"Pagi ini, aku berangkat dengan bis umum saja."
Marcuss Damien mengangkat kepala. Menemukan putra semata wayangnya tiba-tiba berbicara. Melantur. Kenapa dengannya?
"Kenapa naik bis? Arah sekolahmu dan Papa searah."
Selena mengerutkan kening. Mendekat dengan tatapan bertanya. "Kenapa?"
"Tidak ada," balas Dion singkat.
Menghabiskan sarapannya dengan singkat, Dion bergegas naik ke lantai dua. Mencari kemana tas dan tempat pensilnya. Sebelum dia memandang dirinya sekali lagi di depan cermin. Dan menghirup udara dalam-dalam.
Dion berjalan turun. Menemukan sang ayah sedang memakai dasi. Dan ibunya sibuk merapikan meja makan. Di saat ada asisten rumah tangga yang siap membantu dan menggantikan tugas, kenapa harus ibunya yang merapikan meja? Dan membiarkan ayahnya bersiap-siap sendiri?
"Dion," sang Mama memanggil. "Tetap mau naik bis atau diantar Papa?"
Dion menghela napas. Memegang erat tas punggungnya dan menatap kedua orangtuanya bergantian. "Berangkat dengan Papa, kembali dengan bis umum."
Selena mendekat. "Yakin? Mama bisa menjemputmu lebih awal kalau kau tidak mau menunggu."
"Sesekali tidak apa, kan?"
Selena mengangkat alis. "Tidak apa. Hanya saja, kau tidak punya teman yang searah selain Lawson. Mama cemas."
Damien meraih jas yang tersampir di sofa. "Kalau tidak mau, biarkan dia naik kendaraan umum."
Selena menghela napas kecewa.
"Aku bukannya melarang. Kalau dia memiliki teman satu arah, aku tidak keberatan. Jarak halte cukup jauh dari gang perumahan ini," ucapnya menegur sang suami. "Apa Mama tunggu di depan gerbang?"
Dion meringis. "Ada satpam yang berjaga. Mereka sudah kenal aku."
Dion terkesiap saat ibunya benar-benar mendekat. Merendahkan sedikit badannya dan menatap matanya lekat. "Kenapa denganmu?"
"Tidak ada," balasnya singkat.
Matanya melirik sang ayah. "Ayo, kita berangkat."
Masih rutinitas pagi seperti biasa. Dion akan memeluk ibunya, mencium pipi kanan dan kirinya. Lalu, berjalan pergi menuju mobil yang sedang dipanasi.
"Aku pergi."
Pandangan mata anak itu tidak pernah lepas dari orangtuanya. Ucapan Souma dan Lawson masih membekas lekat di ingatannya. Tentang orang tua mereka yang saling melempar canda, melempar kemesraan satu sama lain di pagi hari.
Dan Dion yang ingin melihat benar apa yang orangtuanya lakukan, mendapatkan kenyataan yang pahit.
Apa terjadi sesuatu?
Benaknya bertanya, tetapi bibirnya terkatup rapat. Begitu pula saat dia ingin menyuarakan keinginannya pulang dengan transportasi umum. Dion berharap, orangtuanya akan kompak atau melakukan sesuatu untuknya.
Tapi, sekali lagi. Mereka berbeda pandangan. Ibunya yang terlalu protektif, atau ayahnya yang terlanjur tidak peduli dan memilih mengalah.
Dion tidak tahu kalau sesuatu telah terjadi dan isi kepalanya belum bisa mencerna dengan baik. Apa yang terjadi pada keduanya? Dan apa yang mereka lewati selama ini sampai dirinya ada di dunia ini.
***
"Mau apa kau di sini?"
Damien tertegun. Sebenarnya, kalau kerja otaknya berjalan lancar dan tidak terhasut kalimat ibu mau pun ayah mertuanya, Damien akan baik-baik saja. Tapi, ternyata? Dia dihadapkan masalah dengan istrinya sendiri.
Begitu pula ekspresi Selena yang sama sekali jauh dari kata bersahabat. Seakan benar dugaannya, bahwa Selena tersinggung dengan kehadirannya di sini.
"Aku datang untuk—," Damien terkejut saat dia kembali melirik batu nisan itu. Masih tidak menyangka kalau ada hal yang Selena simpan rapat-rapat tentang masa lalunya. "—mencarimu."
Selena tampak lebih tenang. Dia mengembuskan napas berat, mengusap pelipisnya sembari menenteng tas mahalnya erat.
"Bagaimana dengan Dion?"
"Drian bersamanya," bisik Damien. "Aku tidak tega membiarkan dia naik bis umum sendiri kalau teman-temannya pulang bersama supir."
"Kita berdua terlihat seperti orang tua yang payah," gumam Selena dingin. Matanya kembali mengiris jantung Damien kala iris itu mengerling tajam. "Masih tetap ingin di sini?"
"Bisakah aku duduk sebentar untuk mengucap salam pada temanmu?"
Selena mengangguk. Dia membiarkan sang suami kembali pada gundukan tanah itu. Menatap batu nisan bertuliskan Sahara bersama marganya, Seika.
Lama Selena berdiri dalam diam. Pandangan matanya tak lepas dari sosok sang suami yang masih berjongkok. Memejamkan mata dengan khusyuk, dan kemudian bangkit berdiri.
"Semoga dia tenang di sana."
Selena hanya diam.
"Kau pasti terkejut karena dia pergi terlalu cepat," bisik Selena saat dia mengekori sang suami melintasi jalan setapak untuk keluar dari area pemakaman.
"Kenapa?"
Selena menghela napas. "Aku tidak mau membahasnya," dia menatap mobilnya. "Kau atau aku yang menjemput Dion di kediaman Berry?"
"Biar aku saja. Kau istirahatlah di rumah."
Sebelum Damien beranjak, dia merasakan ada tangan lain meraih lengannya. Damien mengernyitkan alis, sesekali mengintip ekspresi pias sang istri.
"Kau tahu darimana aku di sini?"
"Ayahmu," balas Damien samar. "Kau keberatan?"
"Tidak sama sekali," ujarnya dengan tarikan napas. "Aku baru saja bertemu dengannya. Sebelum Papa benar-benar sibuk, aku ingin bicara dengannya."
"Sesekali, undanglah dia untuk makan malam ke rumah. Tidak hanya ayahmu, ibumu juga tidak masalah," bisik Damien. Melepas pegangan tangan sang istri sebelum dia berjalan pergi melintasi jalan menuju mobilnya.
Selena terdiam kaku. Menatap datar pada Audi SUV yang perlahan menjauh itu sebelum sinar matanya meredup.
Kau lihat dia, Sahara? Dia Marcuss Damien, nama yang tertulis di buku catatanmu kala itu.
Di musim dingin. Saat salju turun. Dan saat aku berdarah untuk pertama kali karena cacian mereka.
***
Selena menghentikan laju mobilnya. Tergesa-gesa turun dari kursi kemudi, membanting pintu mobil Jaguar miliknya dan segera berlari masuk ke dalam. Pertama kali yang ia temui adalah pecahan guci dan kaca tercecer di lantai.
"Rola?"
Mendengar isakan dari seseorang yang meringkuk di pinggir pintu, Selena membeku melihat betapa menyedihkannya Rola saat ini.
"Berhenti! Jangan sakiti aku!"
Dia berteriak pilu. Menyingkirkan tangan Selena sampai mencakarnya. Membuat titik-titik noda merah timbul di kulit lengan Selena karena kuku tajamnya.
Selena tidak bereaksi selama beberapa detik berlalu. Membiarkan Rola meringkuk dengan tubuh gemetar hebat. Dia tidak seperti Rola yang Selena kenal. Kembali, Selena mencoba menyentuhnya, dia mendengar cacian itu terlontar.
"Pergi, dasar keluarga Akasuna b******n!"
Akasuna?
Selena mengerutkan alis. Menatap Rola dengan pandangan selidik ketika dia mendekati perempuan itu, menarik Rola agar mau menatapnya. "Ada apa? Siapa yang datang?"
"Keluarga mantan suamiku, Selena," isak Rola pilu. "Dia menghancurkan rumah ini. Rumah ibuku. Apa yang harus aku lakukan?"
"Keluarga mantan suamimu?" Selena membeo tak percaya. "Apa? Tapi, kenapa? Bukankah, dia seharusnya—,"
"Apa salahku, Selena? Kenapa mereka harus menggangguku? Aku tidak berkaitan dengan keluarga mereka lagi. Kematian Akasuna Teddy bukan karena aku!"
Rola menjerit sekali lagi. Teriakannya menggema sampai membuat beberapa orang yang lewat, berpaling dua kali untuk melihat.
"Kau harus tenang," Selena menahan kedua lengan Rola. "Kau harus tenang," bisiknya.
Tangis Rola mereda. Tetapi, sinar matanya yang penuh luka tidak bisa berbohong. Airmata itu tidak berhenti menetes. Terus-menerus membuat kelopak mata itu bengkak, dan wajah itu berubah sembab.
"Uang yang kau berikan, aku sisihkan untuk mereka. Aku takut mereka menyakitiku. Aku sudah katakan pada mereka untuk tutup mulut. Aku bilang, Teddy tewas malam itu karena mabuk. Tapi, kenapa? Kenapa? Keluarga itu terus menuduhku. Aku takut, Selena."
Selena mendesis tajam. "Kau tidak seharusnya memberikan uang itu pada mereka! Uang itu untukmu!"
Rola menggeleng pahit. "Aku hanya berusaha meringkankan penderitaanku sendiri. Aku benar-benar putus asa, Selena! Kenapa aku tidak mati saja seperti Sahara!?"
Rola terkesiap menemukan tamparan yang Selena berikan demi menarik kewarasannya kembali. Tangan Selena bergetar, telapak tangannya panas selepas menampar pipi Rola dengan keras. "Jangan katakan itu lagi!"
"Apa bedanya antara aku dan Sahara?"
Rola masih terpekur. Diambang batas antara sadar atau tidak ketika dia mengatakan nama sahabatnya yang telah lama berpulang.
"Sahara ... dia—,"
"Berhenti, Rola," tangan Selena semakin gemetar. Menamparnya membuat dadanya berdentam. Selena mencoba meraih bahunya, menyadarkan Rola agar tidak kembali menyebut nama Sahara yang telah lama pergi.
"Berhenti, Rola. Jangan sebut nama Sahara di saat kau terluka."
Rola menatap mata Selena yang retak, mengulurkan tangan dengan tatapan hancur. Sehancur-hancurnya sebagai manusia yang tidak sempurna dan penuh cela. Sebelum airmata itu kembali mengalir, dan Rola menurunkan tangannya dengan isakan pedih.
***
Selena berbalik, terkesiap menemukan ibunya berdiri di ambang batas antara ruang tengah dan ruang makan. Alisnya bertaut satu sama lain, ketika Selena menaruh lap bersih di atas meja. Dan berjalan mendekat ke arah sang ibu yang masih menatapnya dingin.
Seakan-akan kobaran mata berapi-api itu siap melahapnya, Selena menghela napas bosan. Kemudian, terdengar langkah menuruni tangga, dan Damien terpaku selama beberapa detik.
"Mama di sini?"
Kamara Kiara melirik sekilas pada sang menantu. Sebelum dia mendengus, menatap Damien yang benar-benar menginjak lantai dasar. "Dion sudah tidur?"
"Sudah," sahut Damien singkat. Dia melirik sang istri yang berjalan mendekat. "Dia kelelahan karena seharian bermain sembari mengerjakan tugas. Jadi, dia langsung tidur malam ini."
Kiara mencebik masam. "Begitukah? Kau tidak bertanya atau curiga kemana istrimu pergi seharian, Damien?"
Damien bereaksi dengan mengangkat alis. Sebelum dia melirik pada Selena yang mendekat, dan berjalan melewati sang ibu dengan raut ketus.
"Kalau Mama mau bicara, duduk. Jangan berdiri," bisik Selena sebelum dia menaruh tubuh lelahnya di sofa.
Kamara Kiara mendesis sembari berbalik. Membiarkan Damien mengikuti dan pria itu duduk di sebelah Selena.
"Ada apa, Mama?"
Selena menyilangkan kaki. Sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran sang ibu. Dari ekspresinya sekarang, Damien tahu benar kalau ibu mertuanya sedang kesal pada putri semata wayangnya.
"Jangan sampai Hermes ini mendarat di wajahmu juga, Selena," bisik Kiara tajam.
Damien tercenung. Matanya berulang kali menatap Selena dan ibu mertuanya bergantian.
"Kau membuatku kesal. Bisakah kau berhenti bertemu Rola?"
Kedua iris teduh itu bergulir. Menatap ibunya tanpa ekspresi berarti, sebelum bibir itu terlipat ke dalam, dan Selena menarik napas panjang.
"Rola tidak ada kaitannya dengan ini. Mama yang berlebihan menanggapinya. Kami hanya—,"
"Damien," panggil Kiara tajam. "Sebaiknya, kau larang istrimu bersama Rola. Biar kuberitahu satu hal, Rola ini berbahaya. Mungkin, dia tidak terlihat aneh atau polos secara bersamaan. Tapi, perempuan itu licik. Selena terpedaya bertahun-tahun karenanya. Juga Dion, tolong awasi—,"
"Maaf menyela, Mama. Tapi, ada baiknya Mama berhenti ikut campur. Untuk apa Mama memberi peringatan pada suamiku?" Selena menatap ibunya datar. "Mama terusik karena Rola, atau Mama merasa aku begitu keras kepala karena mengutamakan Rola di kehidupanku?"
Damien hanya diam. Mencerna pembicaraan di antara ibu dan anak itu, sebelum dia menghela napas.
"Ada apa dengan Rola?" Damien balas bertanya. "Di dalam penglihatanku, dia bukan termasuk kategori berbahaya. Kenapa aku harus menjauhkan istri dan anakku darinya, Mama?"
Tangan Kiara terkepal. "Kalau kau tidak mendengarkanku, kau akan menyesal nanti, Damien. Ada baiknya, dengarkan aku. Dengarkan ibu mertuamu. Yang benar-benar mengerti apa yang kau rasakan, apa yang kau alami selama ini."
"Aku ingin tertawa sekarang," Selena meremas lututnya sendiri dengan senyum manis. Ketika matanya bersirobok dengan manik pekat sang suami. "Orang lain tahu benar tentang kehidupan rumah tanggaku. Sangat baik. Bahkan, lebih baik dari diriku sendiri. Wah, hebat sekali."
Sebelum Kamara Kiara kembali naik darah, Damien mengulurkan tangannya guna meremas tangan sang istri. Memberinya peringatan untuk tetap tenang, dan Selena menghela napas setelahnya. Melirik Damien sebentar, lalu membuang muka.
"Aku benar-benar kesal padamu sekarang, Selena."
Kiara bangun dari sofa. Menggeleng saat Damien ingin mengantarnya pergi, dan Damien kembali pada tempatnya. Duduk di sebelah sang istri yang masih membisu. Sama sekali enggan menatap kepergian ibunya.
"Kenapa ibumu begitu membenci Rola?"
Selena menggeleng lemah. "Aku sendiri tidak tahu," bola matanya bergulir menatap langit-langit rumah. "Rola sahabatku. Satu-satunya teman yang kupunya selain Sahara. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dia."
Damien terdiam selama beberapa saat. Sedikit membungkuk ke depan, dan tidak sama sekali memalingkan wajahnya dari wajah sang istri yang luruh, karena terguncang berkat kedatangan Kamara Kiara.
"Satu-satunya keluarga?"
Selena menunduk. Memakukan tatapan mereka berdua dan menghela napas panjang. "Saat aku remaja, hanya mereka yang menemaniku. Aku tidak pandai bergaul. Mereka dengan tangan terbuka mau menerimaku."
Damien mulai tidak mengerti. "Tetapi, kenapa ibumu terlihat membenci Rola? Apa dia juga membenci Sahara?"
"Mama tidak mengenal Sahara," bisik Selena parau. "Sama sekali tidak tahu."
"Hanya Papa, hanya dia yang tahu," kata Selena dengan kedua mata mulai menggenang. "Aku tidak terlalu banyak bercerita tentang Sahara."
Selena menahan getir pada bibirnya. Saat jemarinya terulas untuk menyentuh lembut pipi sang suami. "Sampai detik ini, Rola tetap keluargaku. Kalau kau menuruti apa kata Mama, sama saja kau membunuhku."
"Bagaimana Dion dan aku di matamu?"
"Kalian—," Selena menarik napas. Berusaha mengusir sesak yang menggumpal di d**a. Dan bagaimana kedua matanya berusaha keras untuk tidak menumpahkan airmata. "—segalanya."
"Segalanya untukku."
Selena menunduk. Menekan kedua matanya sendiri yang terpejam. Dia sendiri tidak tahu, merasa heran dengan dirinya sendiri. Kenapa dia menangis? Apa alasan dia menangis? Di depan suaminya yang membeku sekarang.
"Selena,"
"Berbalik. Jangan lihat aku," gerutunya sembari mengusap airmatanya sendiri.
Damien hanya mendengus. Dorongan pada bahunya sama sekali tidak berimbas apa pun, dia hanya bergeser. Dan semakin rapat dengan sang istri yang mulai terlihat menjaga jarak.
"Kenapa bergeser?"
"Kau yang kenapa?" Selena menatap mata suaminya.
"Melihatmu menangis sekarang, itu sangat berharga. Aku terbiasa melihatmu tertawa dan tersenyum. Dan itu belum cukup," kata Damien lamat. "Saat pernikahan kita, kau juga tidak menangis. Saat aku terluka, kau tidak menunjukkan reaksi sama. Bahkan, saat Dion terjatuh dari sepeda, kau tidak menunjukkan tanda-tanda gelisah atau takut."
Selena menghela napas. "Begitukah?"
Kepala Damien terangguk. "Gio sempat bertanya padaku, sebenarnya Marcuss Damien menikahi manusia atau tembok rumah? Aku pikir tidak keduanya."
Selena mendengus.
"Dengar, aku membebaskanmu. Aku tidak akan melarangmu berdekatan dengan Rola. Aku ingin memahamimu," suara Damien terdengar bingung. "Mungkin, kalau aku tidak bisa menjadi suami yang baik selama ini, aku akan berusaha. Dengan tidak melarangmu, atau mengekangmu."
Kembali, pria itu menghela napas.
"Tapi, kalau kau terluka ... sebaiknya kau bicara," Damien kembali menatap matanya. "Kau sendiri suka memaksa aku untuk bercerita tentang hari dan masalahku. Kenapa aku tidak bisa lakukan hal yang sama?"
Selena tidak tahu harus berkata apa sekarang. Kilasan tentang ucapan sang ayah, nasihat yang dia berikan, bersama kepingan kenangan yang terpenggal hilang di masa lalunya, telah kembali.
Damien terdiam. Merasakan pelukan itu membawa tubuhnya semakin rapat. Selena menyembunyikan kepala di bahunya, menarik napas dalam-dalam dan tidak katakan apa pun lagi.
Membuat Damien mendengus, diam-diam membiarkan wanita itu melakukan apa yang dia mau, tanpa bisa dia melarangnya.
Marcuss Dion termenung. Berdiri diam di undakan anak tangga kedelapan. Mematung tanpa suara, dengan pandangan menatap lekat pada sosok kedua orangtuanya yang belum beristirahat di kamar.
Bibir anak itu bergetar. Menemukan ibunya berusaha memeluk sang ayah, dan kemudian terdengar suara tawa dari sofa ruang tengah.
Dion menunduk. Berusaha mengulas satu senyuman yang membuat dadanya membuncah karena bahagia. Sinar matanya berubah, membuat senyum itu perlahan-lahan kembali.
Mama dan Papa baik-baik saja.
Mereka hanya tidak mau menunjukkan pada dunia arti dari kasih sayang antar sesama pasangan.
Dan Dion mulai mengerti sekarang.
***
Perhelatan malam tahunan ini cukup meriah. Sebelum Jepang menyambut salju, mereka beramai-ramai datang ke aula terbesar yang ada di Tokyo untuk mengadakan pesta. Banyak kolega bertemu satu sama lain. Banyak yang menebar rayuan agar mau menjalin kerjasama demi keuntungan bersama.
"Mamamu tidak datang, kan?"
Selena bertanya sembari melepas sabuk pengaman. Dia sebenarnya malas datang. Tapi, sang suami memaksa dan memilih untuk tidur di rumah kalau istrinya tidak mau menemani. Apa boleh buat? Reputasi Damien sedikit terguncang ulah Marcuss Regan, dan Selena tidak mau duka suaminya berlarut-larut.
"Aku rasa, Regan yang datang," sahut Damien masam. Berjalan ke luar dari mobil, dan dia terlambat kala Selena sudah berdiri di tepi mobil sembari merapikan gaun malamnya.
"Ayo."
Selena berjalan, tidak lupa menggandeng tangan sang suami saat mereka menaiki tangga. Dan pihak keamanan yang berjaga ketat di depan pintu, segera membungkuk menyambut tamu satu-persatu dengan ramah.
"Aku sebenarnya tidak bisa meninggalkan Dion di rumah sendiri," Selena berbisik saat dia memasang senyum manis karena melihat beberapa rekan sesama di kampus dulu.
"Setelah pembukaan seleGio, kita bisa kembali."
Selena menarik lengan sang suami agar berhenti berjalan. "Bagaimana dengan amalnya? Mau melewatkan hal itu juga?"
Damien mengangkat bahu. "Kalau kau bosan, kita bisa kembali lebih awal," dia berdeham. "Yang terpenting, aku dan dirimu sudah menyetor muka di hadapan mereka."
Selena mendengus.
"Selena!"
"Saphira di sana," Selena berjalan mendekat. Saat tetangga sekaligus teman baiknya selama mereka ada di distrik yang sama menyapa. Saphira datang bersama suaminya. Gio yang tampak tenang menegak champagne.
"Bukankah, suamimu punya masalah dengan champagne, Saphira?"
Saphira mengendik masam. "Kalau hanya dua gelas, dia baik-baik saja. Kalau selebihnya dia alergi, aku tidak mau tahu," ketusnya.
Selena menahan senyumnya.
"Selamat malam," sapa Saphira pada Damien yang mendekat. "Kita berdua seperti pasangan kekasih yang sedang berkencan. Melupakan anak kita di rumah," gumamnya sembari terkikik.
"Apa yang Lawson lakukan malam ini?"
"Dia bermain di kamarnya, Selena," balas Gio dengan senyum. "Saat aku berpamitan, anak itu malah mengusirku pergi."
Saphira mendengus menahan tawa. "Benar-benar. Dia bebas sekali kalau orang tuanya tidak rumah."
"Apa yang Dion lakukan di rumah?"
"Tidur," balas Damien singkat. "Dia kelelahan karena belajar. Aku mengecek kamarnya, dan dia sedang tidur pulas."
"Sangat kontras, ya," ujar Saphira masih dengan senyum. Meratap bagaimana perbedaan menjulang antara putranya dan putra Selena.
"Sebentar, aku ingin mencari minum," Selena menepuk lengan Saphira sepintas, dan dia mengerling ke meja minuman. Mencari minuman ringan yang bisa menuntaskan rasa kering pada tenggorokan.
"Ada yang kau incar di sini, Damien?"
"Mencari muka pada investor baru? Yang setidaknya berkompeten, dan tidak mudah terhasut oleh rayuan Regan," bisik Damien masam.
Gio mengangguk. "Di sebelah sana, ada pemilik ritel restauran berbintang di Tokyo dan Osaka. Baru saja membuka cabang di Italia, kau mungkin mau mencoba?"
"Aku sama sekali tidak berniat bisnis ke kuliner," sela Damien. "Aku mencari beberapa investor yang cocok di bidang faAster."
"Tidak mau mencoba kosmetik? Pasaran zaman sekarang, kosmetik benar-benar menjadi kebutuhan kaum hawa. Kupikir, kau bisa mencoba?"
Damien mengernyit. "Aku tidak terlalu paham karena bukan bidangku," balasnya. "Aku akan berdiskusi dengan Selena setelah ini."
"Yang terpenting, kepercayaan. Kau bisa mendapatkan keuntungan berlipat kalau mereka sudah menaruh harapan dan kepercayaan itu padamu," Gio menepuk bahunya. Dan mengangguk saat Selena mendekat dengan dua gelas jus jeruk.
"Sudah mulai bosan?"
Selena mengangkat alis saat sang suami menerima uluran gelas minuman dari tangannya. "Kita belum sampai sepuluh menit, kau sudah bertanya seperti itu?"
Damien menegak jus jeruknya dengan tatapan datar. "Siapa tahu," katanya.
Selena mencibir. Kembali mencicipi rasa asam bercampur manis yang tidak terlalu pekat. Saat Damien berkeliling, memanjakan mata dan seketika mendesah.
"Aku yang bosan," keluhnya. "Mau berjalan-jalan?"
"Kemana?"
"Berkeliling aula ini?" Damien menawarkan diri. "Sebelum acara dimulai. Kita bisa datang dan duduk sebentar, lalu meninggalkan acara."
"Di luar cerah, kan?"
"Sepertinya." Damien hanya mengangkat bahu.
Sebelum dia berjalan, Damien terkesiap menemukan Marcuss Regan berjalan masuk dengan senyum lebar. Menampilkan raut ramah yang dibuat sesempurna mungkin, dan bersama perempuan manis di sisinya.
"Rola?"
Pandangan Damien segera merunduk pada sang istri yang ikut membeku. Selena tidak menampilkan raut apa pun selain datar. Matanya menatap lekat pada Rola yang menunduk. Malu menjadi pusat perhatian.
"Rola dan Regan?" Damien masih membeo tidak percaya.
Tangan Selena terkepal. Menyadari tangan Rola melingkari lengan Regan begitu erat. Seakan takut, takut terjatuh atau takut tersandung. Perempuan itu berkali-kali melempar senyum, berusaha senatural mungkin tampil di depan publik bersama Regan malam ini.
Bibir Selena menipis. Lipatan bibir itu mengeras saat dengan gerakan lambat, dia menaruh gelasnya di atas meja.
Selena tahu ulah siapa ini.
Damien tak lantas bertanya begitu saja. Iris kelamnya terus memaku kemana Regan berjalan. Dengan berbasa-basi yang sudah menjadi ciri khas, kakak tertuanya menyapa beberapa kolega.
Tangan Rola setia melingkari lengan Regan. Beberapa kali Damien menangkap perempuan itu tampak kesulitan, tampak canggung dan bingung.
"Rola," bisik Selena serak.
Damien menoleh ke arahnya. Menyadari ekspresi pias Selena yang retak, dia segera menghadang pemandangan itu. Membuat kedua manik itu mengerjap, merambat naik ke matanya dan menyipit. "Kenapa?"
"Aku tidak mau kau berbuat anarkis di sini," kata Damien. Bercanda. Tapi, candaannya tidak tepat sekarang. Karena Selena benar-benar memasang wajah masam.
Yamanaka Saphira menatap datar pada Marcuss Regan. Begitu pula dengan sang suami yang sama tidak tertariknya memandang si pencari perhatian dengan mencuri semua atensi bersama perempuan lain yang datang bersamanya.
Rola menatap pias ke arah pintu masuk. Bersamaan Selena yang berjalan ke luar tanpa lagi melihat ke arahnya, membuat Rola harus menahan getir bercampur luka. Kepalanya tertunduk semakin dalam, dan merasakan cengkraman pada lengannya, membuat kepalanya terdongak.
"Dengar, kau bersamaku malam ini. Jangan macam-macam," ancam Regan dengan desisan sambil lalu.
Rola hanya diam. Sekali lagi, dia hanya mampu diam. Bukankah, mereka yang memiliki uang pasti keluar sebagai pemenang?
***
Damien menunduk. Menatap heels bermerk Christian Louboutin yang menghias alas kaki istrinya dengan kerutan di alis.
Selena tersentak. Tanpa bicara satu kata pun saat dia memilih untuk berjalan ke luar dari aula, dan berjalan-jalan mencari udara segar karena begitu sesak di dalam terasa.
"Sebentar."
Damien lantas berjongkok. Memeriksa lecet yang membekas di jari kelingking kaki istrinya. Selena terlihat kesulitan saat berjalan, gesekan itu rupanya berhasil melukai kulit kakinya.
"Kenapa tiba-tiba?"
Damien tidak menjawab. Dia melihat ukuran kaki istrinya, dan beralih pada heels berwarna putih di sebelahnya.
"Kalau sudah sempit, kenapa memaksa masih digunakan? Kau bisa membuangnya."
"Buang?" Selena mengernyitkan alis. "Kenapa harus? Kau tidak suka dengan hadiah yang kau berikan padaku?"
"Selena," Damien menurunkan kaki istrinya dari genggaman tangan. "Bukan karena itu. Aku membelikan ini saat usia Dion masih lima tahun. Sekarang, usianya nyaris sebelas. Sudah lima tahun kau menyimpan sepatu ini."
"Oh," Selena menghela napas. "Masih bagus."
Damien baru saja bangun, dan Selena menyentak dengan kalimatnya. "Mau ke mana?"
"Mencari plester," Damien mengendik pada kulit Selena yang terluka. "Kakimu terluka."
Selena mendengus. Ekspresi kakunya pecah saat dia meminta Damien untuk duduk. "Biarkan saja. Lukanya akan mengering sendiri."
Damien berpikir sebentar. Meneliti ekspresi sang istri yang tidak lagi menahan sakit, Damien dengan berat hati, menurut. Dia duduk di sebelah Selena, menautkan kedua tangannya.
"Tentang Rola ..."
Raut wajah Selena berubah dingin.
"—kalian sedekat apa?"
"Sama seperti hubunganku dengan Sahara," balas Selena pelan. "Kami bersahabat."
Damien menghela napas. "Tapi, mengapa ibumu tampak tidak suka? Dia seperti membenci Rola."
Selena hanya diam. Malam ini, mereka ditemani bulan dan suara hewan malam yang samar-samar menyapa.
"Ada kesalahpahaman," kata Selena. Mendongak menatap bulan dengan tatapan getir. "Semua orang membenci Rola."
"Kau tidak membencinya."
"Aku menyayanginya," sahut Selena datar.
Dengan tarikan napas panjang, Damien ikut menerawang memandang bulan yang bersinar. Mereka jarang bisa menghabiskan waktu bersama menikmati udara dan malam seperti ini. Mengagumkan kalau mereka benar-benar bisa duduk berdua, menikmati malam dengan tenang.
"Sebelum aku memiliki kau dan Dion, aku merasa kosong. Bahkan, saat Dion lahir, aku masih merasakan hal yang sama. Mereka bilang, anak adalah penyelamat. Semula, aku menganggap itu semua omong kosong."
Selena menautkan jemarinya dengan senyum pedih. "Lalu, saat Dion untuk pertama kalinya memanggilku Mama, aku tahu, kalau aku belum sepenuhnya mati. Aku hanya berusaha melindungi diriku sendiri."
"Dari apa?"
"Dari luka dan hancurnya ekspetasiku sendiri."
Selena mengembuskan napas. Memandang datar pada semak-semak yang terawat rapi dan terlihat rimbun.
"Menyedihkan saat kau tahu lukaku, tapi aku sama sekali tidak tahu tentang lukamu," bisik Damien lirih.
Selena hanya diam. Kembali memandang langit dengan tatapan pias. Sinar rembulan memantul di kedua iris beningnya.
"Sejak kapan?"
Damien menoleh tak mengerti.
"Sejak kapan kau menyimpan rasa itu padaku?"
Damien balas mengembuskan napas. Memaku datar pada lampu-lampu taman yang menyala otomatis ketika malam bersambut.
"Entahlah."
"Apa kau tidak merasa patah hati, karena cintamu bertepuk sebelah tangan?"
Damien kembali menoleh. "Apa kau punya pria idaman lain?"
Selena menahan senyum menemukan mimik pria itu tampak menahan pedih. Sorot matanya berubah luka. Dan Selena tidak bisa berlama-lama menyimpan senyumnya.
"Tidak ada."
"Kalau begitu, untuk apa aku patah hati?"
"Karena aku tidak punya rasa yang sama," gumam Selena lamat. Menatap telapak tangannya sendiri datar.
"Tidak apa."
Selena menengadah. Sesekali melirik sang suami yang bersuara tanpa menatapnya.
"Sepuluh tahun sudah aku merasakannya sendiri, sepuluh tahun nanti bukan sesuatu yang berat. Aku bisa menahannya."
Bibir Selena menipis.
"Kau bersamaku sekarang. Dan yang perlu kulakukan, hanya menjagamu. Memberikan apa yang aku punya hanya agar kau bertahan. Aku tidak apa saat kau selalu berkata, kau bertahan hanya demi anak. Hanya demi Dion.
Dan aku bukan prioritas atau sesuatu yang berharga untukmu, aku tidak apa."
Selena menatap Damien penuh arti.
"Aku juga terkadang lelah," bisik Damien lagi. "Manusia biasa punya keterbatasan. Setiap aku melihatmu, yang kubayangkan adalah masa-masa dimana aku—," Damien menghela napas. "—jatuh cinta. Jadi, aku bertahan."
"Apa itu menyenangkan?"
Damien beralih untuk menatap mata sang istri.
"Jatuh cinta?"
Damien tidak tahu harus menjawab apa. Saat dia meraih lengan istrinya agar lebih dekat, memangkas jarak di antara mereka dengan kecupan singkat.
"Sepuluh tahun berlalu, dan aku masih berdebar karenamu."
Selena meremas tangannya. Sebelum tangan itu terulur, mengusap rahang sang suami dengan usapan ringan, lalu tersenyum manis.
"Terima kasih."
Damien tidak perlu menunggu lama sampai Selena benar-benar menyeleGiokan kalimatnya. Dia lantas memunduk, merapatkan jarak di antara mereka dengan bibir saling memagut.
Sepuluh tahun, dan rasa itu masih tetap sama.