Jam dinding terus berputa maju, sudah beberapa hari sejak kepulanganku dari pemulihan di kota. Aku kembali dengan rutinitas lamaku. Hp ku terdengar bergetar, tanda sebuah pesan masuk. Aku yang sedang membaca buku berjudul ‘La tahzan’ hadiah dari tante tersedar dari selamanku di buku tersebut. Kulihat hp yang sedari tadi berada didekatku dikasur, ternyata pesan dari Nina. “Assalamualaikum, Isyah kamu dirumah?” sontak dengan tanggap aku membalas pesan ini. Karena memang sudah lama aku rindu pada sahabatku yang satu ini, tetapi jemari ini terlalu kaku untuk mengirim pesan atau sekedar memanggil panggilan telpon dikarenakan tidak ingin mengganggu kegiatannya yang sedang sibuk sebagai bidan desa.
“Waalaikum sallam, iya. Kamu dimana? Mainlah kerumah”. Terlihat pesanku dibaca namun tak dijawab oleh Nina. Aku yang sudah berfikir kemana-mana segera beristigfar dan menjauhkan semua zhon-zhon buruk yang ada difikiranku untuk sesegerah mungkin menggantinya dengan fikiran yang baik “Nina lagi sibuk!” fikirku.
Aku kembali berenang dan menyelam asyik kedalam buku bacaanku, sambil sesekali menenggak air mineral dingin yang sudah sedari tadi aku persiapkan. Seseorang mengetuk kamarku, mengucap salam dan memanggil-manggil namaku. “Itu” kataku. Lalu aku menutup bukuku yang sebelumnya sudah kutandai dengan tali penanda. Berdiri kearah sumber suara. Kubuka kunci pintu kamarku dan menekan engselnya. Betapa terkejutnya aku ternyata Nina sahabatku sedang berada didepan pintu.
Aku menyambutnya dengan gembira, mempersilahkan dia masuk dan mulai ingin bercerita. Dia membalikkan badannya, menutup pintu dan kembali mnguncinya dari dalam. Agak heran tapi aku tak hirau, “Loh, kamu enggak dinas?” tanyaku cepat. Bukannya menjawab Nina malah menangis sesenggukan di bahuku. Aku pernah diposisi seperti ini, kemudian membiarkan dia mengeluarkan semua tumpahan air matanya sampai dia lega sedikit.
Dia menyelesaikan tangisnya, menyeka air matanya dan mulai bercerita. “Syah, aku hamil!”. Mataku terbelalak, mukaku yang kemerah-merahan seketika menjadi pucat pasi. Aku tak tau kenapa ini bisa terjadi ‘lagi’ kepada sahabatku. “Tapi bukankah dulu kau sudah berjanji?” kataku cepat. Anganku melangkah jauh kebelakang, seolah jam dinding dikamarku berputar kearah belakang, aku kembali menyusun rangkaian memori buruk itu. Memori sekian tahun yang lalu saat kami baru memulai pendidikan sebagai bidan.
Terangkai jelas sekarang. Gambaran itu beberapa tahun silam, saat kami baru pindah dari desa ke kota untuk mengenyam pendidikan disana, masih semester 1 perkuliahan. Saat padu padan jeans dan hijab masih terasa nyaman didiriku. Tetapi, jangan tanyakan sekarang! Jeans-jeans ku yang dulupun sudah tak tau lagi dimana rimbanya, entah masuk kedalam gudang atau bahkan sudah dibuang. Saat itu, Nina aktif disegala kegiatan kampus daripada diriku memang banyak disukai lelaki. Dengan cepat ia memiliki banyak teman lelaki di kota. Silih berganti lelaki datang ke kosan kami, mencari dan ingin berkenalan dengan Nina. Entah siapa-siapa nama mereka aku sudah tidak ingat lagi, sampai suatu saat dia jatuh cinta.
Nina jatuh cinta, ya akhirnya sahabatku jatuh cinta dengan salah satu dari mereka, lelaki yang paling aktif mengejarnya sejak dua bulan terahir. Namanya Dedi, lelaki yang lebih tua sekitar 4 atau 5 tahun diatas Nina. Sudah bekerja sebagai perawat kontrak di satu Rumah Sakit swasta ternama. Gajinya jangan ditanya, mungkin dalam sebulan seukuran 4 atau 5 bulan uang jajan kami. Dia orangnya ramah, baik dan juga royal. Selama masa mendekati Nina saja sudah acap kali dia membawakan kami makanan ke kosan. Dia juga suka membelikan Nina banyak hadiah sampai yang terbesar dia pernah membelikan Nina sebuah gelang emas yang mahal.
Aku yang saat itu adalah sahabat terbaik Nina bisa dibilang sering kecipratan enak, bagaimana tidak setiap kali Dedi mengantarkan makanan untuk Nina dia tidak pernah hanya membawa 2 porsi, melainkan langsung 3 porsi yang kemudian kami makan bersama di kamar Nina. Setiap kali ia membelikan Nina hadiah-hadiah seperti coklat atau oleh-oleh aku selalu menjadi orang pertama yang membuka bungkusan itu. Perjalanan cinta Nina berjalan mulus dan damai-damai saja selama 1 tahun sampai akhirnya hari itu datang.
Nina gadis periang berubah murung, sudah satu minggu dia seperti ini. Setiap aku tanya jawabanyya selalu menutupi ‘tak enak badan’ begitu katanya singkat. Sabtu minggu biasanya kami memang libur karena tidak ada jadwal kuliah, 2 hari libur ini biasanya selalu dimanfaatkan Nina dan Dedi untuk mengobrol dan bercengkrama di kosan bersamaku atau pergi keluar jalan-jalan berdua. Tetapi kali ini beda, sejak sabtu pagi pintu kamar Nina tidak terbuka sedikitpun. Tirai jendela juga tertutup rapat seperti tidak ada orang.
Aku yang memiliki kebiasaan bangun subuh sejak dari dulu memilih leye-leye dikasur selepas menunaikan sholat subuh. Sampai jam menunjukan pukul 07.00 pagi aku memilih keluar berniat keluar dan mencari sarapan pagi. Aku yang sudah mandi dan rapi mengenakan baju tidur model celana panjang dan tangan panjang, mengenakan jilbab sepanjang dada. Aku mulai mengetuk dan memanggil “Nin, Nin, Nina bangun Nin sarapan yuk” tak ada jawaban. Kembali kuulang panggilanku “Nin, ninaa, kamu tidur?” tetap hening.
Aku menelfon Nina, terdengar deringan hp dari kamar yang tetap tak dijawab, kukirim beberapa pesan wa kepadanya yang terlihat hanya di read saja olehnya. “Syukurlah” fikirku, setidaknya dengan di read bertanda Nina baik-baik saja. Aku mengeluarkan motorku ingin keluar mencari sarapan, dari atas berteriak teman satu kosku memanggil “Aisyah..” wajahku menengadah ke atas “tunggu..” sambungnya lagi.
Dia berlarian turun kebawah, dia adalah Eka kakak tingkatku di jurusan kebidanan. Dia meminta ikut denganku menaiki motor, kemudian aku menawarkannya yang membawa motorku karna postur tubuhnya memang lebih tinggi dan besar daripada diriku. Kami makan bubur ayam pagi itu. Aku melebihkan satu porsi untuk dibungkus “Untuk Nina” kataku pada mbak Eka. Aku membawakannya bubur, mungkin saat ini dia benar-benar sedang sakit dan tidak berselera makan.
Kami tiba dirumah, setelah mengunci motor dan memastikannya aman aku menaruh bungkusan plastik berisi bubur itu didepan pintu kamar nina, kukirim pesan wa “Aku membelikanmu semangkuk bubur ayam, dimakan ya. Semoga cepat sembuh” lalu aku masuk ke kamar untuk sekedar berselancar ria di internet dengan laptopku.
Sekitar setengah jam kemudian Nina mengirim pesan wa padaku. “Nin, bantu aku sebentar” aku bangkit dan berdiri, mematikan laptopku dan keluar menutup pintu kamarku. Masuk ke kamar Nina terdengar jelas Nina sedang muntah-muntah di toilet dengan suara yang dipelankan dan ditahan. Aku masuk kesana, mengurut-urut punggung dan mengikat rambutnya. Setelah selesai aku menggopongnya berjalan menuju kasur lantai. Dia minum segelas air, tak lama sekitar 10 detik saja semua air yang baru saja diminum sudah keluar lagi.
“Kamu masuk angin? Aku urut ya. Sini aku bantu buka baju, nanti kita beli tolak angin cair. Kalo belum sembuh juga terpaksa kita ke IGD” kataku padanya. Nina terdiam, kemudian berdiri dan menutup pintu kamarnya serta menguncinya, dia duduk didepanku dengan mimik serius, belum pernah dia sesrius ini sebelumnya. Dia menangis didepan wajahku sambil mnutup mukanya, aku yang panik meracau tak karuan “Kamu kenapa? Apa yang sakit? Kamu ribut sama Dedi? Atau kamu dipukuli Dedi? Jawab Nin, jawab” bentakku.
Nina memasukkan tangannya kebawah kasur, mengambil sebuah benda yang tak kuketahui apa itu, dia menggenggam benda kecil itu kuat sekali, lalu dengan tangisan yang mulai mereda sambil mengelap-elap tisyu ke wajah dan hidungnya dia menunjukan benda itu kepadaku. Kertas kecil bercorak biru dan bergaris merah 2, test pack. “Kamu hamil?” tanyaku tak percaya dengan lidah setengah kelu. Dia mengangguk sambil mengeluarkan air mata yang semakin deras lantaran takut, bingung dan malu. “Sama Dedi?”, sekali lagi ia mengangguk. “Terus gimana dong?” dia menggeleng dan menaikkan bahu tanda ia pun tak tahu harus berbuat apa.
Aku memeluk Nina erat, memberi kehangatan, kedamaian dan rasa nyaman padanya. Sekitar lima menit Nina sudah menumpahkan banyak air mata dipundakku. Kemudian terlihat lebih tenang. Isakny sedikit demi sedikit berkurang sekarang
“Aku harus bagaimana Syah?”
“Dedi bilang apa?”
“Dia bilang aku harus menggugurkan anak ini Syah, karena dia tidak mau keluarga kami malu karena hamil diluar nikah?”
“Terus kamu mau?”
“Aku tidak tau harus berbuat apa Syah aku bingung”
Pintu kamar diketuk keras, aku bangkit dan membuka. Ternyata Dedi yang ada diluar sana. Dia memintaku pergi sebentar karena ada hal penting yang harus dibcarakan dengan Nina katanya. Aku menuruti keinginannya, keluar dari kamar itu dan memilih duduk dikursi tamu yang memang disediakan di parkiran motor kosan kami. Terlihat Dedi menutup setengah pintu kamar Nina, padahal dia sudah tau jelas bahwa peraturan kos disini adalah lelaki yang berkunjung hanya boleh duduk dikursi tamu parkiran atau masuk kamar dengan keadaan pintu terbuka.
Aku duduk disana, berpura-pura main androidku. Padahal aku disana menguping pembicaraan mereka. Sepertinya mereka bertengkar, tetapi anehnya tak terdengar sedikitpun suara mereka, hanya sedikit pekikan Nina yang berkata “Aku takut, kak” yang bisa kudengar. Selebihnya aku tak mendengar apapun. Dedi yang datang pagi itu terlihat masih mengenakan pakaian dinas rumah sakit. Sepertinya ia baru saja pulang dari dinas malam. Tak lama didalam ia keluar dari kamar dengan wajah yang terlihat marah. Ia menaikki mobil kemudian berlalu meninggalkan kosan.
Aku masuk kekamar Nina, kulihat sudah banyak makanan yang dibawakan pria itu untuknya. Nina memelas “Syah, bantu aku” aku bingung “Bantu apa?”, “Temani aku sore ini”, “kemana?” “Entahlah aku juga tak tahu, Dedi yang tahu” lalu aku diam saja tanda setuju. Seharian ini aku menemani Nina dikamar, sekitar jam 14.00 siang Dedi datang lagi dan mengajak kami pergi.
Aku duduk dikursi belakang dalam mobil tipe dua baris kursi itu. Kami membisu tak ada lagi canda atau obrolan hangat. Wajah Nina dan Dedi terlihat kacau. Mobil melaju menjauhi kota kearah yang tidak aku ketahui kemana, melewati kebun sawit dan lahan tak terurus yang panjang. Mobil berhenti disebuah rumah permanen yang terlihat sangat bagus ditengah dusun yang warganya terlihat banyak kurang mampu. Rumah yang sangat kontras dengan rumah-rumah lain disekitarnya dengan cat ngejreng berwarna orange menyala.
Kami keluar dan turun dari mobil. Terlihat disana dua pasangan muda-mudi sedang menunggu antrian. Bergantian mereka masuk kedalam dan keluar dengan keadaan sang wanita keringatan meringis. Sampailah giliran kami masuk disambut oleh nenek-nenek berwajah hitam legam, nenek itu tampak seram dengan daster lusuh yang sudah sobek dibagian ketiaknya. “Masuk nak sini” senyum nenek sambil menyapa.
Dedi mencium tangan nenek tersebut, diikuti oleh Nina dan aku. Bau tangan nenek itu sangat tidak enak sekali, membuatku bersin 3x. Dedi mulai mengobrol, bercerita tentang masalahnya. “Sudah telat berapa?”,
“2 minggu nek” nenek mengernyitkan dahu memandang wajahku.
“Yang ini? Seraya menatapku.
“Bukan nek, yang ini” lurus Dedi.
“Sini masuk” sang dukun mengajak Nina kedalam. “Saya ikut?” tanya Dedi. “Enggak usah, nanti dia jadi manja” jawab sang dukun. Nina yang ketakutan menarik tanganku ikut kedalam kamar, betapa terkejutnya aku bahwa yang kuduga-duga sejak sampai kerumah ini adalah benar, saat itu Nina diajak untuk melakukan aborsi. Dikamar yang menyeramkan tersebut Nina disuruh mengganti celananya dengan sarung, dibaringkan lalu disumpal mulutnya dengan kain berwarna hitam. “Gigit yo ndok” kata sang dukun. Sang dukun mulai meraba-raba perut bagian bawah tubuh Nina “Lanang iki” gumam sang dukun meracau sendirian.
Sang dukun mengelus-elus perut Nina, kemudian dengan sangat cepat menekan, dan memencet disuatu titik dengan amat kencangnya. Saking kencangnya terlihat olehku urat-urat dipunggung telapak tangan sang dukun menghijau. Nina mengerang kesakitan, tapi seperti tak peduli sang dukun menarik tangannya lalu dengan cepat melakukan hal yang sama sambil mengucapkan beberapa mantra yang aku sendiri tak jelas apa itu. Proses itu seperti berjalan lambat sekali, aku yang tak tahan melihat sahabatku kesakitan ingin berlari keluar ruangan meski dengan linangan air mata.
Nina memegang tanganku erat, menggeleng kearahku. Mengodeku untuk tetap berada disana, setengah jam berlalu Nina terlihat pucat sekali. Peluh dan keringat jagung menetes mengalir diseluruh tubuhnya. Jilbab yang ia kenakan entah sudah terpelanting kemana. 30 menit penyiksaan yang benar-benar berat untuk sahabatku didepan mata kepalaku sendiri. Croot darah keluar dicelana dalam Nina tembus kesarungnya, pertanda sang dukun sudah berhasil dan akan mendapat segera bayarannya. Nina dipaksa berdiri oleh sang dukun, memakai celana dan segera meninggalkan rumah seram itu.
Nina tampak kesakitan sehingga ia menangis meraung. Sang dukun tampak marah sekali melihat Nina yang menangis meraung dirumahnya, mungkin takut kerjaanya terbongkar oleh tetangga atau sedang dimata-matai polisi “Wesh lah, cengeng tenan. Lungo ngono!” sambil tangannya digerakan seperti mengusir ayam. Nina yang kupapah terjatuh kelantai, lunglai tubuhnya tak kuasa untuk bangkit.
Dedi memberi amplop berisi uang oleh sang dukun, lalu snag dukun memberikan plastik hitam berisi sebungkus jamu dan 2 buah pil yang harus diminum Nina sepulang dari sini. “Wesh, balek rono” bentak sang dukun membelalakkan mata marah terhadap Dedi. “Ded” panggilku, bermaksud meminta bantuan kepadanya untuk mengangkat Nina ke mobil.
Ia mengangkat Nina, aku berlari keluar duluan membuka pintu mobil dan mengatur posisi kursi Nina agar dia bisa sedikit berbaring. Nina menangis meringis “Aduuh sakiit” dengan suara bergetar, Dedi yang sedari tadi mendengar Nina berulang-ulang mengeluh tampak tak sabar kemudian memukul kepala Nina sesaat setelah Nina lepas dari gendongannya.
Aku yang terkejut merasa kaget dan cemas, bagaimana bisa seorang yang telah berjuang demi nama baiknya dipukul begitu saja. “Ded!” bentakku. “Diam kamu!” sambil memukul kap depan mobil dia membentakku. Aku ketakutan melihat mata melotot Dedi, aku berjalan cepat-cepat menuju kursi dibelakang sopir. Mobil berjalan cepat meninggalkan desa antah berantah tersebut, tangan Nina semakin dingin, mukanya semakin pucat dan darah sudah keluar menembus celana mode jogger yang ia kenakan.
“Ded, Nina berdarah. Kita harus kerumah sakit.” Pintaku
“Jangan!” perintah Dedi. Lalu mobil mengarah kesebuah toko grosir pakaian di daerah pertokoan dan berhenti disana, ia turun dan kembali setelah 5 menit. Dedi membelikan 3 buah sarung untuk dipakai Nina agar darah tak keluar lebih banyak lagi mengenaik jok kursi mobilnya. Mobil melaju semakin kencang menuju kota.
Tiba dirumah, Dedi langsung menggendong Nina keluar dari mobil sedang aku masuk kerumah duluan untuk membukakan pintu kamar kosan Nina. Dedi membaringkan Nina dikasur, membuatkannya segelas susu hangat dan memaksa menghabiskannya. Selepas itu ia pergi entah kemana, ia hanya berpesan padaku “Syah, olong jaga Nina sebentar ya, Aku mau pergi membeli sesuatu”.
Tak sedetikpun aku meninggalkan sahabatku saat itu, dia mngerang kesakitan seperti wanita yang sedang merasakan segugut tapi lebih parah. Aku yang melihatnya hanya bisa mengelus-elus bagian pinggulnya yang saat itu membelakangiku. Sesaat kemudian Nina tertidur.
Azan magrib berkumandang, aku melaksanakan sholat magrib dikamar Nina. Selepas sholat magrib Dedi kembali kekosan, membawa dua kantung asoy yang terlihat penuh. Setelah pintu dibuka dan dia masuk kedalam dia mengeluarkan isi kantung-kantung tersebut. Kantung pertama berisi roti tawar, 1 lusin susu beruang, 3 bungkus nasi goreng jawa, setengah kilogram apel merah dan setengah kilogram jeruk mandarin.
Kantung kedua berisi diapers ibu melahirkan, pembalut herbal, obat-obatan, sekantung telur ayam kampung dan 2 stel daster baru untuk Nina pakai. Dedi memaksa Nina menghabiskan jamu yang diberikan sang dukun, kemudian meminum sekaleng susu beruang. Nina manut saja dan menuruti semua perintah Dedi seperti kerbau yang sudah dicucuk hidungnya. Kemudian Dedi mengambilkan 3 buah sendok didapur untuk kemudian kami gunakan makan nasi goreng bersama. Selah makan aku kembali kekamarku, mengganti pakaianku dengan baju tidur. Kemudian aku istirahat dikamar.
Jam berputar dengan cepat waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, saatnya gerbang kosan dikunci. Dedi beranjak keluar dari kamar Nina lalu mengetuk pintu kamarku “Syah” panggilnya pelan. Aku memakai jilbabku kemudian mendekati pintu. “Ya” jawabku. “malam ini kamu tolong nginep dikamar Nina ya, tadi kasur lipatnya sudah aku siapkan” lalu ia berjalan masuk kekamar Nina yang aku ikuti, terlihat Nina sedang tertidur pulas menggunakan daster yang baru diberikannya.
Dedi mengambil kantung obat yang tadi ia bawa dan menjelaskan beberapa hal penting kepadaku. “Ini obat pertama yang kamu gunakan kalau situasi sudah sangat genting, tolong berikan kepada Nina dan suruh dia menusukkannya ke lubang duburnya” aku membacanya terlihat tulisan progesic suppositoria. “Lalu ini semua obat-obat biasa, paracetamol, amoxicillin dan sebagainya kamu bisa baca sendiri” aku mengangguk. Ia memisahkan obat suppositoria tadi, meletakkannya didalam kulkas. Kami keluar meninggalkan Nina dikamar. Aku masuk kekamar kemudian mengunci pintu dari luar, Dedi pergi menuju mobilnya sambil berjalan dia berpesan agar menelponnya jika ada apa-apa.
Aku masuk kekamar Nina, menemaninya yang tertidur. Mengutak-atik hp ku kemudian tertidur. Terdengar bising dan sesuatu mengganggu aku terbangun, aku mengusap-usap mata dan melihat Nina sedang berdiri dipintu toilet kamarnya. Dia jongkok kemudian berdiri, jongkok kemudian berdiri sambil menahan sakit diperutnya. Belakangan setelah aku PKL baru aku tahu bahwa yang nina lakukan adalah sama persis seperti ibu-ibu yang sedang kontraksi menuju pembukaan 10.
Aku menemani Nina, dia menggenggam erat tanganku. Erat sekali sampai rasanya darah tak mengalir ke telapak tanganku.Nina kesakitan, sangat kesakitan. Wajahnya pucat dan keringat jagungnya bercucuran. Lebih parah, dan lebih menyakitkan daripada saat perutnya dirogoh-rogoh sang dukun. Aku mengambil obat dari kulkas yang tadi dipesan Dedi. Memberikannya kepada Nina setelah bungkusnya kubuka dengan gunting. Nina mengambilnya dari jemariku, mengangkat dasternya dan mengangkangkan kakinya. Nina memasukkan obat tersebut keduburnya dengan memasukkan tangan ke dalam diapers ibu melahirkan yang ia kenakan, mengangkat juga sebelah kakinya.
Satu atau dua menit kemudian sakit Nina sudah berangsur membaik, dia berdiri dan meraih pundakku. Aku memapahnya, membantunya berbaring lagi dikasur. Nina berbaring, menunjuk-nunjuk kearah gelas airnya yang kosong. “Minum?” tanyaku, ia mengangguk. Lalu aku kedapur dan memenuhi gelas kosong tadi dengan air dari dalam galon.
Setelah minum Nina kembali berbaring, mengerang dan menahan sakit. Entah sebanyak apa darah yang keluar dari perutnya saat itu. Aku sedih sekali, tak pernah terbayang kalau aku akan melalui ini semua, melihat sahabatku menggugurkan kandungannya. Malam berlalu, aku tak bisa tertidur lagi.
***
Keesokan paginya jam 07.00 pagi Dedi sudah sampai dikosan, dia membuatkan Nina telor setengah masak dan menyuapkannya bubur. Nina sudah mandi, sudah berganti pakaian dengan daster kedua yang Dedi hadiahkan. Nina menunjuk kearah kantung plastik di atas kotak sampah didepan kamar mandi berisi diapers yang sudah penuh dengan darah dan anak mereka yang sudah hancur tak berbentuk karena tekanan tangan dan obat sang dukun. Dedi mengangguk tanda mengerti.
Setelah makan bubur aku pamit, aku ingin tidur. Aku tidak tidur semalaman karena membantu Nina kontraksi. Aku keluar, membuka pintu kamarku lalu berbaring tidur.
***
Setelah kejadian tersebut Nina berjanji tidak akan hamil lagi, tetapi ia tidak bisa berjanji untuk putus dengan Dedi karena ia masih mencintainya. 1 tahun setelah kejadian buruk itu Dedi ketahuan selingkuh untuk ketiga kalinya. Parahnya, selingkuh kali ini dia menghamili selingkuhannya tersebut. Hal itu tidak bisa ditolerir oleh Nina, dia memutuskan Dedi tanpa ampun. Saat itu ia berjanji tak akan berpacaran lagi dan akan menemukan lelaki yang bisa menerima dirinya apa adanya.
***
“Siapa orangnya? Kenapa bisa?” tanyaku mendesak. “Dedi” sambil meneteskan air mata. “Dedi?”, “Sumpah Syah kali ini aku dijebak”. Nina mulai bercerita sewaktu ia ditugaskan oleh kepala puskesmas untuk mengikuti acara seminar dikota dia tidak sengaja bertemu lagi dengan Dedi. Dedi mencari tahu tentang Nina dari teman sekamarnya di hotel. Hari terakhir dikota seminar telah usai dan itu hari bebas, semua yang menjadi tamu disana pergi keluar untuk berbelanja atau jalan-jalan. Hari itu Nina sedang tidak enak badan dan memutuskan untuk istirahat dikamar. Dedi datang kekamar Nina membawa paracetamol dan sebotol air mineral. Nina yang tidak curiga meminum saja air tersebut kemudian pingsan.
Nina diperkosa, dan Dedi memaksa agar Nina mau kembali menjadi pacarnya. Kejadian dikota bertepatan dengan kejadian malam berdarah bagiku. Jadilah Nina sekarang hamil dan telat sekitar 3 minggu. “Kamu harus menikah dengannya” jawabku tegas. “Iya Syah, dia mau menikahiku. Tetapi satu tahun lagi bukan sekarang. Dia bilang aku harus menunggunya PNS dulu tahun ini baru kami menikah tahun depan, bagaimana ini syah?”
“ Bagaimana apanya?”
“Anak ini bagaimana?”
“Maksud kamu?”
“Aku enggak berani menggugurkan kandungan lagi, aku trauma Syah. Tetapi aku takut untuk mengaku kepada kedua orang tuaku”
“Kamu harus menikah secepatnya, ini dosa kalian berdua. Kalian harus menerima konsekuensi atas yang kalian kerjakan, jangan tutupi sebuah dosa dengan dosa lain. Kalian harus bertaubat, bersujud memohon ampun dihadapan Allah kemudian menikah dan lahirkan anak itu”
Nina tampak syok mendengar kata-kataku. Dia berpura-pura meliht pesan wa di hpnya kemudian pamit pulang. “Jika hukum Islam masih berlaku seperti jaman Rasulullah Salallahu alaihi wasallam, maka kalian berdua sudah lama dirajam”, celotehku sendiri.
***
Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuanku dengan Nina, sudah kucoba menghubungi sahabatku itu melalui pesan w******p dan telpon, tetapi tak satupun ditanggapi. Mungkin sekarang dia sedang berfikir dan merenung tentang saranku kemarin.
Pagi ini langit cerah sekali, tiba-tiba saja aku ingin makan menu spesial siang ini, menu yang hanya sesekali kami sekeluarga makan, itupun ketika sedang kekota. Menu istimewa udang saus padang favorit semua orang dirumah kami. Aku membuka youtube, mencari dan menonton 2 macam tutorial memasak. Aku mencatat bahan-bahannya masakannya juga cara membuatnya. Setelah PD aku turun kebawah.
Pagi itu mama tidak memasak, hanya membeli beberapa bungkus lontong sayur untuk sarapan, adikku sudah dari tadi berangkat kesekolah SMPnya. “Isyah aja ma yang masak” kataku. “Emang bisa?” tanya mama. “Insyaa Allah” jawabku. Aku mulai mencari semua bahan yang ada di catatanku, mengambil udang dari freezer dan merendamnya agar tidak beku lagi kemudian meminta uni Ida untuk membersihkannya. Aku mengupas bawang merah, bawang putih, kunyit dan bahan lainnya. Karena bingung antara lengkuas dan jahe, aku kemudian menyusul uni Ida untuk bertanya yang mana antara keduanya adalah lengkuas. Uni mengajariku dari baunya, mulai sekarang aku sudah tau persis perbedaanya.
Satu jam kemudian masakanku jadi, aku meminta mama mengoreksi rasanya “Tambahkan gula sedikit” kata mama. Aku memasukkan 1 sdt gula kekuali, lalu mama mencicip kembali “Cukup, cukup!” kata mama. Aku merasa senang dengan jawaban mama, kumasukan udang ke dalam kuali yang sebelumnya sudah kurebus sesaat lalu kututup agar sausnya mengental. Masakanku siap, udang saus padang, goreng tempe dan cah kangkung ala restoran.
Aku menengadah ke arah jam di dapur, jam menunjukkan pukul 12.00 siang. Aku berbenah dan memasukkan makanan ke bawah tudung rotan. Lalu kekamar untuk sholat dzuhur. Selesai sholat aku kembali kedapur, menata meja makan untuk bersiap makan siang. Kulihat dari dapur bang Hen dan papa sudah pulang dari masjid. Mama juga baru keluar dari kamar bersiap makan. Mereka semua langsung melahap udang saus padang yang aku siapkan “Masyaa Allah enak masakannya, wah kalau begini enggak usah beli di restoran lagi. Enakan masak lebih murah” katanya memujiku. Aku tersenyum.
“Sudah siap jadi istri ini sepertinya, sudah mulai belajar masak” gurau bang Hen. “Apaan sih bang” jawabku sambil tertunduk malu. “Walaupun masak sambil liat youtube, tapi enak kok. Enggak mengecewakan. Mama aja enggak tau resep ini”. “Tenang ma, nanti Isyah catat rapi-rapi ya buat kita masak lain kali. Sekalian Isyah belajar masak yang lain juga ya diajarin mama” jawabku sambil merayu mama. “Iyaa iyaa”.
Kami semua makan dengan lahapnya, Papa dan bang Hen sampai nambah dua kali. Selesai makan aku membersihkan meja makan, dengan papa dan bang Hen terlihat sibuk mencungkil-cungkil gigi mereka. Seorang karyawan papa datang menyusul kedalam “Pak, ada tamu. Polisi!” katanya dengan muka cemas. Papa berdiri, dan bersegera ke toko menemui sang polisi.
Papa mengajak polisi berbincang di kursi garasi, sang polisi terlihat memberikan sebuah surat kepada papa. Setelah itu sang polisi pergi.
…
Malam hari setelah sholat Isya aku berbaring di kasur, menonton video Ustad Abdush shomad dari youtube, mama menghampiri.
“Syah, tadi siang ada polisi kemari”
“Iya, Isyah liat. Emang ada apa ma?”
“Ini suratnya, kamu baca dulu”. Aku meneliti surat itu dalam-dalam. Kubaca mulai dari kop surat, pembuka, isi sampai dengan penutup surat. Isinya jelas, tegas, lugas dan tak bertele-tele. Aku dipanggil ke polsek bersangkutan sebagai seorang saksi korban.
***
Tertulis tegas disurat yang kubaca semalam bahwa aku harus kesana pukul delapan. Hampir-hampir aku tak bisa tidur semalam. Aku bersiap jam setengah delapan pagi,lalu berangkat ditemani seluruh anggota keluargaku, kecuali adikku yang sedang bersekolah. Mobil melaju. Sepanjang jalan aku hanya diam membisu, memegang botol air mineral mineral yang berulang kali kuremas. Mobil berhenti disuatu parkiran, lamunanku diperjalanan berakhir.
Kami turun dan masuk ke gedung bertingkat dua. Papa berbincang dengan seorang resepsionis dengan menyerahkan surat semalam. Ia menyuruh seorang polisi penjaga, menggiring kami keruangan lebih dalam. Disebuah ruangan bertuliskan “Unit Perlindungan Perempuan dan Anak” kami dimasukkan. Duduk dan menunggu seseorang datang.
Polwan cantik berambut pendek menyalami kami semua. “Ini mbak Aisyah ya” sapanya saat menjabat tanganku resmi. Aku tetap dengan pakaianku, gamis dan masker. Ia memintaku duduk di kursi tepat diseberang mejaku. “Maskernya, bisa tolong dibuka mbak” pintanya pelan takut menyinggung. Aku melakukannya. Ia merogoh sesuatu dari laci meja itu, mengeluarkan sebuah kamera saku. Polwan bernama Novi itu memotreku 3-4 kali.
“Sudah siap kan mbak” tanyanya kepadaku lagi. Aku mengangguk, meremas lagi botol air mineral yang sejak dari rumah tak pernah kulepaskan. Kami dibawa berjalan masuk kedalam gedung, masuk lebih dalam dan dalam. Entah sudah berapa pintu yang polwan itu buka dengan kami mengikuti dari belakang. Sampailah dengan pinntu terakhir, diruangan yang tak terlihat meja kursi atau inventaris kantor lainnya hanya terlihat jeruju besi didepan mata. Sang polwan pergi, berbincang dengan sipir yang lain, kami berdiri diruangan itu.
Aku melamun, entah apa yang akan aku alami selanjutnya. Lamunanku dihentikan oleh suara gembok besar dan berat yang dibuka. Pintu beja berat terdengar bergeser, dua orang polisi membawa dua orang lelaki dengan wajah tertunduk dan tangan diborgol. Seorang sipir menemani laki-laki itu didalam jeruji besi. “Mbak, kesini sebentar” sang polwan cantik mengayun-ayunkan telapak tangannya memanggil. Aku mendekat dengan mama mendekap bahuku. Semakin dekat sampai berjarak hanya 1 meter saja dari lelaki itu.
Sipir mengangkat wajahnya satu persatu untuk kuteliti. Jantungku berdetak hebat seperti sedang berada di ketinggian menara. “Iya” kataku kepada semua orang dengan suara bergetar, “Itu Adit. Kalian pelakunya!” aku teriak. Mama mendekap bahuku kuat. Mereka berdua menangis ketakutan. “Tega sekali kamu ya? Apa salahku? Kenapa bisa kau lakukan hal keji itu padaku? Apa salahku? Bagaimana kalau hal ini menimpa keluargamu? Ibu bahkan kakakmu? Bagaimana? Bagaimana nasibku kalau malam itu tak ada Allah yang menjagaku? Bagaimana? Jika Rasulullah masih hidup, akan kuadukan kau padanya dan meminta kau dihukum mati” aku berteriak seraya menangis kencang diruangan itu. Aku melempar botol air mineral yang sudah setengah remuk kearah kepalanya hampir-hampir mengenai sipir penjara.
“Sudah buk sudah” kata sang polwan kepada ibuku dan mengajak kami keluar dari ruangan itu. Aku menangis. Merinding sekujur tubuhku dari kaki sampai kepala. Sang polwan mempersilahkan kami pulang dengan memberikan sebuah surat lagi dan berbincang sedikit kepada papa. Mobil berjalan, aku meringkuk dikursi belakang mengarah jendela kaca. Mereka berbicara dan mengobrol. “Si upik sekeluarga sudah pindah” kata mama, “Kemana?” tanya papa. “Kabarnya ke kampong halaman mereka di Lintang Palembang”, “Oh, syukurlah” jawab bang hen. Lalu sepanjang jalan mereka membicarakan perihal narapidana itu. “Kenapa dia bisa seberani itu?” “Kenapa dia tega sekali?”, “Apa dia tidak berfikir apa akibatnya?” “Mungkin mabuk!”.
…
Sepekan berlalu. Aku sudah menjadi anak biasa lagi sekarang, mungkin sudah lega karena penjahat itu sudah ditangkap. Aktivitasku sudah kembali seperti biasa, membantu pekerjaan mama dirumah dan di toko. Ingin rasanya aku memulai untuk mencari pekerjaan. Aku mengirim pesan ke Nina, bertanya apakah ada seorang bidan senior di desa yang sedang membutuhkan asisten atau Puskesmas sedang membutuhkan tenaga lebih sebagai TKS. Tak direspon oleh Nina. Aku husnudzhon saja mungkin Nina sedang sibuk atau lupa membalas pesan yang telah ia baca.
“Pa, Isyah cari kerja ya”tanyaku ke papa yang sedang sibuk mengecek catatan faktur di buku dan dinota. Papa menurunkan kacamatanya kehidung dan mengernyitkan kening “Boleh” jawab papa. “Tapi nanti , sesudah tahun baru” papa meneruskan. Aku diam saja.
***