Bagian Lima

3134 Words
Selena menoleh ke arah tangga mendengar suara langkah kecil sedikit tertatih dari sana menuju dapur. Kedua matanya menyipit, menemukan anak semata wayangnya berjalan dengan piyama bergambar cars miliknya dan menarik kursi untuk duduk. "Selamat pagi," sapanya datar. "Dion?" Selena mendekat. Mengabaikan eksistensi suaminya sendiri yang satu ruangan dengannya. "Kenapa di sini? Mama akan naik ke atas mengantarkan sarapan." "Aku ingin masuk sekolah," katanya. Menatap mata ibunya sebelum beralih pada mata sang ayah yang pekat. Dion kembali diam. "Tidak." Anak itu menghela napas panjang. "Mama." "Tidak," Selena kembali mundur. Mencuci piring di wastafel saat manik kelam anak itu berpaling pada sang kepala keluarga. Dion bersiap mengambil roti saat ada piring lain berpindah ke hadapannya. "Ini telur dadar dan sosis yang Mamamu buat tanpa minyak melainkan mentega. Makan ini," ujar sang ayah. Menjauhkan roti dan selai dari jangkauan tangan putranya. Dion melirik piring makan ayahnya yang kosong. "Papa sarapan dengan apa?" "Dengan ini," Selena membawa piring berisi roti yang telah dipanggang bersama campuran telur. "Mama akan membuatkanmu bubur untuk makan siang. Dion harus beristirahat sampai benar-benar pulih. Mengerti?" Kepala anak itu terangguk. Dia memakan potongan sosis dan telur dadar itu dengan garpu. Diikuti tatapan sang ayah yang menghunjam sampai anak itu seleGio menyantap sarapannya. Dion berjalan mendekati wastafel. Saat Selena melepas celemeknya dan dia membantu putranya memakaikan sabun. Pandangan matanya tak luput dari Dion yang masih lemas dan pucat. "Mama akan buatkan s**u. Kau mau naik lebih dulu?" Kepala itu kembali terangguk. Dion melirik sang ayah yang hendak bersiap-siap saat mata mereka bertemu pandang. "Hati-hati di jalan, Papa." Dan kembali berjalan menaiki anak tangga dengan hati-hati. Saat asisten rumah tangga yang baru saja membersihkan ruang tengah, mengawasi dari lantai dasar. Sampai terdengar suara pintu kamar tertutup, dia baru melanjutkan pekerjaannya. "Kalau dia demam lagi, kau harus segera membawanya ke rumah sakit." Selena menoleh dengan alis terangkat. "Buang-buang waktu. Aku akan meminta Kara kemari untuk memeriksakannya." Damien meraih jas yang tersampir di kursi makan. "Ah, koneksi memang jelas mengerikan. Sedekat itu hubungan kalian dulu?" "Dia junior yang sangat patuh." Damien hanya memandang sang istri datar saat dia menemukan senyum itu berkembang. Dan Selena lantas mendorongnya pelan untuk segera berangkat sebelum terlambat. "Akan kupastikan anakmu baik-baik saja. Sampai nanti." Melambai kecil pada sang suami sebelum dia menutup pintu garasi dan berbalik. Kembali memasang raut datarnya dan berjalan menuju dapur. *** "Ini data bulanan yang ingin kau sampaikan kemarin?" Kepala Aster terangguk. "Maaf, Tuan Marcuss. Kalau aku mengganggu Anda di rumah. Hanya saja, ada beberapa laporan yang semestinya—," "Aku sudah katakan, bukan? Kalau rumah adalah batasan sakral. Kau bisa mengirimkan pesan tentang situasi darurat yang terjadi. Bukan datang dan mendesak seperti itu." Alis Damien tertaut. "Lagipula, tidak ada sesuatu yang salah terjadi di perusahaan. Mau apa kau datang ke rumah kemarin?" Aster menarik napas. Meremas tangannya saat dia dengan takut-takut menatap iris gelap yang sedang menatapnya dingin. Marcuss Damien benar-benar dalam suasana hati yang buruk rupanya pagi ini. "Apa Nyonya Selena membenciku hanya karena aku datang berkunjung? Aku juga ingin menjenguk Dion yang sakit." Damien mengangkat alis sebelum dia menggeser laporan bulanan itu ke sisi sebelah meja. "Bukan urusanmu." Bibir Aster kembali terkatup. "Aku tahu benar apa yang kau lakukan kemarin," Damien memutar kursi kerjanya dan memejamkan mata. "Kau tidak menyambungkan telepon dari istriku dan malah berkata kalau aku tidak bisa diganggu." Aster menghela napas panjang. "Aku hanya melakukan perintah. Anda sendiri yang meminta untuk tidak diganggu siapa pun saat sedang rapat." Damien bertopang dagu sembari menatap gadis itu datar. "Keluarga adalah pengecualian, Aster." "Aku minta maaf." Pintu terketuk. Dan kali ini, Berry Drian yang masuk. Mendapati sekretaris itu di dalam ruangan, kerlingan mata jahil Drian muncul. Damien mendengus bosan dan dia segera mengusir pergi Aster dari ruangannya. "Jangan terlalu kasar dengan perempuan, Damien. Badannya gemetar saat keluar tadi," kekeh Drian yang langsung menarik kursi untuk duduk di hadapan sang atasan. "Aku mendengar banyak tentangnya. Dari Gio dan istriku." "Selena tidak terlalu suka dengannya." Drian mendengus. "Heh? Istri mana yang suka melihat suaminya berdekatan dengan gadis perawan seperti dia? Atau, kalau memang dia masih perawan?" Damien mengembuskan napas. "Kau beruntung. Setidaknya, istrimu masih mempedulikanmu. Lagipula, kau tidak belajar dari kasus Gio dan Aster? Dia didepak karena Yamanaka Saphira. Kalau sampai sekretaris malang itu hancur karena kekuasaan istrimu, dia dapat piring cantik." Damien mencari pulpennya dan mulai membuka dokumen saat Drian ikut membuka berkas yang dia bawa. "Selena biasanya tidak terlalu peduli dengan perempuan di sekitarku. Tapi, tentang Aster dia agak sedikit tersinggung." "Walau kau tidak banyak bercerita tentang istrimu, aku rasa ini perubahan yang bagus. Cemburu ... tanda cinta, kan?" Gerakan tangan Damien terhenti. Drian menghela napas. Saat dia membuka berkasnya dan tersenyum tipis. "Aku dan istriku menduga memang ada yang salah dengan hubungan kalian. Kalian memang terlihat serasi saat datang di acara-acara resmi. Hanya saja, tatapan mata tak bisa berbohong." Damien mengangkat alis. "Tatapan mata siapa?" "Selena padamu." Damien kali ini dibuat bungkam. "Sama halnya denganmu. Tapi, pernikahan kalian nyaris menyentuh angka sebelas di tahun depan." Damien berdeham. Kembali membubuhkan tanda tangan pada kolom yang telah disediakan. "Kau mencintai istrimu?" Berry Drian mendengus masam. Melirik pada sahabat karibnya dan mendesah. "Kau pasti bercanda saat bertanya. Tentu aku mencintainya. Kami menikah karena cinta." Damien tak lagi bertanya setelahnya. Membiarkan Drian mengurus beberapa berkas yang dia inginkan, dan beranjak pergi meninggalkan Damien dengan pesan dia dan Gio akan bertemu. Mengajak Damien untuk makan siang bersama. Damien termenung. Menatap hamparan gedung-gedung pencakar langit dari lantai ruangannya. Sebelum napas itu berubah berat, dan tatapan matanya menerawang jauh ke depan. Cinta? *** "Kemari, bawa masuk semuanya." Selena mengangkat alis saat dia baru saja dari taman belakang dan mendapati tamu istimewa siang ini adalah Kamara Kiara, ibu kandungnya yang datang bersama dua asistennya membawakan dua kantung belanjaan entah apa isinya. "Sayang!" "Sayangku, Dion!" Selena menggeleng tak percaya. "Mama?" "Ah, mana cucuku? Dia di kamar? Apa dia sudah makan siang? Omanya membawakan makanan manis untuknya." Selena mendengus. "Taruh itu di sana. Biar aku urus nanti." "Baik, Nona Selena." Selena menghela napas panjang. Saat dia mendengar suara pintu terbuka, dan Ayame yang mendengar segera menoleh, menatap Dion yang bersiap turun dan bersiaga di lantai bawah. "Jangan lari." Selena memperingati saat anak itu menuruni tangga dengan hati-hati. Dion terkekeh saat dia menerjang pelukan Kiara yang terkekeh geli. Saat Selena meminta Ayame membuatkan minuman, dan membawakan camilan kering yang baru saja dia buat, asisten muda itu segera menurut. "Oma! Oma membawa sesuatu untukku?" "Tentu," Kiara berjongkok. Menaruh Hermes di atas meja dan merapikan rambutnya yang berkilau. Selena mendengus, mencium aroma sampo salon ternama yang khas dari rambut ibunya. "Rambut Oma harum," hidung tinggi anak itu mengendus rambut pendek sang nenek dan tersenyum. "Seperti Mama." "Oh, tentu. Lebih harum Mama, kan?" Dion hanya terkekeh. Dan dia kembali duduk untuk membuka bungkusan itu. Ayame kembali datang. Bersama minuman dan makanan di atas meja. Saat Selena meminta pada gadis muda itu memberikan minuman dan makanan yang sama untuk dua pesuruh ibunya di luar. Selena duduk di sofa. Membantu Dion membukakan hadiah dari neneknya. Saat Selena menggeleng, menemukan aneka alat tulis bersama peralatan sekolah untuk putranya. Dion terlihat girang mendapatkan hadiah baru. "Kau suka?" "Heem!" Kepala anak itu terangguk. Kamara Kiara beralih menatap putrinya yang sedang duduk dengan tangan memegang tempat pensil berbentuk mobil. Saat dia duduk di seberang wanita itu, dan mendesah. "Apa keluarga suamimu datang?" Kepala Selena menggeleng. "Damien tidak memberitahunya. Aku meminta dia untuk diam." "Papamu ada di luar kota selama satu bulan penuh ini. Dia ingin bertemu, hanya saja kesibukan menyita. Aku tidak memberitahu kalau cucunya sakit." Selena mendengus. Menaruh tempat pensil itu di atas meja. "Kalau Mama memberitahunya, dia akan terbang hari ini. Tidak perlu. Aku akan membawa Dion berkunjung saat kondisinya membaik." "Oke." Pandangan mata Kiara jatuh pada Dion yang terlihat serius menatap tas barunya. Saat anak itu menaruh tas hitamnya, dan beralih pada mainan baru yang dia belikan. Lego. "Kesukaannya dengan Damien nyaris sama. Lego." Selena menghela napas. "Dari segi mana pun, dia ini terlihat anak Papa sekali," kepala cokelatnya menggeleng. "Kalau begitu, kau tinggal melahirkan satu anak lagi untuk mengimbangi putramu. Masalah seleGio, kan?" Bibir Selena menipis. Saat dia bertopang dagu, dan ibunya mendapati dengusan samar meluncur dari bibirnya. "Aku tidak ingin mendengar hal itu, Mama." "Aku tahu apa yang kau lakukan, Selena," suara Kiara mengalun saat dia menaruh cangkir teh melatinya. "Kau meminum obat pencegah kehamilan agar tidak ada anak kedua. Apa Dion lahir adalah kesalahan?" Selena mengusap pipinya. Dia lelah mendapati pertanyaan yang sama berulang kali. "Semula, aku berpikir anak ini adalah kesalahan," katanya dingin. "Aku menerimanya setelah Dion memanggilku Mama untuk pertama kali." Kiara terdiam menatap ekspresi putrinya. Sebelum dia mengembuskan napas, dan menggeleng samar. "Dengarkan aku, Selena." Senyum Kiara timbul saat dia menatap cucu satu-satunya yang ia miliki. Dan bergender laki-laki. Betapa sempurna kehidupannya sekarang? "Dengan dirimu yang sekarang, kau bisa menghancurkan kehidupan pernikahanmu sendiri. Aku berusaha mungkin menyembunyikan mimpi buruk dan kesalahanmu di masa lalu dari suamimu sendiri." Kiara menarik napas. "Tapi, kalau suatu hari nanti Damien mengetahuinya, kau harus menanggungnya sendiri." Selena mencibir dengan ekspresi bosan. "Aku sama sekali tidak meminta Mama lakukan apa pun, bukan? Mama saja yang terlalu santai sampai harus mengurusiku segala." Kiara sama sekali tidak tersinggung ucapan putrinya. Dia hanya tersenyum masam, kembali menatap Dion yang sibuk menata legonya. "Dari kalimat dan ekspresi wajahmu, kau sama sekali belum bisa mencintai suamimu, Selena. Hah, padahal aku bisa melihat kalau Damien—," "Kau suka mainan barumu, Dion?" Anak itu mengangguk. Menatap ibunya dengan antusias. "Ini model terbaru. Papa belum membelikannya." Selena hanya tersenyum. Dia memainkan kakinya yang menyilang angkuh dan mengacak gemas rambut legam putranya. "Padahal, kalau kau meminta pada Mama, akan langsung Mama belikan hari itu juga." Dion cemberut. "Mau sampai kapan kau terus begini, Selena?" Selena melirik datar pada sang ibu. "Dan mau sampai kapan Mama mencampuri urusan rumah tanggaku?" "Katakan saja kalau aku tidak terlalu menyukai keluarga suamimu. Hanya saja, aku bersikap lunak karena Damien pria yang baik. Dia sopan, dan dia berhasil merebut hatiku. Kenapa tidak denganmu?" Selena menghela napas panjang. Meluruskan punggungnya saat dia bangun, dan beranjak pergi menuju kamarnya. Membiarkan Kamara Kiara menggeleng miris menatap putrinya sendiri, dan memilih untuk berpindah. Duduk di atas karpet bersama cucunya dan menemaninya bermain. *** "Saphira suka bunga. Kalau dia sedang merajuk, aku akan membelikannya bunga." Alis Damien terangkat. Saat Drian terbatuk, dan mengangguk berulang kali. "Benar! Kalau Tari sangat suka dengan gulali. Aku akan membelikannya cokelat kalau dia dalam suasana hati yang buruk." Damien kembali mengernyitkan kening. "Semudah itu istri kalian dibujuk? Hanya dengan cokelat dan bunga?" Gio menegak kopinya dan menatap Damien bingung. "Tentu saja. Kenapa memangnya? Bukankah, Selena juga sama dengan perempuan lain? Yang akan luluh dengan bunga atau makanan manis?" Damien mendengus. Menatap cangkir kopinya dan berpaling membuang pandangannya ke arah lain. "Istriku tidak seperti itu." Drian terlihat berusaha menahan geli. "Aku sudah menduganya. Selena orang yang keras. Dia bukan perempuan sembarangan. Okelah, Yamanaka Saphira pun juga tidak. Dia putri dari mantan Marsekal ternama. Ibunya memiliki bisnis pemasok obat-obatan terbesar di Jepang. Dia juga perempuan berkelas." Gio meringis. "Kau tidak bisa membandingkannya dengan Kamara Selena." "Aku hanya membandingkan bagaimana sifat mereka. Saphira terlihat berapi-api, dan Selena lebih tenang. Kalau mereka dihadapkan masalah yang sama, Saphira akan meledak. Dan istri Damien jelas akan menghadapinya dengan kepala dingin." "Ah, kau benar." Gio mengangguk. "Aku rasa, didikan orang tuanya terlalu keras," sela Damien. Dia sendiri tidak yakin dengan argumennya. "Kau menikah dengan perempuan yang memiliki kuasa dan koneksi lebih bagus darimu," ujar Drian dengan ekspresi serius. "Selena pun berpikir harus mencari suami yang sepadan. Karena dia memilihmu, kau seharusnya tahu kalau kau beruntung." Damien mendengus kali ini. "Aku sendiri benar-benar dibuat bingung dan penasaran sifat Selena satu itu. Aku heran, bagaimana bisa perempuan terlihat sedingin itu?" Damien termenung. "Mari, kita hadapkan dia dengan Aster. Kau tahu, saat Saphira melihat Aster, dia benar-benar ingin melumat gadis itu sampai tak bersisa. Aku bertaruh, kalau aku berhubungan sedikit lebih lama, gadis itu akan ditemukan mati di kamar apartemennya dengan luka tembak." Damien terlihat menahan tawa. "Dan istrimu akan bebas karena koneksi ayahnya." "Kau benar," Gio kembali serius. "Coba kita hadapkan ini pada Selena, istri Damien. Dia tidak mungkin menembak kepala Aster, bukan?" "Dia akan membedah perempuan itu dengan pisau bedah milik Dokter Yuma," kata Drian datar. "Kau lupa siapa ayahnya?" Gio meringis. Damien bersidekap dengan raut datar. "Selena pernah berkuliah di Universitas Negeri Tokyo. Dia mengambil kedokteran gigi. Dan sekarang berakhir menjadi ibu rumah tangga," papar Drian. Damien menatap rekannya dengan alis terangkat. "Kau sepertinya mengenal baik istriku, Drian?" "Sekelas Kamara Selena, bukan gosip murahan lagi. Tari pernah ada di almamater yang sama dengannya." Sebelum Gio sempat bicara, dia mengangkat alis menemukan Aster datang mendekat ke meja mereka. Berdeham kecil, Damien menoleh. Mengangkat alis menemukan Aster membungkuk di meja mereka. "Maaf kalau aku datang untuk menginterupsi. Hanya saja ada hal yang harus aku sampaikan." Drian terkekeh. "Tidak apa. Kami hanya duduk untuk minum kopi. Hah, kenapa kedai kopi di perusahaan keluarga Damien sangat enak? Sial." Aster kembali menyerahkan dokumen. Dia menjelaskan kedatangannya. Dan Damien mendengarkan secara seksama. Sampai gadis itu berdiri, melangkah mundur satu langkah dan terdiam. "Kupikir, kau akan pergi," Drian berujar dengan geli. "Ternyata kau akan menunggu." Gio yang bersuara kali ini. "Kau mau kopi, Aster? Sepertinya, kau butuh minum juga." "Tidak, terima kasih, Tuan Shimura. Aku baik-baik saja." Drian tertawa pelan. "Ah, jangan canggung begitu. Gio sudah berbaik hati menawarkan," nada suaranya bercampur sarkasme yang kental. "Terima kasih banyak. Tapi, tidak perlu." Kekehan Drian terhenti saat dia mendengar langkah seseorang kembali mendekat. Dan dugaannya benar. Kala map cokelat itu jatuh di atas meja, ketiganya mendongak. "Ini dokumen yang kau minta, kan? Tertinggal di mejamu. Masih ada satu jam lagi sebelum rapat dimulai. Aku tidak telat, kan?" Selena tersenyum manis. Saat dia menatap Drian dan Gio bergantian. "Selamat siang, Berry, Shimura. Senang melihat kalian di sini. Sepertinya, menyenangkan duduk dan berbincang tentang orang lain?" Gio berdeham. "Aku harap kalian tidak bergosip tentang keburukan orang lain," katanya santai. Drian terkekeh. Saat kepala kuning nyentrik itu menggeleng canggung dan Damien memegang map cokelat yang baru saja istrinya berikan. "Dengan siapa Dion di rumah?" "Ibuku datang," Selena masih memasang senyum manisnya. Saat matanya melirik Aster yang sama sekali tidak mau melihat ke arahnya, dan gadis itu berekspresi masam sekarang. "Aku tadi ke ruanganmu. Dan kau tidak ada di sana. Mencari kemana dirimu, ternyata di sini sedang menikmati kopi." "Kopi di sini yang terbaik, Selena." Selena menyeringai. "Benarkah? Aku pernah merekomendasikan ini pada Tari. Karena dia tipe pemilih untuk soal minuman." Aster membungkuk. Mengalihkan atensi mereka karena tidak tahan berada di satu lingkup yang sama dengan istri atasannya. "Aku akan mempersiapkan segala keperluan rapat. Kalau begitu, aku permisi." Selena melirik gadis itu datar. Ketika Aster berjalan mundur dan telah sepenuhnya pergi. Damien baru bersuara dingin. "Kau menakutinya." Selena mendengus. Menunduk menatap mata suaminya dengan sinar tajam. "Aku tidak menakutinya. Dia sendiri yang sadar, kalau tidak pantas berada di lingkup yang sama denganku. Apa bahasa kasarnya? Kami tidak setara?" Selena tertawa kecil saat mengatakannya. Saat dia mengangguk pada Drian dan Gio dan berjalan pergi. Lalu, mengedipkan mata pada sang suami. Sebelum langkahnya menjauh, Damien menghela napas panjang. "Sebentar." Selena menegur Aster sebelum perempuan itu berlalu dan sosoknya lenyap di balik pintu besi lift yang tertutup. Senyum Selena terbingkai ramah. Saat dia mengangguk pada beberapa karyawan suaminya yang menegurnya sopan. Dan dia harus membalas dengan sikap yang sama. "Ya?" Aster mengangkat alis. Segera mata itu memutar tatkala mendengar sosok istri atasannya mendekat. Selena melihat sekitar, saat dirasa cukup lenggang, dia baru kembali menatap Aster.  "Aku tidak tahu, kenapa rasanya seperti kau punya dendam padaku? Okelah, kalau kau memiliki dendam pada Yamanaka Saphira. Tapi, padaku?" Aster menipiskan bibir. "Tidak ada, Nyonya Selena. Anda salah bicara." Selena tersenyum. Saat tangannya terulur untuk mengusap bahu Aster yang berlapiskan blazer hijau tosca. "Aku datang untuk mengantar dokumen suamiku yang tertinggal. Dia menghubungi tadi, dan aku segera pergi. Sudahlah. Aku juga tidak pamer kemesraan di depan kau, kan?" Ekspresi Aster berubah masam. "Anda salah menduga, Nyonya Selena." Selena tertawa kecil. "Aster, pengecualian untukmu. Berhenti memanggilku dengan nama. Bisakah kau memanggilku dengan marga suamiku? Hm, Nyonya Marcuss? Itu terdengar bagus, kan?" Suaranya berubah riang. Aster terkesiap. Saat tawa itu perlahan-lahan lenyap dan raut wajahnya berubah dingin lamat-lamat. "Jangan kau kira aku tidak tahu apa yang coba kau lakukan." Tangan Aster terkepal. "Kau mungkin bisa membodohi seorang Yamanaka. Tapi, kau tidak bisa membodohi seorang Kamara." Aster berdeham. Sebelum dia berjengit karena mendapat ancaman. "Nyonya Sa—Marcuss, sebaiknya Anda segera pergi. Aku tidak mau seseorang melihat kita seperti—," "Kalau pun mereka tahu, mereka tetap tidak mau peduli. Mereka menaruh rasa hormat itu padaku. Tetapi, kau tidak." "Aku minta maaf," Aster membungkuk berulang kali. "Aku tidak akan mengulanginya lagi." Selena terkekeh kecil. Mengulurkan tangannya saat jemari itu menyentuh helaian rambut Aster yang halus. "Bagus. Bagus. Akhirnya, kau mengerti." Selena kembali menjauhkan tangannya. Saat Aster bergerak mundur, dan gadis itu membungkuk berulang kali sebelum berlari kecil pada pintu lift yang terbuka lebar. Selena mendengus. Ekspresinya berubah ketat saat dia menoleh, menemukan sang suami berdiri tidak jauh darinya sembari memegang map cokelat yang ia berikan dan satu lagi map yang Aster antarkan. "Dion bilang, dia ingin Papanya membelikan gula-gula dan cokelat. Kau mau membelikannya?" "Kenapa tidak kau saja?" Selena mendengus. "Kau mendengar kalimatku tadi, kan? Papanya. Papa. Bukan Mama." Damien hanya diam. "Mama di rumah. Kepalaku sakit melihat barang yang Mama bawa. Dion bahkan belum akan naik ke tingkat selanjutnya. Dia sudah membelikan buku dan tas baru?" "Persiapan untuk masa depan," ujar Damien datar. Selena berjalan mendekat. Tidak peduli kedekatan mereka dilihat beberapa karyawan yang berlalu-lalang di lobi. Bahkan, resepsionis perempuan itu berdeham, dan mengalihkan perhatiannya ke benda lain. "Aku tahu apa yang kau rencanakan untuk putramu." Alis Damien tertaut. "Aku melihatnya di laci meja kerjamu," Selena tersenyum. "Ah, rasanya seperti kau dan aku sedang berGiong untuk masa depan anak kita sendiri." Damien memutar badannya. Saat dia menatap lift khusus direksi dimana Marcuss Regan baru saja turun dari lantai eksekutif dan terpaku melihat adiknya bersama adik iparnya. "Kenapa tidak kau tabung uang milikmu yang super banyak itu untuk anak kedua nanti?" Raut wajah Selena berubah. Saat dia terpaku dan Damien mendorong dahi istrinya sebagai salam perpisahan, lalu berjalan pergi. Marcuss Regan mendengus. Menatap adiknya di dalam lift, yang ikut melempar tatapan dinginnya pada sang kakak sulung. Lalu, berpaling pada Selena yang tersenyum kecut. "Apa Damien baru saja menggodamu? Astaga. Bagaimana bisa dia bersikap demikian pada adik iparku?" Alis Selena terangkat. Menemukan Marcuss Regan yang berjalan mendekat dengan gaya tengilnya yang khas. Membuat ekspresi ibu satu anak itu bertambah muram. "Tidak seharusnya kalian memamerkan kemesraan yang luar biasa itu di ranah publik, kan?" Selena berdecak. Melirik Rolex di pergelangan tangannya dan mendesah. Sebelum matanya kembali menatap Regan dengan datar. "Terima kasih karena mau peduli, kakak ipar. Sampai jumpa." Dan berlalu begitu saja meninggalkan Regan yang termenung. Menatap sosok itu dengan pandangan bersinar ngeri. Perempuan dengan ego tingginya memang harus dihancurkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD