Afwan

1952 Words
Afwan Telfonku berdering, aku mengangkatnya. Suara perempuan terdengar dari ujung sana “Assalamualaikum” dia menyapa “Waalaikum sallam Syifa, apa kabar? Sudah lama tak mengobrol” “Alhamdulillah kabar baik teteh, iya qadarullah Syifa lagi sibuk urusan kuliah. Teteh gimana kabarnya?” “Alhamdulillah baik, ada apa ya?” “Gimana ngini ngomongnya atuh, ehm gini teteh. Syifa the dimintai tolong sama seseorang, untuk menanyakan sesuatu ka teteh. Katanya penting” “Dimintai tolong sama siapa?” “Anu, iyeu the bang kang Hamzah” “Mau bertanya tentang apa ya?” “Gini teh, eh anu. Teteh sekarang sudah ada yang khitbah belum?” “Kenapa memangnya?” “Aduh teteh kumaha ditanya malah nanya balik, jawab atuh teteh” jawabnya dengan nada merajuk “Iya, dijawab dulu! Memangnya kenapa kalau belum?” “Eh, maksudnya kang Hamzah mau khitbah teteh kitu kalau masih kosong” “Hehe Alhamdulillah Syif, teteh sudah dikhitbah. 3 minggu lagi ijab qabulnya. Nanti undangan buat Syifa dan bang Hamzah teteh kirim lewat wa aja enggap apa-apa kan?” “Masyaa Allah. Barakillah ya the, semoga lancar sampai hari pernikahannya ya tah” “Aamiin, Syifa juga ya” “Nuhun teh, Aamiin. Sekian dulu ya teh, Assalamualaikum” “waalaikum sallam Warahmatullah” Aku senyum-senyum sendiri setelah mengangkat telfon itu. Jodoh siapa yang tau kan? Aku melanjutkan kegiatanku, mengawasi karyawan yang bertugas menjaga kasir sambil membaca buku saku berjudul ‘Mencintai rasulullah”. “Tante ada hadiah” seorang anak kecil yang memarkirkan sepedanya didepan toko mengejutkanku. “Hadiah? Dari siapa dek?” “eh eh” dia menggeleng tanda tidak tahu “Terima kasih ya” Ucapku sambil mengelus-elus rambutnya. Dia pergi dan menghilang. Aku membuka kadu berukuran besar dan ringan tersebut, kado tanpa nama. Isinya sebuah buket bunga besar dengan sebotol minyak wangi merek jafaron red dan sebuah note kecil. “Taruh aku di kanvas indah di meja kamarmu, pakai aku hanya saat sedang sholat dan atau dirumah” Salam sayang Calon suamimu Betapa bahagianya aku mendapatkan hadiah dari bang Yusuf, aku berjalan senyum-senyum menuju kamar dan menyimpan kedua hadiah itu. Hpku bordering “Assalamualaikum” “Waalaikum sallam” “Hadiahnya sudah sampe” “Sudah” “Suka?” “Suka!” “Alhamdulillah, abang tidak bisa pulang dua minggu ini. Banyak pekerjaan. Kamu hati-hati. Jangan keluar tanpa mahrom. Assalamualaikum” “Waalaikum sallam” “Tunggu Aisyah” “Iya bang?” “Abang rindu.” “Iya, sama” kami menutup telfon. Merasakan bunga cinta semakin mekar dan tak mau meredup. *** Setiap hari selama 2 minggu ini aku mendapatkan hadiah dari abang, semuanya ada 14 kotak. Hadiahnya beragam mulai dari buku saku, sepatu, kemoceng, abaya, ikat rambut, coklat, bantal leher juga kain gendong bayi. Mungkin setelah menikah bang Yusuf menginginkan kami segera mendapatkan anak. Aamiin, semoga Allah meridhoi keinginan kami. *** “Assalamualaikum Aisyah, abang didepan. Coba lihat” suara dari ujung telfon “Waalaikum salam, iya” betapa kagetnya aku pas tau banhwa abang sudah sampai. Aku berdiri, melihat kearah parkiran. Mobilnya masih hidup dan akan segera berjalan. Dia melambai, begitu juga aku. “Sudah. Abang pulang dulu ya” “I-iya” sambil mengangguk. Mobilnya berlalu. “Ciee mbak Aisyah, yang lagi seneng ditelfon calon suami” ledek Rani yang saat itu sedang bertugas menjaga kasir disebelahku. “Appan sih!” jawabku dengan tersipu. *** Jadwalku menjaga kasir biasanya dari setelah dzuhur sampai menjelang maghrib. Ketika waktu sholat biasanya kasir kutinggal. Hari pernikahan tinggal 6 hari lagi, mama dan papa semakin sibuk dan jarang sekali dirumah karena mengurus ini dan itu. Bahkan untuk mengantar undanganpun, kepada orang-orang tertentu mereka yang harus turun tangan langsung. Seseorang menyodorkan 2 kaleng minuman susu milo dingin kemeja dihadapanku yang sedang sibuk membaca buku pemberian abang. Aku menjaga kasir karena karyawanku sedang sholat ashar. Aku mengambilnya dan memasukan data ke komputer. 12.000 pak, kataku menunduk. Ia memberikan uang pecahan 20.000 dan sepetak kertas bertuliskan “Jangan pegang buku terus, nanti aku cemburu!” hah? Aku terkejut bukan kepalang, ternyata bang Yusuf yang datang. Aku menatapnya. Dia tersenyum, aku tersipu. Kemudian bang Hendri datang. “Yusuf, kapan sampai” tanyanya saat belum sempurn turun dari motor “Baru bang” aku buru-buru mengembalikkan uang dari bang Yusuf, memasukkan minuman itu ke sebuah plastik dan menyodorkannya kemeja. Bang Yusuf membuka plastik mengambil 1 minuman kaleng sambil sedikit menunduk kearah tempatku duduk “1 lagi buat kamu, calon istriku” berbisik dia kepadaku sambil menggeser plastik berisi milo dan secarik kertas putih kecil bertuliskan “Kado hari ini abang yang anter, abang taruh di dalam kulkas dibelakang barisan susu milo, buruan ambil nanti diambil orang J”. Ia berlalu, pergi menemui bang Hendri kemudian mengobrol di garasi rumah kami. Aku berdiri menuju kulkas, kemudian menunduh meraba-raba di belakang barisan susu milo, terasa sebuah kotak kecil yang sudah dingin dan basah. Kubuka kotak itu, kulihat ternyata isinya sebuah gelang emas. Aku langsung memakainya. *** Hari Jumat H -2 pernikahan kami toko papa masih buka. Kata papa toko tutup H -1. Para tukang sudah berseliweran dibawah rumah, memasang tenda juga peralatan lainnya. “Tante apa kabar?” tanyaku kepada tante Evi yang mama percayai sebagai pengurus pernikahanku sekaligus memang tante Evi merupakan satu-satunya WO di desa. “Baik, sayang” sambil meletakkan sekeranjang bunga plastik ke meja kemudian berdiri menciumku. “Gimana kakinya udah sembuh?” “Alhamdulillah tante sudah sehat” “Sekali lagi maaf ya sayang kemarin tante enggak bisa jenguk. Tante sibuk ke Jakarta. Membeli ini dan itu, maklum mamamu permintaanya banyak, jadi ya harus tante turuti sebagai WO professional” “Iya, tante enggak apa-apa” “Oh, iya kemarin keluarga calon suamimu baru fitting. Aduh, tante sampe deg-degan. Kenapa enggak barengan kamu aja, jadi kan kalau ada yang kurang bisa diperbaiki. Tapi Alhamdulillah semuanya pas” “Hehe iya tante Alhamdulillah” “Eeh, kain backgroundnya bukan warna itu. Aduuh!” teriak tante ke seorang bawahannya yang sedang berada diatas tangga ingin menempelkan kain ke dinding sebagai penghias ruangan. “Maaf ya cantik, tante tinggal dulu”. Aku mengangguk sambil tersenyum. Aku mengelilingi rumah yang terlihat sibuk dengan banyak orang yang lalu lalang. Aku naik ke atas ternyata tante Evi juga sudah berada di kamar, menunjuk-nunjuk ke arah dinding mengarahkan bawahannya untuk menempelkan ini dan itu. Aku yang berdiri di depan pintu kemudian keluar lagi, mengetuk dan masuk kekamar adikku yang terlihat sibuk membaca buku karangan khalil Gibran dan kumpulan puisi karya penulis puisi terkenal Chairil Anwar. “Kamu suka puisi sekarang?” “Iya kak, ternyata puisi itu indah ya, meski tak sejelas surat tetapi maknanya bisa lebih dalam” aku mengangguk “Kakak mau lihat? Aku bikin puisi. Buat seseorang!” “Untuk siapa? Awas ya kalo pacar-pacaran” “Ada deh. Nilai ya kak” sambil menyerahkan secarik kertas origami besar berwarna merah muda Cinta Apa itu cinta? Sungguh aku tak mengerti Yang aku mengerti hanyalah aku sudah jatuh dan terhanyut di dalamnya Apa itu cinta? Sungguh aku tak tahu Yang kutahu, hatiku berdetak kencang saat aku melihatmu Apa itu cinta? Sungguh aku ingin belajar Belajar mencintaimu dengan sepenuh hati tanpa menyakiti “Bagus kan kak?” tanyanya mendesak “Lumayan” “Kalau 1 -10 nilainya berapa?” “Kamu minta 11 juga kakak kasih im” candaku “Serius” “8 deh” “Kan, apa boim bilang. Meski ini puisi pertama, tapi Oim pede kok ini bagus”. Aku tersenyum saja. Mungkin sudah waktunya adikku merasakan cinta, fikirku. Cinta awal masa remaja yang biasa dibilang cinta monyet. Aku merebahkan badan kekasur adik kecilku itu. Mengutak-atik hp, pilihanku jatuh kepada Nina. Aku menelfon Nina “Assalamualaikum Na” “Waalaikum sallam Syah” suara Nina terisak “Nin, kamu nangis?” “Iya Syah, kamu ada dirumah?” “Ada, loh kamu bukannya seharusnya kerja hari ini?” “Aku izin sakit. Aku kerumahmu ya sekarang” Tiga puluh menit menunggu akhirnya Nina sampai, dengan mata bengkak dan sedikit luka robek di bibir. Aku menuntun Nina kekamar tamu disebelah kamar adikku. Menutup pintu dan mengobrol serius. “Nina, coba sekarang cerita. Apa sebenarnya yang terjadi” “Jadi, sejak kamu memberiku saran untuk menikah aku sadar Nin bahwa cara yang aku tempuh dulu salah. Aku mengungkapkan keinginanku pada Dedi, tapi apa dia malah memukuliku dan memaksaku untuk aborsi lagi. Sudah 7 kali kami kesana Nin, tetapi anak ini tak juga mau keluar. Sudah macam-macam obat dan jamu yang dimasukan paksa oleh Dedi kemulutku, tetapi tetap tidak bisa. Sekarang Dedi tidak bisa dihubungi, aku takut Syah. Sementara, usia kandunganku semakin membesar. Kemana aku harus menyembunyikan perutku Syah. Aku bingung” ia menangis menutup wajahnya sendiri dengan tangannya. Aku memeluknya, mengusap-usap punggungnya. “Bantu aku Syah, aku harus bagaimana?” tanyanya “Kamu harus jujur terhadap keluargamu Nin, hanya itu satu-satunya cara. Biar mereka yang mengurus masalah ini. Nasi sudah menjadi bubur tak mungkin bisa keras kembali, tetapi tak ada salahnya menjadi bubur toh masih bisa dimakan dan tak akan mubazir. Setiap masalah itu sudah Allah berikan solusinya. Biar keluargamu yang mengurusnya Nin, percaya padaku” “Kamu benar Syah, terimakasih banyak sudah selalu ada untukku. Hampir-hampir aku ingin bunuh diri tadi dikamarku menggunakan 30 butir pil jika kau tak menelponku. Aku pulang dulu” “Naudzubillah, jangan Na, bunuh diri itu bukan solusi. Kamu akan kekal didalam neraka jika jadi melakukannya. Iya, kamu hati-hati ya. Jaga kesehatan. Insyaa Allah masalah ini akan cepat selesai jika kamu mau meminta kepada sang maha pemberi solusi” “Sekali lagi terimakasi Syah. Assalamualaikum” “Waalaikum sallam” “Aku anter kebawah ya?” “Ayok” Selagi mengantar Nina seorang anak membawakanku hadiah lagi, “Kak, ini ada kado dari om Yusuf” kata bocah berumur 7 tahun itu tergopoh membawa kado yang terlihat besar kotaknya “Oh, iya makasih ya sayang” jawabku “Kamu enak ya Nin, dapet calon suami sempurna. Udah ganteng, soleh, romantic lagi” “Alhamdulillah, ah enggak juga Nin, pernah aku dapet kado isinya kemoceng ada juga hanger, mau liat yang ini? “Ah, nggak usah Syah. Aku mau langsung pulang. Assalamualaikum” “Waalaikum sallam” *** H-1 pernikahan rumah semakin rame, ibu-ibu jiran tetangga sudah datang sejak pagi buta memasak ini dan itu. Kamar pengantin, dekorasi ruangan akad dan pelaminan sudah 70% siap. Hari ini mama sibuk sekali, berulang-ulang memerintahkan 3 kamar tamu diatas untuk dibersihkan karena 2 kleluarga sepupunya akan sampai hari ini dari Bandung dan 1 keluarga tante Marina akan tiba sebentar lagi. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mobil tante Marina masuk ke areal parkiran, aku langsung mengantar mereka ke kamar, tante membawa barang-barang dan kekamarnya. Anak-anaknya langsung kabur berlari dan bermain dengan anak-anak lainnya. Om dan beberapa tukang menurunkan hadiah dari kursi bagian belakang mobil, sebuah mesin cuci otomatis dengan disimpul pita berwarna pink tanpa kertas kado. “Tante beliin Isyah mesin cuci?” “Iya, biar nanti kamu nyucinya gampang” “Jazakillahu khoiran ya tante” “Waiyyaki sayang” kemudian telfonku berbunyi “Sebentar ya tante angkat telpon dulu” tante mengangguk “Assalamualaikum” suara yang sudah sangat akrab terdengar “Waalaikum sallam” “Kamu dimana?” “Dikamar tante, tadi bantuin tante angkat barang” “Pantes, abang cari kekamar enggak ada orang” “Abang ke kamar Isyah?” “Iya” “Berani?” “Berani” “Nggak ada yang liat?” “Banyak, tapi Alhamdulillah yang liat nggak ada yang kenal. Jadi aman!” kami tertawa berbarengan “Sudah ya, Assalamualaikum” “Waalaikum sallam” “kado hari ini ada di bawah kolong kasur, kalau besok, kadonya langsung dan sangat-sangat special dari abang” aku tertawa pelan. Sambungan telepon dimatikan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD