Bagian Sepuluh

3212 Words
"Papa dan Mamaku selalu berpelukan sebelum Papa berangkat bekerja." "Mamaku sering mencium pipi Papa setiap dia kembali dari kantor." "Waaah! Papa dan Mamaku kadang tertawa di meja makan saat kami sedang sarapan atau makan malam. Mereka sangat lucu." Lawson dan Souma menatap meja sebelah dengan tatapan selidik. Alis keduanya bertaut. Memandang sekitar empat anak-anak sebaya mereka sedang duduk menikmati makan siang sembari berceloteh tentang orang tua di rumah. Kenapa tiba-tiba? Lawson melempar tatapannya ke arah Souma. Hamburger yang ada di atas piring tak lagi dia sentuh. "Kenapa tiba-tiba membahas Mama dan Papa?" "Aku tidak tahu," sahut Souma masam. "Memangnya, mereka saja? Orangtuaku juga sama. Mama akan mencium Papa sebelum pergi bekerja. Dan saat pulang, Mama akan menunggunya." "Berarti, kita sama. Mama terkadang punya cara lain," Lawson tampak berpikir keras. "Seperti, Mama yang memukul Papa karena makan dengan lamban. Atau Papa yang diam-diam suka menggoda Mama di pagi hari? Aku sampai bosan melihatnya." Souma tertawa gemas. "Bibi Saphira memang yang terbaik," tukas Souma dengan seringai lebar sembari memberikan jempolnya. "Aku ingin punya ibu seperti Bibi Tari atau Bibi Selena yang tidak banyak bicara," sungut Lawson jengkel. "Sekali Mama mengomel, tidak akan berhenti. Marah terus-menerus sampai rasanya semua benda ingin dia makan." Souma kembali tertawa. Marcuss Dion hanya diam. Tadi, saat dia hendak memakan spageti miliknya, dia mendengar bisik-bisik itu dari meja sebelah. Tidak menyangka kalau kedua temannya juga mendengar. Dan berbuntut mereka ikut membahas bagaimana orang tua mereka di rumah. Seketika Dion tertegun. Bibirnya menipis dan ekspresi datar anak itu berubah pias. Matanya berulang kali melirik dari spageti saus daging dan pada Souma atau Lawson. "Orang tua kalian sering berpelukan?" Pertanyaan spontan itu lantas diberi kerutan di dahi keduanya. Souma menegak air di botol minumnya dan Lawson yang memberi reaksi sebatas anggukan kepala. "Aku sering memergoki mereka berpelukan. Kenapa bertanya, Dion?" "Tidak ada. Hanya bertanya saja," balas Dion dengan kepala tertunduk. Apa Papa dan Mamanya baik-baik saja? Dion menghela napas berat. Dia memainkan garpu di atas piring, sebelum kedua mata itu terpejam lelah. Gurat-gurat di wajah polosnya tampak seperti gelisah dan takut. Entah, dia takut karena apa. "Semua orang tua pasti sama," Souma kembali bicara setelah menghabiskan takoyaki di atas piring. "Selalu berpelukan sebelum pergi bekerja. Di depan pintu. Tidak hanya Papa dan Mamaku." Lawson kali ini menimpali dengan anggukan kepala. Kembali memakan hamburger miliknya. Dan semua kalimat itu tergiang di kepala Marcuss Dion. Berusaha menjabarkan apa yang terjadi di dalam rumah selama dia tumbuh besar bersama orang tuanya. Dia tidak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Papa dan Mamanya selalu memberi yang terbaik. Sebisa mungkin meluangkan waktu untuknya dan Dion sangat bahagia memiliki mereka. Tapi, apa mereka bahagia memiliki Dion? Lantas, Dion melepas garpunya. Memilih untuk menundukkan kepala guna menyembunyikan ekspresi kalut dan sedihnya. Membiarkan Souma dan Lawson saling melempar canda di saat dia benar-benar memjadi anak pendiam siang ini. Rola baru saja tiba di kantin. Ingin mencari menu makan siang untuk ia santap, matanya menemukan Marcuss Dion duduk di meja bersama dua teman dekatnya. Bukan canda mereka yang menarik perhatian Rola. Tetapi, sinar mata Dion yang seringkali berubah menatap teman-temannya. Dan Rola tersentak saat mereka sedang berbicara tentang orang tua mereka di rumah. Lalu, manik cokelat madu itu hanya diam menemukan Marcuss Dion kembali tertunduk. Mencoba melenyapkan ekspresi sakitnya sendiri. Kenapa seperti ini? *** "Dion, yakin tidak mau bersama?" Kepala Dion menggeleng singkat. Mata kelam anak itu menyapu datar ekspresi dari Bibi Saphira yang berbaik hati menawarkan tumpangan karena ibunya belum menjemput setelah sepuluh menit kelas bubar. Dia tadinya duduk bersama Lawson. Souma selalu dijemput tepat waktu. Dan hanya menyisakan Dion di teras. Duduk menunggu sampai ibu atau ayahnya datang membawanya kembali ke rumah. "Baiklah, Bibi Saphira harus pergi. Kami punya janji," bisik Saphira dengan tatapan cemas. "Aku akan coba menghubungi—," "Tidak apa, Nyonya Yamanaka. Biar aku yang menjaga Dion di sini," sahut suara lain di belakang punggung Dion. Saphira lantas mendongak. Mengerutkan alis menemukan guru muda dengan tampilan cantik dan nyaris mendekati sempurna mengusap bahu Dion dengan senyum. "Ah, begitu?" Saphira merasa tidak yakin. "Biasanya Selena tidak pernah terlambat selama ini menjemput putranya. Aku jadi cemas." "Semua akan baik-baik saja," balas Rola sekali lagi. Yamanaka Saphira menurunkan kembali ponselnya. Saat dia menatap mata Dion. Memastikan anak itu baik-baik saja saat dirinya pergi. "Dion?" "Aku tidak apa, Bibi Saphira," ucapnya dengan senyum tipis. "Ada Mrs. Rola di sini. Dia akan menjagaku." Saphira mendesah. Dia meremas bahu Dion sebelum beralih pada Rola yang masih memasang senyum ramahnya. "Tolong, jaga dia. Selena akan tiba sebentar lagi." "Bukan masalah. Hati-hati di jalan, Nyonya Yamanaka." Rola membungkuk. Dan Saphira menatapnya dengan anggukan kepala singkat. Dion melambai saat Lawson menoleh ke arahnya. Saat pandangan Lawson mulai menjauh, Dion terlihat lesu. Anak itu memainkan kedua tangan di atas pangkuan. Rola tidak bisa memalingkan wajahnya ke arah lain. Iris cokelatnya menyapu datar pada Dion. Sebelum dia ikut duduk di kursi teras, mengusap rambut legam anak itu. "Kalau dilihat-lihat, kau ini anak Papa sekali, ya." Dion menoleh dengan alis berkerut. "Apa Mrs. Rola dekat dengan Mama?" "Hmm. Yah, bisa dibilang begitu," Rola membalas dengan senyum ramah. "Apa Dion mau tahu bagaimana Mama dulu saat remaja?" Bola mata anak itu melebar antusias. "Wah!" Rola mengulas satu senyuman. Maniknya menerawang menatap tulisan besar di depan air mancur taman Halim dengan pandangan datar. "Aku ingat benar, kalau Mamamu itu sangat dingin. Mamamu tidak terlalu pandai bergaul. Dia terkesan menjaga jarak. Karena pertama, dia kaya. Dia menghindari para penjilat yang hanya ingin uang dan memanfaatkan kedudukannya saja." Rola kembali menoleh. Menatap Dion yang masih mencerna kalimatnya. "Apa kalimatku membuatmu bingung?" Dion menipiskan bibir. "Tidak, Mrs. Rola." "Dion, kau di sini? Ayo, pulang bersama Paman." Kepala Dion tertoleh. Kedua matanya tanpa sadar menyipit menemukan Marcuss Regan berdiri di depannya. Siap menarik tangannya dan dengan gelengan singkat, Dion melompat turun dari kursi dan mundur. "Tidak, Paman. Aku akan pulang bersama Mama." "Mama tidak ada di sini," sahut Regan dingin. "Paman menjemputmu karena Papa yang menyuruh. Ayo, pulang bersama Paman." "Tidak mau!" "Dion!" Regan balas membentak. Rola berdiri. Menengahi mereka berdua dan meminta Dion untuk berlindung di belakang punggungnya. "Maaf, kalau aku terkesan menyela dan tidak sopan. Tapi, Dion akan pulang bersama ibunya," kedua mata Rola menyipit tajam. "Anda siapa?" "Ah," Regan mendengus samar. Menilai gadis itu dengan tatapan sinis. "Marcuss Regan. Aku kakak dari ayahnya Dion." "Begitukah?" Rola menanggapi dengan santai. Saat Dion masih bersembunyi dan anak itu sesekali mengintip sang paman di balik punggung Rola. "Karena aku berjanji akan menjaganya sampai Mama Dion datang, aku tidak bisa membiarkan Anda membawanya pergi." "Aku pamannya!" "Aku bertanggung jawab atas anak didikku sendiri di sini," balas Rola tajam. "Jadi, aku pinta pada Anda untuk mundur." Sebelum Marcuss Regan berkata kasar di depan umum dan area sekolah, Dion berteriak memanggil seseorang yang muncul dari gerbang. Berjalan mendekat dengan pandangan sinis terang-terangan. "Mama!" Rola mengintip ibu satu anak itu dalam diam. Diam-diam mengembuskan napas panjang dan lega. "Maaf Mama terlambat," Selena menunduk untuk mengurai rambut legam putranya. "Mama pergi ke kantor Papa untuk suatu urusan." "Ck!" Rola termangu memandangi Marcuss Regan dengan sorot menilai. Ekspresi perempuan itu berubah tatkala menemukan bagaimana tatapan Regan pada Selena yang berjalan mendekat. "Mau apa kau kemari?" "Tidak ada sopan-sopannya dengan kakak ipar, Selena?" Selena mengeraskan rahang. Melirik Rola dalam diam, dan bibirnya mengetat. "Aku akan menempatkan diriku pada hal yang tepat. Yang jelas, bukan di depanmu." "Benar-benar perempuan ini," dengus Regan masam. Regan bukannya berbalik pergi, malah berjongkok sejajar dengan Dion yang memasang tampang masam. Pria itu memberi senyum, mengusap rambut legam keponakannya. "Lain kali, pergilah bersama Paman Regan. Paman akan belikan apa pun yang kau mau." Rola terkejut mendengarnya. Saat Regan bangun, melirik selintas pada Selena. Dan perempuan itu bicara dengan nada dingin berbalut ancaman. "Sentuh putraku, kau mati." Rola benar-benar terkesiap sekarang. Dia sampai tak kuasa menutup mulutnya yang menganga. Saat Dion mendongak, menatap ibunya dalam diam. Dan Marcuss Regan yang menjadi sasaran pelaku ancaman, hanya mengangkat bahu acuh. Lalu, berjalan pergi. "Selena?" Selena menarik napas dalam-dalam. Tangannya tiba-tiba gemetar dan Dion tanpa sadar melepas tangannya dari lengan sang ibu. "Apa yang baru saja kau katakan?" Selena mendengus kasar. Mengusap pelipisnya sendiri ketika dia menunduk guna memakukan tatapan matanya dengan sang anak. "Kita pulang sekarang." Marcuss Dion hanya mengangguk. Sinar matanya berubah kala menatap Rola, dan berlalu sembari berjalan membelah teras dan pekarangan yang sepi. "Jika aku jadi kau, aku juga akan lakukan hal yang sama pada anakku." Selena menarik langkahnya sebelum benar-benar menjauh. "Aku baru tahu. Dia Marcuss Regan yang kerap kali kau ceritakan, bukan? Si pembunuh hati para gadis?" Selena mengeraskan rahang. "Kita bicara lain waktu, Rola." "Aku akan menunggu." Selena tak lagi menoleh ke belakang. *** "Dokter Yuma ada di ruangannya?" "Untuk saat ini, beliau punya kepentingan bersama ikatan dokter lain di aula Tokyo. Ada yang bisa saya sampaikan pada beliau nanti?" Selena menggeleng. "Tidak. Terima kasih." Resepsionis itu segera mengangguk. Selena berjalan pergi. Menyusuri koridor yang cukup ramai karena jam besuk rumah sakit baru dibuka sekitar setengah jam yang lalu. Beberapa orang berlalu-lalang menikmati koridor kelas satu. Yang menghubungkan ke kelas rawat VIP. Karena kelas dua dan kelas tiga ada di gedung sebelah. Hanya perlu melewati jembatan lorong, mereka telah sampai di gedung dua. Selena termangu. Menatap kamar VIP bernomor delapan dengan pandangan pias. Tarikan napasnya berubah berat. Saat dia dengan pelan mendorong pintu itu sampai terbuka, dan menemukan sosok itu masih terbaring lemah tak berdaya. Selena menipiskan bibir. Tidak memasang ekspresi apa pun. Selain getir bercampur iba yang kental. Sepasang matanya menyorot pilu, sebelum dia menghela napas panjang. "Aku menduga kau di sini." Suara gema sepatu itu memangkas jarak di antara mereka. Selena mendengar gemerisik plastik supermarket terdekat rumah sakit. Yang kemudian, tertaruh di atas nakas. Menggantikan piring bekas sarapan yang belum tercuci. "Masih tidak ada perubahan?" "Seperti yang kau duga," balas Rola datar. Pergi ke wastafel untuk menaruh piring itu dan kembali ke sisi ranjang pasien. "Kondisinya masih tetap sama. Tidak ada perubahan apa pun." "Kau mulai putus asa?" "Aku tidak tahu," Rola membalas getir. Sinar matanya meredup seiring gerakan dadanya yang naik turun. Sesak rasanya. Sesak yang tak bisa ia definisikan secara gamblang. "Aku ingin berharap. Tapi, kemungkinannya benar-benar kecil." Selena tidak lagi bersuara. Sampai Rola menoleh ke arahnya. Mendadak mencari sesuatu. "Kau meninggalkan putramu di rumah seorang diri?" Kepala Selena menggeleng. Dia lantas mencari tempat duduk. Menyilangkan kaki dengan raut pongah. "Tidak. Dia bersama Souma, putra dari sahabat suamiku." Rola mendengus samar. "Suami, ya," bisiknya serak. "Aku melihat Dion. Dan mendapati kalau dia benar-benar anak Papa sekali. Aku heran. Bagaimana bisa menurun gen suamimu sesempurna itu?" "Aku pun sama," tukas Selena dengan bibir berkedut menahan senyum. "Saat aku melahirkannya, aku berpikir kalau dia akan punya mata yang sama denganku. Tapi, nyatanya? Miniatur Damien sekali." Rola menipiskan bibir ikut menahan senyum. "Sudah lama rasanya. Kita membahas hal lain dan bukan semata-mata tentang pelajaran lagi," kekehnya serak. "Kau membahas tentang anakmu sekarang. Meski, pada awalnya Dion adalah kesalahan, apakah sekarang kau menyayanginya?" Rola menatap Selena selintas. "Bodoh sekali aku ini. Tentu, kau menyayanginya. Kenapa harus bertanya? Orang tua akan selalu mengutamakan anak. Anak adalah prioritas. Nomor satu di kehidupan mereka." "Kau bicara seolah-olah kau sudah mengalaminya," sindir Selena. Rola mengulas senyum cerah. "Aku mulai mencintai anak-anak di Halim. Mereka bersinar dengan cara mereka sendiri," ujarnya. "Kau benar. Dan Dion adalah alasan aku bertahan selama ini. Kalau tidak ada dia. Atau, saat aku melahirkan Dion tidak berhasil selamat di dunia ini, aku memutuskan untuk meninggalkan Marcuss Damien sendiri sampai dia membusuk dan mati." Rola tertegun. Sorot matanya berubah. Ketika jemarinya menyentuh jemari kurus sosok yang terbaring itu, dan tersenyum pahit. "Dari nada suaramu, kau rupanya masih menyimpan luka yang sama." "Aku tidak akan berubah, Rola." Rola menatapnya cemas. "Apa Damien berselingkuh? Bukankah, pria mapan dan terlihat berdompet tebal menjadi banyak incaran para wanita?" "Mereka bisa menjadi apa yang mereka mau tanpa harus menjual s**********n," Selena berdecak. "Tidak peduli tampang, selama berdompet tebal, itulah buruan mereka." Rola mendesis dingin. "Laki-laki diuji saat dia memiliki segalanya." Selena melipat tangannya di d**a. Ekspresi wajahnya berubah masam. Terlihat jelas bahwa dia tidak menyukai arah pembicaraan mereka. "Tapi, menurutku Marcuss Damien benar-benar menc—," "Aku tidak mau membahasnya," balas Selena sarkatis. "Setelah ini, kau mau mengajar di mana? Halim hanya singgahan sementara, kan?" Rola mendesah berat. "Entahlah." Sebelum Selena bersuara, dia mendengar pintu terdobrak keras. Membuat koridor seketika senyap mendengar suara pintu terbanting. Kamara Kiara muncul di sana. Dengan ekspresi marah bercampur kecewa yang kental. "Mama?" Rola bangun dari kursinya. Kedua mata cokelatnya melebar penuh antisipasi. "Sudah kuduga," geram Kiara dingin. "Dugaanku tidak pernah meleset. Ternyata?" Pandangan mata Kiara mengarah pada putrinya. "Kemana putramu? Apa kau menitipkannya lagi demi bertemu perempuan sialan ini, Selena?" "Dia bersama Tari. Dion memintanya. Aku menawarinya tidur siang, dan dia menolak," balas Selena. Mengerti kondisi ini tidak akan kondusif sampai Kiara pergi. "Ayo, Mama. Jangan ribut di sini. Ini rumah sakit." "Kau!" Kiara menuding Rola yang berdiri kaku. "Tidak perlu menatapku dengan tatapan memelas, Rola. Semua orang tahu betapa ularnya dirimu. Kau ini berbisa sekali. Apa yang kau lakukan sampai Selena harus bertekuk lutut di depanmu?" Rola terkesiap. Dadanya bergemuruh mendengar penghinaan Kamara Kiara sekali lagi. "Anda salah paham, Nyonya." "Apa? Bagian mana yang tidak kupahami?" Rola mendadak pias. Selalu seperti ini. Nyalinya tidak akan pernah besar kalau sudah berhadapan perempuan adikuasa sekelas Kamara Kiara. Selena mendesah panjang. Berdiri dari tempatnya dan bergeser untuk melindungi jarak pandang sang ibu. "Kalau Mama tidak ada keperluan, Mama tahu dimana pintu keluarnya." "Mengusirku pergi, Selena?" Selena mencibir. "Mama," desaknya. "Kau duduk di sini. Menemani yang tak berguna itu terbaring di sini bersama Rola, si ular berbisa, tidakkah kau berpikir bagaimana perasaan suamimu jika dia tahu?" "Apa? Apa yang akan dia tahu?" Selena balas membentak ibunya. "Dia tidak akan tahu. Karena apa? Karena Mama pasti melindungiku. Benar, kan?" Senyum Selena terulas licik. "Mamaku ini tidak mau kehidupan pernikahan putrinya bak negeri dongeng hancur lebur, bukan? Jadi, Mama akan menyimpan rahasia ini rapat-rapat. Benarkan, Mama?" Senyum itu pudar seiring tamparan keras Kiara melayang pada pipi putrinya sendiri. Selena tertegun. Begitu pula Rola yang refleks menutup mulutnya sendiri. Terkejut. "Dengar, Selena. Kau tidak punya andil merusak pernikahanmu sendiri. Berpikirlah secara baik-baik! Apa perlu aku menyeretmu ke rumah sakit jiwa, hah? Iya?" Selena mengembuskan napas pendek. Mendengus sembari mengusap pipi kanannya yang membekas merah. "Dan membiarkan Dion malu karena memiliki ibu sepertiku?" Rola membuang muka. Tidak kuasa menatap pemandangan di antara ibu dan anak yang membuat perasaannya bergetar. Rasanya sakit sekali. Saat hinaan demi hinaan terlontar ke arahnya. "Berhenti melindunginya, Selena. Rola hanyalah sampah." "Dan berhenti bersikap seakan Mama tahu segalanya," Selena membalas tajam. "Mama bukan Tuhan. Hanya Kamara Kiara yang memiliki keterbatasan. Mama tidak tahu isi hati orang lain, kan?" Kamara Kiara mendesis. Siap melayangkan tamparannya sekali lagi, dan kali ini dia benar-benar melakukannya. Sampai Selena limbung, dan wanita itu jatuh ke atas lantai. "Berhenti, Selena! Berhenti!" Hentakkan wedges Kiara menggema di kamar rawat bernomor delapan itu. Membiarkan Selena seorang diri. Setelah ibunya berhasil melepaskan emosi yang terpendam. Selena tidak bisa lakukan apa-apa lagi selain diam. Rola mengembuskan napas berat. "Sudah kukatakan, Selena. Yang perlu kau lepas adalah aku. Jangan pedulikan aku. Dan tolong, jangan mengaturku lagi. Cukup. Cukup sudah. Segalanya kau berikan padaku. Jangan paksakan dirimu lagi." "Diam, Rola." Selena bangun dari lantai. Mengusap pipinya sendiri dan mendesis. Seakan rasa sakit itu hilang saat dia mengusap pipinya kasar. "Aku tidak butuh mendengar apa pun lagi." Rola memejamkan mata lelah. Membiarkan Kamara Selena berjalan pergi meninggalkan ruangannya kembali sepi. Dan diam-diam menunduk, berusaha menahan tangisnya sendiri. *** "Kenapa dengan pipimu, Mama?" Selena menahan kalimatnya membacakan buku pada putranya sebelum tidur. Saat telapak tangan itu menyentuh pipi kanannya lembut, dan Dion terlihat begitu mencemaskannya. "Mama baik-baik saja?" "Mama baik-baik saja," Selena menutup buku bacaan itu. Menaruhnya di atas nakas, menarik selimut tebal putranya sampai sebatas d**a. "Sekarang, tidur. Dion harus tidur kalau tidak ingin terlambat ke sekolah besok." Kepala anak itu bersandar di bahunya. Selena balas melingkari tangannya ke bahu sang anak. Menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. "Mama sakit?" Selena memundurkan kepala. Menatap kelopak mata yang tertutup itu dengan alis berkerut. "Kenapa bertanya seperti itu?" "Pipi Mama memerah. Apa itu karena demam?" Selena mendengus menahan senyum. Menarik sang anak semakin erat ke dalam dekapannya. "Mama baik-baik saja, sayang. Jangan cemas." Dion hanya mengangguk samar. Tangan kecilnya berusaha meraih pinggang sang ibu. Dan sebelum dia benar-benar jatuh terlelap, dia merasakan kecupan bertubi-tubi jatuh di pelipisnya. Dan hembusan napas sang ibu yang hangat menyapa dahinya. "Mama menyayangimu," Selena menggigit bibirnya. Merasakan kedua matanya tampak basah. Dan bibir itu bergerak getir. "Sangat. Sampai rasanya menyakitkan." Selena menyandarkan pipinya di dahi Dion yang pulas. Sebelum dia menyingkap selimut putranya. Memberikan sekali lagi kecupan di pipi bulatnya. Dan beranjak bangun memakai sandal rumahnya. Selena berjalan ke arah pintu. Mengusap sudut matanya sendiri yang berair. Sebelum dia menarik napas panjang, dan menutup pintu kamarnya. Damien baru saja seleGio mengirimkan berkas ke kepala divisi keuangan malam ini. Setelah dia meluruskan kaki bersama tangannya, dia dikejutkan dengan suara pintu kamar terbuka, dan sang istri masuk ke dalam dengan kepala tertunduk. "Dion sudah tidur?" "Sudah," balas Selena datar. Duduk di kursi, memandang dirinya sendiri pada cermin meja rias. Damien memiringkan kepala, menilai apa yang istrinya lakukan. "Kau darimana?" "Rumah sakit. Mencari Papa." Damien tidak lagi bersuara. Saat dia mendengar derit kursi kayu itu, dan sang istri bergegas pergi ke wastafel kamar mandi, Damien baru teringat sesuatu. "Temanmu—kita bisa mengajaknya makan bersama lain kali. Kalau kau tidak keberatan?" Selena kembali menggantung handuknya pada gantungan. "Siapa?" "Temanmu. Guru bahasa Inggris Dion di sekolah." "Kenapa harus?" Terdengar tidak suka dari nada suara Selena. "Bukan apa-apa," balas Damien bingung. "Aku sering mengajak Drian dan Gio makan bersama. Mereka teman baikku. Dan kau juga tidak keberatan. Sekali-kali aku juga menawarkan temanmu makan bersama?" "Tidak perlu," ujar Selena datar. "Apa dia sibuk?" Selena menarik napas panjang. "Berhentilah bertanya." Damien menatap telapak tangannya sendiri. Saat dia mendengar suara lampu tidur dimatikan, dan istrinya sudah bersiap-siap tidur. "Apa kau masih menganggap Dion adalah kesalahan?" Selena kembali membuka matanya yang semula terpejam. Iris hijau itu berkilat. Sebelah tangannya meremas sarung bantal, dan tarikan napasnya berubah berat. Di antara banyak jawaban, Selena memilih untuk tetap diam. "Selena." Terdengar suara gumaman khas menahan kantuk. "Kau tidak apa?" Selena mengerutkan kening. "Kenapa?" "Pipimu ada bekas merah samar. Siapa yang menamparmu?" Selena lagi-lagi memilih diam. Sejelas itukah? Bekas tamparan ibunya sampai-sampai Dion dan suaminya bertanya hal yang sama. Damien menghela napas. Menarik selimutnya untuk berbaring bersama saat mata itu belum bisa menutup. "Kalau kau terluka, kau bisa bicara padaku." Damien tidak mendengar adanya balasan atau sekedar gumaman yang biasa Selena berikan sebagai respon. "Aku di sini." Kedua mata Selena kembali membuka perlahan. Damien mendengus menahan tawa pahitnya sendiri. "Terdengar merayu, bukan? Kau pasti benci mendengarnya." Lama. Sampai Damien merasa semua tidak ada gunanya. Dengan gerakan lamat, Damien ikut mematikan lampu tidur. Berbaring miring menatap punggung sang istri. Lalu, menipiskan bibir tampak berpikir. Selena belum memejamkan mata. Sampai dia merasa ada tangan lain yang perlahan menjalar, melingkari perut dan berhenti untuk beristirahat di sana. Ekspresi ketat itu melumuri wajah Selena sekarang. Merasakan bagaimana dekapan sang suami, Selena berjarak untuk melepas tangan kokoh itu dari tubuhnya. Membiarkan Damien memeluk yang lain, asal tidak dirinya. Dan mendapati tubuh di belakangnya membeku, Selena kembali mencari posisi nyamannya untuk tidur. Memiringkan sedikit bantalnya, memberi jarak yang terlampau lebar di atas ranjang. Membiarkan Marcuss Damien tenggelam dalam rasa patah hatinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD