Bagian Duabelas

3062 Words
"Jadi, Selena yang membiayai hidup parasit ini sampai sekarang?" "Benar, Nyonya." Kamara Kiara menghela napas. Membanting tabletnya di atas meja dan memutar kursinya sembari menatap bangunan pencakar langit lain dengan tatapan dingin. "Kenapa berani sekali anak itu melawanku?" Tangan Kiara terkepal di atas kursi kebesarannya. "Apa karena dia iba? Apa karena dia tidak bisa merelakan masa lalunya? Kenapa harus? Kenapa harus Selena lakukan ini?" "Rola Mizuki benar-benar tidak bisa berkutik saat Anda memintaku menghancurkan hidupnya sedikit demi sedikit," ujar pria itu dalam. "Tetapi, Nona Selena terus menjadi pahlawan. Dia melawan dengan cara yang tidak kita duga." Kursi yang terbuat dari kulit hewan murni itu berputar. Saat dokumen berisi beberapa bukti foto Selena yang berjalan di antara lorong yayasan Halim terlihat tenang. "Nona Selena berkontribusi besar dalam pekerjaan Rola Mizuki di Halim. Bukti ini sebagai penguat. Bahwa dia, memberikan uang pada kepala yayasan untuk Rola." Bibir Kiara bergetar getir. Saat napas itu berembus pendek. Dan seakan memang ada asap yang siap menyembul ke luar dari kepalanya. "Selena lakukan ini diam-diam?" "Dia berusaha membebaskan Rola Mizuki dari penjara Anda, Nyonya Kiara." Kiara kehilangan kata-kata. Dia hanya meremas tangannya sendiri di atas meja. Menemukan fakta kalau Kamara Yuma, suaminya diam-diam mengulurkan tangan karena iba pada keluarga Rola. Kali ini, Selena benar-benar menunjukkan taringnya. Melawan sang ibu demi perempuan lain yang sepenuhnya telah merusak hidupnya sendiri. "Selena, kau tidak sadar apa yang kau lakukan sekarang?" Kiara mendesis dingin. "Ini bukan saat yang tepat untuk dia menantangku." Pria itu menghela napas panjang. Dengan setelan jas dan pakaian formal lainnya guna menutupi identitas aslinya. Mata-mata bayaran yang Kiara kirimkan untuk menghantui Rola Mizuki kembali dengan laporan lain. "Sejauh pengamatanku, sepertinya semua sudah tenang. Rola Mizuki tidak menunjukkan tanda-tanda akan merusak rumah tangga putri Anda, Nyonya." "Dan aku harus mengendurkan kewaspadaanku pada benalu satu ini?" Pria itu—Raito, hanya menghela napas sekali lagi. Memiliki majikan kaya yang sayangnya keras kepala, sedikit membuatnya kesulitan. "Jujur saja, Nyonya Kiara. Ada benang tak kasat mata yang membawa kita pada rahasia di bawah tanah. Kita sendiri belum bisa menebak apa maksud Nona Selena lakukan ini semua, bukan? Dia selalu bermain aman. Dia tidak pernah bicara apa masalahnya. Nyonya Kiara yang mengatakan itu sendiri padaku. Jadi, ini semua masih abu-abu." "Abu-abu kau bilang?" Kiara membeo tak percaya. "Belasan tahun aku menganggap Rola adalah mimpi buruk putriku. Hingga aku harus menjodohkan Selena pada Damien, mempertahankan pernikahan mereka dan tak segan-segan menghancurkan siapa pun yang mencoba merusak rumah tangga mereka. Lalu, kau bilang abu-abu?" Pria itu mengetatkan rahang sebelum kembali bicara. "Nyonya Kiara juga tahu, kalau kita selalu menyalahkan Rola Mizuki atas luka pada diri Kamara Selena. Tapi, apakah Nyonya Kiara tahu, kesulitan serta derita apa yang putri Anda lalui selama ini?" Kedua mata Kiara memicing. "Aku tidak mungkin memata-matai Nona Selena karena aku tahu benar bagaimana dia. Juga, Rola Mizuki bukan perempuan jahat." "Berani menyimpulkan sedini mungkin, Raito?" Raito mendesah berat. "Tekanan pada diri Nona Selena berasal dari dirinya sendiri, Nyonya Kiara. Bukankah, Anda sebagai ibunya seharusnya lebih mengerti?" Kiara termangu. Menatap Raito dengan pandangan yang sulit diartikan. "Aku tidak menduga. Hanya saja, aku mencemaskan Marcuss Dion sekarang." Dan Raito bergegas pamit undur diri karena suasana hati Kiara mendadak lebih gelap dari sebelum dia datang. *** Marcuss Damien memarkirkan Audi SUV miliknya ke halaman parkir salah satu tempat makan yang menjadi spot favorit ibu mertuanya kala mereka bertukar janji untuk bertemu. "Di sini, Damien." Damien lantas membungkuk. Memberi salam pada Kiara yang mengulas senyum. "Berhentilah terlalu formal, menantu. Ada kalanya kau bisa bersikap nakal." Damien mengerutkan alis. "Apa maksud, Mama?" Kiara lantas menggeleng. "Pesanlah minuman. Aku tidak tahu apa yang ingin kau minum siang ini. Jadi, kubebaskan kau untuk memilih." Damien hanya memilih asal untuk mempersingkat waktu. Tidak biasanya ibu mertuanya menghubungi untuk bicara sesuatu yang penting. Dan yang pasti, itu tidak membicarakan Dion acap kali mereka bertemu. Karena dari ekspresi dan gelagat Kamara Kiara sekarang, Damien tahu ada yang salah dari diri ibu mertuanya. "Terakhir kali bertemu, saat di rumah orang tuamu," Kiara mendengus masam mengingat kenangan itu. "Maafkan Mama karena mengacau. Pada dasarnya, Mama hanya kesal karena ucapan ibu dan kakakmu." Damien menggeleng singkat. "Tidak apa, Mama." "Kau benar-benar pengertian," ulas Kiara dengan senyum. "Aku beruntung sekali. Karena Selena bersamamu, aku bisa lebih tenang." Damien kembali terpaku. Sebelum dia berdeham, dan secangkir kopi mendarat di atas mejanya bersama makanan ringan yang dia pesan. Jujur saja, dia tidak berselera menelan apa pun siang ini. "Haru, baik-baik saja?" "Mama baik," jawab Damien. "Aku lama tidak mendengar kabarnya. Papa mengabari untuk tidak mengganggu Mama sementara waktu. Jadi, aku menuruti." Kiara mendengus geli. "Baru terkena pukulan Hermes ringan saja sudah lemas. Apalagi, aku melempar granat ke wajahnya?" Damien menahan senyum sebagai respon. "Damien," panggil Kiara datar. Perempuan paruh baya itu menunduk. Mengaduk minumannya sendiri dengan ekspresi gelisah. "Bagaimana bersama Selena? Apa selama ini, dia membuatmu kerepotan? Karena aku tahu benar bagaimana kakunya Selena, aku mencemaskanmu." "Kami baik," Damien mulai bersuara. Sesekali matanya melirik pias pada sang ibu mertua. "Selena memang kaku. Tapi, dia benar-benar berdedikasi besar untuk rumah dan putra kami." Mata itu kembali terpaku padanya. Menohok Damien dengan jutaan jarum yang menancap di jantungnya. "Apa kau pernah bertanya, untuk siapa Selena lakukan itu?" Damien kembali diam. Bungkam. Sejelas itukah kalau kehidupan pernikahannya bermasalah? Bagi orang lain, mungkin terlihat sempurna. Tapi, bagi orang terdekat, benar-benar terlihat retak, siap pecah. "Untuk putra kami. Untuk Dion," balas Damien getir. Kiara membalas dengan decakan samar. Sudut bibirnya melengkung naik, penuh getir. "Aku menduganya sudah lama, Damien. Kalau Selena, tidak akan pernah bisa membuka hati untuk orang lain. Untuk pria. Dan menyakitkan saat aku tahu, dia belum bisa menerimamu sebagai suaminya." Damien terdiam selama beberapa saat. Matanya mengamati ekspresi sendu Kamara Kiara yang tampak lain. Saat tatapan mata itu jatuh pada pot bunga sepatu di dekat jendela. "Apa yang Selena lewati selama ini, apa saja yang dia hadapi selama masa-masa remajanya, apa yang Selena takutkan, aku sendiri tidak tahu. Bertahun-tahun, dan baru kali ini aku merasa menjadi ibu yang gagal." "Aku rasa tidak," sela Damien dengan senyum tipis. Berusaha memperbaiki hati ibu mertuanya yang tengah patah. "Karena didikan Mama Kiara, Selena menjadi ibu yang hebat untuk anak kami." Kiara termangu sesaat. Menatap lekat iris kelam menantunya, sebelum dia menunduk menahan perih. "Aku tidak tahu apa-apa tentang anakku sendiri, Damien." Damien tampak berpikir. "Bagaimana dengan Rola Mizuki? Bukankah, dia teman dekat Selena di masa sekolah?" "Tidak ada gunanya aku bertanya pada gadis itu," nada suara ibu mertuanya berubah dingin. "Perempuan itu sebenarnya hanya parasit. Aku sudah berulang kali memperingati Selena untuk menjauhinya, dan dia tidak mendengarkanku." Damien menipiskan bibir. "Kenapa Rola tidak mau membahas itu padamu, Mama?" "Dia tidak menyukaiku. Dia tidak menyukai Selena beserta keluarganya. Kami ini di matanya satu paket. Manusia bertangan dingin. Berhati iblis. Aku pernah mendengar dia memaki seperti itu di depan Selena." Kiara mendengus masam. "Anehnya, Selena sama sekali tidak bereaksi. Putriku juga tidak marah atau membentak Rola karena dia bicara seenaknya. Bukankah, Selena secara tidak sadar sudah mengiyakan?" Damien tidak tahu harus berkata apa sekarang. "Kau perlu menjauhkan istrimu dari Rola, Damien. Peringatanku tidak digubris putriku. Mungkin, kau bisa pelan-pelan bicara padanya. Setidaknya, agar dia aman. Agar dia dan cucuku aman." Lidah Damien terasa kelu. "Aku minta maaf," suara Kiara kembali mengalun sedih. "Untuk segalanya. Dan untuk Selena, yang telah mematahkan perasaan tulusmu." Damien benar-benar dilema sekarang. Rahangnya mengeras selama beberapa detik. Saat dia menggeleng, bersuara sekali lagi untuk menenangkan hati ibu mertuanya yang sedang kalut. "Tidak apa. Sungguh, aku tidak apa." Kiara mengulas senyum tipis. Sangat tipis. Sampai Damien menghela napas panjang, menyesap kopi hitamnya yang telah mendingin. Dan mengabaikan ekspresi puas bercampur picik yang tergambar di wajah Kamara Kiara sekarang. Semoga kau terbakar di neraka, Rola. *** Kamara Yuma menyesap secangkir kopi susunya yang mulai mendingin. Iris matanya terpaku, menatap sang putri semata wayang dengan pandangan penuh arti. "Selena, kalau ada yang ingin kau tanyakan, jangan sungkan. Aku kosong sampai jam tiga sore." Selena termangu. Memilih menatap pancake kacangnya dibanding menatap mata ayahnya yang mulai pudar termakan waktu. "Aku tidak tahu harus memulai darimana," balas Selena skeptis. Bibirnya menipis, pandangan matanya ikut meluruh pudar. "Baik. Kalau begitu, anggap saja kau sedang duduk bersama ayahmu. Ayah yang menemanimu bermain di taman, duduk di ayunan dan siap mendengarkanmu berceloteh." Setelah Yuma mengatakan kalimat sakralnya, khas seorang ayah yang mencintai putrinya, membuat d**a Selena mencelos. Kedua matanya yang dingin, berubah retak sebelum pecah. Berkaca-kaca. "Apa yang kulakukan selama ini adalah kesalahan?" Yuma hanya diam, mendengarkan. "Aku merasa, aku telah lakukan hal yang benar. Tapi, terkadang Mama menganggap aku kekanakkan. Aku hanya menjalani takdir ini dengan jalanku sendiri." Selena mengintip ekspresi Yuma yang kaku. Sebelum, ekspresi pria paruh baya itu pecah. Terlihat menahan geli yang kentara. "Selena, bisakah aku jujur? Melihatmu yang sekarang, sama seperti melihatmu saat usia enam tahun. Saat kau tidak sengaja menempelkan permen karet ke anjing tetangga rumah kita." Selena mendengus. "Aku serius." Yuma menahan tawanya. Kali ini, ekspresi itu berubah. Dia terlihat lebih serius walau tidak bisa menyembunyikan sinar geli itu sepenuhnya. "Baiklah. Asal kau tahu, kau yang sekarang mau pun masa lalu, tidak ada bedanya dengan ibumu," bisik Yuma samar. "Aku menduga, mengapa bisa kau menjadi kembaran Kiara, dan bukan pada diriku?" Selena hanya diam. "Selena yang dulu, mungkin sama saja. Tidak banyak bicara. Kau dan ibumu jelas berbeda. Kiara dulu berapi-api. Dia tak segan-segan mengeluarkan semua isi kepala dan caciannya pada orang yang tidak sepaham. Bahkan, dengan para pembencinya sekali pun." Yuma menatap jam di pergelangan tangannya. "Dulu, ibumu tidak suka saat orang-orang menyebutnya anak manja. Dia sudah kaya sejak lahir. Begitu pula dirimu. Dan apalah aku ini? Aku saat itu hanya masih menjadi dokter sementara di sebuah klinik kecil." Selena mengerutkan alis. "Papa bukan berasal dari orang berada, Selena. Kalau kau bilang ini hasil kerja keras Mamamu, kau juga salah. Aku berjuang agar aku setara. Agar aku sepadan dengan ibumu." "Papa merasa demikian?" Kepala Yuma terangguk. "Ini berlaku tidak hanya pada diriku. Tapi, pada diri Damien juga, suamimu." Selena benar-benar membisu sekarang. "Selena, aku tidak akan munafik kali ini. Harga diri pria mana yang tak tersinggung saat istrinya lebih tinggi darinya? Dalam arti, kasta dan derajat?" Yuma mengutip dua kata itu dengan dua jarinya. "Damien pun sama. Tapi, dia tidak menunjukkan itu di depanmu." "Apa Mama tahu?" Bahu Yuma terangkat. "Entahlah. Mama tahu atau tidak, dia tidak pernah membandingkanku dengan yang lain dalam situasi apa pun. Dia menerimaku apa adanya. Dan aku belajar menyempurnakan diri. Bukankah, begitu arti pasangan sesungguhnya?" Saling melengkapi. Selena tertegun. "Itu karena Papa mencintai Mama. Jadi, semua berjalan mudah. Andai saja—," "Apa Damien tidak begitu padamu?" Kamara Yuma menyela tepat sasaran. Ekspresi Selena berubah datar dan Yuma mulai tidak menyukai bagaimana Selena menyembunyikan emosinya dengan baik sekarang. "Kau tidak tahu, apa kau sebenarnya tahu, tetapi kau tidak mau menanggapi? Berpura-pura tidak tahu?" Selena mengembuskan napas panjang. "Berpura-pura tidak tahu itu menenangkan." "Tapi, tidak di kehidupan pernikahan, Selena," bisik Yuma dengan lembut. "Kau menikah sekarang. Bersikap apatis dilarang saat menyangkut kehidupan rumah tangga kalian. Kalau Damien terluka, ada baiknya kau bertanya. Kalau dia bertanya, ada baiknya kau menjawab." "Kami berbeda," sesekali Selena mencuri pandang ke arah pot bunga tulip putih di tepi jendela. "Berbeda dari segi apa? Kalian dijodohkan? Atau, karena ibumu banyak ikut campur? Selama ini, kau masih merasa begitu?" "Di dalam kamusku, tidak ada kehidupan pernikahan itu baik, Papa. Aku bertahan selama ini demi putraku," balas Selena dingin. Kamara Yuma terdiam. Ekspresinya mengetat, perlahan mengendur dan memahami apa yang coba Selena sampaikan. "Sekarang, bisakah aku bertanya padamu?" Selena menatapnya. "Jika sesuatu terjadi, memaksa Damien untuk ada di ujung jurang bernama hidup dan mati, apa yang akan kau lakukan?" Ekspresi itu berubah. "Kau akan mendorongnya masuk ke dalam jurang itu, atau kau akan menarik Damien dalam arti menyelamatkannya agar tetap hidup?" Selena kembali berpaling. "Jawab pertanyaanku tanpa memikirkan Dion. Anggap saja, Dion tidak ada di kehidupan kalian." Selena menipiskan bibir. Sedangkan, Yuma masih dengan sabar menunggu. Sampai putrinya kembali menatap matanya, dan Selena yang berusaha keras membunuh gugupnya sendiri telah kembali. Yuma tahu benar, kebiasaan kecil putrinya tatkala dia merasa gelisah atau ketakutan. Gugup menjadi pemicu mengapa tangan itu saling meremas satu sama lain. "Kau akan mendorong Damien ke jurang itu?" Selena terkesiap. "Aku tidak—," "—tetapi, Selena. Kau tidak sebaik itu untuk menariknya mundur dari bibir jurang, bukan? Jadi, opsi mana yang tepat?" Selena berdecak. Remasan tangan itu berganti dengan gema jemari yang mengetuk meja. Selena melirik sekilas pada sang ayah, sebelum dia mengalihkan pembicaraan. "Apa Papa tahu, kalau selama ini Damien punya perasaan padaku? Maksudku, Mama tahu ini. Apa Papa juga?" Alis Yuma terangkat. "Entahlah. Aku tidak tahu itu sama sekali. Saat mendengar kau akan dijodohkan, jujur saja aku sangat marah. Apa putriku tidak bisa mencari laki-laki yang dia mau sendiri sampai harus dicarikan ibunya?" Selena mencibir. Dan Yuma kembali tertawa. "Tapi, setelah melihat Marcuss Damien saat itu, aku tahu dia bukan orang yang salah. Juga, belum memastikan apa dia orang yang tepat. Mendapati dia menghamilimu, aku sangat marah. Nyaris saja, aku memukulnya malam itu." Sudut bibir Selena tertekuk. "Aku tidak meminta banyak padanya seperti permintaan ibumu padanya, Selena." Selena mengembuskan napas. "Saat aku bersamanya, berdiri memandang bulan di malam hari, aku hanya bilang untuk menjagamu. Karena setelah ini, tanggung jawab ada di pundaknya, pundak Damien." Yuma menatap mata teduh putrinya penuh makna. "Karena aku yakin, kehidupan pernikahan kalian tidaklah semulus bayangan dan harapan Kiara. Aku berkata pada Damien, kalau seandainya dia menyerah, tolong jangan katakan pada Selena. Kembalikan saja putriku padaku. Biar aku yang mengurusnya sampai aku mati." Tangan Selena gemetar di atas meja. "Selena punya ekspetasi akan kehidupannya sendiri. Dia punya mimpi yang belum tergapai, belum tersentuh. Selena punya harapan, yang tidak aku tahu. Dan kalau pun Damien mampu, bertahanlah sampai kau merasa tidak lagi mampu." Yuma tersenyum mengenang percakapannya dengan sang menantu. "Saat itu, Damien hanya diam. Aku memang belum merasakan cinta di antara dirinya untukmu. Tapi, aku tahu dia pria baik." "Aku berkata padanya, kalau Selena terluka. Luka yang kami sendiri tidak tahu apa sebabnya. Luka yang membuat ibunya menjadi lebih keras dan bertindak seenaknya tanpa memikirkan perasaan putrinya lagi. Tapi, percaya pada Papa, kalau Selena anak yang manis. Dia akan lakukan apa pun untuk keluarganya, untukmu, dan untuk calon anaknya nanti." Yuma mendesah panjang. Kembali berpaling pada eksistensi sang anak yang kini menampilkan ekspresi sendu, kemudian luruh dan mendapati putrinya meneteskan airmata. Membuat Yuma mengerti. Ada luka tak kasat mata yang membayangi Selena sampai dia mati. Dan itu ... membunuhnya. *** Marcuss Damien hanya bisa mengernyitkan alis. Mengingat alamat yang dikirimkan ayah mertuanya, dan dia berpikir untuk pergi ke sana. Karena setelah pesan itu terkirim, Damien mencoba menghubungi, sayang nihil. Kamara Yuma sengaja mengabaikan panggilan darinya. Karena setelah panggilan kedua, Damien mendapati penolakan yang berkata kalau nomor sang dokter spesialis jantung sedang tidak aktif. Dengan helaan napas panjang, Damien membuka sabuk pengaman. Terkejut menemukan ada mobil lain yang dia kenal, juga terparkir tidak jauh dari pintu masuk pemakaman. Kedua mata Damien melebar. Sebelum dia bergegas turun, menyipit tajam menemukan plat bersama warna mobil yang tidak bisa menipu dirinya, seketika dia tertegun. Adakah dari masa lalu Selena yang terkubur di sini? Sontak, dia teringat alamat yang ayah mertuanya kirimkan. Seakan itu memberi sinyal bahwa ada rahasia yang menjadi tembok besar kehidupan pernikahan mereka akan terkuak sebentar lagi. Dada Damien tiba-tiba berdebar tak nyaman. Darahnya berdesir tatkala matanya menyipit menatap pintu pemakaman yang terbuka lebar. Karena letak pemakaman umum ini jauh dari jalan besar, dan terlihat sepi. Suasana terasa begitu hening. Sampai-sampai bulu Damien meremang. Damien berjalan masuk. Melangkah hati-hati ketika alas sepatunya memapakai tanah bebatuan yang cukup terjal. Sebelum dia sampai, dia melihat satu-satunya pengunjung makam yang duduk, sembari memainkan bunga krisan putih di tangan. Selena. Damien tidak bisa mendengar jelas apa yang Selena katakan. Tetapi, terlihat dari gestur dan bibir itu yang masih mengatup, Damien menduga tidak ada yang Selena bicarakan pada batu nisan yang tertancap selain hanya duduk dan menikmati udara di sore hari. "Aku belikan kotak pandora ini untukmu," ujar Selena tiba-tiba. "Satu untuk Rola, satu lagi untukmu. Kita punya bentuk yang sama. Sayangnya, punyaku yang membayar Damien. Apa menurutmu, tidak adil?" Selena mendengus. Mencabut kelopak bunga krisan putih dengan tatapan pias. "Kalau kau melihatku sekarang, bagaimana perasaanmu? Kau ikut bahagia? Atau kau diam-diam menaruh dendam? Aku tidak yakin dengan opsi kedua. Karena kau terlalu—," Bibir itu kembali mengatup rapat. Selena memandang pias pada batu nisan bertuliskan nama bersama tanggal kematian. Ekspresinya masih sekeras biasa. Belum berubah. "Di tahun depan, usia putraku sebelas tahun. Aku merasa bersalah karena belum pernah membawanya kemari. Untuk mengenalkanmu," Selena berujar getir. "Berat rasanya. Dan aku harus menanggung malu bersama rasa bersalahku." Selena mulai menekuk lututnya. "Aku bukan ibu yang baik. Aku tidak ingin menjadi Kamara Kiara, tidak ingin memuaskan ambisi dan menghancurkan darah dagingnya sendiri. Aku ingin, Dion bebas. Aku ingin dia terbang bebas. Seperti anak lainnya." Jemari Selena terulur menyentuh pandora itu di atas gundukan tanah. "Sekeras apa pun aku berusaha, aku tidak bisa memutus rantai kebencian yang tertuju pada Rola," bisiknya pilu. "Aku tidak ingin kalah dari ibuku sendiri. Bahkan, jika Rola memintaku mati, aku akan melakukannya." Selena menunduk. Berusaha menahan airmatanya sendiri yang ia tahan mati-matian. Sebelum menggosok pangkal hidungnya, mengusap sudut matanya yang berair dan tertawa hambar. "Kenapa selalu seperti ini?" Selena berkata parau. "Mengapa aku harus melepas topengku di depanmu? Kenapa?" Selena melepas sisa krisan putih itu bersama krisan lainnya di atas gundukan. Dia tersenyum, hanya sebuah senyum tipis yang terurai di wajah kalutnya. Marcuss Damien berjalan mundur. Mendapati sang istri siap pergi, dengan secepat kilat dia mencoba merapat pada batang pohon besar. Menyembunyikan dirinya di sana, di antara semak-semak belukar di sisi tembok pemakaman. Saat Selena benar-benar melintas pergi di depannya, Damien bangkit dari tempat persembunyiannya. Mengusap lengan dan celana kainnya. Sebelum matanya melirik sekilas pada kotak pandora dan krisan putih yang tampak masih segar. Dengan tarikan napas panjang, Damien berjalan mendekat. Menuntaskan rasa ingin tahunya yang terlanjur menggelegak besar. Pandangan matanya tertuju pada nama yang terukir indah di batu nisan itu. Membeku hebat setelah membaca, dan menarik langkah yang hanya berjarak lima meter dari tempatnya berdiri saat ini. Kepingan kenangan itu membuka lebar ingatannya. Isi kepala Damien seakan tercecer keluar. Bagai kepingan kaset usang yang menampilkan kenangan lama. "Mau apa kau di sini?" Damien memutar tubuhnya, menemukan Selena berdiri tidak jauh darinya. Dengan ekspresi keras yang tak tertembus matanya. "Kenapa diam? Mau apa kau di sini?" Dan Damien tidak tahu bagaimana dia menjawab pertanyaan mudah, namun membuat tubuh dan lidahnya mati rasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD