Saphira menggerutu pagi ini. Menemukan sang suami yang terlambat bangun, dan mendapati putranya yang lamban. Dengan alasan, Lawson demam dan tidak mau masuk sekolah.
Pasti ada alasannya. Karena dia termakan mulut pedasnya sendiri suka mengolok Berry Souma yang bodoh dan tidak suka belajar.
"Mama akan mencari guru les untukmu," kata Saphira pagi itu. Saat Lawson meliriknya datar dan kembali melanjutkan sarapan di piring meja makan.
"Untuk apa mencari guru les? Kau bisa mengajarinya, kan? Hanya pelajaran anak sekolah dasar, kau tidak bisa?"
Saphira menyibak rambut pirang panjangnya.
"Bukan begitu. Kalau dia denganku, dia lebih sering banyak bermain. Ibunya sudah terlalu galak, mau kuapakan lagi anak ini?"
Sang suami menghela napas.
Mata biru Saphira memicing. Menatap datar pada pemandangan gadis mencolok yang baru saja melintas di depan gerbang rumahnya.
"Selamat pagi, Tuan Shimura."
Holy s**t! Aster!
Saphira berlari dari tangga teras. Sampai nyaris menabrak bahu putranya sendiri. Saat Lawson meringis, mendesis menatap ibunya sebelum anak itu melempar tasnya serampangan ke dalam mobil.
"Papa, aku berangkat dengan supir atau bagaimana?"
"No, no, no. Tidak ada supir pagi ini. Berangkat bersama ayahmu," balas suara sang ibu.
"Mau apa kau pagi-pagi sudah menghantui Distrik Rose?"
Aster sama sekali tidak merubah ekspresi ramahnya. Saat matanya menyipit karena senyum dan Saphira semakin muak dibuatnya.
"Hari ini aku sebenarnya cuti. Dan aku punya urusan sebentar bertemu dengan atasanku," ujar Aster.
"Atasanmu? Damien?" Gio bersuara. "Dia sudah memberi peringatan untuk tidak menyentuh batasannya, kan?"
"Aku datang bukan untuk mengganggunya," Aster kembali berkata, dan Saphira memutar mata.
"Halah. Pembual," ketusnya. "Kau datang, lalu berniat sarapan bersama. Iya? Astaga. Gadis ini belum saja dicakar Selena."
Aster terlihat menahan tawa. "Tidak sama sekali. Aku datang hanya untuk memberitahu sesuatu. Selebihnya, tidak lagi."
"Sekali dua kali, kau tidak jera juga."
"Perlu kuantar?"
Kedua manik biru itu nyaris melompat keluar dari tempatnya. Saphira terbatuk. Melotot marah melirik sang suami. "Kau pasti bercanda."
"Memang," ujarnya dengan senyum. "Hati-hati. Semoga keluarga itu tidak mengusirmu lagi," ucap Gio sebelum dia berbalik. Menaiki mobil yang telah disiapkan sebelumnya.
Aster hanya membungkuk. Ketika mata itu menatap mata Yamanaka Saphira. "Suamimu yang terbaik."
"Masih berharap? Kau tidak kapok saat aku menghajarmu? Masih kurang?" Celoteh Saphira bertubi-tubi.
Aster menggeleng. "Makin menguatkan dugaanku kalau kau dan Selena memang berbeda," katanya tak sopan. "Kamara Selena lebih berkelas dari Yamanaka Saphira."
"Yah, masa bodolah," Saphira melambaikan tangannya saat mobil itu membawa suami dan putranya pergi. "Cara didik kami juga berbeda. Tapi, kami sepadan."
Aster mendengus.
"Aku kebal saat kau mengatakannya begitu," balas Saphira sebelum dia menarik gerbang rumahnya agar tertutup.
"Alasan aku dan Tuan Watsondekat karena kau yang sibuk bersama duniamu sendiri. Teman sosialitamu pasti tidak bisa menunggu, kan? Sampai-sampai kau rela meluangkan waktu demi mereka dan tidak pada suamimu."
Saphira terdiam.
"Yah, kalau begitu, sampai jumpa."
Membiarkan Yamanaka Saphira termangu sendiri di depan rumah. Menatap dingin pada sosok yang mulai menjauh itu.
***
"Aster datang ke rumah pagi-pagi sekali hanya untuk memberikan surat pengunduran diri. Ada apa dengannya? Tumben sekali."
Selena mendesah. Memainkan kentang goreng miliknya dan menggeleng. "Aku tidak tahu. Dan aku tidak mau peduli."
"Ya, bagus. Serangga pengganggu itu tidak ada lagi," balas Kiara. Menatap tablet barunya dan menghela napas. "Nanti malam, keluarga suamimu mengundang untuk makan bersama. Mama rasa, kita tidak perlu datang. Tapi, Papamu berkata lain. Dia memaksa agar datang."
"Datang saja," Selena kembali mengunyah potongan kentang gorengnya dan menegakkan punggung. "Lebih seru kalau Mama dan Mama Haru berdebat."
"Masih memanggilnya dengan Mama, Selena? Ingat, dia sedang berusaha memisahkanmu dengan Damien. Kau tidak seharusnya—,"
"Dia masih ibu mertuaku, Mama," balas Selena datar. "Apa yang harus aku lakukan? Memanggilnya dengan Nyonya? Sudah sepuluh tahun ini aku memanggilnya dengan Mama."
Kamara Kiara menghela napas. "Sudah lama sebenarnya aku memendam ini. Menahan diriku untuk tidak mengumpat pada keluarga ular satu itu. Aku menyukai Damien, sangat. Tapi, tidak pada keluarganya. Terutama ibu dan kakaknya."
"Mereka terlalu menyayangi Marcuss Regan sampai-sampai terlalu bodoh," geram Selena. Masih ingat benar penghinaan yang Marcuss Haru lakukan pada suaminya.
"Kau benar. Aku selalu berdiri di belakang menantuku, dan mereka tidak suka. Kenapa begitu? Yang punya uang aku, yang berkuasa aku. Mereka seenaknya mengatur?"
Kamara Kiara telah kembali. Selena merasakan perubahan di suara dan ekspresinya. Ibunya tidak sedingin itu. Saat dia tahu kalau putrinya masih bersikap kaku pada suaminya sendiri.
"Ketika ibumu lebih menyayangi menantu dan cucunya," Selena memutar mata. Mendapati delikan tajam dari sang ibu dan tendangan kecil di bawah meja. "Aku benar, kan?"
"Sebutkan apa yang Mama lakukan padamu?"
"Mama membekukan rekeningku," Selena menghela napas panjang. Matanya mengitari seisi kedai dan terdiam. "Mama juga mengawasi pengeluaranku."
"Aku lakukan ini demi kebaikanmu," sahut Kiara datar. "Demi dirimu, demi cucuku, dan demi pernikahan yang telah kalian bangun selama sepuluh tahun."
Ekspresi Selena berubah dalam sekejap. Matanya bersinar dingin, dan raut kaku itu seakan harga mati. "Apa Mama tahu, kalau selama ini Damien yang menyimpan perasaannya padaku?"
Kamara Kiara mendesah berat.
"Bertahun-tahun, sampai aku tidak bisa menghitungnya dengan jariku. Dan, ya, Mama tahu."
Selena mengulum senyum tipisnya. "Maka dari itu, saat Mama menekan keluarga Damien, Mama meminta agar salah satu dari mereka menikah denganku. Sebenarnya, Mama memang tidak berniat menjodohkanku dengan Marcuss Regan, kan?"
"Penjahat kelamin seperti dia tidak pantas bersanding dengan putriku," sungut Kiara kesal. "Kau pikir, Mama mau kau menikahi dia yang kasar? Selena, kalau kau menikah dengannya, Dion tidak akan ada. Aku tidak akan mendapatkan cucu sesempurna anakmu sekarang."
"Mama pikir, Damien pantas?"
Kiara terkesiap. Bibirnya terkatup rapat dan matanya menyipit tajam menilai ekspresi dingin putrinya.
"Berhenti bicara omong kosong, Selena. Mama tidak mau dengar."
Selena mendengus. "Aku dan Damien bahkan tidak ada di satu kelas yang sama. Aku bertemu dengannya di acara resmi ballroom hotel saat itu. Dan selama ini, sering kali menghabiskan waktu bertemu Marcuss Regan walau kami tak terlibat banyak obrolan. Omong kosong apa yang Mama maksud kalau Damien punya perasaan lebih padaku sejak dulu?"
"Lihat? Kau benar-benar egois," sembur Kiara dingin.
Bibir Selena menipis ketat. "Berhenti mencelaku, Mama."
"Aku membesarkanmu bukan memintamu untuk melawanku, Selena. Kau tidak biasanya gegabah seperti ini. Kau terbiasa berpikir dingin. Apa karena baru menemukan fakta itu, kau tercengang sekarang? Merasa bersalah?"
Selena mendengus dengan raut masam.
"Merasa bersalah karena tidak punya perasaan yang sama?"
Kamara Kiara menyesap secangkir teh hangat miliknya. Saat mata itu bersirobok dengan mata bersinar milik putrinya yang penuh penolakan.
"Mengapa kau tidur dengan Damien malam itu?"
Selena hanya merespon dengan kening mengernyit sesaat. Sebelum uap itu berhembus dari celah bibirnya yang sedikit terbuka.
"Saat itu, setelah acara resmi yang berlangsung membosankan. Aku mabuk. Mabuk dalam arti benar-benar karena alkohol. Damien ada di sana, dia diam-diam mengikuti."
"Tidakkah itu cukup membuktikan kalau dia benar-benar tertarik padamu?"
Selena menyipit tajam pada sang ibu. "Tertarik dalam arti bukan menyukai, kan? Aku menduga, dia juga tidak punya rencana untuk berkeluarga sampai kehidupannya mapan."
Kiara mendesis. "Daren dan Haru benar-benar membuatku muak."
Selena menipiskan bibir. Tidak lagi ingin menjelaskan apa pun selain diam, dan membiarkan dirinya larut bersama pikirannya sendiri.
***
"My name is Berry Souma. I am ten years old. My father is—,"
Suara gelak tawa terdengar nyaring dari kelas lima Sekolah Dasar Halim yang terletak di lantai dua gedung yayasan terbesar di Tokyo ini. Semua memandang Berry Souma dengan geli, sekaligus mencela. Pada putra pertama pasangan Drian dan Tari yang kikuk di depan kelas.
Berbeda dengan raut masam Yamanaka Lawson dan Marcuss Dion di tempatnya. Saat Lawson masih sakit hati karena nilainya lebih rendah dari Souma, dan Dion yang datar tapi menyimpan kekhawatiran berlebih.
"Oke, Souma. Cukup sampai di sini. Perkenalanmu bagus," ucap guru baru bahasa Inggris di kelas mereka. Saat guru cantik itu berdiri, memegang bahu Souma yang gemetar karena malu.
"Mari anak-anak, kita beri tepuk tangan untuk Berry Souma."
Semua anak-anak di kelas bertepuk tangan. Souma mendengus, menunduk saat tepukan di bahunya memintanya kembali duduk. Dan raut masam itu terlihat jelas saat Dion menoleh.
"Aku sudah memberi contekan padamu. Kenapa tidak kau lihat?"
Souma menghela napas. "Kalau hanya perkenalan, aku bisa melakukannya. Tapi, kenapa lidahku tidak mau bekerjasama?"
"Bodoh," gerutu Lawson di sebelah Dion. "Jangan sok pintar. Sudah baik Dion mau membantumu."
"Diam kau," tunjuk Souma. Membuat guru baru di depan kelas menggeleng pada kedua anak itu.
"Okay. Let me introduce myself," suara tepukan itu berhasil mengambil seluruh atensi di dalam kelas. "Namaku, Rola. Rola Mizuki. Kalian bisa memanggilku dengan Mrs. Rola. Sampai sini, mengerti?"
"Mengerti."
Rola mengulum senyumnya. "Bagus," dia menulis sesuatu di papan tulis. "Aku berdiri di sini karena menggantikan guru lama kalian, Nyonya Kurenai yang izin karena melahirkan anak pertama. Dan karena Nyonya Kurenai memutuskan untuk beristirahat sampai waktu yang tak ditentukan, aku akan menjadi guru pengganti sementara. Kalian tidak keberatan, kan?"
Kepala anak-anak menggeleng serempak. Rola mengulas senyum manisnya. Saat matanya tertuju pada Marcuss Dion yang menatapnya bingung.
Rola mendengar suara bel berbunyi. Anak-anak segera merapikan meja mereka untuk berhambur keluar mencari makan siang. Rola bergeser ke mejanya, bersiap-siap untuk berkemas dan membiarkan guru bidang studi lainnya mengganti di saat jam pelajarannya telah berakhir.
Sesi di hari pertama, adalah perkenalan. Dia baru akan benar-benar mengajar di hari selanjutnya.
Kelas berangsur sepi. Saat Rola mendongak, menemukan Marcuss Dion berdiri tidak jauh dari mejanya dengan bibir membuka kecil. "Mrs. Rola, kemarin bersama ibuku? Di rumah sakit?"
Rola mengulas senyum manis. Ketika dia duduk di kursinya, melipat tangan di atas meja dan memandang Dion gemas. "Aku bertanya-tanya, apa anak manis ini mengenalku atau tidak. Ternyata? Kau membuatku terkejut."
"Mrs. Rola, kenal dengan Mama?"
"Kami teman di masa sekolah dulu," balas Rola ramah. "Mama tidak memberitahu, ya? Ah, kemarin aku ingin memperkenalkan diri. Setelah melihatmu memakai seragam dari Halim, aku membiarkannya menjadi kejutan. Apa kau terkejut sekarang?"
Kepala Dion mengangguk. "Salam kenal," setelah itu dia membungkuk. Dan berbalik pergi ke luar kelas. Menyusul teman-temannya yang lain pergi ke kantin untuk makan siang.
Setelah kepergian Marcuss Dion, bola mata cokelat madu itu bersinar datar. Bibir Rola menipis ketat, sebelum dia mendengus menahan perih, dan pada akhirnya memutuskan untuk diam, dan berlalu pergi.
***
"Kalian, masuklah. Mama dan Papa sudah menunggu."
Selena tak perlu bersikap ramah pada Marcuss Regan yang membukakan pintu untuk mereka. Saat Dion berlari ke dalam rumah, mencari kemana kakek dan neneknya. Menemukan mereka di kebun belakang, anak itu berlari menyapa mereka.
"Dion di sini."
Marcuss Daren melepas tangannya dari bakaran, menghampiri cucu satu-satunya. Membawa Dion ke dalam pelukan, dan menggendongnya sembari mencium pipi anak itu berulang kali.
Dion hanya tertawa. Saat Selena menyapa dan dia menoleh ke belakang, menemukan sang suami tertahan di dapur bersama Regan, Selena kembali memutar mata.
"Dengar, Damien. Pukulanku kemarin bukan apa-apa. Itu belum seberapa atas penghinaanmu padaku."
"Penghinaan yang mana?" Damien membalas sarkatis. "Karena merebut Selena atau karena aku tidak akan bercerai darinya?"
Bibir Regan menipis dingin. Sebelum sinar gelap itu bertambah gelap, Selena lantas masuk ke dalam. Menarik lengan suaminya untuk masuk ke taman, karena situasi tidak memungkinkan mereka untuk berkelahi.
Pertama, karena ini wilayah Regan. Damien bisa kalah telak di sini. Terutama karena ada Marcuss Haru, yang terang-terangan berdiri di kubu si anak sulung.
"Pelan-pelan, Dion."
Kepala Dion terangkat mendengar suara sang nenek yang tengah tersenyum sembari menata piring besar berisi kalkun panggang. Saat sosis bakar itu berpindah dari piring lain ke piringnya, Dion kembali menoleh.
"Makan itu," ujar Daren. Memindahkan dua sosis besar ke piring cucunya.
"Heh, apa maksudmu memberikan cucuku sosis gosong itu? Kau mau membunuhnya?"
"Ini tidak terlalu gosong, Haru," balas Daren datar. Saat Dion hanya terkekeh, dan memotong sosis itu dengan garpu.
"Kemari, biar Oma bantu memotong sosis besar itu untukmu."
Dion menoleh ke sumber suara lain. Kedua matanya membulat menemukan Kamara Kiara baru saja tiba bersama sang suami. Saat Yuma menyapa formal ayah dari Damien, dan saat Kiara menaruh tas Hermes itu di atas meja.
"Kau kesulitan memakannya, kan? Karena terlalu besar," Kiara terkekeh geli. Mengabaikan eksistensi Haru di meja makan. "Biar Oma bantu memotongnya."
"Terima kasih."
"Sama-sama," balas Kiara dengan senyum. Dia memotong sosis bakar itu menjadi potongan kecil. Kembali mendorong piring itu, dan membiarkan Dion memakannya sampai lahap.
"Mama sudah datang," sapa Damien yang menarik kursi di sebelah putranya.
Kamara Kiara tersenyum. Lama rasanya tidak melihat sang menantu setelah Dion keluar dari rumah sakit. "Lama tidak bertemu, Damien."
"Hn," Damien membalas singkat. Melirik piring putranya dan menoleh mendengar suara kursi ditarik. Selena mengambil tempat di sebelahnya. Melihat-lihat deretan makanan di atas meja dan mendesah.
"Kita disuruh menghabiskan semua makanan ini?"
"Kalau tidak dihabiskan, Mama akan membuangnya," balas Damien datar.
Marcuss Regan memilih tempat di seberang mereka. Duduk tepat di sebelah Marcuss Haru. Saat dia tersenyum formal pada Kiara, dan mereka hanya berbicara singkat.
Selena merasakan adanya hawa kompetisi di antara ibu dan ibu mertuanya. Saat Haru duduk, berpura-pura memasang senyum terbaiknya. Ketika dia berdiri, dan meminta mereka untuk memakan makanan yang telah dihidangkan. Biarkan tuan rumah menjamu tamu, begitu katanya.
"Dion, sekarang kelas berapa?"
"Lima," sahut Dion sembari menunjuk kelima jarinya di depan Regan. "Tahun depan baru naik kelas enam."
"Anak hebat," puji Regan. Memberikan jempolnya pada keponakan satu-satunya. "Melihatmu sekarang, sama seperti melihat Paman Regan di masa lalu."
Marcuss Haru tertawa. Menanggapi kalimat anak sulungnya dengan senyum. "Pamanmu benar, Dion. Kalau dilihat-lihat, kau yang sekarang mirip dengan Paman Regan dulu."
Selena melirik datar. Begitu pula Damien yang berpura-pura tuli. Saat Yuma berdeham, meminta Daren menuangkan air mineral ke dalam gelasnya. "Terima kasih," balas Yuma dengan senyum.
"Dulu, Paman Regan tidak sedatar dirimu, Dion. Berapi-api, dan begitu semangat. Teman Paman Regan memang tidak terlalu banyak. Tapi, beberapa dari mereka memang benar-benar baik."
"Bagaimana dengan sekarang? Tidak ada sama sekali?" Kali ini, suara Damien yang menyahut. "Kau terlihat kesepian sekarang, kakak."
Regan mendesis. Menipiskan bibir sembari mengendik pada adiknya. "Halah, kau tahu apa, Damien? Temanku banyak. Aku hanya tidak mau menunjukkannya di depanmu."
Selena kembali merasakan perasaan lain di meja makan yang tercipta. Dion hanya diam. Tetapi, otak cerdas anaknya pasti sedang berusaha mencerna. Bingung dengan obrolan ayah dan pamannya.
"Kita sedang makan. Tidak bisakah kau tenang, Regan?" Daren menegur putranya, dan Regan hanya diam. Mengangkat bahu dengan ekspresi tak peduli.
"Di mana Hyena?"
"Kenapa bertanya, Kiara?" Haru yang menyahut sekarang. "Regan dan Hyena memang belum resmi bercerai. Belum ada surat panggilan dari pengadilan juga. Tapi, yah, sepertinya perempuan tidak tahu diri itu sudah memutuskan untuk menghilang begitu saja dari kehidupan putraku."
"Apa kau pantas bicara seperti itu di depan cucumu sendiri, Haru?" Suara Kiara balas menggema. Membuat meja makan seketika senyap.
Selena menaruh garpu dan sendoknya. Menoleh ke dalam rumah. Memanggil nama asisten rumah tangga keluarga mertuanya dengan keras.
"Gaana! Gaana!"
Asisten paruh baya itu tergopoh-gopoh masuk ke kebun belakang. Dia membungkuk, mendekat dengan kepala tertunduk saat Selena memintanya membawa Dion keluar dari meja makan.
"Bawa dia bermain di ruang tengah. Aku akan menyusul sebentar lagi."
"Mama," Dion merengek.
Selena menoleh. Menatap mata putranya dengan sorot tajam. "Dion," satu kata, dan berhasil membuat anak itu tertunduk lesu. Membawa piring sosis bakarnya dan berjalan bersana Gaana yang menggandeng tangannya.
Terdengar suara garpu dan pisau terbanting di atas meja. "Kalau begitu, aku tidak perlu menahan diri lagi."
Marcuss Damien mengangkat alis. Menatap raut datar ibu dan kakaknya, terutama pada kepala keluarga yang hanya mengerutkan kening.
"Tidak perlu menahan diri, Nyonya Kiara," balas Regan dingin. "Entah, hanya perasaanku atau kalian juga menyadari kalau Marcuss Dion, seperti diriku? Atau jangan-jangan, dia itu anakku?"
Selena membeku. Menatap Marcuss Regan yang jelas mencetak seringai miring ke arahnya. Setelah itu, beralih pada suaminya.
Damien harus benar-benar tenang sekarang. Regan jelas bergurau. Dia hanya memancing dirinya saja.
"Baguslah," Kiara mengusap tangannya pada lap bersih. "Karena Dion di dalam, aku tidak perlu memasang topeng nenek baik hati dan cinta sesama di depannya."
Marcuss Haru belum bersuara saat layangan tas Hermes mendarat keras di kepala putranya. Tidak sampai di sana, Hermes dengan berat tas satu koma satu kilogram itu juga mendarat tepat menghantam wajahnya sama kerasnya.
"Kiara!"
Suara Haru membentak dengan nada marah sekaligus menghina. Penghinaan Kamara Kiara benar-benar membuatnya naik pitam.
Kamara Yuma bangun, berusaha menangkap lengan istrinya. Dia seperti melihat Kiara di masa muda yang berapi-api dan penuh ambisi. Berbeda dengan Selena yang menurun sifat darinya. Jauh lebih tenang.
"Kalian berdua membuatku kesal," hardik Kiara dengan telunjuk menunjuk keduanya. Saat Regan meringis, dan sebelum kembali berbicara, Kiara kembali melayangkan tas mahalnya ke wajah pria itu. "Diam kau, penjahat kelamin. Bersuara sekali lagi, kau merasakan ciuman tas mahalku."
"Apa?" Regan mengerang tak percaya.
"Dengar, Haru. Sekali lagi kau berulah, aku akan membuatmu berlutut dan meminta maaf sampai airmatamu mengering. Lihat nanti."
"Cukup!"
Marcuss Haru menggebrak meja. Sebelum pertikaian ini berlanjut lebih besar lagi, Daren bangun dari kursinya. Bermaksud melerai sang istri untuk tetap diam dan tidak banyak mencela lagi.
"Diam, Daren. Aku benar-benar kesal sekarang!"
"Kau seharusnya menepati janjimu, Haru," geram Kiara jengah. "Kau bilang padaku ingin berhenti membela putra sulungmu. Tapi, mengapa kau menyudutkan Damien dan memintanya bercerai dari putriku. Apa salah putriku? Apa salah cucuku?"
"Karena Selena tidak sepadan dengannya!"
Kedua mata Kiara memicing tajam. "Menurutmu siapa yang sepadan? Penjahat kelamin ini? Cih. Aku yang melihat bekas kekerasan di fisik Hyena mengutuk kelakuan b***t putramu."
Sebelum Damien bangun, dia merasakan tangan lain menahan lengannya. Dia ingin melerai keduanya. Di antara ibu dan ibu mertuanya.
"Biarkan saja."
"Kau bicara pada ibumu? Tentang masalah kita?"
Selena mendesah. "Kalau aku tidak bicara, Mama bisa saja mengganggu rumah tangga kita lagi. Lebih baik dia tahu dariku, daripada dari mulut orang lain."
Kedua mata Damien terpejam lelah.
"Sekali lagi bicara, bukan tas ini yang melayang di wajahmu, Haru. Tapi, meja ini. Kau pikir kau siapa bisa menginjak-injak keluargaku? Bisa menghina diriku dan putriku? Juga menantuku?"
"Damien itu putraku!" Haru membalas sengit.
"Halah," Kiara berkacak pinggang dengan ekspresi meledek. "Baru sekarang panggil dia dengan putramu. Kemarin kemana saja?"
Selena bangun dari kursinya. Berjalan mendekat ke arah sang ibu, dan menarik lengan ibunya untuk mundur. "Sudah, Mama."
"Aku datang memenuhi undanganmu karena ingin memukul kepalamu agar kembali ke jalan yang benar. Jangan menjadi iblis di kehidupan rumah tangga putramu sendiri, Haru."
Kedua mata pekat Haru melebar.
"Kau tidak lihat mereka saling mencintai? Apa kurang jelas? Perlu kulebarkan matamu agar melihatnya?"
Selena terpaku. Begitu pula Damien yang menoleh. Pria itu sejak tadi diam. Tapi, mendengar kalimat itu membuatnya tertegun.
"Sudah, Mama," Selena kembali menarik lengan ibunya.
Kamara Kiara mendesis. Merapikan sanggul rambutnya dan memicing tajam sekali lagi. "Kembali macam-macam, kubuat miskin kalian semua!"
"Silakan saja! Seakan-akan kau bisa!"
"Aku punya Bank Tokyo. Bank terbesar yang ada di Jepang. Membawahi anak bank lokal lain. Kau bermain-main? Kau pikir aku tidak tahu dana perusahaanmu mengalir kemana?"
Marcuss Regan terpaku. Menatap dingin pada ibu mertua adiknya. "Nyonya Kiara tahu benar tentang masalah perusahaan kami?"
"Ini apa? Lepas," Kiara menepis tangan putrinya sendiri. Saat dia mendengus, mengusap pelipisnya sendiri dengan kekehan ringan. "Coba sayangku, Regan. Tanyakan pada ayahmu, Daren. Tanyakan apa yang terjadi. Baru kalian bisa menilai siapa aku."
Kamara Yuma mendesah berat. Menggeleng pelan, dan berpaling menatap putrinya. "Selena, pulanglah lebih dulu. Kami membawa supir saat ini. Bawa Dion kembali. Aku tidak mau cucuku mendengar ini semua."
Kepala Selena terangguk. Saat Damien yang lebih dulu bangun, membungkuk pada seisi meja dan berbalik. Mendengar desisan tajam dari ibu kandungnya.
Tapi sekali lagi, dia tidak peduli.
Saat Damien masuk ke dalam rumah, dia mendengar putranya sedang bermain lego di ruang tengah. Ditemani Gaana, asisten rumah tangga yang mengabdi pada keluarganya lebih dari dua puluh tahun.
"Tuan muda?"
Damien memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Pergilah beristirahat. Biar aku yang mengurusnya."
"Baik," asisten itu membungkuk. Dan berlalu pergi ke kamarnya untuk mengasingkan diri.
"Papa!"
Damien meraih jaket milik anaknya yang tergeletak di sofa. Dia membungkus tubuh kecil itu dengan jaket. Dan membantu Dion merapikan lego di atas karpet.
"Kita pulang sekarang?"
Damien mengangguk. Saat Dion merentangkan tangan, membiarkan sang ayah mengancingkan kancing jaket miliknya.
"Papa, ada guru baru di sekolahku."
Alis Damien terangkat. "Siapa?"
"Mrs. Rola. Dia masih muda dan cantik. Senyumnya menawan."
Damien kembali bangun. Menatap tubuh kecil yang telah terbungkus jaket itu saat Dion memungut Hot Wheels miliknya dan bersiap pergi.
"Guru baru?"
Kepala anak itu tertoleh. Dion menemukan ibunya mendekat dengan mata menyipit. "Siapa?"
"Mrs. Rola, Mama. Teman Mama di rumah sakit kemarin," balas Dion bersemangat. Sinar polosnya tidak mampu membuat beku di diri Selena mencair.
"Teman?" Damien balas melirik istrinya.
Selena menghela napas. Memejamkan mata sebentar sebelum dia menarik tangan Dion untuk pergi dari rumah mertuanya, dan langkah Selena terhenti saat mendengar suara ibunya.
"Bawa Dion pergi, Damien."
Damien terdiam. Menarik langkahnya untuk menatap ekspresi bengis ibu mertuanya. Sebelum dia akhirnya mengangguk, menarik tangan putranya untuk berjalan ke pintu utama.
"Jadi, benar. Rola bekerja untuk Halim."
"Sudah, Kiara. Ayo, kita kembali."
Kamara Yuma kembali berusaha membujuk istrinya. Melingkari bahu itu dengan tangannya, dan dia tidak ingin pertikaian antar ibu berlanjut menjadi pertikaian antar anak dan ibu.
"Aku juga baru mendengarnya," balas Selena datar.
"Pembual."
Tangan Selena terkepal.
"Kalau aku mendapati perempuan itu masih ada di Halim, kau tahu resikonya, Selena."
Selena mendengus. "Mama mau apa?"
"Melenyapkannya."
Suara Kiara mengalun dingin. "Sebelum dia berhasil membuat Dion terluka, atau sebelum Damien tahu dia siapa, aku akan menghilangkannya dari dunia ini demi dirimu. Demi pernikahanmu. Dan demi diriku sendiri."
Rahang Selena mengeras sempurna mendengar ancaman itu menguar bebas dari bibir ibunya.