Chapter 2 - Touch Me Again?

1672 Words
Suara burung yang saling bersautan terdengar samar-samar dari luar kaca jendela apartemen. Waktu menunjukkan pukul lima lewat lima pagi. Udara pagi kota metropolitan yang sibuk ini terasa masih sejuk. Belum bercampur dengan panasnya sinar matahari dan asap kendaraan. Sebagian besar insan mungkin sudah ada yang terbangun. Sekadar sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja, atau sedang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah sekolah. Bahkan mungkin, ada juga yang sedang berdoa di waktu sepagi ini. Berbeda sekali dengan Vino. Semalam Vino memang tidur. Tubuhnya dirundung rasa kelelahan, akibat percintaan panasnya yang terasa begitu nikmat dengan perempuan yang begitu dicintainya. Setelah merasakan nikmatnya surga dunia yang membawanya terbang sampai ke awang-awang, Vino akhirnya jatuh terlelap. Namun tidak lama. Hanya tiga jam Vino tidur sebelum akhirnya bangun lagi. Termakan oleh pikiran-pikirannya sendiri. Sisa waktu yang seharusnya Vino gunakan untuk tidur, malah  dihabiskannya untuk berpikir .. terus berpikir sepanjang malam. Vino gelisah. Tubuhnya tidak bisa diam, terus berganti posisi dan bergerak tak menentu di atas ranjangnya. Mulai dari tidur menyamping, telentang, sampai akhirnya Vino memutuskan untuk duduk bersandar saja di depan kepala kasurnya. Jika tidak ada Irene yang sedang terlelap di sampingnya, Vino pasti sudah menyalakan sebatang rokoknya sekarang. Menghirup nikotin terkadang memang mampu membuat Vino merasa sedikit lebih tenang. Tanpa sadar, kegelisahan Vino akhirnya membuat Irene terbangun dari tidur cantiknya. Siapa juga kan yang bisa tidur nyenyak di samping orang yang bergerak-gerak terus? Irene membuka kedua mata indahnya perlahan. Padahal Irene masih merasa ngantuk sekali. Dan jika bukan karena Vino, Irene pasti tidak akan bangun sekarang. Maklum, Irene Mariana memang bukan tipikal 'morning person' alias orang yang rajin bangun pagi. "Kamu nggak tidur?" tanya Irene dengan nyawanya yang baru terkumpul setengah. Bukannya menjawab pertanyaan Irene, Vino malah minta maaf. Vino mengelus pipi mulus Irene dengan jari-jari tangannya, "Maaf ya, gara-gara aku kamu jadi kebangun." Irene tersenyum manis, "Nggak apa-apa." Irene kembali bertanya, "Ada masalah?" Kali ini Vino sama sekali tidak merespon. Karena sudah tidak bisa tidur lagi, Irene akhirnya memutuskan bangun dari ranjang tempat tidur Vino. Meskipun nyawanya masih tertinggal setengah di antah berantah, Irene sadar betul kalau kausnya dirobek Vino tadi malam. Reflek, Irene langsung berjalan menuju lemari pakaian Vino, mengambil sebuah kaus oblong hitam bertuliskan 'Hard Rock FM Bali' milik Vino yang terlihat begitu kebesaran di tubuh mungilnya, lalu mulai mengenakannya. Meskipun kausnya kebesaran, tapi hal ini malah menguntungkan buat Irene, karena Irene jadi tak usah repot-repot pakai celana lagi. Toh kaus kebesaran itu sudah menutupi tubuhnya sampai sebatas paha. Tanpa banyak omong, Irene langsung berjalan santai menuju dapur apartemen Vino. Mulai sibuk menyiapkan sarapan, atau apapun yang bisa dimakan dan dijadikan sarapan. Apartemen memang Vino berbentuk studio. Kamar tidur, ruang tamu, dapur sampai ruang makan, semua berada di satu ruangan. Kecuali kamar mandi tentunya. Terpisah sendiri. Terlihat sumpek memang, tapi kalau harga sewa per bulannya jauh lebih murah, kenapa tidak. "Kamu punya makanan apa?" tanya Irene sambil menggeledah kulkas kecil yang tergeletak persis di pojok apartemen Vino. Vino, yang daritadi masih duduk di atas ranjangnya, tak bisa berhenti memandangi perempuan yang begitu dicintainya itu. Bagaimana tubuh mungilnya bergerak sibuk ke sana ke mari. Bagaimana kaus hitam miliknya yang terlihat begitu kebesaran itu menutupi tubuh mungilnya. Rambut coklat panjangnya yang masih terlihat sedikit acak-acakan. Wajahnya yang terlihat sedikit pucat karena baru bangun tidur. Ah, dan jangan lupa juga bahwa Irene tidak memakai bra ataupun panties untuk menutupi daerah pribadinya. Benar-benar polos, hanya kaus kebesaran milik Vino yang menutupi tubuh indahnya. Irene langsung mendengus kesal begitu melihat Vino yang daritadi hanya terdiam sambil memperhatikannya, tanpa melakukan apa-apa. "Kamu ngeliatin apa sih? Bantuin dong, Vino. Aku lapar," kata Irene kesal. Vino tersenyum manis dan akhirnya bangkit berdiri dari ranjangnya. Dengan tubuh yang masih polos, tak tertutup sehelai benangpun, Vino berjalan perlahan mendekati Irene lalu beranjak memeluk tubuh mungilnya dari belakang. "Aku cuman punya roti sama selai kacang, sayang," kata Vino manja. "Di mana?" tanya Irene penasaran, yang nampaknya lebih mementingkan urusan perutnya dibanding dengan pelukan erat Vino dan bibirnya yang mulai menciumi leher mulusnya perlahan. Vino mencium tengkuk Irene sekilas, "Dekat rice cooker." Irene melepas pelukan Vino perlahan lalu setelahnya berjalan menuju rice cooker. Mengambil dua potong roti tawar dan setoples selai kacang untuk dirinya sendiri. "Buat aku mana?" tanya Vino sembari menaikkan satu alisnya. Irene tersenyum geli. "Kamu buat sendiri," jawab Irene. Rupanya memang benar, kalau soal perut, yang kawan bisa jadi lawan. Tanpa mempedulikan sikap Irene yang jadi sedikit berubah karena lapar, Vino malah kembali memeluk tubuh mungil Irene dari belakang. Lambat laun, Irene akhirnya meleleh juga. Sebuah senyum manis terpatri di wajah cantik Irene saat sedang mengoleskan selai kacang di atas rotinya. "Kamu mau makan apa mau 'itu'?" goda Irene. "Aku mau makan .. Tapi kan udara masih dingin, jadi aku butuh kehangatan," jawab Vino yang tak kalah menggodanya. Senyum di wajah cantik Irene melebar. "Bagaimana nggak dingin, Vino, kamu saja nggak pakai baju," goda Irene lagi. Setelahnya, Vino beralih mencium pucuk kepala Irene dalam-dalam. Irene, yang tak menggunakan apapun selain kaus kebesaran milik Vino, tersadar kalau ada sesuatu yang terasa mengeras di bawah sana. Sementara Vino, nampaknya tahu bahwa Irene sudah sadar kalau miliknya sudah mengeras lagi. Vino mengeratkan pelukannya, lalu perlahan tangan-tangan nakalnya mulai masuk menelusup masuk ke balik kaus kebesarannya yang sedang digunakan Irene. Mencoba menggeledah dan mencari-cari di mana letak milik Irene. Irene langsung mendesah begitu jari-jari tangan Vino akhirnya berhasil menyentuh daerah lipatan dagingnya. "Ahh Vino .. Masih pagi ..," desah Irene. Napasnya mulai sedikit terengah-engah. Tubuhnya mulai terasa panas, seolah-olah ada bara api yang tak pernah padam di tubuhnya. Vino menyeringai nakal lalu berbisik tepat di depan telinga Irene, "Once more, please?" Sementara Irene, sama sekali tak menolak. Mungkin tak akan bisa menolak. Padahal tadinya Irene berencana setelah makan pagi, mau bicara empat mata dengan laki-laki yang begitu dicintainya itu. Namun takdir malah berkata lain. Perlahan, Vino membalikkan tubuh mungil Irene, lalu beranjak menciumi bibir kemerahannya itu dengan lembut. Vino menggigit bibir bawah Irene lalu menelusupkan lidahnya masuk, mengeksplor mulut Irene yang terasa begitu hangat. Irene, yang paham betul keinginan laki-laki ganteng yang sedang menciumi bibirnya ini, refleks langsung mencari-cari di mana milik Vino yang sudah menegang itu. Irene langsung menyentuh dan meremas lembut milik Vino yang sudah mengeras dan menegang sempurna. Membuat Vino mendesah, tak kuasa merasakan betapa nikmatnya saat miliknya diremas sedemikian rupa. "I love you so much, Irene ..," bisik Vino di tengah-tengah percintaan panasnya. Setelahnya, Vino membawa Irene menuju ruang makannya. Vino menarik sebuah kursi, lalu dengan cekatan langsung duduk di sana. Menampilkan miliknya, yang terlihat sudah begitu menegang dan mengeras sempurna. Tanpa aba-aba, Irene langsung duduk di atas pangkuan tubuh Vino. Tubuhnya yang mungil sama sekali bukan masalah jika Vino harus memangkunya selama berjam-jam. Keduanya tersenyum manja sambil saling memandang wajah satu sama lain. Irene mengalungkan tangannya di sekitaran pundak Vino yang begitu bidang dengan manja. Irene tersenyum manis lalu menggoda Vino. "Sepertinya apa yang dibilang guru Biologi aku dulu ada benarnya juga. Katanya kalau pagi, milik laki-laki itu pasti 'berdiri'," goda Irene. Vino menyeringai nakal, "Kamu pandai, sayang." Sebagai lelaki, sudah pasti Vino tahu kalau miiknya itu punya kebiasaan 'bangun' di pagi hari. Apalagi kalau cuaca sedang sejuk dan dingin seperti ini. Tanpa menunggu lama, kedua tangan Vino langsung bergerak, menelusup masuk ke dalam kaus kebesaran yang dikenakan Irene. Tangan-tangan yang nakal itu mulai bergerak, meremas puncak gunung kembar milik Irene yang juga sudah mengeras itu. Remasan tangan Vino di kedua gundukan ranumnya selalu berhasil membuat Irene mendesah, "Ahh Vino.." Irene, yang sama nakalnya dengan Vino, mulai menaikkan perlahan kaus yang dikenakannya. Membuat paha mulus dan miliknya yang sudah basah itu semakin terekspos bebas di hadapan Vino. Karena sudah begitu dirundung gairah, dengan tidak sabarannya, Vino akhirnya langsung memasukkan miliknya ke dalam milik Irene dengan sekali hentakan. Rasa nikmat langsung menjalari tubuh keduanya. Remasan tangan Vino yang begitu lihai di kedua gundukan ranum Irene semakin membabi buta, membuat Irene tak henti-hentinya mendesah. "Ahh! Ahh Vino ..," desah Irene. Vino mencium bibir Irene sekilas, "Move, baby." Irene mulai bergerak dengan tempo cepat, menggerakkan tubuhnya ke atas dan ke bawah. Membawa milik Vino semakin terbenam jauh di dalam miliknya yang sudah begitu basah. Desahan dan erangan nikmat terus keluar dari mulut keduanya. Sepertinya tetangga Vino yang sudah bangun akan sadar dengan erangan nikmat keduanya. Semoga saja tetangganya tidak memiliki anak kecil. "Punyamu benar-benar nikmat, sayang ..," erang Vino. Bagi Vino dan Irene, posisi ini merupakan posisi yang paling nikmat. Posisi dimana Irene duduk manja di atas pangkuan paha Vino yang kokoh, lalu setelahnya mulai bergerak kasar ke atas dan ke bawah, membungkus milik Vino dengan begitu erat. Kedua tangan Vino bergerak perlahan menuju b****g mulus Irene, lalu setelahnya jari-jari tangannya yang nakal itu mulai meremasnya dengan lembut. Gerakan Irene semakin kasar dan cepat. Kedua tangannya kini mencengkeram pundak bidang milik Vino. Terus bergerak naik dan turun, membangkitkan gairah kenikmatan yang sebentar lagi akan segera meledak dalam dirinya. "Ahh aku mau keluar, Vino ..," desah Irene. Dan setelah beberapa hentakan yang begitu cepat nan kasar, akhirnya keduanya sama-sama mencapai puncak kenikmatannya masing-masing. "Ahh Vino!" desah Irene kencang. "Oh, Irene ..," erang Vino sambil mengeluarkan benih cintanya yang begitu banyak di dalam rahim Irene. Dengan tenaga yang tersisa tinggal setengah, Irene bangun perlahan dari pangkuan Vino. Sama halnya dengan Vino, yang setelahnya bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju ranjangnya. Memakai kembali pakaiannya yang tercecer tak beraturan di atas lantai apartemennya yang dingin. Sementara Irene, kembali berkutat dengan roti selai kacangnya. Perutnya tambah lapar, apalagi setelah percintaan panasnya. Vino berjalan santai menghampiri Irene lalu setelahnya beralih mengambil dua lembar roti tawar yang tergeletak di atas meja kacanya untuk dimakan. "Kamu mau cerita sekarang?" tanya Irene setelah menggigit roti selai kacangnya. "Soal apa?" tanya Vino yang sedang sibuk mengolesi selai kacang di atas rotinya. Irene menatap Vino khawatir, "Kamu lagi ada masalah kan? Soal apa, Vino? Biaya sewa apartemen? Atau soal kerjaan?" Vino menatap Irene lalu menghela napas sejenak, "Tidak semua masalah sumbernya dari uang, Irene .." "Terus, soal apa?" tanya Irene yang malah tambah penasaran. Vino menatap Irene tajam, "Soal kamu." Dahi mulus Irene langsung mengkerut. "Soal aku?" tanya Irene dengan sejuta tanda tanya yang langsung memenuhi kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD