Minyak Bubut
Hujan mengguyur desa di pagi minggu bahagia ini, aku mengkhatamkan qur’anku yang sempat tertunda beberapa hari belakangan. Sedikit lagi tinggal beberapa surat saja. Setelahnya aku mandi pagi, perutku terasa pedih karena lapar, aku baru ingat sejak siang kemarin memang aku belum makan apapun. Mungkin karena terlalu stress menghadapi acara semalam. Aku bersiap menganakan gamis, lalu turun kebawah. Terinjak sesuatu lalu berguling ditangga. Setidaknya hanya itu yang kuingat.
“Isyah kenapa?” tanyaku kepada mama yang sibuk membalurkan minyak kayu putih ke badanku dan menciumkan aromanya kehingku sambil memanggil-manggil namaku.
“Kamu jatuh ditangga, terus pingsan.” Aku mencoba duduk dan menggeser kaki “Aarrrgh” aku memekik “Sakit ma”. Mama berhambur keluar, memanggil papa.
Papa, mama dan uni Ida kekamarku. Papa meminta uni Ida mengecek kakiku. “Oh, ini keseleo. Urut sedikit nanti sembuh” jawab uni Ida PD. Uni Ida memang bisa mengurut, dulu waktu Boim masih SD dan keseleo beliau juga yang memijatnya sampai sembuh. “Tahan ya” katanya padaku sambil mengelus-elus kaki putihku dengan minyak urut. Ia mulai mengurut kakiku, terasa sakit sekali. Aku menahan suaraku agar tak berteriak, malu soalnya kalau sampai terdengar ke kamar bang Yusuf. Air mataku menetes saking dahsyatnya rasa sakit dikakiku “Sudah, sebentar lagi sembuh” Uni Ida menenangkanku.
“Jangan banyak gerak dulu, kalau butuh apa-apa telfon mama” ultimatum dari mama yang tidak bisa dibantah.
***
“Syah ada bu haji” mama memanggilku.
“Assalamualaikum Aisyah”
“Waalaikum salam umi” aku mencium kedua pipinya
“Saya bikin teh ya bu haji” kata mama
“Enggak usah repot-repot bu Rahman, jazakillahu khoir”
“Iya, enggak apa-apa bu haji” jawab mama lalu keluar dan menutup pintu. Wanita itu membuka cadarnya, ternyata wajahnya teduh sekali. Dengan masih tampai sisa-sisa kecantikan masa mudanya terdahulu yang sudah sedikit tersamarkan oleh garisan-garisan waktu di wajahnya.
“Masyaa Allah umi cantik sekali ternyata”
“Masyaa Allah, Aisyah bisa saja. Oh iya, ini umi bawakan barang kiriman Yusuf untuk kamu. Siang tadi pas tau kamu jatuh dari tangga ia menitipkan barang-barang ini sama mobil travel, ada minyak burung bubut pesannya harus dioles sesering mungkin. Terus ada susu milo kesukaan kamu sama buah-buahan, Yusuf bilang afwan tidak bisa pulang karena sedang banyak orderan. Umi juga beliin kamu roti. Dimakan yan sayang”
“Masyaa Allah umi, ini kebanyakan. Jazakillahu khoiran katsiran ya umi”
“Waiyyaki”
Lalu mama masuk ke kamar, mengobrol banyak dengan umi sambil tertawa terbahak. Tak lama umi pamit.
***
“Assalamualaikum” suara seorang perempuan diluar pintu
“waalaikum sallam, masuk aja enggak dikunci” jawabku dari dalam
Gadis itu masuk perlahan, membawa sekantung jeruk sebagai buah tangan.
Sudah 3 hari aku istirahat total di kamar. Kakiku sudah mulai membaik dan aku sudah bisa berjalan meski masih sedikit meloncat-loncat. Sudah hari ke 4 sejak pertemuan kami yang terakhir bang Yusuf belum juga menelfonku. Bukankah sebelum malam lamaran itu ia selalu menghubungiku. Ada kegelisahan dihatiku tentang penyebab ini terjadi.
“Abang lagi sibuk?” aku mengganggu bang Hen siang itu
“Enggak, kenapa?”
“Boleh nanya bang?”
“Tafadhol princess”
“Bang, bang Yusuf sudah 4 hari enggak memberi kabar, abang tau enggak kira-kira kenapa?”
“Sibuk mungkin”
“Kemaren-kemaren juga sibuk, tapi tetap sempet kok ngucap salam”
“Iya sih, malam terakhir abang ketemu dia emang seperti lagi mikirin sesuatu. Kamu ada salah ngomong ya?”
“Enggak bang. Ngomong apaan. Ngomong aja enggak berani”
“Hmmm, entar deh abang tanyain”
“Makasih bang ya”
“He-eh”
…
Aku menunggu dengan sabar, jarum jam dikamarku sudah menunjukan pukul 9 malam. Akhirnya hp ku berbunyi, panggilan dari ‘Bang Yusuf’
“Assalamualaikum” sapaku girang
“Waalaikum sallam warahmatullah” suaranya terdengar sedih
“Abang apa kabar?” aku tak sabar
“Alhamdulillah ala kulli hal”
“Abang sudah makan?” desakku lagi
“Sudah”
“Ab..”
“Syah, Aisyah abang ada yang mau disampaikan penting. Besok bisa keluar sebentar? Ajak Hendri. Ini penting menyangkut masa depan kita. Besok abang tunggu di alun-alun desa jam 10 pagi ya. Assalamualaikum warahmatullah”
“Waalaikum salam warhmatullah” tut! Sambungan kami terputus. Aku gusar sekali, bertanya-tanya dalam hati apa yang sebenarnya terjadi. Aku turun tertatih-tatih menuju kamar bang Hendri, rupanya ia belum pulang. Mungkin sedang menutup mini market papa yang satunya lagi. Aku tak patah arang. Kutunggu bang hendri sampai pulang. Aku mendesak dan terus mendesaknya. Akhirnya ia mau terbuka dan berbicara asal aku janji akan berpura-pura tak tau apapun didepan bang Yusuf esok pagi. Betapa terkejutnya aku mendengar berita yang bang Hendri sampaikan. Bagaimana bisa masalah seperti ini datang disaat hari pernikahan yang tinggal 3 minggu lagi? Bgaimana bisa semua kekacauan ini akan menghancurkan pernikahanku lagi? Tidak. Aku tidak mau. Aku akan memperbaikinya.
…
Pukul 10 pagi aku dan bang Hendri berangkat dari rumah dengan mengendarai motor . Meski tersendat aku berusaha sekuat tenaga berjalan. Motor berhenti di areal parkiran alun-alun. Tampak seorang pria berjenggot sudah menunggu di sebuah kursi panjang atribut kota.
Bang Hendri duduk menengahi kami, ia memulai percakapan secara serius tanpa sedikit menatapku.
“Sehari sebelum prosesi lamaran kemarin, seseorang datang ke toko abang. Dia mengaku namanya Adi” apa? Adi? Gumamku pelan.
“Awalnya ia hanya mengajak berkenalan, bertanya dan mengobrol ini dan itu tentang pekerjaan. Kemudian ia menyinggung namamu dek, ‘Aisyah’, percakapannya mulai menjurus. Terlihat sekali bahwa pertanyaan-pertanyaannya tadi kepada abang hanyalah basa-basi. Dia mulai mengumpat, mengatakan hal-hal buruk tentang Aisyah, sahabatku hendri juga keluarga kalian berdua. Tentu saja abang menolak dengan tegas apa yang ia katakana karena abang tau bagaimana kualitas keluarga calon mertua abang. Sampai suatu kalimat terucap dan membuat abang tidak bisa tidur selama beberapa hari,dek”
Aku terdiam, tak berkutik, tak berani menyela apalagi menjawab. Kulihat sangat berat ia mengeluarkan kalimat tersebut. “Ayo, katakana sekarang” teriakku dalam hati yang hanya bisa kudengar sendiri. Ia mulai menggerakkan bibirnya dan mengolah kata menjadi kalimat
“Aisyah sudah tidak perawan lagi, itu yang dia katakan kepadaku dik”
Aku terpaku, dengan mata menyorot jalanan yang serasa pergi menjauh aku membisu. Bagaimana hal sekeji itu bisa menimpaku? Apa maksudnya? Itu fitnah?
“Dek, abang menanti jawabanmu”
“Wallahi bang, itu semua fitnah. Memang betul Isyah dulu pernah dekat dengan beliau, tapi apa itu berarti Isyah sudah melakukan hal sekeji itu? Tidak demi Allah Rabb semesta alam. Berfikirpun Isyah tak berani untuk melakukan hal itu sebelum menikah bang! Bagaimana mungkin abang tega berfikir yang tidak-tidak terhadap Isyah?” jawabku dengan suara bergetar yang diikuti linangan air mata yang tumpah tanpa perintah dan mungkin akan mngeluarkan darah.
“Bukan begitu dek, maafkan abang. Abang hanya memastikan. Posisi abang sekarang berat dek, sungguh!”
Aku mengerti, jika aku berada di posisi bang Yusuf mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Tetapi tetap saja, sebagai perempuan aku marah dan kecewa bagaimana bisa calon suamiku meragukan karakterku?
“Oke, kita tes hari ini juga. Kita ke dokter spesialis obstentri dan ginekologi dengan disaksikan mama dan umi. Jika hasilnya Isyah dinyatakan benar tidak perawan lagi, maka semua pemberian abang dan keluarga abang akan Isyah kembalikan utuh. Ayo bang Hendri, kita pulang” sambil berdiri aku menarik tangan bang Hendri bergegas, sayang kakiku ternyata masih belum mampu menerima gerakan kejutan yang aku berikan. Aku terjatuh!
Bang Hendri membantuku berdiri dan duduk kembali.
“Sudah dek, abang sudah percaya. Ketika seorang manusia sudah bersumpah dengan nama Allah, bagaimana mungkin abang bisa ragu?”
“Enggak bang, ini persoalan lain. Isyah ini calon istri abang. Bagaimana Isyah bisa tidur sampai malam pernikahan kita jika selama rentang waktu ini Isyah belum memberikan bukti yang nyata kepada abang?”
“Baiklah dik kalau itu maumu. Mari kita pulang dan bicarakan kepada orang tua kita masing-masing.”
Akhirnya kami sepakat pulang. Aku, kedua orang tuaku juga bang Hendri mengobrol intim dikamarku yang terkunci rapat, aku menceritakan semua yang sudah terjadi kepada kedua orang tuaku dengan linangan air mata yang tiba-tiba mengalir sendiri tanpa perintah. Mereka berfikir keras, dan akhirnya memutuskan untuk menemui keluarga bang Yusuf. Saat beranjak terdengar pintu kamar diketuk, ternyata uni Ida yang berada diseberang daun pintu memberikan kabar bahwa dibawah sudah ada pak haji, bu haji dan anaknya menunggu.
Kami semua turun kebawah, menemui mereka. Umi masih sama, ia tetap memeluk dan menciumku saat bertemu. “Mari pak, mungkin kita bisa mengobrol berempat saja” kode yang jelas sekali dari abi bang Yusuf bahwa ia ingin membicarakan ini tanpa kami.
“Mari pak, ikut keatas” tangan papa mempersilahkan umi dan abi menaikki tangga untuk ikut dengannya ke ujung lorong ruang atas tempat keluarga biasa bersantai.
Lama mereka mengobrol sekitar setengah jam, kami bertiga menunggu resah didepan tv. Sebenarnya ini bukan urusan bang Hendri, aku kasihan kepadanya karena berulang kali ia harus ikut andil dalam masalahku, tapi mau bagaimana. Aku tak mempunyai kakak laki-laki, cukuplah dia sebagai mahromku. Dan lagi dia lebih paham masalah ini dariku, dia pasti tidak akan keberatan.
Mereka turun dengan muka tegang, terlihat sekali urat-urat stress muncul dari kening-kening mereka, kecuali umi.
“Kita ke Kota selepas sholat Dzuhur” perintah abi tegas
“Dan masalah ini, cukup kita bertujuh yang tahu” ultimatum papa keluar
Mereka pamit pulang. Aku menaiki tangga lemah, tak ada lagi yang kufikirkan selain bersimpuh memohon kekuatan kepada sang pemilik segala kekuatan.
***
Selepas sholat mobil berangkat masing-masing. Tidak beriringan atau berdekatan jarak. Tak tampak olehku apakah mobil bang Yusuf sudah jalan atau belum. Serasa hanya hitungan jari saat bermain petak umpet semasa kecil dahulu. Mobil kami tiba-tiba sudah sampai dikota tepat pukul 3 sore. “Kama da?” tanya bang Hendri kepada papa dengan logat minang. Mereka berdua memang sering mengobrol dengan bahasa minang yang kental, mungkin karena relasi kerja mereka yang juga didominasi orang minang.
“ke masjid Raya saja, sekalian menunggu waktu sholat ashar sebentar lagi” jawab mama
Mobil berhenti di masjid kebanggaan kota, aku masuk dan langsung melaksanakan sholat tahiyatul masjid. Lalu disusul sholat ashar berjamaah. Selepas sholat papa memerintahkan kami semua masuk mobil. “Ke Jl. Wr. Supratman Hen, ke dr.Fitriani, Sp.og” sambungnya
Oh ternyata mereka sudah sampai dan menunggu disana fikirku dalam hati. Mobil berhenti, kami turun dan masuk. Aku disambut umi dengan ramah. Ternyata dia sudah mendaftarkanku di urutan pertama dengan nama Amalia putri. Aku mengerti maksud umi, ia ingin menjaga identitas dan nama baik keluarga kami. Aku melakukan pemeriksaan awal, pengukuran tinggi dan penimbangan berat badan juga pengukuran tensi darah. Seorang bidan menanyai beberapa riwayat penyakit dan keluhan “Pemeriksaan kesehatan” jawab umi kemudian.
Satu jam menunggu sang dokter baru datang, namanya juga dikota. Ngaret bagi dokter itu tidak masalah, bukannya berkurang bahkan pasien semakin membludak. Aku yang berada diurutan pertama dipanggil masuk. Sang dokter menanyakan keluhan. Aku diam saja, umi dan mama bergantian menyampaikan maksud kedatangan kami. Aku diam bukan karena aku tidak paham, bahkan ini adalah tugasku karena aku adalah seorang bidan, tapi masalahnya lain. Aku melibatkan umi disini.
Dokter memintaku menaiki ranjang keras beralas putih itu, memeriksa keadaanku melalui alat USG dan alat manual. “Bagus-bagus, enggak ada hamil, juga penyakit” ucap sang dokter saat memutar-mutar alat usg ke perut bagian bawahku. “Sekarang kita periksa bawah ya” lanjut sang dokter “Maaf ya mbak”. “Hmm bagus-bagus, tidak ada robekan, bagus kok” ia mengulang-ulang. Umi dan mama terlihat manut-manut.
Dokter bergeraka, membuang sarung tangan yang sudah dipakai ke tempat yang sudah disiapkan. Berjalan menuju kursi nyamannya. Mama dan umi mengikuti, dudukl di 2 buah kursi yang tersedia diseberang kursi sang dokter. Sang bidan membantuku membersihkan diri, mengelap bagian perutku yang penuh dengan jel untuk pemeriksaan usg dan membantuku duduk. Aku menyusul.
“Jadi gimana dok hasilnya?” tanya umi
“Bagus kok enggak ada masalah, tidak hamil juga tidak ditemukan robekan”
“Maksudnya anak saya masih perawan atau tidak dokter?”
“Ya, seperti yang kita lihat tadi tidak ditemukan robekan, artinya anak ibu benar masih perawan”
“Alhamdulillah, benar kan bu haji apa kata saya” mama keceplosan. Sang dokter terlihat pura-pura tidak mendengar ucapan mama. “Dok tolong tuliskan keterangan yang menyatakan bahwa anak kami ini benar masih perawan dok” ucap umi
“Oh boleh” kemudian dokter cantik itu menuliskan di secarik kertas menerangkan bahwa tidak ditemukan massa (penyakit seperti kista dll) juga tanda-tanda kehamilan di dalam rahim juga tidak ditemukan robekan pada vg atas nama nona Amalia Putri dilengkapi tanda tangan, nama jelas dan cap dokter tersebut. Sang dokter memasukannya kedalam satu amplop yang juga berisi hasil USG dari rahimku.
Kami pamit dan keluar ruangan, menuju ke tempat pendaftaran untuk membayar biaya konsultasi. “Bu, kita langsung pulang saja. Biar nanti saya yang jelaskan ke yusuf dan abinya, syah umi pamit ya” umi menciumku dan mengucapkan salam.
…
Mobil bang Yusuf keluar disusul mobil kami bergantian. Mama memekak didalam mobil menyampaikan apa yang terjadi didalam ruang praktek kepada papa dan bang Hendri.
…
Kami tidak langsung pulang, karena hari sudah mendekati adzan. Kami kembali ke masjid Raya tadi lagi dan beribadah disana, selesai sholat papa mengajak kami makan di rumah makan sederhana, kemudian menuju pulang.
“Assalamualaikum, dek kamu dimana? Sudah sampai rumah?” pesan wa dari bang Yusuf mengagetkanku
“Waalaikumussallam, masih dijalan mau pulang”
“Afwan ya dek untuk hari ini, Jazakillahu khoir”
“Waiyyakum”
“Aku sayang kamu dek” serasa mimpi aku mendapatkan kata cinta dari bang Yusuf, orang yang tak pernah menyapa tiba-tiba mengajukan lamaran pernikahan. Lalu baru sekarang dia ngomong sayang. Apa laki-laki seperti ini? Terlalu gengsi mengungkap isi hati?
“Aku juga sayang abang” jawabku dengan mengetik gemetar
“Siapa?” selidik mama dengan sorot mata tajam
“Oh, ini. Grup wa SMA lagi rame” jawabku berbohong demi kebaikan.
Malam ini indah sekali, bintang-gemintang serasa menggiring kami pulang. Mereka tersenyum dan menari dengan alunan nada indah ucapan tasbih sang bulan. Seluruh alam tampak ramah sekali malam ini kepadaku. Apapun benda yang aku lewati, pohon, sungai, sawah, kolam, bulan dan bintang. “Alhamdulillah hirabbil ‘alamin” syukurku kesekian ratus kali.
…