Bagian Enam

3563 Words
Marcuss Damien mengangkat alis. Saat dia melihat supir yang ditugaskan keluarga Berry untuk menjemput putranya, dan menatap datar ke arah Lawson yang berdiri bersandar di dekat gerbang. Namun, Damien tak kunjung melihat kemana sosok putranya tiba. Matanya menelisik ke dalam. Kalau sampai lima menit ke depan putranya tak terlihat, Damien akan masuk ke dalam. Marcuss Dion terdiam. Menatap datar pada anak laki-laki yang terduduk sembari menahan tangis pada buku catatannya yang basah. Bersama tas bergambar Toy Story yang ikut basah dan beberapa buku terlihat lecek. Airmata anak itu tidak terbendung lagi. Ketika dia memungut kotak pensilnya, dan mencari-cari kemana isinya, mulai menyusunnya dalam diam. Di saat anak-anak lain berlari, dan bersikap acuh seakan-akan tidak melihat anak malang itu. Bibir anak itu menipis. Mata pekat Dion menemukan botol minum besar yang sepenuhnya kosong. Terlihat dari bekas basah itu, bisa dipastikan kalau isi botol itu sengaja ditumpahkan seseorang untuk membuat buku dan tasnya basah. Saat lorong benar-benar sepi, Dion menghela napas. Dia menatap ke sekeliling. Kemudian, berjalan mendekat saat anak laki-laki itu mendongak. "Kau?" Dion hanya diam. Berdiri sembari menatap anak itu datar. "Kau Marcuss Dion, kan?" Dion mendengus pendek. "Aku terkenal sekali, ya?" Anak itu lantas membungkuk, berjongkok tepat di depan anak malang itu sembari membantu mengemasi isi tasnya. "Kau harus menjemur ini nanti," kata Dion. Saat dia terkesiap, menemukan buku catatan untuk pelajaran Matematika sepenuhnya basah. Saat Dion membuka halaman demi halaman, beberapa tulisan mulai mengabur karena air. "Catatanku basah," ujarnya lemah. Dion mengembalikan buku itu pada si anak malang. Kemudian, dia tiba-tiba menarik tas punggungnya. Membuka resleting tasnya sendiri, membuat anak laki-laki itu tertegun. "Ini, pinjam catatanku," Dion memberikan buku catatan bersampul cokelat atas nama Marcuss Dion pada anak itu. "Kembalikan minggu depan." "Bagaimana denganmu?" "Aku tidak apa," balas Dion. Saat dia kembali memasang tas punggung itu kembali. "Jangan lupa kembalikan minggu depan." Dion lantas bangun. Mengulurkan tangannya untuk membantu anak itu berdiri. Saat mata abu-abu itu berkaca-kaca, dan Dion tersipu menahan malu. "Sudah. Jangan menangis. Abaikan saja mereka." "Kau sama seperti mereka. Dari keluarga kaya," suara anak itu mengalun samar. "Tapi, kenapa kau berbeda?" "Mama melarangku untuk berbuat jahat hanya karena kami memiliki uang," balas Dion dengan kerutan di dahi. "Papa pernah marah padaku. Dia pernah tidak mau bicara padaku hanya karena aku bertengkar berebut mainan dengan Souma." "Benarkah?" Dion meringis. Menggaruk pangkal hidungnya yang tidak gatal. Kebiasaan Marcuss Damien yang menurun darinya. Selain meremas tangannya sendiri saat dia gugup atau takut. "Mama dan Papaku juga keras. Aku bingung mengapa anak-anak suka sekali meledekku anak manja," Dion mengangkat bahu. Sembari merangkul tasnya sendiri dan berjalan menuju keluar sekolah. "Dion!" Lawson melambai ke arahnya. Saat mata Dion melebar menemukan siapa yang menjemputnya siang ini. Kaki kecilnya berlari, membawa tubuhnya untuk menerjang sang ayah yang telah menunggu dengan cemas. Damien bisa menghela napas lega. Menemukan putranya kini kembali dalam keadaan baik-baik saja tanpa luka. Iris kelamnya bergulir. Menatap anak yang mengalung botol minum bergambar We Bare Bears besar di leher. Sebelum tubuh kecil itu berbalik, berjalan ke arah lain dan tak lagi melihat ke belakang. "Paman Damien, aku kembali bersama Dion." Damien mengangkat alis. "Kemana ayahmu?" "Sibuk. Mama ikut arisan. Sibuk juga," balas Lawson santai. "Aku dikasih uang untuk naik taksi. Tapi, aku simpan saja untuk membeli krayon mahal." Dion terkikik geli. "Aku pikir kau meninggalkanku, Lawson." "Heh! Mana bisa begitu? Kau sudah janji mau mengajak pulang bersama." Damien menghela napas. Dia sudah menghubungi istrinya untuk bertemu di kedai pasta dekat sekolah Dion. Dan mau tak mau, dengan Yamanaka Lawson mengintil, dia juga akan mentraktir anak itu. *** "Mama?" Selena menoleh. Menemukan putranya berlari ke arahnya. Dia menunduk, mengulurkan tangan saat mengusap rambutnya. "Kenapa anak Mama lama sekali?" Dion mendongak. Memeluk kaki ibunya saat pandangan mata Selena jatuh pada Lawson, lalu pada suaminya yang baru masuk ke dalam kedai. "Anak itu pulang bersama. Gio sedang sibuk. Ibunya sedang arisan," ucap Damien saat dia menyuruh anaknya untuk duduk di meja nomor delapan. Karena melihat tas istrinya ada di sana. "Oke. Bukan masalah. Biar kupesankan sesuatu juga untuknya." "Meja nomor delapan. Tambahkan dua milo hangat," Selena menatap menu di layar. "Uhm, untuk paket itu, benarkah mendapat mainan?" "Benar, Nyonya." "Aku ingin membungkus dua paket itu. Akan aku ambil setelah seleGio makan," Selena mengeluarkan dompetnya. "Akan aku bayar langsung." Damien menopang dagu. Menatap putranya yang diam-diam membawa mainan mini di tasnya. Koleksi Hot Wheels Dion memang tidak main-main. Disamping anak itu gemar mengoleksi lego, Hot Wheels salah satu kesukaannya. "Kapan kau membeli ini?" Damien mengendik pada mobil berwarna oranye yang tengah Dion pegang. "Kemarin. Bersama Mama," balas Dion. Melirik sang ibu yang menarik kursi di sebelah sang ayah. "Mama bertemu Bibi Hyena." Damien hanya diam. Mengerutkan alis saat Selena kembali memasukkan dompetnya ke dalam tas, dan pelayan mengantarkan minuman untuk meja mereka. "Kau bertemu Hyena?" Selena mengangguk. Mendorong dua gelas milo hangat untuk Dion dan Lawson. "Kemarin. Dia memintaku bertemu untuk makan siang. Aku membawa Dion pergi ke mall untuk menemaninya bermain." Damien mendengus. "Kau tidak meminta mereka menutup satu mall hanya untuk putramu, kan?" Alis Selena menyatu. "Tidak. Untuk apa? Mall juga tidak terlalu ramai di hari kerja. Jadi, aku membiarkannya bermain." Damien mengusap tengkuk belakangnya saat melihat apa yang Lawson lakukan, kontras apa yang Dion lakukan. Anak dari Gio itu menggambar. Dan Dion, tidak lagi bermain Hot Wheels miliknya. Melainkan sedang memainkan rubik di tangan. "Kalau hanya ingin bermain, aku bisa membawanya ke rumah orang tuaku. Tapi, Dion menolak. Dia ingin bermain di mall." Damien kembali mendengus. "Anak itu memang." "Lawson, sampai kapan ibumu pergi?" Lawson mengangkat kepalanya. "Sebelum matahari terbenam, Mama sudah pulang." Selena mengangguk. "Berarti, kau di rumah Dion dulu sampai Mamamu kembali. Oke?" "Oke." Selena kembali diam. Dan Damien sibuk bersama ponselnya. Yang diam-diam ditatap bingung bercampur sedih dari Marcuss Dion yang duduk di depan mereka. Menatap dalam pada kedua orang tuanya. *** "Kirimkan saja berkasnya. Biar aku yang mengeceknya sendiri. Aku tidak akan pergi di saat hujan deras seperti ini, Aster." Selena menarik langkahnya. Menatap pintu yang mengarah ke ruang kerja suaminya dalam diam. Mendengar Damien yang berdiri sembari bersidekap menghadap jendela, dan berulang kali memasang ekspresi getir. Dia baru saja ingin mengecek Dion yang terlelap sejak satu jam lalu. Melihat apakah putranya bermimpi buruk atau gemetar karena mendengar suara petir. Karena kamar mereka kedap suara, seharusnya Selena tidak perlu mencemaskan Dion. Anak itu terkadang takut hanya melihat kilat yang menyambar, dan langsung menerjang ke kamar mereka. "Kau mau pergi?" Selena mendorong pintu sampai benar-benar terbuka. Saat Damien menoleh, menggeleng dengan raut lelah dan kembali duduk di kursinya. "Kalau kau bersikeras pergi, aku juga tidak akan membolehkanmu. Di luar hujan deras, jarak pandang akan terganggu." "Aku tidak pergi," sahut Damien datar. Selena menghela napas. Masuk ke dalam ruangan pribadi sang suami sebelum dia mendekat, menatap jendela yang tirainya belum tertutup. "Apa Aster yang menghubungi?" "Anggaran pengeluaran bulan ini ternyata salah hitung. Kami mengalami kerugian karena ulah eksekutif," sahut Damien masam. Alis Selena terangkat. "Ulah siapa?" Damien belum mau bicara. Matanya hanya fokus menatap jendela yang basah dan kilat yang menyala beberapa kali di langit sana. "Aku menduga pemegang saham. Tapi, beberapa dari mereka tidak berani berkutik sejauh ini. Menduga juga dari bagian keuangan." Selena menghela napas. Menoleh saat dia menemukan sang suami bertopang dagu bosan menatap layar komputer. Dan manik Selena jatuh pada pigura kecil berisi foto Marcuss Dion saat usianya menginjak satu tahun. Bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. "Pengeluaran lebih besar dari pendapatan?" Kepala Damien menggeleng. "Bukan. Pengeluaran bulan ini sudah dialokasikan untuk gaji dan bonus karyawan. Tetapi, aku baru mendapat kabar kalau perusahaan harus mengambil kas untuk menutupi kesalahan ini." "Sebelum karyawan berdemo karena gaji dan bonus mereka tertunda, pihakmu mengambil cadangan lain seperti kas, semisal?" Damien melirik ke arah sang istri. "Aku terkejut kau tahu banyak tentang perusahaan. Padahal, kau sendiri lulusan dari Kedokteran Gigi." Selena meringis. Memeluk lengannya sendiri saat mata itu menyapu data dalam bentuk tabel dan diagram lingkaran di layar. "Kau meremehkanku?" Kepala pria itu menggeleng. "Tidak. Hanya sedang berpikir kalau aku menikahi orang yang tepat." Selena menarik napas. Meremas lengannya sendiri saat dia mendengus samar. Dan merasakan sang suami kembali berpaling untuk fokus pada layar. "Oke. Selamat bekerja," Selena berbalik bersiap pergi. Setelah dia melirik sang suami sekali lagi, dan menutup pintu. *** "Kau tidak keberatan kalau aku traktir, kan?" Selena mendengus menahan geli. Dia nyaris tersedak minumnya sendiri saat menatap mata biru itu. "Tidak sama sekali." Saphira ikut terkekeh. Menyesap Ocean Blue di atas meja dan mencomot Tenderloin Steak yang dia pesan tadi. "Selena, mau tambahan kentang goreng?" Selena mengangguk setelah melumuri potongan Cordon Blue miliknya dengan saus. "Hm, boleh." "Sebentar." Saphira melambai pada pelayan yang baru saja membersihkan meja di sebelah mereka. "Tambahkan satu kentang goreng garing untuk meja ini, ya." "Ditunggu, Nyonya." Saphira menunjukkan jempolnya. Saat dia kembali menunduk, dan mendengar lonceng bel pintu berbunyi. Kepalanya terdongak. Dan ibu satu anak itu tiba-tiba tersedak menemukan siapa pelanggan yang baru masuk ke restauran daging kali ini. "Bikin aku tidak berselera makan saja," ujar Saphira sinis. Saat Selena mengunyah daging itu dalam diam, dan menoleh. Menemukan Aster yang sedang menatap buku menu dengan raut datar. "Abaikan saja." "Aku tidak bisa," gerutu Saphira kesal. Aster seleGio menyebutkan menu yang ingin dia pesan. Ketika mata itu berkeliling, dan menemukan istri mantan atasannya sedang duduk bersama istri atasan tempatnya bekerja sekarang. Aster mendengus. Bibirnya menipis ketat menemukan betapa dinginnya seorang Kamara Selena. Berbanding terbalik dengan Yamanaka Saphira yang seolah siap menyembur api acap kali melihat dirinya. Memasang senyum terbaiknya, Aster mendekat. Hitung-hitung, berbasa-basi untuk menyapa mereka sebelum pesanannya seleGio dibuat. "Selamat siang, Nyonya Watsondan Nyonya Marcuss," sapa Aster ramah. "Kebetulan sekali melihat kalian berdua di sini." "Mencari makan siang, Aster?" Saphira membalas dingin. "Sendirian?" Aster mengulas satu senyuman yang mencuri perhatian datar Selena. "Tidak, Nyonya Shimura. Aku pergi mencari makan siang untuk atasanku. Tuan Marcuss belum makan siang setelah rapat. Aku berinisiatif membelikannya makan siang." Kedua iris biru langit Saphira melebar. What the hell? Gadis ini berani menabuh genderang perang di depan istri Damien? Wah. Kalau Nyonya Kiara suatu hari nanti ingin membangun mall besar, Saphira akan merekomendasikan Aster menjadi tumbal untuk pembangunan mall itu. Dan yang membuat Saphira heran adalah ekspresi Selena sekarang. Ibu satu anak itu menyesap lemon dinginnya. Berpaling melihat jajaran kasir bersama pelayan lainnya di balik meja panjang. "Kau memesan apa?" "Sirloin Double Steak dengan saus jamur." Saphira mendengus. "Membeli dengan uangmu sendiri?" "Tentu saja, Nyonya," balas Aster ramah. Selena masih menatapnya. Sampai dia tiba-tiba mengulas satu senyum manis. Membuat Saphira merinding mendadak, dan Aster mulai menyalakan tanda antisipasi. "Kalau kau ingin merebut perhatiannya. Setidaknya, kau harus tahu kesukaan dan apa yang tidak dia sukai." Aster mendadak bungkam. Selena bersidekap dengan raut puas. "Aster, berapa lama kau bekerja untuk suamiku? Ah, kau pasti merasa tahu segalanya, bukan?" Selena merapat pada tepi meja. "Tapi, biar kuberitahu satu hal," Selena berbisik dengan senyum. "Damien alergi terhadap jamur. Dan kau malah membelikannya steak dengan saus jamur? Kau ingin membuatnya masuk rumah sakit karena alergi?" Aster membeku. Sedangkan, Yamanaka Saphira berusaha keras untuk tidak meledak karena tawa. "Lebih baik, pesanan itu untuk dirimu sendiri. Kau pasti lapar, kan? Tinggalkan saja bill itu untukku. Biar aku yang membayarnya untukmu." Bibir Aster gemetar. "Tidak perlu, Nyonya. Aku bisa mengatasinya." Selena mendengus menahan geli. "Tidak perlu sungkan. Kau pasti keberatan membeli dua. Karena harga satu menunya bisa menguras dompetmu. Bukankah, kau bekerja untuk keluargamu juga? Jadi, jangan jual mahal. Biarkan saja sampai tagihan itu aku yang membayar." Saphira menunduk. Berusaha untuk tidak tergelak sekarang. Dia menatap Aster yang pucat pasi sekarang. "Aku sebenarnya tidak apa karena kau membelikan makan siang suamiku. Hanya saja, jangan sampai membuatku repot karena ulahmu, suamiku terbaring di rumah sakit." Tangan Aster terkepal dan bahunya merosot tajam mendengar kalimat Selena yang tanpa henti bagai belati menikam jantungnya. "Pesanan kentang goreng Anda, Nyonya." "Oh, terima kasih." Saphira tersenyum. Dan mengangkat piring itu ke depan Aster. "Mau coba? Tidak apa. Ambil satu gratis, ambil dua gratis. Ambil tiga baru kau yang membayar." Saphira terkikik dan Selena mendengus menahan senyum. Saat matanya menyapu tanpa arti pada Aster yang membeku. "Terima kasih, Nyonya Shimura. Aku baik-baik saja." Aster lantas berbalik. Bertanya apakah pesanannya sudah siap, dan pelayan itu memberikannya pada kasir. Aster mengeluarkan uang untuk membayar. Dan setelah membayar, segera angkat kaki dari restauran itu secepatnya. Saphira tergelak karena tawa. Wanita itu sampai harus memegang perutnya. Saat dia melihat Selena menggeleng kecil, menyesap minumannya. "Selena, apakah benar suamimu alergi pada jamur?" Selena menurunkan gelas kacanya. Menatap Saphira dengan kerlingan jahil. "Menurutmu?" Dan Saphira kali ini benar-benar tertawa puas. *** Marcuss Damien terdiam. Mematung melihat siapa tamunya yang masuk ke ruangannya tanpa mengetuk pintu. Dan terkejut melihat ibu bersama kakaknya yang menginvasi ruangannya dengan sekali tatap. "Duduk di sini, Damien." Damien dengan berat hati harus menurut. Dia bangkit dari kursi kerjanya, menatap Marcuss Regan datar. Saat raut kemenangan itu terpancar jelas di wajah sang kakak. "Mau sampai kapan kau berlindung di ketiak istrimu?" Alis Damien tertaut. "Apa maksud, Mama?" Bibir Marcuss Haru menipis. Saat dia meremas tas Gucci miliknya dan nyaris membanting vas bunga kaca itu ke lantai. "Ceraikan Selena." Kedua mata Damien melebar. "Mama pasti bercanda," Damien mendengus. "Kenapa aku harus menceraikannya? Kami baik-baik saja." Haru mendecih. "Jangan bercanda, Damien. Aku tahu, di kehidupan pernikahan kalian, cinta itu tidak ada." Damien lantas melirik Marcuss Regan yang masih duduk angkuh di sofa ruangannya. Dengan tatapan dingin yang menjalar, Regan masih diam. Bersiul rendah dengan seringai puas. "Tidak. Aku tidak akan bercerai darinya." Sang ibu mendengus. Mencibir ucapan sang anak kedua dengan tatapan mencela. "Kenapa tidak? Mudah menceraikan seorang Kamara Selena. Kau hanya perlu melukainya sedikit. Lakukan kekerasan dan biarkan dia menuntut cerai darimu. Semua masalah seleGio." Damien membeo tak percaya. "Mama tahu apa yang coba Mama katakan? Ini tidak benar. Aku dan Selena baik-baik saja. Kenapa harus berpisah? Aku tidak akan menuruti keinginan Mama." "Kenapa tidak, Damien? Kehidupan kalian palsu. Pernikahan kalian pun hanya hitam di atas putih. Kau naik ke pangkat tertinggi karena istrimu. Kenapa kau tidak mau? Apa kau terlena dengan semua ini?" "Jaga bicaramu," Damien mengerang dengan tatapan dingin. "Kalau kau sekali lagi memprovokasi, aku akan menghancurkanmu." "Damien!" Damien kembali menoleh pada sang ibu. Yang menatapnya dengan mata menuntut tegas. "Lakukan apa yang Mama katakan." Kekeraskepalaan Damien sama mendarah dagingnya. Dia menggeleng berulang kali. Melumuri tekad yang terbangun di dalam lubuk hatinya. "Aku dan Selena tidak akan bercerai. Sampai aku mati, dia tetap akan menjadi istriku." Alis Regan terangkat. "Jangan katakan, kalau kau jatuh cinta padanya? Pada manusia es itu? Pada Kamara Selena?" Damien diam seribu bahasa. Bibirnya menipis tatkala dia menatap mata kelam ibunya, dan membuang muka ke arah lain. "Mana kau tahu, Damien. Kalau Selena memiliki simpanan lain di belakangmu? Apa kau yakin Dion mirip denganmu? Kita bisa menduga kalau Dion mirip seperti Regan, kakakmu." Damien mendesis dengan suara dingin. "Berhenti memprovokasi, Mama. Dia putraku." "Kau yakin? Bagaimana kalau tidak?" "Ikatan batin di antara kami tidak bisa berbohong," balas Damien tajam. "Aku yang bersamanya saat dia tumbuh. Aku menjaganya selama ini sampai usianya menginjak angka sebelas. Dan Mama tidak bisa menuduhnya sembarangan." "Astaga, anak ini," Haru mendengus menahan tawa. "Benar-benar tidak bisa dipercaya." "Kau berhutang budi pada Selena, Damien. Pikirkan saja itu. Mau sampai kapan?" Damien melirik dingin pada sang kakak sulung. Segala kebusukan seorang Marcuss Regan telah dia ketahui semua. Segalanya. Dan Damien tidak habis pikir. Mengapa perbuatan demi perbuatan buruk seorang Marcuss Regan selalu termaafkan? "Bukankah, seharusnya Mama mendukungku. Kenapa tiba-tiba berbalik menyerang? Kenapa tiba-tiba memintaku bercerai dari dia?" Bibir Haru menipis. "Aku hanya ingin melindungi reputasi keluarga kita. Lelah rasanya hidup dalam bayang-bayang kekangan keluarga satu itu." Damien termangu. "Dengar, Damien. Aku dan istrimu baru saja bertemu. Kemarin. Aku meminta Selena bertemu untuk melepas Hyena. Dan memberinya peringatan agar tidak mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Tetapi, dia tidak mendengarku," bisik Haru tajam. "Apa kau membela istrimu kali ini?" Damien hanya diam. "Kau tidak memberitahunya? Apa kau sengaja menutup matamu?" Damien mendesah panjang. "Aku sudah memberinya peringatan. Selena memang keras kepala. Mama dan Regan juga tahu itu." "Ah, benar-benar lemah anak ini," sungut Haru kasar. Dia menatap sang putra sulung, dan mendengus. "Pantas saja perusahaan tidak terlalu pesat. Kau hanya mempertahankan dibanding membuat kemajuan, Damien." "Mempertahankan lebih sulit, Mama." Damien membalas tak kalah dinginnya. Meskipun, terselip getir dan rasa takut pada orang tua, terutama pada ibunya sendiri. Marcuss Haru mendesis. Meraih tasnya dan berjalan ke luar sembari memijit pelipisnya. Saat Regan mendengus, menatap sang ibu yang melengos pergi begitu saja. "Kau mau berkelahi, Damien? Kenapa kau keras kepala sekali? Hanya cukup berkata cerai, semua seleGio." Damien mendecih. "Dan membiarkan Selena menjadi milikmu? Kenapa tidak kau mati saja? Kau menyakiti Hyena, dan sekarang kau bertindak sebagai pria baik-baik?" "Kau mulai berani sekarang?" Regan balas mendesis. Damien menarik napas berat. "Kembalilah. Aku tidak mau berdebat." "Apa karena perusahaan sedang kacau?" Regan terkekeh. "Itu baru permulaan, dan kau sudah nyaris putus asa." "Aku akan memperbaikinya," Damien berdiri. Sebelum dia benar-benar pergi, Regan menarik jas belakangnya. Menghadiahkan sang adik dengan pukulan di pipi. "Itu untukmu." Damien belum sempat membalas, saat Regan memilih mundur dan membanting pintu. Tapi, tak lama pintu kembali terbuka. Menampikan Aster yang panik, dan hendak berjongkok membantu sang atasan bangun, Damien mengerang. Membentak gadis itu agar berhenti. "Pergi!" Aster mundur. Masih menutup mulutnya yang terbuka, saat dia berlari kecil dan menutup pintu. Membiarkan Damien seorang diri. *** Selena mengerutkan kening menatap jam dinding. Pukul dua belas malam, dan mematikan semua lampu. Membiarkan lampu tidur menyala secara otomatis dan dia berjalan naik ke lantai dua. Pandangan mata Selena jatuh pada pintu kamar putranya yang terbuka. Langkahnya mendekat, mendorong kecil pintu itu dan menemukan sang suami sedang duduk di tepi ranjang, menatap dalam diam sang anak yang tertidur pulas. Tidak ada yang Damien katakan pada raga putranya yang lelap. Hanya menatap dalam diam sampai puas. Sebelum pria itu berdiri, merapikan selimut yang tersingkap. Dan siap beranjak keluar kamar. Selena terpaku. Menatap lebam di antara pipi dan sudut bibir sang suami. Saat matanya menyipit, dan Damien menutup pintu kamar anaknya sebelum berjalan pergi menuju kamar. "Kau berkelahi?" Selena terburu-buru menyusulnya. Kala dia menemukan suaminya duduk sembari melepas sepatunya. Selena bergerak menyalakan saklar lampu, dan kali ini benar-benar melihat jelas luka yang melintas. "Ada apa?" Damien masih diam. Saat dia melepas kaus kakinya dan menghela napas. Sengaja mengabaikan eksistensi sang istri bersama perhatiannya. Selena menghela napas. Saat Damien berdiri, dan wanita itu bergerak untuk menghadang jalan sang suami menuju kamar mandi kamar mereka. "Apa?" "Kau yang kenapa?" Selena menurunkan tangannya. Mengendik pada lebam itu. "Kau berkelahi dengan Regan?" Damien berdecak. Mengusap rasa sakit itu dengan geraman pelan sebelum kembali menatap iris yang menyala-nyala di depannya. "Minggir. Aku mau membersihkan diri." Kepala cokelat itu menggeleng. "Kenapa kau tidak mau mendengarkanku, Selena? Kenapa kau membela Hyena? Kenapa juga kau bertemu ibuku tanpa sepengetahuanku?" Ekspresi Selena berubah dingin. "Apa yang terjadi?" "Kau! Kenapa denganmu?" Suara Damien meninggi. "Kenapa kau bertemu ibuku? Apa yang kau bicarakan dengannya? Sudah kubilang, untuk berhenti membuat keluargaku tersinggung." Selena terdiam sebentar. "Jadi, ini alasanmu pulang larut?" Damien menghela napas. "Dengar, aku tahu kau bermaksud baik dengan membela Hyena. Tapi, setelah ini dia melepas margaku. Dia akan kembali ke kehidupannya. Lalu, apa yang kau dapatkan? Kau hanya membuat Regan semakin sakit hati." Selena mencerna semua kalimat suaminya dalam diam. Keningnya berkerut dalam. Saat alis itu menyatu, dan sinar matanya berubah. "Kau mencemaskanku?" Damien mengusap wajahnya yang lelah. Saat dia kembali menurunkan tangannya, menatap sang istri lekat. "Aku hanya tidak mau kau terluka," kemudian, meralat kalimatnya. "Bukankah, kau sendiri yang bilang untuk saling melindungi satu sama lain? Agar kita berdua tidak terluka." Selena mendengus menahan senyum. Kembali menengadah, menatap mata yang nyaris meredup itu. "Kau benar. Aku bertemu ibumu. Dia bilang, dia ingin bicara. Maka dari itu, aku menyanggupi janjinya untuk bertemu." "Kami bicara banyak. Dia berkali-kali menyinggung Regan dan bagaimana prestasinya." Raut wajah Damien berubah sendu. "Kau tidak salah. Yang salah adalah orang tuamu. Terlalu mengangungkan Marcuss Regan, sampai melupakan putra mereka yang lain. Yang juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya." Selena mendesah panjang. "Apa keluargamu mulai memberontak sekarang? Mereka tidak mau lagi tertekan karena keluargaku?" Damien menipiskan bibirnya. Sebelum kepala itu terangguk, dan dia mendengar Selena bergumam sinis. "Sudah kuduga." "Kalau aku menikahi Marcuss Regan, bukan kesalahan. Tetapi, karena aku menikah denganmu, itu adalah kesalahan." Damien hanya diam. Kedua matanya terpejam lelah mendengar semua penuturan Selena yang benar adanya. "Aku akan mengurus ini nanti," ujar Selena tiba-tiba. Dia memiringkan kepala, mengulurkan telunjuknya menyentuh lebam di wajah sang suami. "Mau membersihkan diri dulu? Kau sudah makan malam?" Damien menghela napas panjang. "Kenapa tiba-tiba?" "Hm?" Selena yang hendak mencari kemana kotak obatnya mendadak diam. "Maksudmu?" "Mama memintaku untuk bercerai darimu." Selena benar-benar terdiam kali ini. Ekspresi itu sama sekali tidak terbaca. Istrinya akan selalu begitu. Sulit untuk ia pahami sebagai seorang suami. "Kenapa dia mendadak memberimu ancaman remeh seperti itu?" Selena mendengus. Berusaha menahan tawanya sendiri. Damien kali ini diam. Dia menatap punggung itu sebelum suaranya kembali mengalun. "Apa kau mau bercerai?" Selena yang telah menemukan kotak obatnya hanya diam. Dia kembali memutar tubuhnya, mendorong bahu itu agar Damien duduk di tepi ranjang, dan dia akan mengobatinya. "Aku tidak mau bercerai." Selena melirik sang suami dalam diam. Saat dia memindahkan cairan itu ke kapas bersih. Membiarkan Damien menunduk, mengusap lebamnya sendiri. "Aku tidak mau bercerai," ulangnya sekali lagi. Selena memutar badannya. Sedikit menunduk untuk menempelkan kapas itu di lebam sang suami. "Kalau begitu, jangan. Kita tidak akan bercerai," balas Selena. Damien terdiam. "Demi putra kita, kan?" Damien tak lagi bersuara. Mau sampai kapan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD