Selena memarkirkan Jaguar miliknya di parkiran khusus direksi. Saat dia melepas kacamata hitamnya, ibu satu anak itu segera menekan tombol kunci sembari berlalu. Tanpa perlu memastikan mobilnya telah terkunci dengan baik atau belum.
Langkahnya menggema di sepanjang lobi. Ketika Selena disapa beberapa karyawan yang tampak sibuk, dan melihat pemandangan pagi ini cukup gaduh.
"Kerja bagus! Kerja bagus!"
Kamara Kiara bersorak. Seakan memang perempuan yang sudah menyentuh angka lima itu sedang gembira. "Kerjamu bagus."
"Mama," Selena menyapa. Sekaligus menegur tatkala mendapati sebelah tangan Kiara mencengkram bahu salah satu karyawan laki-laki yang terus menunduk tanpa berani melihatnya.
"Saat bekerja, kau tidak boleh berbuat seenaknya. Paham?"
"Paham, Nyonya." Suaranya bergetar. Dan Selena mendengus mendapati raut laki-laki malang itu pucat—nyaris memutih seutuhnya.
"Sudah, pergi sana. Belum saja aku ingin mencincangmu pagi ini. Sudah bikin kesal," gerutu Kiara.
Laki-laki itu membungkuk berulang kali. Menyuarakan gumaman kata sesal dan berlalu saat dia kembali bekerja.
"Ini masih pagi, Mama."
"Sendiri, Selena? Kemana suamimu?"
"Bekerja," balas Selena acuh. Berjalan menuju lift dan menekan tombol di sana. "Aku kemari karena ada hal yang ingin aku bicarakan pada Mama."
Kamara Kiara mendesah. Merapikan sanggul rambutnya dan menatap sang anak. "Darurat, kah? Sesuatu terjadi pada cucuku?"
"Dion baik-baik saja."
Selena mengintip pada pintu lift yang terbuka. "Aku tadinya mau mampir ke rumah. Tapi, Mama pastilah tidak ada di sana. Jadi, aku datang kemari."
Alis Kiara terangkat satu. Saat langkahnya mendekat pada putri semata wayangnya. Dan pandangan mata itu menyapu intens. "Marcuss itu berulah lagi?"
Selena menahan senyum. "Marcuss?"
"Bukan Damien, tapi ular kadut itu," ujar Kiara datar. "Keluarga Damien."
"Mama masih tidak menyukai besan Mama sendiri?"
Kaki Kiara mengikuti langkah Selena masuk ke dalam lift. Saat Selena menekan angka dimana menjadi ruang pribadi ibunya, Kamara Kiara menghela napas.
"Kasihan sekali menantu malangku, harus terjebak pada keluarga berbisa seperti mereka."
Selena ikut mendesah panjang. Saat dia melirik sang ibu, menemukan perempuan sosialita itu bersidekap dengan raut datar.
"Damien meminta bercerai."
Kedua mata Kiara nyaris melompat dari tempatnya.
"Semalam, dia mengatakannya."
Tangan Kiara turun di sisi tubuhnya. Kedua matanya melebar. Menuding sang anak dengan tatapan berapi-api siap meledak.
"Selena! Sudah aku katakan untuk berhenti. Berhenti mencari-cari. Berhenti peduli pada—,"
"Semua karena perintah Marcuss Haru."
Bibir Kiara langsung terkatup rapat. Pangkal hidungnya memerah menahan jengkel. Saat matanya menelusuri ekspresi datar putrinya, tangan itu terkepal erat.
"Lihat nanti, Haru. Kau targetku sekarang."
Selena hanya menunduk. Terdiam sebentar sebelum bibirnya mengulas satu senyuman keji.
***
"Kenapa dengan wajahmu? Suntuk sekali. Kau bertengkar dengan istrimu? Atau kau tidak mendapat jatah mingguan semalam?"
Berry Drian jelas melempar lelucon sekarang. Saat raut keruh Marcuss Damien pagi ini setelah rapat membuat beberapa orang memilih untuk menjaga jarak. Damien yang pasif, lebih mengerikan. Dia sejak tadi hanya diam, memerhatikan. Dan beberapa kali melempar catatan untuk direvisi bawahannya. Selepasnya, dia kembali diam.
"Tari ... menyukai bunga?"
Alis Drian tertaut. "Hm, biasa. Wanita menyukai bunga, kan? Semuanya. Hanya saja, berbeda jenisnya. Karena kau tahu, arti bunga itu berbeda-beda. Tergantung kepribadian wanita itu sendiri."
Damien mulai tertarik. "Apa bunga kesukaannya?"
"Tulip merah."
Damien hanya mengernyit.
Drian tertawa menemukan ekspresi bingung yang melumuri wajah sahabatnya. "Damien, kau tahu arti bunga itu? Tulip merah berarti melambangkan sebuah cinta yang mendalam. Bisa juga diartikan sebagai simbol kasih sayang yang sempurna."
Damien terpaku. "Sebagus itu?"
Kepala kuning itu mengangguk. "Hooh. Maka dari itu, aku sering memberikannya bunga itu. Kalau Tari sedang merajuk, atau dia sedang lelah mengurus anak-anakku, aku akan memberikan itu. Agar dia tahu, kalau dia dicintai."
Drian kembali bersuara. "Kau bisa membelikan Selena bunga mawar. Mungkin, Selena bisa luluh atau—,"
"Mawar identik dengan perayu ulung. Selena akan membakar bunga itu di depan mataku," sela Damien dingin.
Drian menahan geli. "Benarkah? Ah, jadi ini yang membuatmu uring-uringan pagi ini?"
Damien menghela napas panjang. Tiada guna bicara dengan Berry Drian sekarang saat perasaannya belum sepenuhnya membaik.
Semalam, saat Selena seleGio mengobatinya, Damien langsung pergi untuk membersihkan diri. Dan kembali ke kamar, menemukan Selena sudah berbaring pulas. Damien tidak ingin bertanya lebih lanjut. Atau, dia mengajak bicara istrinya di saat Selena sudah terlelap.
Sebelum Damien beranjak, Drian menahannya dengan dehaman singkat. "Kau tidak tahu apa bunga kesukaan istrimu?"
Alis Damien tertaut. Sebelum pria itu mengangkat bahunya tak peduli, dan berjalan ke luar ruangan. Membiarkan Berry Drian terdampar seorang diri di dalam ruangan.
***
"Untuk apa membeli bunga?"
"Ibuku," sahut Yamanaka Saphira dari seberang pot besar. Dia menarik lembut rambut pirangnya, menunduk untuk mencium aroma khas dari bunga-bungaan yang mekar dengan cantik siang ini.
Dia dan Selena punya janji bersama untuk menjemput anak mereka di sekolah. Dan Saphira meminta Selena untuk mampir ke toko bunga sebentar. Hanya sekedar melihat-lihat. Kalau dia tertarik, dia akan membeli.
"Ibumu?" Selena meremas kunci mobilnya. "Apa bunga kesukaannya?"
"Daisy."
Selena terdiam. "Ah, daisy," kemudian, sinar matanya berubah. Selena berbalik, menatap satu-persatu bunga yang tumbuh subur sampai matanya menangkap satu bunga yang tumbuh cantik di pot khusus yang terletak di dekat jendela.
Saphira menghentikan langkahnya. Melihat tetangga sekaligus teman akrabnya selama dia tinggal di Distrik Rose sedang melamun menatap pot bunga krisan putih.
"Krisan putih?"
Selena hanya meliriknya datar. "Ini mencolok daripada bunga lainnya," ujarnya tanpa ekspresi berarti.
"Aku rasa tidak," balas Saphira. Dia bersidekap. Menatap ke arah pot-pot yang berbaris rapi. "Ada lavender yang sama cantiknya. Melati. Juga tulip putih. Bermacam-macam."
Sudut bibir Selena tertarik ke atas. "Bagiku, ini menarik."
Saphira mendengus menahan senyum. "Yah, namanya juga selera?"
Selena kembali berpaling. Menatap ibu satu anak itu sebelum Saphira meminta pada pegawai di toko bunga itu membungkus daisy yang dia mau di dalam pot.
Jemari Selena terulur. Menyentuh kelopak bunga krisan putih itu dalam diam. Saat matanya meredup, dan dia menarik napas panjang. Sebelum, membuangnya perlahan.
Ya Tuhan.
"Apa suamimu pernah membelikan bunga untukmu, Selena?"
Kepala Selena terdongak. Menatap lurus ke luar jendela dengan pandangan hampa. "Kenapa bertanya?"
"Hanya ingin tahu," Saphira membalas dengan senyum. "Biar kutebak, suamimu itu bukan tipe romantis. Tapi, sesekali dia bersikap soft seperti itu, pasti membuat perasaanmu lumer seperti keju panggang."
Selena menahan tawa. Menatap Saphira yang mendekat ke arahnya. "Kenapa denganmu? Kenapa pula harus menyamakan perasaanku dengan keju panggang?"
Saphira tertawa. "Aku serius."
Selena mendengus. Kembali menyentuh kelopak bunga krisan putih itu dengan senyum getir. "Entahlah. Sepuluh tahun berlalu, aku tidak terlalu ingat bagaimana kami menikah. Ibuku saat itu yang sibuk. Aku hanya duduk santai."
"Astaga. Bukankah, semua orang tua itu sama?" Saphira kembali terkikik. "Aku pun sama. Hanya saja, saat itu ibu mertuaku yang super sibuk. Rela berpergian kesana-kemari hanya agar pernikahan berjalan lancar."
Selena hanya merespon dengan gumaman singkat. Saat pegawai toko bunga itu memberikan bungkusan agak besar, dan Saphira berjalan ke arah kasir. Mengeluarkan kartu debit miliknya, dan membayar untuk bunga yang ia beli.
Yamanaka Saphira kembali berjalan. Mendekat pada Selena yang siap beranjak, saat dia menahan lengan wanita itu. "Mau membelinya?"
Kepala Selena menggeleng.
"Kenapa tidak?"
Selena mengulum senyuman misterius. "Kalau aku membeli ini, orang-orang akan tahu seperti apa aku sebenarnya," ujarnya dengan senyum yang dibuat seramah mungkin.
Saphira hanya mengernyit. Otaknya yang terlalu lamban atau memang dia benar-benar terjebak di antara senyum palsu Selena? Entahlah. Apa pun itu, dia berharap semua baik-baik saja.
***
"Mama!"
Selena menoleh. Bersandar di sisi Jaguar miliknya saat dia menemukan Marcuss Dion melambai ke arahnya. Bersama putra Saphira yang cemberut. Sepertinya, anak satu itu sedang dalam suasana hati yang buruk.
"Kenapa dengannya?" Saphira menggerutu sebal.
Saat tanpa sengaja seseorang menabrak bahu Lawson sampai nyaris anak itu terjengkang ke depan. Membuat Dion terkesiap, dan si pelaku hanya tertawa tanpa mengatakan apa-apa.
"Benar-benar menyebalkan!" Lawson menjerit. Membuat beberapa orang tua murid yang datang menjemput anak mereka menoleh mencari sumber suara.
"Jangan berteriak, Lawson." Dion menegur singkat. Ekspresinya berubah datar saat mata biru itu menyipit tajam ke arahnya. "Berisik."
"Kau mau berkelahi?"
Dion menggaruk pangkal hidungnya. "Di depan Mama? Ayo. Siapa takut?"
Kedua mata Dion memutar bosan. Saat anak laki-laki itu melempar botol minumnya. Dan Saphira memekik panik melihat putranya hampir saja menyentuh kerah seragam Dion yang masih diam.
Selena hanya mendengus. Menatap pertikaian antar anak-anak yang tiada habisnya. Saat Saphira berlari, menjewer telinga Lawson dan memungut botol minum bergambar beruang kutub itu dengan heels yang menancap rumput buatan.
"Mama, sakit!"
Suara Lawson menyapa. Sampai anak itu berdiri di depan Selena sembari terus memegang telinga kirinya. Saat Saphira melepas tangannya, dan Lawson mengaduh pelan.
Selena melambai, meminta Dion mendekat. Putranya berlari kecil, tersenyum padanya. Dan Selena balas menatapnya tanpa senyum.
"Kau bicara apa tadi padanya, Dion?"
Dion diam. Bibirnya menipis. Saat kepala itu menoleh, menatap datar Lawson. "Jangan berteriak. Berisik," balas Dion.
Saphira membelalak. "Selena, bukan kesalahan putramu. Ini salahnya, salah anakku," Saphira mencoba membela Dion. Dia mencolek bahu Lawson, meminta anak itu untuk berbaikan pada Dion. "Minta maaf."
Lawson berdecak. Dia menatap Dion yang memasang raut datar sekarang. Tangan kecilnya terulur di hadapan Dion. "Aku minta maaf."
Lima menit Marcuss Dion hanya diam. Melirik tangan itu, sebelum kembali pada Lawson yang masih meringis karena telinganya meninggalkan bekas memerah.
Mata kelam itu mengintip ekspresi sang ibu sekarang. Selena menatapnya dalam diam. Dengan tangan terlipat di d**a, Dion menelan ludahnya. "Aku juga," cicitnya pelan.
"Tidak. Semua salahku," ujar Lawson. "Nilai matematikaku tidak terlalu bagus. Aku iri pada Souma. Dia bodoh, tapi nilainya bagus."
"Aku sudah bilang, dia itu sedang beruntung," bisik Dion. Saat anak itu kembali menegakkan punggung dan tersenyum lebar. Mengambil tangan Lawson dan balas menjabatnya.
Saphira tersenyum. Menatap keduanya yang telah berbaikan. Dan harus berpikir keras untuk kembali meluruskan sifat putranya yang sentimental karena hal kecil. Takut di masa depan nanti merembet ke arah lain hanya karena masalah sepele.
Kepala Dion tertoleh. Menemukan sang ibu masih menatapnya tanpa ekspresi. Senyum itu perlahan pudar. Dion menautkan tangannya karena takut bercampur gelisah. Saat Selena menghela napas, sedikit membungkuk dan mengulurkan telapak tangannya ke pipi tembamnya.
"Itu baru anak Mama," pujinya.
Senyum yang semula lenyap itu perlahan timbul. Bersama rona merah di pipi. Gerakan tangan Selena berpindah mengacak rambut tebal nan legam putranya, sebelum dia membuka pintu belakang. Meminta Dion dan Lawson untuk naik ke dalam mobil.
"Kita jadi pergi ke restauran daging, Selena?"
Selena bersiap berjalan memutari mobilnya untuk duduk di kursi kemudi. "Jadi. Ayo."
Saphira mengangguk. Dia membuka sisi pintu mobil penumpang, dan memasang sabuk pengaman.
***
Selena menaruh lap bersih di atas meja saat dia merasakan daster tidurnya tertarik tangan lain di bawahnya. Kepalanya tertunduk, menemukan putranya tengah bersembunyi sembari terkikik geli.
Kembali, mendengar suara tawa anak itu saat Dion bergeser. Kali ini benar-benar bersembunyi di depan ibunya. Selena menunduk menahan senyum, menoleh saat menemukan siapa pelaku yang membuat anaknya tertawa lepas malam ini.
"Kenapa kau mengganggunya belajar?"
"Aku tidak mengganggunya," balas sang suami datar.
Dion kembali berlari ke ruang tengah. Membiarkan ibu dan ayahnya di dapur hanya berdua. Saat anak itu bersiap-siap untuk berlari ke lantai dua, dan bersembunyi di kamar.
"Alasanku pulang cepat sebenarnya mau mengajak kalian makan di luar," Damien bersuara. "Tapi, kau sudah mengajak putramu makan, aku pikir kita bisa pergi lain kali."
"Kita bisa pergi di akhir pekan," kata Selena. Bersandar di antara meja dapur dan meja laci penyimpan piring dan gelas kaca. "Sekalian mengajak Dion keliling kota. Kosongkan saja jadwalmu nanti."
"Aku memang libur di akhir pekan."
Selena mendengus. "Oh, ya? Aku rasa tidak. Kau libur dalam arti karena tidak bekerja di kantor, bukan? Tapi, kau sibuk di ruanganmu. Bukankah, sama saja?"
Damien balas mendengus. Kali ini dia berbalik, melihat putranya terburu-buru menaiki anak tangga, Damien mencoba membantunya. Tetapi, anak itu malah berlari. Membuat Selena cemas.
"Jangan berlari saat kau naik tangga, Dion."
Selena menegur dari lantai dasar. Mendengar langkah Dion masuk ke dalam kamarnya, bersama sang suami yang mengekori di belakang.
"Besok saja membersihkan lantainya, Ayame."
Pelayan muda itu menoleh. Saat Selena menggeleng dengan senyum. "Istirahatlah. Tolong, matikan lampunya."
"Baik, Nyonya."
Selena berjalan ke lantai dua. Menaiki anak tangga. Saat dia berbelok ke arah kamar putranya. Dan menemukan Dion duduk di pangkuan Damien, sedang menyusun lego bersama. Kala anak itu duduk diam, mengamati gerakan tangan sang ayah dengan pandangan berbinar takjub.
Selena memandangnya dalam diam. Menghela napas berat ketika dia berbalik, menemukan lampu ruang kerja sang suami masih menyala, Selena berniat mematikannya.
Dia mendorong pintu kayu itu. Beranjak ke dalam, menutup tirai yang masih tersingkap. Saat dia berbalik, menatap layar yang masih menyala, Selena berniat mematikannya.
Sebelum dia beranjak dari kursi yang biasa Damien duduki saat sedang bekerja, tatapan mata itu tanpa sengaja melirik ke arah laci meja yang sedikit terbuka. Ada sepucuk surat kecil menyembul. Selena menarik laci itu, menemukan sebuket bunga mimosa kuning.
Alis Selena menyatu. Saat dia menarik bunga itu ke luar dari dalam laci. Mencium aromanya yang masih segar, dan segera membuka isi surat yang terselup di salah satu tangkai bunga.
Semoga harimu menyenangkan.
Damien.
Meski tanpa nama, Selena tahu bunga ini ditunjukkan untuk siapa. Sebelum dia menaruh bunga itu ke tempat semula, kepalanya sedikit lebih miring ke kanan, menemukan ada beberapa foto lain yang terselip di atas tumpukan buku dan catatan jurnal lain.
Selena menaruh bucket mimosa kuning itu di atas meja. Meraih beberapa lembar foto dan menghitungnya dalam diam. Ada lima foto.
Seketika perasaannya mencelos.
Lima foto yang diambil di waktu berbeda dan lokasi yang sama.
Selena membalik salah satunya. Membaca tulisan tangan itu dengan pandangan lirih.
Perpustakaan Tokyo. 1 Desember 20xx.
Ekspresinya masih sedatar biasa. Selena memandang satu demi satu potret dirinya yang masih sama. Statis. Seakan-akan si pemotret hanya melakukan perjalanan waktu dari masa lalu ke masa depan.
Helaan napasnya terdengar berat. Selena memangku dagunya. Menatap kepingan foto itu dalam diam. Saat dia menyentuh salah satunya, dan mendesah pelan.
"Apa Mama tahu ini?"
Selena mendengus tak percaya.
"Mama tahu. Dia pasti tahu," Selena menggigit bibir bawahnya sendiri. Meratapi foto itu dalam diam saat kepalanya menggeleng berulang kali. Kemudian, merapikan foto itu kembali ke tempat semula. Menaruh bucket bunga mimosa kuning itu ke laci.
Selena bangun dari kursinya. Mematikan lampu saat dia merapikan rambutnya dan berjalan ke luar, terkesiap menemukan sang suami berdiri datar menatapnya.
"Sedang apa?"
Damien tidak menjawab. Raut wajahnya seakan memang tidak mau menjawab pertanyaan darinya. Selena kembali menutup pintu.
"Kau sedang apa di dalam?"
"Mematikan lampu," Selena berbalik, berjalan mundur saat dia mendorong pintu kamar mereka agar terbuka lebar. "Apa Dion sudah tidur?"
"Sudah," balas Damien singkat.
Selena masuk ke dalam kamar. Mencium aroma lavender yang menyengat dari pengharum ruangan. Saat dia mendengar pintu kamar tertutup, dan mata suaminya masih setia lekat pada dirinya.
"Apa?"
"Apa yang kau temukan di ruang kerjaku?"
Selena mengangkat alis. "Hanya berkas atas nama Aster?"
Damien mendengus sembari melipat tangan di d**a. "Yang lain?"
"Hmm, apa?"
Selena berpura-pura berpikir keras.
"Bunga?"
Tidak ada ekspresi berarti melumuri wajah sang suami sekarang. Selena berjalan mendekat, sengaja memangkas jarak di antara mereka.
"Aku menemukan bunga. Buket mimosa kuning."
Damien berdeham. "Kau tahu artinya?"
Selena melempar tatapannya ke arah lain dengan senyum. "Aku pernah punya teman yang paham benar segala jenis bunga-bungaan. Tentu, aku tahu."
"Teman?"
Selena kembali berpaling. "Lupakan. Jadi, kau membeli bunga itu untukku? Atau untuk sekretarismu?"
"Tidak ada gunanya membelikan Aster bunga. Bukankah, bunga sama saja menaruh harapan? Kalau aku memberikan gadis itu bunga, itu artinya aku memberinya harapan?"
Selena berusaha menahan senyumnya.
"Aku rasa, tidak semua bunga bermakna indah?" Selena menipiskan bibir. Kembali bersuara. "Contohnya, krisan putih?"
Alis Damien terangkat satu. "Kenapa pula aku harus memberikan bunga yang melambangkan duka? Krisan putih melambangkan ratapan dan kesedihan."
Selena menahan tawanya. "Sejak kapan kau rajin mencari tahu arti bunga untuk lawan jenis?"
Damien membisu diam. Mengerti benar kalau Selena sedang menggodanya sekarang.
"Tapi, kau tahu. Kalau krisan bisa diartikan sebagai lambang kejujuran," Selena mengangkat bahunya.
Selena kembali menatap mata sang suami lekat.
"Mimosa kuning, itu berarti kau wanitaku?"
Damien berdeham. Mencoba menghindari situasi canggung yang terbangun di antara mereka. "Aku mencoba berpikir keras selain memberi mawar dan cokelat."
Menit demi menit berlalu. Damien menunggu dengan debaran antisipasi ekspresi dingin istrinya yang perlahan luntur. Terganti ekspresi yang Damien pikir, bernilai mahal dan tiada duanya.
"Terima kasih."
Selena menerjang tubuh pria itu dengan pelukan. Berjinjit untuk melingkari tangannya di sepanjang bahu, dan beristirahat di lehernya. Saat bibirnya mengecup pelan, dan berubah menjadi lumatan.
Semula, Damien berpikir kalau ini hanya mimpi semata. Atau, dia sedang berhalusinasi. Karena dia berpikir, memberi Selena bunga adalah kesalahan. Jadi, dia akan menyimpan mimosa itu untuk lain hari sampai hatinya benar-benar siap mendapat penolakan.
Tapi, kenyataannya berbanding terbalik. Tidak seperti yang Damien duga. Kalau istrinya menyukai hadiah kecil yang belum tersampaikan.
Selena merintih di sela-sela ciuman mereka. Dekapan sang suami semakin erat terasa. Saat kedua kakinya dipaksa mundur, dan Selena harus bergerak ke arah ranjang. Berbaring di atas sana, menunggu dengan antisipasi kegiatan selanjutnya yang terjadi untuk menghabiskan malam yang panjang.
***
"Opa!"
Kamara Yuma yang baru saja seleGio bicara dengan perawat rumah sakit menoleh, kedua matanya melebar menemukan cucu kesayangannya berlari ke arahnya. Siap menerjangnya dengan pelukan penuh rindu.
"Dion rindu," gumamnya. Saat Yuma menggendong anak itu. Menepuk punggung kecilnya dengan senyum haru.
"Aku juga rindu. Sangat."
Dan mencium pipi dan pelipis cucunya bertubi-tubi. Membuat Dion tertawa dan Selena yang berjalan mendekat sembari menenteng tas putranya hanya tersenyum.
"Mama memberi kabar, kalau Papa baru saja kembali tadi malam. Kenapa langsung bekerja? Tidakkah, Papa lelah?"
"Lelah? Tentu tidak," balas Yuma sembari tertawa. Saat dia dengan bangga menggendong cucu laki-laki kebanggaannya. "Kau sudah makan siang?"
Kepala Dion menggeleng. "Belum. Mama bilang, akan mengajak Opa Yuma makan bersama."
"Aku bisa memesan makan siang untuk kita bertiga," sahut Selena dengan senyum.
Yuma kembali tertawa. Saat Selena berjalan di belakang mereka. Dan meminta putranya untuk turun, Yuma balas mengomel padanya. Bahwa dia masih kuat menggendong cucunya. Dan sama sekali tidak keberatan membawa Dion masuk ke dalam ruangan pribadinya.
Karena rumah sakit sedang istirahat. Membiarkan para dokter spesialis yang bertugas menikmati makan siangnya sebelum kembali bekerja sampai sore.
Langkah Selena terhenti. Menemukan sosok yang tidak lagi asing di matanya baru saja berjalan terseok ke luar dari salah satu kamar inap kelas satu. Kepalanya tertunduk dalam, membuat Selena tak bisa melihat jelas bagaimana ekspresi kalutnya sekarang.
Sebelum Selena mendekat, sosok itu lebih dulu mengangkat kepala. Menatap sekitarnya, dan terdiam saat mata mereka bertemu.
Selena menarik napas panjang. Melirik ke dalam ruang sang ayah, sebelum dia berjalan mendekati sosok itu dengan langkah santai.
"Selena?"
Selena terpaku. Menatap ke dalam pintu yang celahnya sedikit terbuka. Menemukan sosok kurus kering yang sedang terbaring, berjuang untuk hidup bersama alat penunjang kehidupan yang terpasang di tubuhnya.
"Bagaimana keadaannya?"
"Memburuk," balasnya lirih.
Kepalan tangan Selena pada tas milik putranya mengerat. "Kau butuh uang?"
Sosok itu mendengus lemah. Saat matanya tanpa sengaja melirik tas punggung yang sedang Selena bawa, kedua matanya terpejam erat.
"Kau datang bersama putramu?"
"Ya. Kami menemui Dokter Yuma," balas Selena datar. Matanya tak pernah lepas memandang sosok yang terbaring mengenaskan di dalam kamar. "Kalau kau butuh sesuatu, yang kau lakukan hanya perlu meminta. Aku bisa me—,"
"Kau lupa? Terakhir kali kau membantuku, kau bertengkar dengan ibumu, Selena."
Selena berpaling. Menatap raut lelah itu dengan ekspresi datar. "Jangan cemaskan itu. Aku bisa mengatasinya."
"Kau bisa mengatasinya? Kau yakin?"
Selena menunduk. Menghela napas panjang sebelum dia kembali mendongak. "Kau meragukanku?"
Sosok itu mendengus menahan tawa pahit.
"Aku ingat benar, kau memberiku uang karena kau diam-diam mengambilnya. Itu pun uang suamimu, bukan uangmu."
Menekankan pada kata suami, yang membuat darah Selena berdesir.
"Aku sudah bilang padamu, untuk berhenti membantuku. Ibuku tidak lagi punya harapan, Selena. Kenapa kau keras kepala sekali mencoba menyelamatkannya?"
Selena mendesis dengan raut tajam. "Kita bisa mencari alternatif lain. Kau tidak perlu cemas. Aku sebisa mungkin—,"
"—menolongku?"
Selena menangkap getir yang mengalun di dalam suara sosok di depannya. Saat mata itu berkaca-kaca siap pecah. "Dengan menusuk dari belakang suamimu sendiri. Benar?"
"Aku tidak pernah menusuk suamiku sendiri. Kenapa bicaramu melantur?"
"Kau menikah karena ibumu, Selena. Karena kau hamil Dion, bukan? Kau dan dia tidak ada bedanya. Itu yang sempat kau pikirkan, bukan?"
Selena menipiskan bibir. Mengetatkan rahangnya sebelum dia kembali bersuara. "Dion adalah kesalahan. Kau juga tahu itu."
"Dulu. Sekarang tidak lagi," balasnya serak. "Kau menyayanginya, Selena. Kau hanya belum menyadarinya."
Sosok itu menunjuk Selena dengan telunjuknya.
"Seperti kau yang belum sadar tentang perasaanmu sendiri pada suamimu yang malang," sosok itu mendengus pahit. "Jika aku menjadi Marcuss Damien, aku tidak sanggup menanggung beban dari keluarga yang penuh kepalsuan karena menikahi perempuan bermasalah sepertimu."
"Kau!" Suara Selena meninggi.
"Ayo. Cepatlah, marah. Aku rindu mendengar bagaimana kau meluapkan emosimu sendiri, Selena. Sudah berapa lama kau menahan diri?"
Tangan Selena terkepal. Sebelum dia melihat airmata lolos dari sosok yang berusaha tegar di depannya.
"Aku membiarkanmu bahagia. Kenapa kau tidak? Kenapa kau dan kuasamu harus mengekangku seperti di penjara bawah tanah?"
Selena terpaku.
"Kau tidak tahu, bagaimana sakitnya hatiku mendapat perlakuan tak baik dari keluargamu, kan? Bagaimana tatapan kebencian dari Kamara Kiara pada diriku, kan? Kau tidak tahu."
Selena menghela napas. Berusaha menetralisir debar pada dadanya sendiri. Saat dia meremas kepalan tangannya, dan siap berbalik. Menemukan pintu ruang Kamara Yuma terbuka.
Sang ayah berdiri mematung di sana. Selena membuang muka mendapat ekspresi muram bercampur kecewa kembali tergambar jelas. Saat dia mendesis, mengepalkan tangan dan bersiap berjalan pergi.
"Tolong, jangan kekang aku. Biarkan aku mencari kebahagiaanku sendiri, Selena."
Selena menarik napas dalam-dalam. Sebelum membuangnya kasar. Mendengar ada suara sepatu mendekat, Selena menunduk untuk melihat sang anak yang sedang memeluknya.
"Dion," panggil Yuma. "Ayo, biar Opa antar ke taman bermain."
"Mau dengan Mama," balasnya manja.
Sosok itu menunduk guna menatap Marcuss Dion yang masih menggelayut manja. Saat kepala anak itu menoleh, menatapnya bingung.
"Hai."
"Hai," balas Dion pelan.
"Ayo, kita pergi." Selena bersiap menarik tangan putranya, saat suara serak itu kembali menyapa telinganya.
"Aku rasa, Kamara Selena akan kembali kalah dengan harapan dan ekspetasinya. Untuk yang kedua kalinya, kau akan bertekuk lutut."
Selena kali ini benar-benar mengabaikan ucapannya dan melengos pergi begitu saja.