Bagian Satu

3275 Words
"Terima kasih sudah mau datang. Para hadirin yang terhormat. Orang tua anak-anak kami, dari Sekolah Dasar Halim yang mau meluangkan waktunya untuk hadir di aula ini." Marcuss Dion bersidekap. Menatap aula dari balik pintu kaca yang terbuka lebar. Iris gelapnya memaku, menatap pada sosok yang tidak asing dan segera, sudut bibirnya melengkung naik ke atas. Anak itu berbalik. Kembali bergabung bersama anak-anak lain yang berlari ke luar dari kelas karena jam kosong. Koridor besar Sekolah Dasar Halim akan ramai kalau jam istirahat, bel pulang, dan jam kosong. "Dion!" Dion menoleh. Mendapati Souma memintanya mendekat. Dengan PSP berwarna biru tua di tangan, bocah sepantaran dengannya melambai dengan senyum lebar. Ciri Souma, si anak nakal yang gemar pencari perhatian. "Hei, Lawson. Tidak bergabung bersama?" Lawson memutar mata. Dengan nintendo switch di tangan, dia menatap Souma dan Dion yang berdiri di dekat loker mereka. Lalu, menghela napas. "Hanya karena orang tua kami berteman, iya?" Lawson tidak lagi berpikir panjang. Saat dia berjalan, bergabung bersama Souma yang menggerutu, dan pada Dion yang menatap datar ke layar PSP yang menampilkan grafik antar permain yang berkelahi. "Aku kalah!" Souma mencebik. Hampir membanting PSP itu saat suaranya yang melengking mengacaukan atensi di koridor. Anak-anak ramai menatapnya. Dan Souma mendengus, kembali menyandarkan punggung pada loker. "Aku bosan. Ke kantin?" Kepala Lawson menggeleng. "Mamaku sebentar lagi bosan. Dia akan datang kemari untuk melihatku." Dion menatap Lawson yang mematikan nintendo miliknya. "Bibi Saphira tidak datang dengan Paman Gio?" "Tidak," Lawson balas menatap matanya. "Papa dan Mamaku baru saja bertengkar. Semalam. Aku mendengarnya. Saat aku ke dapur." Kedua mata biru Souma melebar. "Heh? Tumben." Dion memiringkan kepala. "Kau mendengar kalau orang tuamu bertengkar?" "Kemarin kebetulan. Sebelumnya, tidak pernah," ujar Lawson. "Kalau mereka bertengkar, Mama hanya diam. Tidak bertegur sapa dan seterusnya." Dion yang kali ini terdiam. "Jadi, kalau orang tua kita tidak bertegur sapa, itu artinya mereka sedang bertengkar? Hmm," kening Souma mengernyit. "Kira-kira, karena masalah apa, ya?" Lawson mengangkat bahu. "Aku tidak tahu." "Kenapa Bibi Saphira bertengkar?" Lawson menatap Dion. Berpikir sebentar. Karena mereka sudah dekat, tidak ada salahnya bicara. Dion juga bukan termasuk anak cerewet dan cenderung lebih banyak diam. "Semalam, ada tamu di rumah. Aku tidak tahu siapa. Saat Papa kembali, aku mendengar kalau tamu itu ternyata mantan Mamaku saat SMA." "Apa itu mantan?" "Semacam bekas?" Dion mengangkat alis. "Apa kau tahu apa itu mantan?" Kepala Lawson menggeleng. "Aku rasa, yang disebut mantan itu tidak baik. Pembawa bencana. Buktinya, Mama dan Papa bertengkar karena mantan." "Oh, mantan itu nama orang?" Dion menatap Souma. "Mungkin, lebih ke perumpamaan atau sebutan?" Souma mencibir. "Ah, pusing." Lawson mendesis. "Aku akan bertanya pada Mamaku nanti. Ayo, kita ke kantin." Lawson berjalan lebih dulu. Disusul BerrySouma yang berlari, menyaingi langkah pelan Lawson. Dan Dion yang masih membatu, terdiam di tempatnya. *** "Benar-benar membosankan. Katakan saja kalau mereka butuh dana, butuh donatur. Dan bilang, kalau orang yang lebih kaya bisa menyumbangkan uang untuk mereka. Ishh." Saphira menggerutu. Hampir satu jam lebih dia lewati untuk mendengar ocehan kepala yayasan Halim yang sama sekali tidak penting itu. Dia datang karena putranya merengek. Kalau dia tidak sayang anak, untuk apa datang dan membatalkan janji temu untuk perawatan di salon ternama? "Mereka bilang, Halim akan menerima sekitar sepuluh anak beasiswa lagi. Aku sama sekali tidak keberatan kalau biaya sekolah anakku naik. Kau sendiri?" Selena mengangkat alis. Menyesap kopi latte dingin dari tepi gelas, dan mendesah. "Uang bukan masalah." "Kau benar. Kita berdua tidak pernah kekurangan secara finansial," Saphira berdeham. "Apa kau akan tetap tinggal menunggu putramu pulang?" Selena menatap mata biru di depannya. "Tidak. Aku titip Dion nanti. Biarkan dia di rumahmu sampai aku kembali." "Hm, oke. Tidak masalah." Selena menghela napas. "Aku akan pergi ke kantor suamiku. Dia berpesan untuk mampir setelah hadir di rapat sekolah anak kami." "Damien mau bicara?" Kepala cokelat itu terangguk. "Aku tidak tahu hal segenting apa sampai dia memintaku untuk datang." Saphira mendengus. "Dia tidak mungkin memintamu untuk menjadi sekretarisnya menggantikan p*****r itu, kan?" "Aster?" Selena mendengus. Tampak jelas sedang menahan tawa. "Dia pikir dia bisa merebut suamiku dariku?" Saphira tertawa. "Gadis miskin itu jelas bukan tandinganmu. Oke, benar. Aku seharusnya tidak perlu mencemaskanmu." Selena mengangkat alis. Bibirnya berkedut menahan senyum. "Untuk apa kau mencemaskanku? Lagipula, Aster hampir berhasil merebut suamimu darimu, Saphira. Kau seharusnya berjaga-jaga." "Dia benar-benar jalang tidak tahu diri," cibir Saphira. Ekpsresinya benar-benar masam sekarang. "Setelah suamiku memecatnya, dia sekarang bekerja untuk perusahaan suamimu? Dia gila, Selena." "Lebih gila lagi, dia pernah bertamu ke rumahmu. Alasan pekerjaan. Ya Tuhan, kalau Gio tidak menahanku, aku bisa menghajarnya demi dirimu." Selena terkekeh. Kembali mencomot kentang goreng di atas piring. Kelakuan tetangganya satu ini memang tiada duanya. Selena merasa terhibur kala dia bosan sendiri di rumahnya. Selena bukan wanita karir. Sebelum menikah, dia sempat menempuh jurusan kedokteran gigi Universitas Negeri Tokyo. Universitas yang sama dengan suaminya. Tetapi, karena syarat Damien saat itu adalah dia tidak mau memperistri perempuan yang bekerja, Selena menurutinya. "Yang jelas, Aster tidak akan mampu mengambil apa yang menjadi milikku," Selena berkedip pada Saphira. Yang membeku, menyadari betapa berbahaya perempuan yang duduk semeja dengannya. "Lagipula, pernikahan kami baik-baik saja selama sepuluh tahun ini. Dan sebentar lagi, usia putraku sebelas tahun. Kau pernah mendengar kami bertengkar? Tidak, kan?" "Ah, aku iri!" Selena tertawa. "Iri karena apa?" "Karena Damien terlihat mencintaimu. Kalian serasi sekali sebagai pasangan. Terlalu sempurna. Kau tidak tahu, tetangga kita di perumahan Distrik Rose benar-benar iri pada keluargamu." "Kau bukan perempuan sembarangan," celoteh Saphira. Tanpa mempedulikan bagaimana ekspresi Selena sekarang. "Keluargamu benar-benar terpandang. Ayahmu dokter spesialis jantung termahal di negeri ini. Ibumu, seorang pebisnis handal. Bank Tokyo, itu milik keluargamu. Juga, AEON Mall milikmu. Mall terbesar yang ada di Jepang." "Benarkah?" Selena kembali tersenyum. "Aku sendiri tidak tahu berapa banyak uang yang mereka kumpulkan." "Kau sudah terlahir kaya." Selena hanya mengangguk. "Jadi, siapa pun yang berurusan denganmu, atau dengan keluargamu, jelas dia bukan orang yang sepadan, kan?" Selena menyeringai. *** "Selamat siang." Tepat setelah pintu lift terbuka, Selena dihadapkan pada Aster yang membungkuk di depan pintu. Maniknya bergulir menilai penampilan mencolok gadis itu. Dan mendengus. Meski, usia Aster lima tahun darinya, Selena sedikit merasa kalau dia yang lebih muda dari gadis itu. "Siang." Aster tidak lagi terkejut dengan sapaan dingin yang meluncur dari istri kepala direktur perusahaan. KamaraSelena, dengan marga kebanggaan yang benar-benar membuat orang harus membungkuk dua kali mengetahui siapa perempuan itu. Manik Aster memutar bosan. Terasa jenuh setiap kali harus menyambut tamu yang akan datang bertemu atasannya di ruangan. Dan siang ini, mendapati istri atasannya yang datang, rasa jengkel itu kian menjadi. Selena tidak perlu mengetuk pintu. Hanya dia satu-satunya yang tidak perlu lakukan itu untuk masuk ke dalam ruangan yang luasnya hampir sama dengan luas ruang keluarga di rumah mereka. Suaminya sedang menunduk, menatap datar pada tablet yang tergeletak di atas. Dan saat dia mendekat, menaruh tas Gucci di atas sofa, Selena menarik kursi untuk duduk. Tepat di depan sang suami. Iris kelam itu melirik. Tidak mendapati istrinya datang bersama putranya. Dia menatap jam di pergelangan tangan. "Dion pulang bersama Saphira siang ini," kata Selena. Tanpa perlu mendengar pertanyaan dari sang suami. "Karena kurasa, kau akan bicara masalah penting siang ini. Jadi, tidak perlu mengajaknya ikut kemari." Marcuss Damien hanya mengangkat alis. Kemudian, memundurkan sedikit kursinya. Menarik sesuatu dari laci meja kerjanya, dan melempar laporan itu tepat di hadapan Selena. "Karena aku yang menghidupimu, aku berhak tahu pengeluaran apa yang kau keluarkan setiap bulannya. Ada sekitar lima ratus juta kau keluarkan bulan lalu." Damien memiringkan kepala. Menatap sang istri yang tengah membaca laporan pengeluaran keuangan itu dalam diam. "Untuk berbelanja? Kau terbiasa memakai kartu kredit dan debit. Itu tidak mungkin," Damien berganti, menopang dagu dengan dengusan. Selena balas menatapnya. Sorot mata itu tak terbaca. Saat ibu satu anak itu tersenyum. "Untuk beramal?" "Beramal?" Damien kembali mendengus tak percaya. "Kau terbiasa memakai uangmu sendiri untuk yayasan yang dikelola ibumu dan ibuku. Untuk apa?" "Memang, untuk beramal." "Kau berbohong." Selena mendengus. "Apa aku terlihat seperti itu sekarang?" "Baiklah. Kalau untuk membeli tas, jelas tidak mungkin. Aku selalu memakai kartu kredit untuk urusan itu. Kau bahkan melarangku memakai Black Card yang diberikan ibuku. Oke, aku mengalah." "Kau hanya perlu menjawab, dan tidak perlu bertele-tele seperti itu," Damien mencibir. Menatap istrinya saat dia bersandar di kursi kerjanya. "Kalau pun untuk amal, aku tidak akan bertanya lagi." Selena menghela napas panjang. "Unuk amal. Lima ratus juta, donatur di salah satu rumah sakit swasta. Mereka sedang membutuhkan dana berlebih karena pasien kanker mereka bertambah dalam kurun satu bulan." Alis Damien bertaut. "Masalah selesai." Selena memutar mata. Saat dia siap berdiri, dan terdengar pintu terbuka. Lalu, suara sepatu yang berlari, dan suara khas anak-anak menyapa telinga mereka. "Mama!" Ekspresi datar Selena luntur saat dia menatap mata putra semata wayangnya, yang kini mendekat untuk memeluknya. "Kenapa kau di sini? Mana Saphira?" "Bibi Saphira pulang. Aku memintanya untuk datang kemari." Selena melepas pelukan mereka. Menangkup pipi pucat anaknya dan tersenyum. "Oke, anak baik. Kita akan pulang. Kau mau makan apa untuk makan siang kita?" Manik gelap itu melirik ke arah lain. Dimana sang ayah duduk, menatapnya datar seperti biasa. "Papa tidak ikut?" "Aku punya rapat sepuluh menit lagi," balasnya. Selena menangkap ekspresi sedih itu di wajah putranya. Dia mendesah, kembali meremas bahu Dion dan tersenyum. "Papa akan pulang cepat nanti malam. Kita bisa makan malam bersama." Kedua mata itu melebar. Dan saat kepalanya terangguk, dia bersiap berjalan keluar. Ibunya akan menuruti apa pun untuknya. Termasuk, urusan perut. Jadi, MarcussDion tidak perlu untuk meminta apa pun. Selena berdiri. Meraih tasnya, menggantung tas itu di bahunya sebelum dia mendesah, menoleh ke belakang. "Pulanglah lebih cepat." Kepala Damien terangguk. Dan Selena berlalu pergi, menutup pintu tanpa berkata apa-apa lagi. Saat putranya berlari ke arah lift, dan menekan tombol di sana. Ekspresi riangnya berubah masam ketika Aster mendekat. "Hai, tampan. Mau makan siang?" Dion hanya diam. Menatap Aster yang sedikit membungkuk ke arah anak itu, dan berusaha menyentuh pipinya, Dion menghindar. Saat pintu terbuka, anak itu segera melompat ke dalam lift. Dan menunggu Selena yang sedang tersenyum ke arahnya. Meninggalkan ekspresi pias di wajah Aster yang kentara. "Penolakan yang menyakitkan, bukan? Lain kali, kau harus bisa mengambil hatinya sebelum mengambil hati ayahnya. Selamat siang, Aster. Nikmati jam istirahatmu." Ucapan Selena cukup membuat bibir Aster gemetar ingin menyumpah. Saat Selena masih tersenyum dingin di balik pintu yang tengah menutup, dan saat Aster menghentakkan kakinya ke atas lantai dengan keras. Gumaman Aster terhenti saat dia melihat MarcussDamien berdiri, tengah memasang jas hitamnya. Sembari menatapnya datar. "Aku akan datang rapat lebih cepat. Bawa berkasku ke bawah." "Baik, Tuan." *** "Mama, minggu nanti aku akan pergi ke rumah Oma Haru. Mama ikut?" "Oma Haru?" Suara Damien memecah suasana di meja makan. Saat Selena membantu asisten rumah tangga menyusun piring di atas meja, dan memintanya untuk istirahat selama keluarganya sedang makan malam. "Oma Haru," balas Dion. Kembali duduk dengan tenang di atas kursi. "Kemarin, saat Mama pergi, Oma Haru datang untuk mengajakku bermain. Dia bilang, aku harus mengunjunginya di akhir pekan nanti." "Aku tidak tahu," ujar Selena. Mengerti arti tatapan Damien padanya. "Boleh saja aku ikut." "Mama akan ikut?" "Huum. Mama akan pergi," Selena menarik kursi untuk duduk. "Kita akan pergi agak pagi. Kalau siang, matahari terik sekali." "Oke!" Dion menyantap makan malamnya dengan tenang. Anak itu telah terbiasa dengan aturan di dalam rumah, dimana mereka harus tenang saat sedang makan. Ajaran itu membekas sampai dia sebesar ini sekarang. "Kau tidak ikut?" "Lihat nanti," kata Damien datar. "Papa." Damien melirik ke arah putranya. "Bisakah, Papa menambah uang sanguku?" "Untuk apa?" Selena yang memotong percakapan. Manik kelam Dion menatap ibunya. Dia terdiam sebentar. "Tidak apa-apa. Tidak jadi." "Berapa?" Kepala Dion kembali tertoleh. "Berapa yang kau butuhkan?" "Umm," Dion berpikir sebentar. "Dua ratus ribu?" "Untuk apa sebanyak itu? Kau ingin membandingkan uang sakumu pada Souma atau Lawson, iya?" Dion menatap mata ibunya. Dan lekas menunduk. Suara ibunya tetap seperti biasa, tetapi saat dia menatap matanya, Dion menunduk. "Mereka bilang, orangtuaku lebih kaya dari anak-anak di sekolahku. Tapi, mereka juga bilang ongkosku sangat jauh dibawah rata-rata." Selena menghela napas. Saat dia mengintip ekspresi suaminya yang sama datarnya, dia kembali membuka mulut untuk bersuara. "Mama bilang apa? Uang saku bukan berarti apa-apa. Kau mendapat fasilitas lengkap di sekolah. Mendapat snack setiap hari, makan siang selama tiga hari penuh setiap minggunya. Apalagi yang kurang?" "Mamamu benar. Kami bisa memberimu lebih dari itu, tapi tidak sekarang." "Kapan?" Damien mengangkat alis. "Tujuh tahun dari sekarang. Tujuh belas tahun nanti, Papa akan memberikan itu." "Tanpa persetujuan dari Mama. Kau mengerti, Dion?" Dion cemberut. Menatap mata Papa dan Mamanya bergantian, lalu mengangguk. "Mengerti, Mama." Selena mendesah. Memejamkan mata sebentar sebelum mengendik pada piring anaknya. "Bagus. Habiskan makan malammu. Setelah itu, persiapkan buku untuk pelajaran besok. Kau baru tidur." Dion hanya mengangguk. *** "Acaranya nanti malam? Kenapa mendadak sekali?" Damien menatap pantulan dirinya di depan kaca lemari pakaian. Memasang dasinya dengan tenang, sebelum matanya melirik ke arah sang istri yang sedang duduk di atas kursi meja rias, dan termenung. "Regan yang memberikannya. Aku tidak tahu. Kita harus datang. Ibumu juga akan datang." "Dia tentu tidak akan absen," Selena mendesah. Dia meremas kertas undangan itu, dan menatap suaminya. "Kau perlu bantuan?" Kepala Damien menggeleng. "Aku akan kembali jam empat sore nanti. Acara pukul tujuh, dan kita bisa datang lebih cepat." "Kau mau meninggalkan anakmu sendiri?" "Dia cepat bosan. Kalau Dion ikut, dia akan merengek. Titipkan saja pada Saphira." "Kita tidak akan berlama-lama kalau begitu." Selena berdiri. Menaruh undangan itu di atas meja rias kesayangannya. Saat dia melangkah turun bersama sang suami. Dan mendengar suara anaknya yang menjerit dari arah dapur, Selena segera berlari untuk melihat putranya. "Dion. Ada apa?" "Mama, ada kecoa terbang!" Asisten rumah tangga mereka ikut kelabakan. Saat dengan hati-hati, mengusir hewan menggelikan itu dari lantai dapur. Selena menghela napas. Dia meraih sapu itu dengan dengusan pelan, membuat asisten muda itu menunduk malu. Dia sendiri pun sama gelinya karena hewan itu. Saat Dion meringis, dan ibunya yang kali ini membunuh hewan itu dengan sapu, dan membuangnya ke tempat sampah. "Aku akan mengepel lantainya, Nyonya." Selena mengangguk. Dia kembali pada Dion yang sedang memakai tas punggungnya dan mencomot roti bakar di atas piring. "Pelan-pelan makannya, nanti anak Mama tersedak." Dion hanya mengangguk. Dia mengecup basah pipi ibunya yang berjongkok agar sejajar dengan tinggi tubuhnya. Dion akan tumbuh tinggi di masa depan. Genetik orang tuanya tidak main-main memang. "Hati-hati di jalan." Selena melambai pada keduanya. Saat Dion duduk di kursi penumpang, memasang sendiri sabuk pengamannya. Dan Damien menutup pintu mobil sebelum duduk di kursi kemudi, dan membawa sedan mewah itu berlalu setelah menekan klakson, dan Selena kembali melambai dengan senyum pada mereka. *** Acara yang diadakan Perdana Menteri cukup mewah. Menjamu beberapa tamu penting yang memang sekiranya memiliki nama untuk kalangan jetset. Selena pernah menghadirinya beberapa kali untuk memenuhi undangan, atau terkadang menemui ibunya. Dan karena acara ini pula, dia bertemu dengan suaminya pertama kali. Selena akui, saat itu Damien menjadi satu-satunya pria paling tampan di dalam ballroom hotel bintang lima ini. Sosok Damien yang mampu mengacaukan atensi semua perempuan itu mengusik hati Selena. Mereka sempat bicara formal sebentar, bertemu karena atas nama keluarga besar. Dan saat itulah, pertemuan itu berlanjut sampai akhirnya berlabuh ke pernikahan. Selena saat itu tidak mau ambil pusing tentang persiapan pernikahan. Setelah dia menyetujui syarat yang Damien pinta, mereka melangsungkan pernikahan. Kedua keluarga yang sibuk di saat Selena sibuk dengan dunianya, dan Damien yang ikut sibuk dengan dunianya sendiri. Mereka sebisa mungkin mengontrol segalanya saat di depan umum. Menjadi diri mereka masing-masing saat di dalam rumah, dan kamar. Bahkan, Selena akui. Baik Damien mau pun dirinya, mereka berdua pintar memainkan topeng yang harus silih berganti. Saat di depan keluarga, di depan teman, di depan kolega, dan di depan putra mereka. Sepuluh tahun menikah, mereka dikaruniai anak laki-laki. Selena tidak pernah berpikir bagaimana rasanya jadi ibu nanti. Di masa depan, dan bagaimana dia akan mengasuh anaknya nanti. Tapi, selama nyaris sebelas tahun, dia menikmati perannya. Meski hampir sembilan puluh lima persen, Dion menuruni fisik ayahnya, Selena mengerti benar bahwa beberapa kelakuan anak itu, menurun darinya. Seperti saat ini misalnya. Saat mereka memasuki area aula pemerintahan yang telah didekorasi sesempurna mungkin, tangannya bergerak melingkari lengan sang suami. Dan mereka berjalan, menyapa beberapa rekan yang dikenal. Sebelum berhenti pada keluarga dari suaminya. "Itu mereka datang." Selena tersenyum setelah dia membungkuk. Menyalami Regan bersama istrinya, Hyena. Dan kemudian, memeluk ibu mertua dan ayah mertuanya. "Di mana cucu kesayanganku?" Selena melirik Hyena yang mendengus. Memalingkan muka karena Haru terang-terangan menyinggung soal anak. "Dia bermain bersama tetangga kami, Saphira. Tidak perlu cemas, Ibu. Dion baik-baik saja." "Syukurlah. Aku tidak tenang kalau mendengarnya demam," Haru meremas lengan Selena. Selena tertawa. "Dion sehat. Dia baik-baik saja sekarang. Dia bilang, dia tidak sabar untuk mengunjungi Oma Haru dan Opa Daren minggu nanti." "Ya Tuhan, benarkah? Astaga, aku tidak sabar mengajaknya bermain nanti." Selena hanya tersenyum. Mengetahui kalau Dion benar-benar dimanja dan dicintai di keluarga suaminya membuatnya tenang. Dia menyayangi putranya, dan melegakan kalau putranya juga dicintai banyak orang. Selena masih berbincang bersama ibu dan ayah mertuanya, sampai dia merasakan Damien menepuk punggungnya samar, dan mengendik pada siapa tamu yang datang. "Ah, sebentar. Orangtuaku datang." Selena berpamitan. Dan pasangan suami istri Marcuss itu mengangguk dengan senyum. Damien mengangguk pada ibu dan ayahnya, lalu menyusul sang istri yang lebih dulu pergi. "Selena." Selena merentangkan tangannya. Memeluk ibu dan ayahnya bergantian. Saat dia meringis, menatap sedih ke arah mereka berdua. "Aku cemas sekali. Aku pikir kalian tidak akan datang. Kenapa pula Mama mematikan ponselnya?" Kamara Kiara terkekeh. Dia memalingkan pandangannya saat menatap menantunya datang, menyapa mereka dengan tatapan ramah. "Damien, lama tidak melihatmu. Apa kabar?" "Aku baik. Maaf, karena aku tidak bisa mengunjungi Ibu sesering dulu," katanya menyesal. Selena hanya tersenyum. Saat Kiara dan Yuma bergantian mengajaknya bicara, sebelum menyapa keluarga Marcuss di meja lain dan Selena yang berpaling ke arah meja makanan. "Aku akan mencari sesuatu untuk mengganjal perut." Damien mengangguk. Sebelum melepas istrinya pergi, dia sempat berbisik. "Bawakan aku pie s**u. Aku akan mengambil minuman." Selena berjalan. Mendekati meja yang dipenuhi makanan ringan dan makanan manis. Dia akan menghindari makanan manis. Karena suaminya bukan pecinta makanan manis. Dan Selena sedang tidak dalam suasana ingin menyantap makanan manis. "Melihatmu datang bersama Damien malam ini, aku terkejut. Aku pikir, kalian akan berakhir dengan perceraian." "Kami sering datang berdua. Kenapa harus terkejut?" Pria itu mendengus. "Jujur saja, Selena. Terlihat jelas bagaimana tingkah kalian berdua. Kalau sebenarnya, di antara kau dan Damien, cinta itu belum ada. Atau mungkin tidak pernah ada?" Selena terdiam. Dia menatap piring yang didominasi pie s**u, dan brownies cokelat kesukaannya, sebelum mendesah pelan. "Aku tersanjung sekali, kakak ipar. Kau mau memperhatikan kami sedetail itu. Aku sendiri pun, tidak pernah peduli dengan kehidupan pernikahanmu bersama Hyena." "Hyena tidak bisa punya anak. Dia bermasalah. Dan wajar saja, kalau aku berusaha mencari kehangatan lain di luar rumah?" "Bukan hal yang wajar kalau kau menyakiti istrimu sendiri. Ada baiknya, kalian bercerai terlebih dulu." Regan mendengus. Tengah menahan senyum saat dia menatap Selena penuh arti. "Oh, tentu saja. Asal kau mau menceraikan Damien, dan pergi bersamaku. Kita akan menikah, hidup bahagia bersama. Kau tidak perlu khawatir, Selena. Aku akan membahagiakanmu lebih dari Damien." Selena menatap Regan datar. Saat bibirnya berkedut menahan senyum, dan saat dia mendengus geli. "Seyakin itukah?" Regan mengangkat alis. "Kalau aku menikah denganmu, aku tidak akan punya anak seluar biasa anakku sekarang. Karena siapa tahu, kau yang ternyata bermasalah?" Selena kembali memasang senyum manisnya. "Nikmati malammu, kakak ipar. Kasihan Hyena, dia sendiri. Temani istrimu di sana." Dan Selena berbalik. Berjalan mendekat ke arah sang suami yang tengah menunggu. Selena benar-benar yakin sekarang, Damien melihat semuanya. Dan pria itu juga sudah menduganya. Karena tatapan Damien saat ini berbeda. Selena menyerahkan piring itu ke arahnya. Dan mendongak untuk menatap matanya. "Kita bicarakan ini di rumah nanti." Damien menerima piring itu. Dan berbalik pergi mencari tempat duduk untuk mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD