Chapter 3 - I'm Jealous

1618 Words
Waktu menunjukkan tepat pukul enam pagi. Waktu yang pas bagi anak-anak manis berangkat ke sekolah, di antar oleh ayah atau ibunya, atau mungkin keduanya. Suara burung dan sejuknya udara pagi yang tadi sempat menemani, perlahan mulai pergi. Mulai tergantikan oleh bisingnya suara kendaraan dan omelan ibu-ibu yang mencoba membangunkan anak-anak dan suaminya dari alam mimpi mereka. Irene, yang masih dipenuhi sejuta tanda tanya di kepalanya, sampai sudah selesai memakan roti selai kacangnya. Sementara Vino, masih tak urung angkat bicara. Vino Uparengga memang begitu. Terkadang suka sekali membuat orang penasaran. Suka sekali melontarkan perkataan atau pertanyaan yang mampu membuat orang lain bertanya-tanya. Dengan sabar, Irene menunggu sendirian sembari duduk di atas sofa empuk yang warnanya sudah memudar itu. Selain menunggu untuk mengobrol dengan Vino, Irene juga sedang menunggu giliran untuk mandi. Padahal  biasanya Vino dan Irene mandi bersama. Apalagi setelah percintaan panas yang baru saja dilalui keduanya. Tapi pagi ini, entah mengapa Irene sedang tidak mood untuk mandi bersama dengan laki-laki yang begitu dicintainya itu. Tak lama setelahnya, suara shower yang dimatikan terdengar. Itu tandanya Vino sudah selesai mandi. Meskipun seorang laki-laki, tapi Vino mandi lama sekali. Paling sebentar biasanya memakan waktu sampai dua puluh menit. Entah apa yang Vino lakukan di kamar mandi. Mungkin berkhayal atau mandi sembari bernyanyi. Entahlah, hanya Vino dan Tuhan yang tahu. Setelahnya, Vino keluar dari dalam kamar mandinya dengan tubuh polos dan rambut yang terlihat masih basah. Hanya sebuah handuk putih yang menggantung indah di bagian pinggangnya, menutupi miliknya yang terlihat sedikit menonjol. Kedua mata indah Irene seketika tak bisa lepas dari apa yang ada di hadapannya. Demi Tuhan, pemandangan indah mana lagi yang akan kau lewatkan begitu saja? Bahkan sangkin terlalu sibuk memandangi Vino, yang mulai beranjak memakai baju gantinya, Irene sampai lupa kalau dirinya juga harus mandi. Vino menyeringai nakal. "Kamu mau ngeliatin aku saja apa mau mandi juga?" tanya Vino yang sadar kalau daritadi dirinya jadi bahan tontonan Irene. Irene langsung tersipu malu, "Aku mau mandi .." Irene menghela napas sejenak, "Tapi kamu cerita dulu ke aku apa maksud kamu pembicaraan kamu tadi pagi." "Kamu penasaran?" goda Vino sembari menaikkan satu alisnya. Irene tidak merespon. Mungkin sudah kesal dengan kelakuan kekasih hatinya yang terkadang suka sekali 'menantang' dan menggodanya ini. "Aku tidak suka jadi beban pikiran orang lain," jawab Irene dingin. Setelah selesai mengenakan semua pakaiannya dan menyisir asal rambut tebalnya yang terlihat masih lembab itu, Vino beralih duduk di sofa empuk tepat di samping Irene. Setelahnya, Vino hanya terdiam, menatapi dinding apartemennya yang warnanya mulai pudar. Vino sendiri bingung harus mulai pembicaraannya darimana. Irene menangkupkan wajah Vino dengan satu tangannya. "Kamu kenapa, Vino?" tanya Irene dengan raut wajahnya yang mulai dipenuhi rasa kekhawatiran. Vino menghela napas sejenak, lalu menatap Irene tajam, "Aku tidak suka kalau kamu dekat dengan Rio." Irene langsung tertegun kaget begitu mendengar apa yang baru saja keluar dari bibir kekasih hatinya ini. Vino memang tipe cowok yang  tegas, lugas, to the point. Tipe orang yang tidak terlalu suka basa-basi. Irene mengerutkan dahi mulusnya, "Lagi? Soal itu lagi?" "Aku tidak punya hak untuk menentang ayah kamu. Dia mau kamu menikah sama Rio, Irene .." lirih Vino. Dahi mulus Irene tambah mengkerut, "Tapi yang akan menikah itu kan aku, bukan ayah aku." Vino menatap Irene serius, "Aku yakin kamu pasti tidak akan bisa menolak. Kamu tahu kan apa resikonya kalau kamu nolak pernikahan itu?" Irene tersenyum getir, "Lalu? Aku harus apa, Vino?" Irene lanjut bicara, "Lagipula, aku yakin kalau Rio tahu aku udah sering tidur dengan kamu, dia pasti akan kabur dan cari perempuan lain." Vino tersenyum kecut, "Tidak semudah itu. Aku kenal Rio. Walau bagaimanapun juga, kami pernah berteman baik." 'Dulu. Sekarang sih sudah tidak,' batin Vino kesal setiap kali mengingat betapa buruknya kenangan masa lalu dengan Rio dulu. Irene menghela napas. "Aku lelah membicarakan masalah ini lagi. Aku mau mandi dulu," potong Irene. Enggan membicarakan masalah ini lebih jauh. Karena Irene paham betul, baik dirinya maupun Vino, pasti sama-sama tidak akan ada yang mengalah. Vino kembali bicara, "Kamu mau pakai baju apa? Baju kamu kan sudah aku robek kemarin malam." Irene menunjuk kaus kebesaran milik Vino yang masih digunakannya, "Pakai yang ini saja." "Yakin?" tanya Vino penasaran. Irene mengangkat bahunya, "Toh tidak ada yang tahu juga kalau ini baju kamu." ***** Siangnya, Irene diantar pulang oleh Vino. Tidak dengan mobil, tetapi dengan motor. Vino memang punya mobil dulu. Merek avanza, warna hitam. Tipikal mobil sejuta umat. Tapi sayangnya terpaksa dijual karena desakan ekonomi. Dan sekarang Vino lebih memilih beli dan menggunakan motor ke manapun dirinya pergi. Itupun cicilannya belum lunas, masih tersisa dua bulan lagi. Sesampainya di depan rumah Irene, Vino beranjak mencium dahi mulusnya sekilas. "Hati-hati," kata Vino dengan senyum hangat di wajah tampannya. Irene tersenyum geli, "Kenapa harus hati-hati? Kan aku sudah sampai di depan rumah." Ya, Vino sengaja berkata demikian karena Vino tahu ada seorang laki-laki yang sedang mengintipinya dari kaca jendela rumah Irene. Dan Vino sengaja, mencoba membuat laki-laki itu cemburu dengan cara mencium manja dahi Irene. "Hati-hati saja. Aku rasa di dalam rumah kamu ada beruang," canda Vino. Irene tersenyum lebar, "Dasar .. Hati-hati di jalan." "Nanti malam jangan lupa telepon," kata Vino begitu selesai memakai kembali helm nya. "Kenapa harus menunggu sampai malam?" tanya Irene bingung. Vino tersenyum hangat, "Karena siang ini sampai sore nanti aku mau kerja. Maklum, cicilan motor aku masih dua bulan lagi." Irene tersenyum manis, "See you later." Begitu masuk ke dalam rumahnya, Irene akhirnya sadar siapa 'beruang' yang dimaksud Vino tadi. Ya, Rio Samahita. Oh, seandainya saja Rio tahu kalau dirinya dibilang beruang sama Vino, pasti sudah habis dia. Padahal tubuh Rio tidak gemuk. Malah bisa dibilang sangat amat ideal. Hanya saja pipi Rio memang terlihat sedikit chubby dan tubuhnya tidak dihiasi otot sebanyak Vino. Kalau soal tinggi, Rio hanya lebih pendek lima senti dari Vino. Sama-sama tinggi dan sama-sama rupawan. Tapi dengan kepribadian yang begitu jauh berbeda. "Hai," sapa Irene kikuk. Rio langsung tersenyum begitu melihat wajah cantik Irene, pujaan hatinya. "Barusan ayah kamu pesan ke aku, katanya kalau sudah pulang nanti aku diminta belikan kamu makanan. Kamu sudah makan?" tanya Rio hangat. Oh, padahal aslinya dalam hati Rio ingin sekali bertanya kenapa Irene masih berhubungan dengan Vino. Seolah-olah perempuan cantik satu ini tidak pernah bisa lepas seorang Vino Uparengga. "Memangnya ibu tidak masak?" tanya Irene bingung. Rio tersenyum geli, "Ibu kamu kan sedang ikut trip ke Jepang." Ah, sial. Irene langsung merasa malu sekali. Masa dengan ibu sendiri saja tidak tahu ke mana perginya. Sedangkan Rio, yang notabene nya hanya orang asing, tahu betul bahwa ibu Irene sekarang sedang jalan-jalan ke Jepang selama seminggu. Pipi mulus Irene langsung merona merah karena malu. "Terserah kamu saja mau beli makanan apa. Tapi jangan lupa belikan buat adik aku juga," jawab Irene kikuk. "Sepertinya Sebastian pulang sore hari ini. Tadi dia bilang mau main basket di sekolahnya," jawab Rio. "Oh, ya sudah kalau begitu. Buat kita saja," jawab Irene kikuk. Irene baru akan berjalan menuju kamar tidurnya, hendak meninggalkan Rio sendirian, saat tetibaan Rio kembali angkat bicara. "Semalam kamu nginap di apartemennya Vino, ya?" tanya Rio penasaran. Duar. Pertanyaan Rio seolah-olah menyambar kepala Irene, persis bagaikan petir di siang bolong. Mungkin ini juga salah satu perbedaan antara Rio Samahita dan Vino Uparengga. Kalau Vino orangnya to the point, Rio lebih suka mampir dan berkelana jauh dulu sebelum mencapai ke intinya. Pipi Irene langsung memerah dan terasa panas seketika. Irene kembali menoleh dan menatap Rio bingung, "Bagaimana kamu bisa tahu?" Rio tersenyum getir, "Ah, jadi benar? Padahal aku asal tebak saja." Duar. Sebuah petir lain seolah-olah menyambar kepala Irene lagi. Irene menghela napas sejenak, "Iya, aku bermalam di apartemen Vino tadi malam." Irene kembali bicara setelahnya, mencoba mengalihkan pembicaraan dan memadamkan api yang perlahan mulai terbentuk di sorot kedua mata Rio, "Ya sudah, tadi kamu bilang mau belikan aku makanan?" Setelahnya, Rio berjalan meninggalkan Irene begitu saja begitu Irene berkata demikian. Oh, kasihan Rio. Rio pasti merasa sakit hati sekali. Apalagi Irene tahu betul kalau Rio sudah menaruh hati padanya semenjak mereka masih SMA. Meskipun terkadang ada rasa tidak tega juga, tapi Irene tidak bisa berkata hal lain. Mau bagaimana lagi? Cinta tidak bisa dipaksa. Padahal waktu itu, begitu tahu kalau ternyata dirinya mau dijodohkan dengan pujaan hatinya semenjak remaja dulu, Rio langsung merasa seperti terbang ke awang-awang. Siapa juga yang tidak senang dijodohkan dengan orang yang dicintai? Tapi semua itu berubah seketika diam-diam Irene menolak perjodohan tersebut. Rio, di lain sisi, masih ingat betul kalimat apa yang diucapkan Irene waktu itu. "Maaf, tapi aku sama sekali tidak cinta sama kamu, Rio. Aku sudah punya orang lain yang aku cintai. But please, jangan bilang-bilang dulu ke orangtua kita. Terutama ayah. Aku tidak mau mereka kecewa," kata Irene waktu itu. Dan luka di hati Rio bertambah parah seketika dirinya tahu, kalau perempuan cantik yang dipujanya sejak dirinya masih remaja itu ternyata sudah lama menjalin hubungan dengan Vino Uparengga .. orang yang dulu pernah menjadi sahabat dekatnya. Sebagai laki-laki dewasa, Rio paham betul apa yang baru saja dilakukan Irene tadi malam. Bagaimana Irene menghabiskan waktunya semalam dengan Vino, dan lagi, tanda kebiruan yang masih terlihat jelas menghiasi leher mulusnya itu seolah-olah menjadi saksi bisu kalau Irene Mariana hanya milik Vino seorang .. Terkadang, Rio suka melamun. Seringkali Rio menkhayal bagaimana rasanya mencium bibir merah yang terlihat begitu lembut itu. Akan seperti apa rasanya kala kedua tangannya meremas lembut gundukan ranum Irene. Bagaimana rasanya membelai lembut rambut coklat panjang milik Irene yang terlihat begitu halus itu. Dan bagaimana rasanya menindih tubuh mungil itu, lalu dengan perlahan, membenamkan dirinya di dalam Irene ... Membuatnya mendesah lalu 'meledak' di dalam tubuhnya .. Ah, rasa-rasanya dengan membayangkannya saja sudah mampu membuat Rio gila. Tapi itulah Rio. Sayang seribu sayang, Rio hanya mampu membayangkannya saja. Berbeda sekali dengan Vino, yang bahkan sudah seringkali merasakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD