selena mengerti kata-kata pedas yang akan Damien lontarkan. Seperti, kau pembohong, tidak ada gunanya, atau apa? Itu seperti ucapan singkat, yang sarat makna. "Apa aku terlihat berbohong?" Damien melepas dasinya tergesa-gesa. Ekspresinya kontras menatap pantulan sang istri di cermin, dan beralih ke tubuhnya. Sepuluh tahun menikah, Selena yang ia nikahi masih tetap sama. "Kau membersihkan diri dulu. Aku akan menjemput Dion di rumah sebelah." Kepala Damien terangguk. Dia tidak membantah saat membawa tubuhnya yang separuh telanjang ke kamar mandi di dalam kamar mereka. Saat mendengar Selena menutup pintu, dan langkah wanita itu tidak lagi terdengar. Selena beranjak. Berjalan menuju kediamana Saphira. Berjarak hanya kurang dari tiga rumah dari rumah besarnya. Selena menaiki tangga teras, memencet bel dan mendengar suara dari dalam rumah. "Nyonya Selena?" "Aku datang untuk menjemput putraku," balas Selena ramah. Senyum asisten rumah tangga itu melebar. Dia mempersilakan Selena masuk. Dan menemukan Dion sedang menggambar bersama Lawson. Hobi kedua anak itu sama; suka menggambar. Gambar Lawson lebih kompleks. Dan gambar Dion terkesan acak-acakan. Karena memang, Dion menggambar apa yang dia mau. Apa yang dia lihat. Berbeda dengan Lawson. "Bibi Selena!" Dion lantas mendongak. Matanya melebar menemukan ibunya datang menjemput. Anak itu segera bangun, merapikan krayon dan buku gambarnya. Saat Selena menoleh, mendapati Saphira baru saja turun dari kamar. "Selena?" "Maaf terlalu lama. Acaranya membosankan. Tapi, kami tidak bisa pergi begitu saja." Selena meringis. Saat Saphira mendekat, menggeleng dengan senyum. Yamanaka Saphira tampil santai malam ini. Dia hanya memakai piyama polos, tanpa embel-embel seksi. Karena setahu Selena, Saphira suka mengoleksi berbagai macam lingerie terbaru. Apa dia dan Gio sedang bertengkar? "Tidak apa," Saphira tersenyum. Dia mengusap pipi putranya dan meminta Selena untuk tinggal sebentar karena Saphira baru saja membuat manisan. "Aku akan mengambilnya untukmu." "Ah," Selena mengangguk. "Mama, gambar Lawson bagus. Gambarku tidak." Netra Selena bergulir. Menatap gambar Lawson, dan berpaling pada gambar putranya. Amat berbeda. Coretan anak sepuluh tahun. "Bakat Dion adalah lego, bukan gambar." Dion mendesah. "Aku tidak bisa menyusun lego. Tapi, Dion hebat. Dia bisa bermain rubrik juga." Selena tersenyum. Saphira kembali. Menaruh piring di atas meja. Saat dia menatap Dion dan anak itu juga menatapnya. "Dion mau?" "Dia sudah habis dua piring, Mama." Selena tersenyum. Dia menjulurkan tangan, mengusap perut anaknya dan mendapati Dion menunduk malu. "Maaf kalau Dion merepotkan kalian." "Ah, kau bicara apa? Dia anak yang manis. Aku senang kalau Dion bermain di sini. Lawson lebih tenang." Selena mencicipi manisan itu sebentar. Sebelum dia pamit dan membawa Dion pulang. Kalau dia terlalu lama, Damien akan marah. Ini bukan jam yang tepat untuk saling bergosip. "Di mana suamimu?" "Di ruang kerja," dengus Saphira. Selena kembali mengulum senyum. Mengerti kalau di antara mereka berdua sedang ada masalah. Setelah menghabiskan manisannya. Selena berdiri, menatap Dion yang berjalan lebih dulu setelah berpamitan. Saphira menemaninya sampai di pintu depan. "Sekali lagi, terima kasih." "Sama-sama. Jangan cemas. Dion aman di sini." Selena mengangguk. Menatap Lawson dan Saphira sekali lagi, sebelum dia menuruni tangga dan menyadari kalau putranya sudah lebih dulu berlari pulang ke rumah. *** Selena membuka mata. Menyadari matahari belum sepenuhnya naik ke peraduan. Tetapi, dia sudah berjanji akan memasak sesuatu untuk anaknya semalam. Dia akan bangun lebih pagi, bersiap-siap dan memulai aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga. Saat Selena bangun, dia mendengar suara denting ponsel berasal dari ponsel suaminya. Selena menoleh, menatap ponsel yang kembali berkedip dan dia terdiam. Dia baru ingat, Damien punya rapat agak pagi. Satu jam lagi, dia akan membangunkan suaminya untuk bersiap-siap. Saat Selena menghela napas, merasakan tidur Damien terganggu karena getaran ponselnya. Selena segera beranjak bangun. Membersihkan diri dengan pancuran air hangat. Menyisir rambutnya. Berganti pakaian rumah. Dan menuruni tangga. Sebelum dia membangunkan putranya, meminta asisten rumah tangga untuk berbelanja kebutuhan kulkas. Saat Selena mendorong pintu kamarnya terbuka, dia melihat ranjang itu telah kosong. Lalu, mendengar suara pintu lemari tertutup. Dan Damien keluar dari ruang ganti, sedang memasang kemeja putihnya. Ketika Selena berjalan mendekat, mendengar dering ponsel sang suami dari nakas samping ranjang. Mata kelam suaminya menatap dari kaca. Selena berbalik untuk mengambil ponsel mahal itu. Membaca sekilas dan kembali memasang raut datar saat tahu siapa yang menelepon pagi ini. "Aster." Alis Damien bertaut. Dia meraih ponsel itu, menatapnya sebentar, dan melirik Selena di belakang. Saat Selena tahu arti lirikan itu, dia berjalan mundur. Kembali turun ke lantai dasar dan membiarkan suaminya berbicara leluasa dengan sekretaris baru kesayangannya. "Dengan siapa hari ini aku berangkat?" Dion melompat dari kursinya. Saat anak itu memasang tas punggungnya, menatap sang ibu yang baru saja mencuci tangan. "Mama," balas Selena. Dion mengangkat alis. Miniatur Damien itu hanya bisa mengangguk. Jarang sekali ibunya mau mengantar dirinya ke sekolah. Biasanya, Dion akan pergi bersama ayahnya karena memang jalan mereka searah. Dion memasang sepatu sekolahnya. Setelah siap, dia menoleh ke lantai atas. Mendengar suara langkah kaki beruntun menuruni tangga, dia terdiam mengamati kalau kali ini ayahnya yang turun. Dion memiringkan kepala. Menatap pintu kamar yang tertutup dan bertanya dengan suara meragu. "Mama di mana?" "Di atas," Damien menjawab singkat. Setelah mencuri satu potong roti selai di atas piring. Dan mengabaikan piring berisi nasi goreng sosis yang masih hangat. "Sudah siap?" Dion tidak tahu sejak kapan dia melamun. Saat matanya menatap penampilan ibunya pagi ini. Dan saat kepalanya terangguk. Dion beralih menatap sang ayah yang sedang memasang jas hitamnya. "Kami pergi dulu." Damien merespon dengan mengangkat alis. Saat matanya turun menyapu sang anak yang melambai ke arahnya, dan menghela napas panjang. Damien lantas membalas dengan anggukan kepala. Lalu, Dion melompati anak tangga dan berjalan menuju Jaguar yang terparkir di depan pintu garasi. Saat anak itu mengerjap sebentar, menyadari ucapan Lawson kemarin siang. "Mereka biasanya saling bertegur sapa. Kalau tidak bertegur sapa, itu berarti mereka sedang bertengkar." "Dion?" Dion menatap ibunya. Yang mengendik pada pintu mobil, lalu mengangguk pelan. *** "Kalau kau berulah, Selena, kau akan menghancurkan kehidupan pernikahan ini nanti." Selena mendesah pelan. Menatap Kiara yang duduk sembari menyilangkan kaki di depannya. Hanya meja bundar ini pembatas di antara mereka berdua. Selena menunduk, menatap cangkir latte kesukaannya. "Jangan kau pikir Mama tidak tahu," desisan itu meluncur. Dan Selena paham, ini pertanda tidak baik untuknya. Jemari Selena gemetar di atas meja. Tangannya terkepal. Seperti dia sedang menggenggam sesuatu, dan rasanya berat untuk dilepaskan. "Kau memanfaatkan kesempatan lain. Benar? Dengan mencuri uang suamimu sendiri." Kening Selena berkerut. "Berhenti campuri urusanku, Mama." Kiara mendengus. Ekspresi wajahnya yang terlampau ketat membuat Selena meringis. Ibunya, benar sama keras kepalanya dengan dirinya. Selena mengerti sekarang. Harga diri yang terbangun tinggi semua berawal dari mana. "Aku menggunakannya untuk keperluan amal. Membantu orang lain," Selena berdeham. "Jika untuk bersenang-senang, tidak perlu. Damien sudah memberikan lebih dari cukup. Kartu kredit, debit dan satu kartu kredit untuk Dion cukup." "Bagimu itu kurang," Kiara menatap mata putrinya dengan pandangan sinis. "Kau akan selalu merasa kurang. Bahkan, setelah sepuluh tahun pernikahan kalian, kau tidak merasa cukup, Selena? Kau diberkati sekarang." "Diberkati?" Kiara mencibir terang-terangan. "Suami yang baik, tampan, dan jelas Damien menjadi incaran perempuan kelas atas seperti kita di Tokyo. Lalu, putramu, Dion yang pintar. Dari segi akademis, Dion menonjol di sekolahnya. Itu berkat siapa? Berkatmu dan Damien. Dia memang miniatur Damien, tapi sifat dingin dan angkuhnya menurun darimu. Dari ibunya." "Kau tidak tahu betapa sempurnanya keluarga kalian?" Selena menarik napas. Melepaskan kepalan tangannya saat telapak tangannya terasa dingin. Sekujur tubuhnya mendadak mati rasa. "Apa Damien berselingkuh?" Alis Selena terangkat satu. "Aku bahkan berani bertaruh, dia tidak akan bisa melakukannya. Jika dia bermain-main, dia akan tahu dengan siapa dia berhadapan." "Bagus." Kiara menyesap avocado float dari tepi gelas. "Aku mendengar tentang Aster. Sekretaris yang pernah didepak dari salah satu perusahaan kontraktor ternama. Pemiliknya tinggal satu kompleks denganmu. Tidak kusangka, kalau Damien menerimanya menjadi sekretaris." "Dia berkompeten," tukas Selena. "Aku melihat sekilas profil lamaran kerjanya. Aku rasa, bukan kesalahan Damien kalau dia menerimanya." Kiara mendengus. "Aku harap, Aster tahu dengan siapa dia berhadapan kalau berani mengacau. Mimpi buruk itu akan menghantuinya sampai mati." Selena terpaku diam. Menatap mata ibunya cukup lama, sampai sudut bibirnya tertarik naik. "Dia tidak selevel denganku. Dan untuk apa aku peduli?" *** "Mama, Bibi Hyena ada di sini." Dion berteriak. Mendadak kelu saat dia melihat ekspresi sedih dari wajah sang bibi. Dengan perlahan, anak itu mendorong pintunya terbuka lebih lebar lagi. Meminta agar Hyena melangkah masuk ke dalam dan duduk menunggu. "Mama di dalam." "Terima kasih anak manis," Hyena mengusap pipi Dion dengan senyum. Saat dia melangkahkan kaki, mencari Selena yang memang tidak ada di ruang tengah mau pun ruang keluarga, dia mencari tempat untuk duduk. Dion kembali menutup pintu. Setelah anak itu mengintip ke luar, dan menemukan kalau Bibi Hyena datang seorang diri. Alisnya bertaut. Berpikir apakah Bibi Hyena menyetir di malam hari? Dengan langkah pelan, Dion kembali ke ruang keluarga. Dia sedang mengerjakan tugas bersama ibunya. Tadi, ibunya pergi ke kamar untuk mencari ponselnya. "Paman Regan ... di mana?" Hyena menengadah. Menatap miniatur adik iparnya dengan senyum rapuh. Dion terkesiap. Dia sebenarnya tidak terlalu suka dengan Paman Regan yang kerap kali berdebat dengan ayahnya. Suatu hari, Dion pernah mendengar keduanya berdebat. Tidak ada Mama. Karena Mama sedang pergi untuk urusan bersama Oma Kiara. Dan mendengar kalau Paman Regan berkata kasar pada ayahnya, Dion mendadak langsung tidak menyukainya. Karena selama ini, kedua orang tuanya mau pun keluarganya tidak pernah mengajarkan kata-kata itu padanya. Bahkan, saat dia bicara bersama orang lain pun itu tidak diperkenankan. "Dion, bereskan bukumu. Pindah ke kamar. Mama akan mengecek tugasmu." Kepala Dion terangguk. Dia mengangguk sembari merapikan buku-bukunya yang berserakan di atas karpet. Dan Selena memanggil asisten pribadi rumah untuk mengantar Dion ke kamar. Hyena menghela napas. Menatap kepergian Dion saat Selena menaruh ponselnya di atas meja. Duduk di seberangnya sembari menyilangkan kaki. Membuat Hyena terpaku sebentar. Dia tahu, kali ini keputusannya tidak akan salah. Karena dia tidak terlalu berkuasa, ada baiknya dia meminta bantuan istri adik iparnya kali ini. "Aku minta maaf karena mengganggumu, Selena." Selena menggeleng pelan. "Tidak masalah. Aku sedang bersantai. Seperti biasa, menunggu putraku belajar." "Dia anak yang manis. Suatu saat nanti, MarcussDion benar-benar akan—," "Tidak usah berbasa-basi," ujar Selena memotong kalimat Hyena. "Katakan saja. Kau butuh apa sekarang?" "Ini semua tentang Regan." Alis Selena menyatu. "Kenapa dengannya?" "Aku meminta cerai darinya. Tapi, dia menolak. Aku tidak punya pilihan lain karena dia selalu mengekang, menekanku serta melecehkanku. Keluarga Marcuss pun sama. Mereka jelas memihak putranya dibanding aku. Aku tidak tahu harus bagaimana sekarang, Selena." "Jadi, kau ingin bebas tetapi keluarga mereka mencegahmu melakukan hal-hal bodoh ini karena reputasi?" Selena menipiskan bibir. "Aku mengerti." Hyena mendesah pelan. "Kehidupan pernikahan kami berdasarkan karena aku menyukainya, bukan dia menyukaiku. Aku menyesal menerimanya menjadi suamiku. Terlebih, dia bilang aku ini mandul. Tidak punya anak." "Lima tahun sudah kalian bersama," Selena memiringkan kepala. "Regan benar-benar bukan tipikal pria yang bisa dipercaya." Hyena menunduk. "Aku minta maaf." "Tidak perlu sungkan. Aku bisa membantumu." Kepala Hyena menengadah. "Apa kau akan memberitahu Damien tentang ini?" "Entahlah. Kami selalu bertentangan untuk beberapa hal. Damien dan aku jarang sejalan," kata Selena dengan senyum tipis. "Tapi, sejauh ini kami bisa mengatasinya dengan baik." Senyum Hyena terbit. "Aku melihat itu. Semoga kalian bahagia. Terus bersama dan saling menjaga sampai maut memisahkan." "Itu harapan klasik," Selena meringis. Berpura-pura memasang ekspresi geli karena dia sendiri tidak pernah berpikir sejauh itu. "Tapi, semoga harapanmu terwujud." "Kau dan Damien ... baik-baik saja, kan?" Selena mengangkat alis. Satu senyuman misterius dia berikan pada Hyena. "Seperti yang kau lihat, kami baik." Hyena tidak lagi bicara apa-apa. Dia hanya mengangguk. Dan saat Selena melirik ponselnya yang berkedip, dia terpaku sebentar. "Sampaikan saja keluhanmu pada pengacara yang akan kutemui denganmu besok siang. Kau bisa mempercayainya. Dia salah satu orang kepercayaan keluargaku." "Selena," Hyena tidak bisa berkata-kata. "Tunjukkan bukti kekerasan itu kalau ada. Itu mempermudah untuk memperkarakan kasus ini. Aku bukannya ingin menantang keluarga suamiku sendiri, tetapi MarcussRegan pantas mendapat ganjaran." Hyena kembali mengangguk. "Aku akan menghubunginya malam ini. Jangan cemas. Kalau kau punya sesuatu, sampaikan padaku." Hyena berdiri. Dia membungkuk beberapa kali pada Selena. Ekspresinya terlihat lebih baik. Dan kedua matanya berkaca-kaca. Selena yakin, Hyena bisa melahirkan, hanya saja Regan yang tidak mau harga dirinya tercoreng sebagai laki-laki. "Terima kasih banyak, Selena." Tepat saat Hyena berbalik, dia terkejut karena Damien baru saja kembali dari kantor. Dengan kepala tertunduk, Hyena menyapa sungkan adik iparnya. Dan membuat Damien mengangkat alis. "Hati-hati di jalan." "Aku pamit." Hyena kembali melambai. Saat dia beranjak pergi tanpa Selena mengantarkannya ke depan pintu utama. "Mau apa dia?" "Tanyakan pada kakakmu. Dia yang membuat masalah dengan istrinya sendiri," Selena berjalan mendekat, mengangkat alis saat dia mencium parfum murahan yang menempel di kemeja suaminya. "Parfum ini terasa familiar. Apa ini milik Aster?" Damien mengembuskan napas. "Kau tahu dia seperti apa." Selena menyunggingkan senyum. Mengusap kemeja itu dengan usapan ringan saat dia mendongak, menatap suaminya datar. "Kau pun juga tahu bagaimana kelakuan perempuan itu. Kenapa masih dipertahankan?" "Dia berguna." "Aku bisa menjadi sekretarismu. Apa salahnya istri sendiri bekerja untuk suaminya?" Damien terdiam. Menahan langkahnya sebelum menaiki undakan anak tangga, dan menoleh pada Selena yang masih menatapnya. "Sesuai kesepakatan kita sejak awal, kau akan tetap fokus pada rumah dan Dion. Tidak ada bantahan." Selena memutar mata. Membiarkan sang suami berjalan naik ke lantai atas dan berlalu menuju kamar mereka. *** Selena mengangkat alis. Menatap suaminya sebelum berpindah ke arah MarcussRegan yang duduk, menatap dingin ke arahnya. Selena mendengus. Menatap mata itu sebelum duduk di samping sang suami. "Selamat siang, Selena. Senang melihatmu datang." Selena hanya tersenyum dingin. "Kau terlihat baik siang ini, kakak ipar." Regan mendengus samar. Matanya masih mengamati penampilan elegan Selena, sebelum berpindah pada Damien. "Sesuai kesepakatan, aku meminta bagianku." "Judi lagi?" Alis Damien terangkat. "Kau meminta untuk bertemu, dan tidak pergi ke kantor. Betapa menyedihkannya dirimu karena kalah?" Regan mendengus. Lagi-lagi menahan senyum. "Untuk orang yang berada di puncak berkat kekuasaan istrinya, kau tidak sepantasnya bicara kasar seperti itu." Alis Selena terangkat. Menatap Regan dengan pandangan tak terbaca. Saat matanya melirik Damien yang pias, dan pria itu lagi-lagi tak merespon. "Katakan, apa maumu?" "Sesuai kesepakatan, Damien. Atau kau ingin aku meminta lebih?" Damien tahu yang dimaksud meminta lebih. Dan dia merespon dengan dengusan. Pertanda bahwa kakak kandungnya suka meledek dan bermain-main. Mengapa dia harus berada di rahim yang sama dengan b******n ini? Damien berdecak. "Aku akan menghubungimu lagi nanti." Regan menyeringai. Menatap Selena dengan kerlingan nakal saat dia beranjak pergi dengan santai. Melenggang menuju mobilnya dan berlalu pergi. "Jangan berikan apa pun padanya." Damien mengangkat alis. "Jangan campuri urusanku. Kami sudah membuat kesepakatan dan—," "Kau lupa dengan kedudukanku?" Damien menghela napas. Menatap mata istrinya yang berkilat. "Selain istri dan ibu dari anakku?" Selena mendengus. "Aku bisa membantumu. Jangan berikan itu pada Regan." "Kau membantu Hyena. Jelas, dia tersinggung," Damien kembali memejamkan mata. "Sudah kukatakan untuk tidak ikut campur lagi. Kau senang terbakar?" Selena menipiskan bibir. "Percaya saja padaku. Jangan beri Regan apa-apa. Orang tuamu akan mendukungmu." Damien menghela napas. "Jemput Dion, aku akan kembali ke kantor." "Kenapa tidak kau saja?" Selena balas berdiri. Merapikan pakaiannya. "Aku punya urusan." Alis Damien terangkat. Saat Selena tersenyum sampai matanya menyipit, dan kemudian ekspresinya berubah datar. "Aku bercanda. Sampai nanti." Selena melambai ke arahnya. Berlalu pergi menuju mobil yang terparkir. *** "Mama!" "Ah, sayang. Kemari." Saphira melambai. Menyapa Lawson yang berlari tergesa-gesa karena memegang mangkuk berisi sereal kering di tangan. Saat Dion dan BerrySouma berjalan berdampingan satu sama lain. "Kenapa terlihat tidak bersemangat sekali?" Selena membungkuk untuk menatap mata putranya. Dia selalu seperti ini untuk bisa mengetahui isi hati anak semata wayangnya. Berpikir kalau mereka sejajar, Dion akan memahami isi hatinya dan mereka bisa berkomunikasi dengan baik. "Badan Dion hangat, Bibi Selena." Selena terkesiap. Dia lantas memegang dahi sang anak dan membeku. "Kau demam? Sejak kapan?" "Aku tidak tahu, Mama. Kepalaku sakit." "Apa dia salah makan?" Saphira mulai cemas. Lawson dan Souma menggelengkan kepala. "Kami tidak tahu. Dion tidak pergi ke kantin saat jam istirahat." "Kau makan bekalmu?" Kepala Dion mengangguk. "Hanya sedikit." Selena menghela napas. Membawa Dion ke dalam gendongan. Panas anak itu menjalar sampai menembus lengannya. Selena menarik napas, menekan kunci mobil dan segera membawa Dion ke dalam. Memasang sabuk pengaman untuk putranya. Souma berjalan mendekat. Mata birunya yang cemas ikut menatap mobil mewah di hadapannya. Saat Saphira mundur, meremas bahu Lawson. "Kalian tidak bertengkar, kan?" Alis Lawson bertaut. "Aku tidak bertengkar dengan Dion, Mama," kata anak itu bosan. "Aku takut dengan Paman Damien." Souma meringis. Dia tanpa sengaja mendorong bahu Lawson sampai nyaris membuat anak itu terjengkang. "Kau benar! Aku pernah hampir meledeknya karena dia selalu membawa bekal dari rumah. Astaga." "Heh, anak nakal," Saphira menegur Souma gemas. "Jangan main asal dorong." "Tidak sengaja!" Saphira memutar mata. "Aku pergi dulu, Saphira." "Ah, ya. Hati-hati," Saphira melambai pada Mercedes yang Selena bawa. Saat ibu satu anak itu memutar kemudi, dan membawa Dion yang terlihat kepayahan untuk segera pergi. Selena mendesis. Menekan pedal rem saat tangannya terjulur untuk memegang dahi putranya. Mengecilkan pendingin ruangan dan bergerak mencari mantel di belakang kursi. Dia membuka mantel itu lebih lebar, menyelimuti putranya dengan lembut. Matanya melirik pada lampu merah yang masih menyala. Selena mencari ponsel di tasnya. Bergerak menekan nomor kantor, dan mendapati sambungan itu teralih pada sekretaris suaminya. Aster. "Panggilkan Damien cepat. Aku butuh bicara dengannya." "Maaf, Nyonya Selena, Tuan Marcuss tengah berada di ruang rapat. Anda bisa menunggu—," Selena mematikan ponselnya. Mencari nomor lain saat dia mendesis, menunggu sampai dering kelima dan seseorang mengangkat teleponnya. "Apa?" "Aku akan membawa putramu ke rumah sakit." "Apa?" Selena mendesis. Menekan pedal gas saat dia memegang setir sembari menelepon. "Dengar, badan Dion demam. Aku curiga dia terkena gejala tipes. Aku akan membawanya ke rumah sakit." "Sepuluh menit lagi aku sampai." Selena tak lagi mendengar suara suaminya karena Damien memutuskan sambungan mereka lebih dulu. Menaruh ponselnya, Selena menghela napas dengan sudut bibir tertarik ke atas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD