Khitbah

3364 Words
Khitbah “Assalamualaikum ukhti” terlihat pesan di messenger masuk pagi-pagi. Aku yang masih lelah berniat untuk tidak membalasnya tetapi, aku sudah membacanya dan akan ketahuan jika tidak dibalas. “Waalaikum sallam warahmatullah” jawabku singkat “Afwan ukh, bolehkah ana bertanya?” “Tafadhol.” Haduuh mau apa lagi sih pikirku dalam hati “Anti sudah ada yang khitbah?” pertanyaan dari pria ini seakan petir tanpa pemberitahuan sekaligus kontras seperti angin sejuk yang Allah tiupkan ke relung hatiku. Bagaimana mungkin gelegar petir menyatu dengan hembusan angin yang menyenangkan? Seperti ketakutan dan keterkejutan yang menyatu dengan sebuah harapan. Tetapi aku takut, terlalu takut kalau ini hanya main-main saja. Aku tidak mengenalnya pun keluarganya juga teman-temannya. Tak ada yang bisa kutanyai apakah ini keseriusan atau main-main semata. Bisa saja ini teman masa kecilku yang sedang mempermnainkanku. Aku membalasnya datar kemudian. “Belum” “Alhamdulillah. Tunggu ana. Malam ini ana mau kerumah bersama Umi dan Abi untuk khitbah, semoga diterima.” “Afwan, antum siapa? Ana kenal antum? Jangan main-main!” jawabku kesal “Insyaa Allah nanti malam kita kenal. Syukron. Jazakillahu khoir” kemudian ia log out dari f*******:. Aku sebenarnya tidak terlalu memikirkannya, hanya bersikap rasional. Bagaimana seseorang yang tidak pernah bertemu sebelumnya tiba-tiba ingin meminangku? Mustahil kan. Fikirku. Aku berlalu, meninggalkan pesan itu tanpa berharap, aku takut kecewa. Aku sibuk dengan urusanku. *** “Syah, mama sama papa mau ke rumah pak Kades ada hal penting. Kamu bantu jaga kasir ya?” kata mama “Kan ada karyawan ma?” “Iya, tapi mama pengen kamu juga disana sampai mama pulang. Pahalanya besar loh.” Aku selalu kalah dengan kalimat mama yang terakhir, sepertinya mama memang tau senjata yang jitu untuk membidikku. Aku keluar dari kamar setelah berpakaian rapi dan tanpa masker, membawa serta buku sirah nabawiyah yang sedang kuulang baca, sambil menunggu mama dan papa pulang sore itu. Sore itu matahari terasa nyaman, seperti biasa banyak kendaraan lalu lalang. Toko papa tidak terlalu rame, hanya 5-7 orang silih berganti berdatangan. Tidak ada antrian panjang di kasir. Aku membaca buku sambil duduk dimeja kasir, membuka halaman demi halaman dengan serius. “Ini mbak” Suara laki-laki menegur dengan membawa keranjang yang sudah penuh. Aku mengambil barang-barang satu persatu, mengecek dengan mesin cek otomatis yang terhubung dengan komputer, ia membeli beberapa minuman dingin dari jenis susu, ia juga membeli roti dan beberapa cemilan lainnya. “Tujuh puluh Sembilan ribu” jawabku kepadanya. Ia merogoh kantongnya, menarik dompet dan mengambil selembar uang pecahan seratus ribu rupiah dan meletakkan diatas meja kasir. Aku mengambil uang tersebut, memasukkannya ke dalam laci uang kemudian mengambil kembalian. Kututup laci uang, kemudian mencabik struk yang sudah keluar otomatis, terpaksa aku melihat ke mata pelangganku ini karena sudah waktunya mengembalikkan uang. “Ini pak” suaraku keluar, sambil mendorong bungkusan penuh makanan dengan uang dan struk belanjaan. “Hah?” Sesaat jantungku terasa berhenti berdetak, nafasku sesak dan jika dibuka mungkin akan terlihat mukaku yang semakin memerah seperti buah tomat. “Ini kan lelaki itu? Ngapain dia kemari?” aku terkejut sekali. Lelaki yang barusan datang itu ternyata adalah pria yang pernah kupuji tampan sebelumnya, dia yang sudah 4 dan sekarang untuk yang ke 5 kalinya Allah mempertemukan kami. Dia berlalu, pergi meninggalkanku dan semua kebingunganku. Dari jalan tampak mobil papa yang sudah memasuki areal rumah, aku sudah tidak sabar menunggu mereka. Kuperintahkan seorang karyawan menjaga kasir dan menyambar mama “Ma, Isyah ke atas dulu ya. Penting” tak sempat menjawab aku langsung kabur berlari ke atas. Aku melompat keatas kasur ukuran king size tersebut kemudian menarik bantal menutupi wajahku. Entah apa yang terjadi padau. Aku begitu malu melihatnya. Melihatnya sedekat itu membuat hatiku tak karuan, aku tak tau apa itu. Perasaan ini sungguh belum bisa aku pastikan. Merasa bersalah dengan keadaan ini aku beristigfar berulang “Astagfirullah haladzim”, sampai aku bisa mengendalikan diri. Setelah enakan dan tidak berada dibawah pengaruh itu lagi, aku meraih hp ku untuk mengalihkan perhatian. Aku menarik-narik daftar kontak wa. Akhirnya berhenti di nama Asyifa. “Assalamualaikum Syif, khaifa halk?” “Khoir Alhamdulillah, teteh khaif halk?” “Khoir Alhamdulillah. Anti lagi apa?” “Baru pulang teh, ada yang mesti diurus di kampus. Oh, iya teh ada yang mau Syifa sampein” “Tafadhol” “Alhamdulillah teh, Syifa sudah di khitbah. Insyaa Allah 6 bulan lagi pernikahannya” “Masyaa Allah. Barakillahu fiykum. Semoga lancar sampe hari H ya sayang” “Amiin, Jazakillahu khoir. Oh iya teh, udah adzan magrib. Syifa sholat dulu ya. Assalamualaikum” “Waiyyaki. Waalaikum sallam warahmatullah” Aku senang sekali mendengar berita bahwa Syifa sudah di khitbah. Senang yang diselipi sedikit iri dihatiku, bagaimana tidak. Bukankah aku yang selalu bermunajat kepada sang Khaliq atas keinginan itu? Tapi apalah dayaku selain hanya memohon dan memohon. Mungkin Allah sedang mempersiapkannya untukku. Mungkin aku yang harus lebih menggiatkan ibadahku agar Allah mendengar ketukanku. *** Matahari sudah berlalu, sinarannya menyambangi negri lain. Selepas sholat Isya aku tidur-tiduran saja di atas kasur, menikmati suasana damai malam yang indah ini sambil membaca-baca kisah-kisah hijrah para akhwat dari google. Bagiku hal tersebut bisa memotivasiku untuk semakin membuatku rajin beribadah. “Syah” terdengar suara mama memanggil dari depan pintu kamar. “iya” jawabku sambil berjalan mnuju pintu yang terkunci. Mama terlihat cantik, menggunakan gamis baru yang masih tercium bau khasnya. “Mama mau kemana?” tanyaku desak “Dibawah ada tamu nyariin kamu. Kamu turun ya, ganti baju terus dandan dulu sedikit.” Fikiranku sudah sinis “Paling Billy atau orang-orang sejenis”. Aku menutup pintu dan menguncinya kembali, berniat tak ingin turun tetapi kemudian tidak jadi karena terlalu takut membangkang perintah orng tua. Aku membuka lemari pakaianku, meneliti satu-satu gamis apa yang akan kukenakan. Aku tersenyum setelah memegangnya, “Biar kapok” kataku sambil tertawa. Aku turun dari tangga, sudah full amunisi fikirku. Gamis hitam, jilbab hitam sebetis, kaus kaki hitam dan masker kain hitam. Mana mau pemuda desa kekinian dengan wanita kolotan seperti aku. Ditambah lagi hanya melihat mataku. Aku membalikkan badan membelakangi ruang tv tempat tamu-tamu tersebut duduk. Masuk ke dapur dan menemui mama, mama memintaku membawa nampan yang sudah penuh dengan 6 gelas the hangat, kami berjalan beriringan. Mama membawa nampan berisi beberapa piring berisi kue oleh-oleh yang kami bawa dari Bandung. Aku menunduk sambil membawa nampan, mendekati kerumunan aku melihat 3 tamu duduk berbaris, dua laki-laki bercelana cingkrang, 1 bercelana dasar biasa satu lagi bercelana cingkrang seperti milik Teunku Wisnu artis kelahiran Aceh yang kerjaanya wara-wiri di tv. Satu lagi seorang wanita bertubuh berisi, menggunkan kaus kaki coklat dengan gamis dan jilbab hitam panjang. “Bajunya jodoh” Suara berat yang aku kenal. “Hah? Pak haji? Ngapain?” fikirku dalam hati. Mama memanggilku setelah semua teh dan kue kuhidangkan dengan bersimpuh, karena kalau menunduk aku takut terjatuh terinjak gamis atau jilbab sendiri. “Duduk sini nak” mama memanggil. Aku duduk persis disebelah mama, segaris lurus dengan pria muda itu. Pria itu! “Hem” Pak Haji berdehem kemudian memulai “Bismillah, Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, karena yang dinanti sudah tiba baik langsung saja saya mengungkap niat kedatangan kami sekeluarga ini sebetulnya, jadi. Bapak, ibu Rahman kami kesini atas kehendak dan permintaan anak bungsu kami ini untuk segera melamar putri bapak, Aisyah. Ini dalam Islam dinamakan Khitbah, jadi kami kesini dulu mengikat putri bapak, jika setuju akan dilangsungkan proses lamaran dengan membawa keluarga besar baru kemudian kita melangsungkan pernikahan. Anak kami ini lulusan S1 dari UGM di Jogjakarta kemudian sempat mondok di salah satu pesantren di Jawa Timur, sekarang pekerjaannya membuka reklame di Kota dan sudah memiliki 2 karyawan tetap Alhamdulillah. Bagaimana bapak Rahman monggo jawabannya.” “Kalau begitu kami suami istri merasa tersanjung dan berterima kasih sekali pak Haji atas kedatangannya kemari, cuman kan ini masalahnya yang mau menikah itu bukan kita. Ada baiknya kita tanyakan saja langsung kepada yang bersangkutan. Bagaimana nak? Kamu mau menerima lamaran dari anak pak Haji?” Aku malu sekali, tanganku dingin dan bingung. Aku membisikkan jawabanku ke mama, lalu disampaikan oleh mama dihadapan semua orang “Isyah belum lihat orangnya katanya” sambil tertawa. Lalu semua orang tertawa renyah. “Nah nak, sekarang Isyah boleh lihat” mereka semua masih melanjutkan obrolan saat bulu mata lentikku mulai naik diikuti dagu runcingku. Dari kaki penglihatanku naik ke baju koko yang ia kenakan, kemudian tangan bersih dan kekar yang terlihat, lalu tiba di dagunya. Aku brhenti sejenak mengatur nafas dalam-dalam, aku melanjutkan melihat bibir merah indah dan naik menuju hidung mancungnya. Ia sedikit tersenyum padaku, lalu kulanjutkan kemata dan terkahir terlihatlah ia keseluruhan. “Dia kan?” “Sudah nak?” suara pak haji mengganggu. Aku cepat-cepat menunduk kembali. Aku melihat kedua kaki pria itu bergoyang kesamping. “Nak Isyah, sekarang gantian Yusuf juga ingin melihat wajahmu”. “Hah? Yusuf? Anak pak haji namanya Yusuf? Apakah?” “Ayo nak maskernya dibuka” jawaban mama memecah lamunan. Aku membuka masker hitam itu pelan sambil menunduk. Kulihat Umi pria itu berjalan pindah ke kursi sebelahku. “Ayo nak enggak usah malu” bujuknya padaku seolah ia sangat paham isi hatiku. Ia meletakkan tangan kirinya kebawah daguku dan mengangkat pelan, momen tadi terulang kembali. Sesekali aku menahan dorongan ke atas tangan wanita itu, lalu tangan kanannya menepuk bahu kananku dan meneruskan dorongannya. Aku sudah sampai puncak, melihatnya tepat dikedua matanya, menahan senyuman malu itu. Kami berpandangan. Sedetik rasanya sejam. Dunia serasa berhenti berputar saat mata kami bertemu tanpa penutup wajahku. Matanya seperti berbicara, melihatku dalam penuh makna. “Sudah, cukup!” suara berat itu lagi-lagi menghentikan dunia indahku. “Bagaimana Nak Isyah? Kan sudah lihat 2 kali. Sudah mau apa belum?” aku diam tersipu malu, bingung bagaimana cara menjawab iya. “Diamnya seorang wanita itu berarti setuju” suara umi terdengar. “Sebentar buk, pak saya tanya dulu” suara mama mengkonfirmasi. Mama menatap wajahku menunggu jawabanku dengan menggerak-gerakkan keningnya. Aku mengangguk pelan. “Alhamdulillah pak diterima” jawab mama mengulang jawaban yang sebenarnya sudah diketahui mereka sekeluarga. “Alhamdulillah” jawab mereka hampir-hampir berbarengan. “Mari pak haji, bu haji dimakan ini alakadarnya.” Mereka meminum dan menyantap hidangan yang kami siapkan sambil membicarakan rencana melamar secara resmi 2 minggu lagi, dan pernikahan sebulan setelahnya. Aku mengambil gelas teh bagianku, dan meminumnya pelan-pelan. Tak lama mereka bertiga pamit. Umi berjabat kemudian mencium dan memelukku setelah mama, pelukan hangat dari seorang ibu bercadar yang aku tak tau wajahnya seperi apa. Calon mertuaku.mereka semua berlalu keluar, papa mengantar dan mengobrol dengan pak Haji diperjalanan juga mama dan bu haji menyusul dari belakang. Ia melaluiku, pria tampan calon sumiku, berbau parfum soft yang damai. Sekali lagi mata kami beradu, rasanya seperti dialiri listrik seluruh tubuhku. *** Aku membereskan meja, dan meletakkannya di dapur. Aku menemui papa yang sedang duduk mengobrol dengan mama di ruang tv. “Pa, itu bang Yusuf anak pak haji yang dulu nolong Isyah?” “Iya” “Terus kenapa tadi dia pengen liat muka Isyah, padahal kan dulu udah” “Mungkin dia udah lupa wajah kamu, lelaki kalo udah suka sama perempuan emang gitu, suka lupa wajah. Mukanya jadi ngeblur.” Jawab mama “Syah, ada kado” panggil bang hen yang beru pulang dari menutup toko papa yang kedua “Kado apa? Dari siapa bang?” “Anonymose!” jawabnya sambil berlalu menuju kamar. Aku turun kembali dan memanggil bang Hendri, berbicara hanya berdua di meja makan. “Bang, hadiah yang abang maksud kemrin ternyata ini ya?” tanyaku “Iya, suka?” abang balik bertanya “Masyaa Allah, Jazakallahu khoiran ya abang sudah membantu Isyah” “Iya, sebenarnya sejak awal kamu gagal menikah dulu lalu kemudian mau berhijrah abang bahagia sekali, ditambah lagi dengan hijrahmu yang tidak main-main. Disaat itu abang sudah betekad untuk mencarikanmu jodoh seorang lelaki yang tepat, tetapi sampai tenggat waktu ssebulan dari perjanjian dan berbagai insiden yang menyusul abang lihat kamu sedang bersedih, lalu abang pun menunda niat baik abang. Sampai saatnya lelaki baik itu datang sendiri menemui abang, meski setelah kejadian buruk yang menimpamu. Dia memintamu dari abang, tetapi mungkin memang belum takdirnya saat itu jadilah sekian lama kemudian baru kalian dijodohkan” “Masyaa Allah, Isyah terharu bang. Semoga Allah kirim jodoh wanita soleha yang paling mulia untuk abang ya” “Allahumma Aamiin” “Oh, iya bang. Bang Yusuf ini akun Facebooknya Abdullah Yusuf bukan?” “Kenapa memangnya?” “jadi tuh ya selama kita di Bandung ada laki-laki kirim pesan ke Isyah, nanya ini dan itu. Isyah cuek dan enggak mau perduli soalnya Isyah takutnya itu orang iseng, Eh tadi pagi dia kirim pesan mau khitbah. Isyah kira kan bohongan, lah ternyata seriusan.” “Waah, Yusuf mencuri start ya” Kami berdua tertawa, sekelebat aku teringat kepada sahabatku Nina. Iseng saja aku bertanya kepada bang Hendri perihal masalahnya “Bang, kalau orang sudah hamil duluan itu baiknya gimana? Taubat dulu lalu kemudian menikah, atau taubat dulu kemudian anaknya dilahirkan baru menikah?” “Kenapa kamu tanyain itu?” “Ya pengen tau aja bang” jawabku pura-pura “Kalau abang tidak salah ada dua pendapat mengenai ini pertama mereka berdua taubat, kemudian anaknya dilahirkan baru menikah. Kedua mereka bertaubat, kemudian langsung menikah dan melahirkan anaknya, Cuma abang masih ragu. Perihal ini sesungguhnya abang belum kuasai. Abang mohon ampun kepada Allah jika abang salah atas penjelasan ini, nanti kita cari dalilnya sama-sama ya” “Terus status anaknya gimana? “Status anaknya? Anak itu terlahir fitrah, tidak ada anak haram seperti yang kebiasaan masyarakat katakan. Namun, jika anak yang terlahir itu adalah anak perempuan maka hilangklah hak ayah atas diri anak tersebut seperti pada saat menikahkan anaknya nanti itu harus orang lain, juga saat pembagian harta warisan maka terlepaslah hak anak terhadap harta waris kedua orang tuanya tersebut?” “Gitu ya bang? Ngeri ya bang!” “kalau abang tidak salah sih seperti itu. Makanya anak sekarang mau laki-laki atau perempuan harus diajarkan Tauhid sejak dini agar tidak salah jalan, banyak kan perempuan sepeti itu, setelah hamil malah ditinggal pergi sama yang laki-laki.” “Iya sih bang, banyak. Kalau gitu Oim kita masukin Pesantren aja bang, gimana? Kan di Jawa banyak pesantren bagus, lagian dia kan laki-laki bang, lebih enak jaga diri” “Iya nih abang lagi nyari-nyari juga referensi pesantren yang ada kelas robot-robotnya. Oim kan suka robot, mungkin dia bisa tertarik, abang juga lagi nyusun strategi nih biar dia mau” “Oke bang, nanti Isyah bantu. Isyah tidur duluan ya” “Iya” jawab abang. Aku beranjak ke atas. *** Aku masuk ke kamar, mengganti pakaianku dan buru-buru meraih handphone lalu mengeceknya. Tak ada pesan darinya masuk darinya, dari Abdullah Yusuf sang lelaki yang dulunya kuanggap pengganggu selama masih di Bandung. Pandanganku tertuju kesebuah kado kecil yang diberikan bang Hendri tadi, kubuka kado itu. Alangkah terkejutnya aku melihat isinya yang ternyata sebuah susu merek milo kaleng yang dibeli oleh bang yusuf sebelumnya. Aku tersenyum bahagia. Sepertinya rahmat Allah sedang tercurah berlimpah kepadaku. Kuintip dari jendela kamarku ternyata lampu kamarnya menyala, aku menunggu pesannya selama 30 menit. Belum juga ada pesan masuk, kulihat ia sudah online sejak 20 menit yang lalu. Aku memberanikan diri, mengarahkan jemari mengetik dan merangkai kata. Ah, aku terlalu takut! Lalu aku menghapusnya. Berulang kali aku lakukan hal yang sama, tetap tidak bisa. Lalu aku menyerah dan menaruhnya. Bersiap tidur agar bisa bangun awal. “Kenapa enggak jadi?” tanyanya kepadaku melalui messanger “Afwan, enggak jadi apa?” “Tadi bukannya udah diketik? Kenapa enggak jadi dikirim?” ternyata dia melihatku, dia juga menungguku “Hehe, enggak kenapa-napa khi” “Panggil abang juga boleh kalau mau” iya bang, sebelum abang suruh juga udah dipanggil abang dari tadi, kataku dalam hati “hehe, iya abang” “Sudah malam, ayo tidur. Assalamualaikum” “Waalaikum sallam” “Oh iya, jazakallahu khoir untuk kadonya” “ J Waiyyaki” Obrolan berakhir, kami berdua log out lalu tidur dikamar masing-masing. *** Matahari mulai meninggi, matahari di hatiku serasa bersinar lebih terang, tak ingin padam. Masih terngiang jelas di hati dan fikiranku kejadian semalam, dalam sekejap aku sudah dipinang orang. Hanya aku sendiri yang tau rasanya, tersipu-sipu setiap kali mengingatnya. Pagi itu seperti hari-hari sebelumnya, aku sudah mandi dan rapi. Membaca beberapa buku dikamar sebelum turun kedapur. Lampu hp berkedip, tanda sesuatu masuk. Panggilan dari nomer baru. “Assalamualaikum” ucapku menyambut deringan “Waalaikum salam, lagi apa dek? Sudah sarapan?” hah, suara itu? Fikirku “Enggak lagi apa-apa bang, iya ini belum sarapan” “Oh, iya nanti jangan lupa sarapan. Oh iya, abang 2 minggu ini sibuk di kota, banyak pesanan Alhamdulillah. Kamu enggak kangen kan?” “eh, hehe” jawabku kikuk “Kalau kangen telfon aja. Oh iya, kamu dimana?” “Dikamar bang, kenapa?” “Kamu kekaca ya sekarang?” “Kaca?” “Kaca depan, abang ada diseberang jalan. Pengen liat kamu walau Cuma dari jauh” “eh, iya bang” aku berjalan cepat-cepat setangah berlari “Jangan lari, nanti jatuh” aku tertawa pelan “Sudah” kataku seraya membuka tirai tipis jendela kaca besar itu. Aku melihat sebuah mobil pick up berhenti diseberang jalan depan pertokoan. Dia melambaikan tangan dan kubalas. Sesaat kami saling menatap, meski dari jarak yang sangat jauh. Aku tersenyum tersipu. “Cukup?” suara dari seberang jalan menghentikan lamunan “Iya” jawabku pelan “Abang pergi dulu ya, Assalamualaikum” “waalaikum sallam warahmatullah” Jatuh cinta sungguh indah, jatuh sejatuh-jatuhnya langsung kepada orang yang tepat. Bukan persinggahan atai main-main sementara. Jatuh cinta kepada calon suami yang sedikit lagi akan menjadi kekasih halal. Ternyata seperti ini rasanya cinta, to the point tanpa perlu basa-basi atau bertele-tele. Setelah cinta maka menikahlah. Memang benar hadist Rasulullah berkata “Tidak ada solusi terbaik begi sepasang insane yang jatuh cinta selain menikah” Aku jatuh cinta, bang! Aku berjalan pelan menuju kamar, senyum-senyum sambil berjalan. “Ngapain kesana kak?” sapa adikku yang baru selesai mandi dengan rambut basah “Betet cicak” jawabku asal Aku masuk kamar, mengunci pintu tersipu-sipu diatas kasur. Pindah kemeja. Kuraih pena dan kertas yang tersusun rapi di atas meja, membiarkan jemariku menari di atas pena membuat goresan-goresan indah di atas kertas putih itu. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah hirabbil ‘alamin. Tak henti-hentinya Isyah bersyukur, kepada Allah karena sudah mentakdirkan kita berdua berjodoh. Tak terkira betapa bahagianya Isyah saat mengetahui bahwa yang menjadi calon suami Isyah adalah abang. Semua serasa mendadak, tapi jodoh siapa yang tahu. Bukankah jika Allah sudah berkehendak maka yang mati pun bisa hidup kembali? Setitik pertanyaan muncul dihati, bukan keraguan yang digurui oleh syetan yang memang senang menggagalkan pernikahan. Semenjak malam berdarah itu apa sebenarnya yang abang rasakan kepada Isyah? Sejujurnya dari lubuk hati yang paling dalam Isyah malu menatap abang ketika sekelebat masa lalu itu muncul tiba-tiba seperti kilat. Untuk hal ini Isyah membutuhkan jawaban. Isyah mohon dari abang. Sejujurnya, sejak awal bertemu di parkiran, Isyah sudah merasakan sesuatu kepada abang, berlanjut ke pertemuan kedua dikedai bubur ayam saat mata kita saling beradu pelan, lanjut ke pertemuan ketiga di masjid Ali Imran. Tetapi, Isyah belum bisa memastikan perasaan apa ini sebenarnya. Isyah takut, kalau perasaan itu dihembus-hembuskan ke dada oleh syetan sebagai asbab untuk lalai dari mengingat Allah. Tetapi kemudian abang datang, bersama abi dan umi. Meminang dan meminta Isyah dari orang tua Isyah. Isyah bahagia sekali bang. Masa lalu Isyah bukannya mulus seperti lantai marmer masjid Nabawi, ada cerita pedih dibaliknya. Sepertinya akan terlalu panjang bila Isyah ceritakan disini, pun Isyah bingung harus memulai dari mana. Apapun yang ingin abang ketahui akan Isyah jawab sejujur-jujurnya tanpa dusta, Allah menjadi saksi perkataan Isyah. Sudah cukup, semua yang ada dihati sudah tercurah. Tak ada yang disembunyikan walau hanya sebutir pasir. Jika memang takdirNya maka surat ini akan sampai ditangan abang tepat setelah pernikahan. Oh, iya bang bolehkah Isyah meminta sesuatu kepada abang? Karena mungkin Isyah tak akan berani memintanya langsung saat kita baru berumah tangga nanti? Maukah abang mengajak Aisyah liburan ke Jogjakarta stelah kita menikah? Isyah tunggu semua jawaban abang dengan sabar. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Aisyah Humaira Rahman Aku menyimpan surat ini desebuah amplop berwarna merah muda, kutulis judul untuk Suamiku tercinta di pojok kiri atasnya. Lalu kusimpan baik-baik didalam lemari dibawah tumpukan baju-bajuku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD