Aster mengeraskan rahang. Sebab, ada beberapa hal yang tak mampu ia gapai hanya dengan kapasitas otaknya yang sedikit lebih mumpuni kata orang dibanding lainnya.
Duduk bersama Kamara Selena yang otoriter dan tidak mampu tersentuh batasan membuat Aster bungkam. Lidahnya kelu. Permukaan kulit bibirnya mati rasa. Benar-benar duduk seakan Selena siap menguliti dirinya hidup-hidup terasa menegangkan.
Bagai potongan tayangan horor yang biasa adiknya tonton di kala senggang. Kilasan demi kilasan yang membakar nadi Aster membawanya pada kenangan kali pertama dia melihat sang istri atasan di tempat kerja.
Semula, Aster berpikir lepas dari jeratan Saphira yang barbar dan tidak tahu aturan, adalah segalanya. Hingga dia melamar kerja untuk bagian lain di perusahaan ternama berlabel perusahaan milik keluarga. The Alpha Reits. Pemiliknya bukan Marcuss Damien, dia hanya pewaris yang berhasil duduk di kursi tahta tertinggi untuk mengendalikan perusahaan inti.
Lalu, kenangan itu terbentuk kala Aster melihat Kamara Selena untuk pertama kali. Dia tahu, mengenal benar siapa perempuan diktator yang sekiranya ditakuti di kampus ternama, Universitas Negeri Tokyo. Kampus yang sama dengan sang adik yang masih duduk di semester dua.
Sekali tatap, Aster paham benar ada retak di rumah tangga mereka. Pandangan matanya yang tajam, begitu kontras dengan iris lembut dedaunan yang terpancar di mata sang pewaris tahta dari Bank Tokyo satu-satunya.
Di hari pertama, ada kagum bercampur gelisah yang menggayuti benak Aster kala itu. Dia membangun benteng untuk membatasi diri agar tidak terlalu dekat dengan atasannya seperti yang pernah dia lakukan.
Tetapi, rasa-rasanya Marcuss Damien kembali menjadi pengecualian. Dan membiarkan dia kembali terjun ke lubang hitam bernama dosa karena telah menaruh hati pada pria beristri.
"Aku bukan ancaman," suaranya mengalun penuh bisikan.
Siang itu, di Roman's Cafe. Tidak terlalu jauh dari tempat tinggal Aster yang sedikit masuk lebih dalam. Terpencil dari barisan gedung bertingkat puluhan untuk apartemen terbaik di Tokyo.
Iris senada dengan daun pinus itu melirik tanpa makna. Aster kembali terkesiap. Merasakan nyeri bercampur getir yang selalu menjadi ancaman kala dia bermain-main dengan seorang atasan yang bukan berasal dari latar belakang sembarangan.
"Kau memang bukan ancaman," bisiknya. Suara Kamara Selena tak lebih seperti genderang yang menabuh panggilan kematian.
"Aku minta maaf, Nyonya Marcuss. Untuk semua yang kulakukan. Aku berjanji untuk tidak—,"
"Simpan itu untuk dirimu sendiri," sela Selena dengan ekspresi datar yang semakin sulit terbaca. "Kau lihat ini? Kambing hitam atas kesalahan di perusahaan jatuh ke tanganmu."
Bibir Aster gemetar. Matanya yang bersinar tak lagi ada saat berkas itu terlempar di atas meja. Tangannya saling meremas di bawah meja. Menahan napas dan debaran jantung yang terasa menyakitkan.
Aster terdiam. Kenangan akan ketakutan dia terlempar dan mendekam di penjara membuat dadanya sesak. Napasnya berubah berat. Satu-satu beralih menjadi tarikan.
"Bukan aku," cicitnya tak berdaya.
Selena hanya diam. Menatap datar kelinci bernama Aster yang tersudut seakan dia harimau buas yang lapar dan siap menerkam mangsa buruan.
"Bukan dirimu. Walau aku tahu, beberapa kali kau sempat ingin menyelundupkan pemasukan kantor ke rekeningmu sendiri," Selena kembali berkata, membuat Aster lagi-lagi tak berdaya.
"Kau pernah lakukan hal yang sama pada WatsonGio. Tetapi, suami tetanggaku hanya diam. Karena dia tahu bagaimana sulitnya ekonomi keluarga kalian. Kau punya ibu yang sakit-sakitan. Ayah pemabuk. Adik yang duduk di bangku kuliah. Dan kakak laki-laki yang gemar berjudi dan mabuk."
Kedua mata Aster terpejam. Tiada guna menyimpan rahasia memalukan itu lagi karena Kamara Selena telah mengetahui segalanya.
"Lantas, apa yang harus aku lakukan?"
"Aku bisa membantumu," Selena mendorong seberkas map cokelat ke hadapan Aster yang membeku. "Dengan satu syarat. Kau harus pergi dari perusahaan suamiku."
"Nyonya?"
"Kau jelas bukan ancaman, Aster. Isi hati manusia tidak ada yang tahu. Sekarang, kau menuruti laranganku. Siapa tahu dengan besok? Permintaanku tidak sulit. Kau hanya harus mengundurkan diri."
Hembusan napas Aster berubah lirih.
"Aku akan melakukannya."
Tidak perlu menunggu sampai bermenit-menit sampai senyuman puas itu melengkung indah. Selena merogoh sesuatu dari tasnya. Mendorong buku tabungan dengan cap Bank Tokyo pada Aster yang masih membeku.
"Untuk keluargamu. Kau tetap mendapat bagian karena sudah berkontribusi besar mengurus suamiku selama aku tidak ada."
"Nyonya?" Aster terbata-bata. Menatap Selena yang penuh teka-teki dengan raut panik. "Jangan lakukan ini."
"Kau bebas sekarang."
Jemari itu menyentuh buku tabungan bersampul perak yang mencairkan hati. Matanya berulang kali melirik Selena yang masih diam. Sebelum bibir itu mengulas satu senyuman lega.
"Kau bisa menjadi elegan tanpa harus menjual selangkangan."
Kedua mata Aster meredup mendengar kalimatnya.
"Terima kasih banyak," tidak banyak yang bisa dia katakan saat ini selain hanya ucapan terima kasih.
Selena mengangguk. Menyesap kopi latte dalam diam, dan membiarkan Aster beranjak karena urusan mereka telah seleGio.
***
"Siapa Rola?"
Selena mengintip dari cermin meja rias di depannya. Sang suami telah berganti pakaian dengan piyama tidurnya. Bersandar pada kepala ranjang, memangku Macbook dengan raut serius.
"Sayang, kenapa masih memakai kacamata?"
Damien meliriknya sepintas. Hanya selintas sambil lalu sebelum kembali pada layar laptopnya. "Kau yang membuat Aster mundur dari tempatnya?"
Kepala Selena menggeleng. "Dia berpikir untuk mencari pekerjaan lain. Yang lebih baik dan tidak mengganggu istri atasannya, mungkin?"
"Kupikir, kau sama sekali tidak terancam dengan keberadaan Aster."
Selena menghela napas. Menatap deretan pelembap dan skincare rutin di atas meja rias sebelum berpaling. Mendekati ranjang dan melemparkan diri di sana dengan mata terpejam.
"Memang tidak," Selena membuka mata. "Aku hanya iba. Karena Marcuss Regan, dia harus merasakan imbasnya. Apa kau mau membantu kalau dia masuk penjara karena kasus yang tidak dia lakukan?"
Alis Damien mengerut tipis. "Aku berencana akan bicara padanya."
Selena mendengus. Jemarinya terulur seakan-akan bisa menyentuh langit-langit kamarnya dengan sinar hampa.
"Kau tidak perlu lakukan itu untuk membuatku cemburu," Selena tersenyum saat dia menurunkan tangannya. Memainkan kedua tangannya yang saling bertautan dengan dengusan menahan tawa. "Karena usahamu sia-sia."
Gerakan jemari itu terhenti di atas keyboard.
"Kau yang bilang, Aster bukan tandinganmu. Untuk apa aku lakukan itu? Sia-sia."
Bibir itu mengerucut. "Tidak ada yang bisa menandingiku. Orang-orang selalu berkata hal yang sama terus-menerus," Selena menatap datar pada lampu kamar yang masih menyala. "Apa karena keluargaku? Atau karena marga yang kusandang?"
"Kenyataannya, memang begitu."
Selena menoleh. Alisnya menyatu satu sama lain saat dia berbalik, menghadap sang suami dengan tangan menopang kepala. "Kau sepertinya mulai melantur. Lanjutkan saja pekerjaanmu besok. Saatnya tidur."
"Siapa Rola?" Damien bersuara tanpa mengalihkan tatapannya dari layar Macbook.
"Teman."
Terdengar suara decakan kemudian. "Aku bertaruh, kau tidak punya teman. Bahkan, saat kau ada di organisasi semasa kuliah dulu, kau bukan orang yang gemar bergosip."
"Benarkah?"
Damien hanya mengangkat alis.
"Aku akrab dengan Kara, dokter yang menangani Dion kemarin."
Damien menatap layarnya sekali lagi. Sebelum layar itu padam, dan dia menaruhnya di atas nakas. Bergerak mematikan lampu kamar dan melepas kacamatanya. "Siapa Rola?"
"Teman."
Lelah mendapat jawaban yang sama. Selena merasakan sisi ranjangnya bergoyang selama beberapa detik. Damien menarik selimut yang tersingkap di bawah kakinya. Menyelimuti dirinya sampai sebatas pinggang sebelum memejamkan mata.
"Dia gadis yang cantik. Kalau kau melihatnya, mungkin kau akan jatuh cinta padanya."
Selena balas berbalik badan. Memunggungi sang suami yang kini melirik ke arahnya dengan kernyitan di dahi.
"Bicara apa barusan?"
Selena hanya mengangkat bahu. Menjulurkan tangan untuk mematikan lampu di atas nakas sebelah ranjangnya.
"Selamat malam."
Sebelum Selena benar-benar memejamkan mata, dia merasakan ada tangan lain menelusup di balik selimut. Membuat tubuhnya tanpa sadar mundur, membentur d**a yang berbalut piyama hitam itu.
Kemudian, merasakan hembusan napas berat menyapa tengkuk belakangnya.
"Selamat malam juga."
***
"Good Afternoon, Mrs. Rola."
Rola menolehkan kepala ke samping. Menemukan Marcuss Dion bersama Berry Souma. Dan Lawson, bocah yang sulit diatur itu sibuk melempari temannya dengan amunisi berbahan dari kertas yang ia lempar dengan ketapelnya.
"Lawson," Rola berdeham. "Kau sedang apa, anak manis?"
Lawson hanya tersenyum. Polos. Khas anak-anak. "Menjahili mereka, Mrs. Rola."
Rola mengulurkan tangannya. Mengusap rambut anak itu dan terkekeh. "Ingat. Kau tidak boleh membuang sampah sembarangan. Bagaimana kalau setelah bermain, memungut sampahnya?"
"Haha. Tahu rasa kau!" Souma menuding dengan telunjuknya. Dan Lawson balas mengejarnya sampai anak itu berlarian memutari koridor. Membiarkan Dion sendirian dan menghela napas.
"Hai."
"Hai," sapa Dion ramah. "Kenapa Mrs. Rola belum kembali?"
Rola membungkuk dengan senyum. "Aku masih punya urusan di sini. Bagaimana denganmu? Apa Mama belum menjemput?"
Kepala anak itu menggeleng. "Mama sedang dalam perjalanan."
Rola terdiam sebentar. Matanya lekat menatap Dion sebelum sudut bibirnya melengkung naik ke atas. "Seberapa sering Mama datang kemari? Bagaimana dengan Papa?"
"Mama yang selalu menjemputku. Terkadang, Papa juga datang untuk membawaku pulang. Tidak mesti," balas Dion. "Apa Mrs. Rola mau pulang bersama?"
Rola kembali berjongkok. Menyamai tingginya dengan tinggi Dion. "Tidak. Terima kasih tawarannya."
"Mama akan senang karena temannya mau mampir ke rumah."
Rola mendengus. Sedetik kemudian, tergantikan senyum ramah. "Tidak ada teman yang datang ke rumah?"
"Tidak ada. Hanya Bibi Saphira, tetangga kami."
Rola melirik sebentar. Masih melihat Lawson dan Souma saling berkejaran satu sama lain. Dia mendesah panjang, sebelum bibir itu membuka dan tangannya terulur mengusap pipi tembam Dion.
"Marcuss Dion, kau tahu? Kalau kau sebenarnya adalah—,"
"—kesalahan?"
Rola lantas menengadah. Manik cokelatnya membelalak menemukan Selena berdiri di depannya. Memegang bahu putranya, dan Dion merapat pada ibunya dengan tatapan bingung.
"Lawson, Souma." Selena memanggil kedua teman putranya dengan lambaian tangan. "Mama kalian sudah menunggu di depan gerbang. Temui mereka secepatnya. Dan tolong, jangan berlari. Kalian bisa tersandung."
"Baik!"
Kedua anak itu kembali berlari. Menyapa Rola sekali lagi, sebelum melambai pada Dion yang masih di pelukan ibunya.
"Kau terlihat benar-benar menjadi seorang ibu sekarang," pandangan Rola jatuh pada Dion yang masih menatap teman-temannya. "Apa karena anak ini?"
Selena hanya diam. Menatap Rola dengan pandangan datar, sebelum perempuan itu mendengus masam.
"Aku tahu, seberapa kuat pengendalian dirimu. Dan seorang Kamara Selena kalah malam itu hanya karena alkohol?"
Selena terdiam. Masih memasang ekspresi datar harga matinya, lalu membungkuk. Berbisik di telinga Dion, meminta putranya untuk menunggu di mobil.
Rola masih menatapnya dalam diam. Bibir yang menipis, dan kerasnya rahang menjadi pembuka percakapan mereka siang ini. Antara Selena dan Rola.
"Kemarin terlihat sekali kalau kau hancur. Kenapa siang ini berubah, Rola? Merasa punya kuasa?"
Tangan Rola terkepal. "Diam, Selena."
"Ada seseorang yang masih terbaring di rumah sakit. Kau bekerja keras demi biaya rumah sakit, bukan?"
Rola menahan senyum getir yang mati-matian dia pendam. Agar seorang Kamara Selena yang sempurna tanpa cela tidak melihat itu.
"Aku masuk Halim bukan karenamu. Bukan karena ibumu. Jadi, untuk kali ini biarkan aku hidup tenang."
Selena mengangguk. Melipat tangannya di d**a dengan senyum pongah. "Tentu. Aku akan membiarkanmu," balas Selena sinis.
Sebelum ibu satu anak itu pergi, dia memutuskan memberikan Rola sesuatu. Membuat Rola tercenung, menatap lembar berisi cek bernilai ratusan juta.
"Simpan itu. Kau membutuhkannya."
Napas Rola berubah berat. Kala jemarinya gemetar menggenggam kertas itu, dan sinar matanya mulai luruh dalam luka.
Rola tidak bisa mengatakan apa-apa saat Selena memutuskan untuk berbalik, membiarkan guru muda itu menunduk sembari memeluk lembaran cek yang baru saja Selena berikan padanya.
***
"b******k!"
Marcuss Damien melayangkan satu pukulan kerasnya ke rahang kanan sang kakak, Regan yang tersungkur di atas lantai lobi kantornya sendiri.
Pertikaian itu bermula saat Regan mengacau. Dengan nada meremehkan, berkata kalau Damien tidak akan bisa bertahan memimpin perusahaan keluarga lagi. Dengan bumbu-bumbu tambahan yang membuat para investor ketar-ketir. Termasuk data palsu yang Regan tunjukkan. Berhasil membuat Damien naik pitam selama rapat berlangsung.
Dan sekarang pembalasan dendamnya. Setelah satu jam lebih Damien menahan diri, dan Regan boleh berbangga diri karena proyek yang akan Damien pegang, gagal.
Beberapa tender lain yang sebelumnya sempat yakin, dan berniat membantu rupanya memilih mundur. Termakan hasutan Marcuss Regan selama satu jam penuh. Karena kuasa Regan juga tidak bisa dianggap remeh dalam perusahaan ini.
"Damien!"
Damien benar-benar mengabaikan keberadaan Berry Drian sekarang. Yang berniat membicarakan perihal masalah eksternal yang terjadi di sektor dagang, dan berakhir menemukan sahabatnya tengah berkelahi dengan kakak tertua.
"Damien!"
"Diam, Drian!" Damien balas mendorong pria itu. Kembali menghantam kakaknya dengan kepalan tangannya sampai sudut bibir Regan robek, mengeluarkan bercak darah yang kentara.
Semua orang terkesiap. Beberapa lagi tak bisa mendekat untuk sekedar melerai kedua atasan yang paling mereka hormati di sini. Sebenarnya, bukan hal yang baru kala mereka sering menemukan perbedaan pendapat di antara adik dan kakak itu. Tapi, kali ini benar-benar di luar batas.
Regan mencibir. Tidak menduga kalau Damien akan seberani ini padanya. Apakah ini balasan dari si culun yang harga dirinya sering diinjak-injak?
Sebelum Damien berhasil memukul rahang sang kakak sekali lagi, Regan mengulurkan tangan untuk menarik kerahnya. Balas memukul hidung sang adik tak kalah kerasnya.
"Sial," Drian mendesis. Dia meminta keamanan untuk membubarkan kerumunan. Karena ini sama saja menyebar aib kalau sampai pihak lain mengetahui keretakan di dalam ikatan persaudaraan mereka.
"Damien, sudah!"
Drian terkejut menemukan aliran darah dari salah satu lubang rekannya. Nyaris dokumen yang dia genggam, lepas dari tangan. Drian segera menaruh dokumen itu di meja resepsionis, melerai mereka dengan sekuat tenaga.
Damien mendengus. Sama-sama berdarah, tetapi dia puas telah berhasil membuat kakak bajingannya terluka. "Kau memalukan. Begini caramu membalasku? Bukankah, ini setimpal dengan apa yang kau perbuat selama ini?"
Marcuss Regan tidak terima. Kekalahan demi kekalahan dia dapatkan. Tak ayal, membuatnya semakin berpikir bahwa yang Damien alami saat ini karena Selena, karena istrinya yang berkuasa itu, Damien berhasil duduk di kursi nomor satu.
Regan tidak pernah mengenal kata kalah. Dari dulu, sampai sekarang dia harus menjadi yang pertama. Keluarga yang berkuasa, mereka yang miskin bisa apa?
Mungkin, nyaris separuh dari masa lalunya membenci dirinya saat ini. Tapi, Marcuss Regan tidak peduli. Dia akan tetap menjadi seperti ini. Karena dengan begini, orang-orang akan terus menghormatinya.
Pria dengan gila hormat, begitu julukannya.
Drian menarik napas panjang. Mendorong keduanya agar segera menjauh. Dia meminta Damien untuk kembali, dan tak perlu mengurus pekerjaan. Ada baiknya pulang, dan beristirahat. Rumah menjadi tempat terbaik untuk pria itu bersandar dari lelahnya.
"Pulanglah, Regan," ujar Drian sinis.
"Kau membelanya, Berry?"
Drian meremas jas abu-abu itu dengan bibir mengetat. "Kalau saja Damien salah, aku juga akan menghajarnya. Tapi, kau berdiri di posisi yang salah. Aku jelas mendukung Damien."
Regan mendengus. Mendorong d**a pria itu dengan bibir terkatup. Sebelum seringai miringnya tercetak, dan sekali lagi dia menatap dingin pada sang adik.
"Aku belum seleGio denganmu."
Damien hanya merengut. Mengernyitkan kening dengan ekspresi tajam saat dia kembali menghantam belakang kepala pria itu dengan sikunya, membuat Regan terjerembap jatuh ke depan. Dan kembali meringis karena sakit di hidung dan dahinya.
"Membusuk saja kau di neraka!"
Setelah itu, berjalan pergi. Membiarkan Marcuss Regan bangun dengan susah payah, dan Drian yang membiarkan kekacauan itu mereda dengan sendirinya.
***
Selena bangun dari sofanya. Melirik datar pada jam di ruang tengah. Menemukan pintu garasi yang menutup otomatis setelah mobil masuk dan terparkir.
Hanya butuh kurang dari lima menit, sosok yang dia tunggu telah kembali. Selena menipiskan bibir, mendekat setelah mematikan televisi.
"Kau darimana?"
Damien hanya mengangkat alis. Menatap jam di pergelangan tangan, dan mendesah. "Lembur."
"Kau tahu, kau tidak bisa berbohong padaku."
Iris pekat itu menatapnya sekilas. "Tahu tidak bisa, kenapa bertanya?"
Terdengar hembusan napas berat dari Selena di depannya. Damien menyipit dengan antisipasi. Memahami benar selarut apa pun dia pulang, akan ada Selena yang selalu menunggu.
"Kau tidak pergi ke bar malam, kan?"
Selena mengendus kemeja sang suami. Dan tidak menemukan apa-apa selain aroma parfum yang masih menempel samar-samar.
"Tidak."
Damien berjalan melewati sang istri begitu saja. Membiarkan Selena berpikir seorang diri. Saat ibu satu anak itu mengangkat alis, dan menggeleng kecil. Kemudian, bergerak mematikan lampu. Berjalan menaiki undakan anak tangga sampai ke kamarnya.
Selena menutup pintu kamar. Berjalan dalam diam sampai langkahnya terhenti di depan pintu kamar mandi yang tertutup. Sampai lima menit berlalu, dia masih mendengar senyap yang mendebarkan. Dan kemudian, pancuran air menyala membuatnya lega.
Kembali berjalan duduk di depan meja rias, Selena meluruskan kakinya. Ada yang salah dengan Damien malam ini. Dia terbiasa pulang larut karena lembur. Tapi, saat dia menghubungi resepsionis, bertanya apakah Damien sudah pulang, si resepsionis menjawab sudah dari pukul lima sore.
Sekarang pukul satu pagi. Damien jelas pergi ke suatu tempat untuk menghilangkan penat atau beban yang menggayuti pundaknya.
Kedua mata itu terpejam lelah. Selena meremas tangannya sendiri di atas paha, kembali menarik napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan.
Pertama, Rola.
Kedua, Damien.
Ketiga, Kamara Kiara.
Keempat, di antara Marcuss Regan atau Marcuss Haru. Keduanya telah berani mengusiknya. Sebentar lagi, Selena yakin mereka akan berani membongkar masa lalunya.
Terdengar desisan meluncur. Selena kembali membuka mata. Menyadari sinar mata itu berubah dingin dan sinis bersamaan.
"Itu tidak akan terjadi," bisiknya pada diri sendiri.
Selena kembali menatap pantulan dirinya pada kaca meja rias. Sembari bertopang dagu, dan matanya berulang kali melirik ke arah pintu kamar mandi.
Nyaris dua puluh menit berlalu, Selena mendengar pintu kamar mandi digeser. Langkah basah itu merebut atensinya, membuat Selena memandang datar pada sang suami yang hanya berbalut jubah mandi.
"Pakai bajumu,"
Damien hanya diam tanpa menghiraukan.
"Aku bisa membantu mengeringkan rambutmu."
"Tidak perlu," sahutnya. Memakai celana tidur dan atasannya dengan gerakan cepat. Berkali-kali mengacak rambutnya dengan handuk, dan melempar jubah mandi itu bersama handuk kecil ke dalam kamar mandi.
Selena hanya memperhatikan dalam diam. Saat sang suami melempar dirinya yang lelah ke atas ranjang, bergerak mencari kemana gulingnya dan memejamkan mata.
Selena menghela napas. Berdiri dari kursi untuk mematikan lampu kamar. Ketika dia bergabung bersama suaminya di atas ranjang tanpa mematikan lampu tidur.
"Ada apa?"
"Tidak ada." Masih berbohong.
Selena melirik dalam diam sekali lagi. Dia menarik bantal untuk dijadikan sandaran di kepala ranjang. Tangannya terulur, menyentuh sulur-sulur legam sang suami yang basah. "Yakin tidak apa?"
"Hanya punya masalah kecil di kantor. Selebihnya, baik-baik saja."
Selena mengulas senyum tipis. Jemarinya bergerak turun sampai di lengan sang suami yang dengan senjaga menutupi separuh wajahnya sampai mata. "Tidak berkelahi dengan Regan?"
Kedua iris pekat itu membuka. Damien mendengus setelahnya. Dan Selena sebisa mungkin menahan tawa. "Sejelas itu?"
"Aku menghubungi resepsionismu. Aku juga mendesaknya bicara. Jangan salahkan dia besok," Selena berhenti mengusap sudut bibir pria itu. "Mana yang sakit?"
"Aku tidak terluka."
Senyum itu kembali tercetak di bibirnya. Selena menjauhkan tangannya. Tak lama, Damien merasakan tangan itu mendarat di dadanya. "Tidak pada fisik. Tapi, di sini, kan?"
Damien termangu. Saat tangan itu berhenti mengusap, dan berbalik memeluknya. Selena bersandar di bahunya. Membiarkan rasa dingin itu menyentuh permukaan kulit pelipisnya. "Aku tahu kau terluka. Tapi, beruntung kau baik-baik saja. Aku membayangkan sekelas Regan membawa senjata tajam."
"Dia tidak mungkin membawanya," suara Damien meragu. "Atau, dia akan melakukannya lain waktu?"
Hembusan napas Selena berubah berat. "Kalau dia berani membuat suamiku dan putraku terluka, aku akan membalasnya."
"Apa kau akan menghajarnya?"
Selena tertawa pelan. "Kau pikir? Mana bisa aku berkelahi dengan pria yang jauh lebih besar dari bobot berat badanku."
Selena kembali mengendus aroma citrus bercampur mint yang terasa menenangkan di indera penciuman miliknya.
"Terkadang, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk membunuh tanpa harus melakukan kekerasan."
Alis Damien tertaut. "Semisal?"
"Ucapan. Tingkah laku. Atau, menyebarkan skandal?"
Damien membisu.
"Tadi putramu terus merengek meminta agar aku mengizinkannya ikut menunggumu pulang. Dan aku melarangnya. Karena dia harus bersekolah, aku harus menemaninya tidur."
Damien menghela napas panjang. "Aku berjanji akan membawanya pergi di akhir pekan."
"Lusa sudah akhir pekan. Ayo, kita pergi bersama. Aku bisa menutup satu mall agar Dion bebas bermain."
Damien mendengus menahan senyum. "Kau pasti bercanda. Untuk apa menutup satu mall hanya demi putramu bermain?"
Selena mengeratkan dekapannya.
"Agar anak lain iri pada anakku," katanya dengan dengusan masam. "Aku tahu, beberapa kali Dion dianggap remeh hanya karena dia terlalu dimanja. Beberapa lagi bahkan beranggapan kalau Dion mendapat peringkat bagus karena diriku. Karena aku membayar banyak uang pada kepala yayasan untuk membuat putraku bersinar."
"Padahal, Dion bersinar dengan caranya sendiri."
Damien terdiam. Sebelum keningnya mengernyit, dan dia kembali bersuara lirih. "Kau menyayangi putramu?"
"Sangat," balas Selena tanpa ragu.
"Lalu, bagaimana denganku?"
Dekapan itu mengendur.
"Kenapa tiba-tiba?"
Damien lantas menggeleng. Tahu pertanyaan spontan itu pasti membuat istrinya terkejut, dia kembali bungkam.
"Apa kau butuh pelukan malam ini?"
Selena tiba-tiba bertanya. Membuat Damien kembali berbalik ke arahnya, mengerutkan alis.
"Aku tahu pekerjaan itu membebanimu. Sampai-sampai rasanya kepalamu hampir pecah. Jadi, aku menawarkan pelukan sampai pagi."
Damien membeku selama beberapa detik berlalu. Sebelum raut datar itu luruh, dan hanya ada gairah yang perlahan-lahan menghias.
"Bagaimana dengan yang lain?"
Selena masih pada ekspresi kakunya. Sebelum sinar lampu tidur menimpa wajah manisnya yang tampak terkejut, kemudian terganti dengan tatapan sensual pada suaminya sendiri.
"Aku tidak keberatan."
Selena mendengar ranjang berderit beberapa kali saat sang suami merangkak ke atas tubuhnya. Menyingkap selimut dengan kakinya, dan dengan sengaja menunduk, mengulurkan tangan untuk mematikan salah satu lampu tidur.
Ketika bibir itu menyapa, saling mencecap satu sama lain dan Selena berpikir sembari dirinya melayang karena sentuhan panas itu menjalar dimana-mana.
Berpikir bahwa ada langkah mudah yang mampu mengalihkan sang suami dari penatnya dunia kerja—
—dan pertanyaan tentang isi hatinya.