Prosesi lamaran
Malam ini acara lamaran kami berlangsung,aku bersiap pagi-pagi sudah turun. Terlihat beberapa orang asing sudah memenuhi ruangan bawah, mengangkat meja dan kursi mengosongkan ruangan tv yang luas itu. Beberapa pekerja mulai menata ruangan, tampak mewah jadinya. Memasang background untuk sesi foto disalah satu sudut ruangan bertuliskan ‘Aisyah & Yusuf’, juga papan tanda unik bertuliskan ‘Wellcome to the Enggangement Aisyah & Yusuf’ disudut lainnya.
“Mah? Ini apa? Kok enggak nanya Isyah dulu?” tanyaku sedikit marah
“Ini konsep dari WO nya Syah, udah kamu tenang aja biar mama yang urus”
“Tapi, kenapa mama enggak nanya Isyah dulu?”
“Loh bukannya seminggu yang lalu mama sudah pernah nanya ke kamu? Kamu bilang kan terserah mama aja?” Oh Tuhan, aku lupa, kenapa saat itu aku jawab seperti itu ke mama? Kenapa tidak aku yang turun tangan dari awal? Apa yang akan aku katakana kepada bang Yusuf dan keluarganya?
“Ya, maksud Isyah itu buatnya yang biasa aja. Yang sederhana mah”
“Nak, ini udah yang paling sederhana, udah deh jangan ngebantah terus” aku terdiam tak berani, melihat semua sudah ada yang mengerjakan aku memilih kembali saja ke atas, bermain dengan anak tante Marina yang kecil.
“Syah, nanti sore ada tukang salon kesini, bajunya juga udah mama siapin, kamu sekarang istirahat aja dikamar. Mama udah banyak yang bantu” teriak mama ketika aku sedang berjalan menuju tangga. Di rumah sekarang memang sedang banyak orang, banyak tetangga yang datang membantu.
…
Sejak sore mbak Wina sudah berdiam dikamarku, dengan semua box peralatan make up dan gamis atau lebih mirip gaun ikut menyertainya.
“Mbak Wina udah lama kerja di WO ini?”
“Sudah mbak, sejak pertama WO ini berdiri”
“Sebelumnya belajar dimana mbak?”
“Saya dulu ikut kursus mbak di Jakarta sama Bali”
“Oh” obrolan renyah kami dihentikan oleh suara adzan maghrib yang berkumandang.
“Sudah adzan mbak, Isyah sholat dulu”
“Oh iya mbak silahkan, kebetulan saya lagi berhalangan”
…
Selesai sholat ia memanggilku “Mari mbak, sini saya bersihkan mukanya”
“Loh? Bukannya dandannya sudah Isya mbak?”
“Kalau sudah Isya terus selesainya kapan mbak e?” jawabnya dengan logat jawa halus
“Lalu, bagaimana saya sholat Isya nanti?”
“Begini saja,mbak sekarang ke toilet, buang hajat dan semuanya. Setelah itu berwudhu. Lalu saya mulai make up nya, setelah make up nanti perkiraan saya pas waktu adzan isya, nah mbak sholat. Terus baru kita rapihin baju sama jilbabnya. Gimana?
“Setuju”
***
Aku mengikuti semua saran mbak Wina, tangannya mulai liar kekiri dan kekanan mengelilingi wajahku. Berulang-ulang ia maju mundur mengecek ulang alis dan lipstikku. “Sedikit lagi ya” katanya padaku. Sesaat kemudian adzan Isya berkumandang. “Mbak Isyah sholat dulu” kataku kepadanya. Aku melaksanakan sholat dengan hati-hati sesuai perintahnya, tidak terlalu menekan kening juga hidung ke sajadah.
“Ayu ne” katanya kepadaku saat aku sudah kembali ke kursi rias miliknya. Ia menyuruhku memakai gaun itu, gaun berwarna peach full borkat dengan hijab lilit yang besar dan panjang. Aku memakai gaun itu peach yang berat dengan bahan jatuh dan halus itu, mbak Wina mulai memutar-mutar jilbab dikepalaku. Ia member sentuhan akhir untuk mahakaryanya malam ini, sebuah mahkota kecil duduk manis diatas kepalaku.
“Masyaa Allah, cantik sekali nak” suara tante marina mengagetkanku yang sedang sedikit mengagumi mahakarya riasan yang dipoles oleh mbak Wina, begitu soft, ‘hampir-hampir mirip Raisha’ kata mbak Wina. Entah dari mana wajahku bisa mirip dengan artis terkenal tersebut, mungkin mbak Wina terlalu banyak menonton televise.
“Udah selesai? Tamunya sudah datang” sambung tante, aku terkejut. Darahku mengalir deras sampai tanganku basah, seperti mimpi malam ini ternyata benar-benar terjadi. “Yuk, turun” sambungnya lagi. Kami bertiga turun, tante dan mbak Wina menuntunku pelan menuruni tangga, saat turun semua sudah siap. Aku tertunduk tersipu malu. Hatiku menuntunku mencari pujaan hatiku, meski otakku melarang karena malu. Tetapi dorongan hati ternyata lebih kuat, aku menaikan dagu. Memutar sedikit demi sedikit kepalaku mencari, dia duduk diseberangku, menggunakan gamis putih bersih dan peci berwarna senada.
Pandangan mata kami beradu, ia melempar senyum manis padaku yang kubalas sambil tertunduk malu. Ditengah ruangan tampak beberapa kotak ‘bawaan’ keluarga abang. Kuhitung ada 7 kotak disana. berbungkus rapih dengan pita berwarna merah muda. 1 orang juru foto dan 1 orang pengambil video tampak sudah sibuk dari tadi. Mondar-mandir mengambil gambar. Acara dimulai. Pak RT tampak gagah memberi kata sambutan dan membaca serangkaian acara. Tanggal pernikahan sudah ditentukan, yaitu satu bulan dari sekarang.
“Baiklah, sekarang pemberian cincin dari calon suami kepada calon istri tanda pengikat lamaran” suara mc tiba-tiba mengejutkanku. Bagaimana mungkin abang mau menyentuh jemariku yang belum halal baginya?
Keluargaku dan keluarganya berdiri didepan background yang siang tadi aku ributkan, abang merogoh kantong dan mengambil sebuah cincin emas dari sebuah kotak. Ia memberikan cincin itu kepada umi, kemudian umi memasangkannya di jari manisku. Sang juru foto sibuk memencet-mencet tombol di kameranya. Beberapa ibu-ibu tampak berbisik entah apa yang mereka bicarakan.
Sang pembawa acara menutup acara kemudian mempersilahkan mereka semua makan. Masing-masing orang berdiri tertib menuju meja prancisan. Sang juru foto memanggilku untuk berdiri dan mengambil gambar. Ia juga mengambil gambar bang Yusuf. Kemudian kami disatukan, “geser sedikit, lebih rapat lagi” sang juru foto mengarahkan. Kami tampak kikuk, meski terlihat tersenyum manis didepan kamera.
“Geser lagi” lagi-lagi perintahnya. Mama yang geram dari tadi berdiri dan merapatkan kami berdua sehingga lengan kami bersentuhan “Kan pake baju” bisik mama padaku pelan. “Afwan ya bang” kataku pelan disebelahmya. “Iya, enggak apa-apa. Abang paham” jawabnya menenangkan. Sesi foto malam itu berakhir dengan lengkap. Entah berapa puluh foto yang ditangkap. Acara kemudian berakhir.