3 MINGGU

3620 Words
3 MINGGU Tak terasa pernikahanku dan Adi tinggal 3 minggu lagi, semua persiapan sudah rampung, mulai dari undangan, katering, tenda pernikahan yang sudah dipesan dan dipanjar, persiapan pesta pernikahan juga yang lainya. Fitting baju pengantin pun sudah kami lakukan. Pokoknya benar-benar sudah matang, bisa dibilang tinggal selangkah lagi yaitu ‘ijab qabul’ maka aku sah menjadi nyonya Adi Wiranata. Mamaku orang yang paling sibuk saat ini, dia senang sekaligus cemas karena pernikahan ini adalah pernikahan pertama di keluargaku. Aku adalah sulung dari 2 bersaudara. Namaku Aisyah Humaira Rahman. Anak dari Muhammad Rahman pemilik 2 mini market di desa kecil tempat kami tinggal, pinggiran Sumatra. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang merangkap menjadi asisten ayah di toko. Aku baru saja menyelesaikan wisuda akademi kebidanan sekitar 3 bulan yang lalu, Summa c*m Laude gelarku. Kuliahnya bukan di desa tapi di kota, jaraknya sekitar 2 jam perjalanan. Di kota aku tinggal sebelahan kos dengan Nina, tetanggaku di desa yang juga menjadi sahabatku sejak SD. Ya, namanya persahabatan, dulunya pernah rebut-ribut juga. Jadi musuh sebentar, diaman sebentar lalu kita temanan lagi dan sampai sekarang dia adalah teman terbaik dalam hidupku. “Syah, ada Nina” sayup-sayup terdengar suara mama memekik dari lantai bawah ruko kami “Iyaa, suruh naik aja” teriakku menyahut Nina naik kekamarku, aku menyambutnya. Senyum-senyum ia lihat persiapan di kamarku, ada hantaran lamaran yang masih terbungkus rapi, undangan-undangan yang siap ditempel nama penerimanya, kamarku yang sudah tertata seolah sudah siap menyambut pangeran, meja yang berantakan penuh dengan laptop, hp dan banyak barang lagi. Nina sering sekali menggodaku setelah dia tau aku bilang “Iya, aku mau” ke Adi waktu ia tanyakan “Will you marry me?” padaku. Ceritanya lucu, seminggu setelah wisuda, seluruh keluarga kami sudah pulang ke desa. Tak disangka Adi menyuruh beberapa pengamen datang ke kos-kosan tempat kami tinggal. Pertama-tama 2 orang pengamen menyanyikan lagu Yovie and the Nuno yang berjudul Janji Suci, setelah diberi uang dua ribu rupiah oleh Nina mereka pergi. Sekitar 10 menit kemudian datanglah pengamen lain menyanyikan lagu yang sama, gentian searang aku yang memberinya uang. 10 menit kemudian datang lagi pengamen yang lain menyanyikan lagu yang sama persis, penghuni kos mulai marah, lalu keluarlah Rani dari kamarnya yang diatas dan melempar uang itu kepengamen tersebut. Terdengar sunyi sejenak, aku dan Nina yang sedang mengganti baju untuk bersiap ke Mall membeli beberapa barang titipan keluarga kami di desa sempat berbincang “Aneh ya Syah, ngamen kok di kosan?” “Entahlah nggak dapet uang kali di warung makan” Kemudian dari garasi kosan terdengar lagu yang dinyanyikan pengamen-pengamen tadi dinyanyikan ulang oleh sekitar 10 orang pengamen, dengan suara lebih besar tentunya. Tak lama terdengar euphoria langkah kaki penduduk kos berlantai dua dan berkamar 20 dengan penghuni sekitar 18 orang berhambur keluar menuju sumber suara. Sambil berteriak-teriak tak jelas. Aku dan Nina yang tidak tau apa-apa merasa penasaran. Kemudian kami keluar mengikuti jejak langkah kaki mereka kea rah parkir motor dekat pagar luar. Betapa terkejutnya aku ketika aku lihat mobil Adi sudah terparkir di garasi kosan dengan bagasi belakang menganga sebuah kain putih panjang yang dipegang beberapa pengamen tadi yang ternyata adalah teman-teman adi. Terlihat pula tulisan mencolok dari kain putih tersebut berwarna shocking pink. Tulisannya adalah “Will you marry me Aisyah?” dengan Adi berdiri didepannya membawa seikat bunga mawar merah kesukaanku dan sebuah cincin didalam kotak merah berbentuk hati. Ekspresiku tak karuan, dengan mengambil rangkaian bunga mawar merah segar dari tangan Adi aku menjawab “Iya, aku mau”. Seketika semua orang disana berteriak sambil bertepuk tangan. Kulihat pula wajah Nina yang tampak menyapu matanya menangis haru dengan kebahagiaanku. Aku benar-benar merasa bagai seorang putri saat itu. Seorang putri yang kisah cintanya tidak ada tandingannya. Aku merasa bangga dengan diriku. Mendapatkan pangeran, seorang pemuda mapan, romantis dan juga tampan. Mungkin tidak ada yang seberuntung diriku. “Cieee yang mau nikah, yang mau jadi nyonya Adi Wiranata” suara Nina kembali menggodaku. Nina melebarkan kedua telapak tangganya yang kujemput dengan pelukan hangat. Aku tersenyum mesem-mesem sambil bilang “Apaan sih, kamu tuh cepetan cari calon suami. Move on dong move on” sambil mencubit sedikit pinggang ramping Nina yang hampir-hampir tertutup oleh jilbabnya. “Yee ngomong aja, cariin kenapa?” “Iya-iya nanti aku minta tolong ke calon suamiku buat cariin temennya yang jomlo, nanti kamu aku comblangin deh” kataku “Hah? Temennya Adi? Ogah banget” “Ya udah cari sendiri aja kalau enggak mau” Lalu kami tertawa terbahak-bahak setelah saling ejek itu. Tak lama setelah tawa berhenti sambil mengusap-ngusap air mata yang keluar saat tertawa terbahak-bahak tiba-tiba wajah Nina berubah agak serius dan menatap mataku dalam, dia bertanya padaku “Syah, kamu yakin sama Adi?” “Hah?” jawabku pelan, pura-pura agak tidak dengar. Aku kemudian bicara dalam hati “Pertanyaan ini sebenarnya sudah berulang kali aku coba tanyakan kediriku sendiri, apakah aku benar-benar mencintai Adi ataukah ini hanyalah nafsuku yang memaksakan kehendak dan takut tak akan menemukan orang lain yang lebih tepat dari dia?” “Iyalah Nin, masa gak yakin. Aku kan mau nikah 3 minggu lagi kamu tau kan!” dengan mimik sedikit kesal aku menjawabnya “Syukurlah kalo kamu yakin, aku cuma takut kalo ini cuma keinginan sesaat aja. Aku cuma takut kalo ini cuma ngikutin ego kamu aja” Aku tertegun, terdiam sesaat mendengar jawaban Nina. Kami bisu sesaat kemudian aku memecah kebisuan kami dengan bilang kalo aku mau mengambilkan air minum untuk kami berdua kebawah. Saat kembali aku lihat wajah Nina berubah sambil memegang hp milikku “Ada apa nin?” “Baca” sambil menyerahkan hp ku Aku lihat ada pesan w******p dari “calon suamiku” itu nama kontak Adi di hp ku Calon suamiku “Hay Aisyah, aku Sinta selingkuhan Adi, dulu kita pernah ketemu. Masih ingat kan? Gak mungkin lupa dong! Oh ya, aku lagi sama Adi nih di hotel Tiara pinggiran pantai. Calon suamimu aku pinjem dulu ya. Satu lagi, kita ada di kamar nomor 201. Adi nya lagi mandi, jadi hp nya aku pinjem. Kalo mau, kamu boleh kesini. Kita mungkin disini sampe besok pagi” Bagai disambar petir aku membacanya, dadaku bergemuruh, aku kalut, aku marah, aku menangis dipelukan Nina. Kami berdua ingat betul siapa itu Sinta. Dia adalah wanita penggoda, perusak hubunganku dengan Adi. Masih segar di otakku sekitar 6 bulan yang lalu aku yang sedang makan disebuah restoran dipinggiran pantai melihat Adi sedang jalan-jalan sambil bergandengan mesra di pinggiran laut. Saat kudekati muka Adi pucat pasi. Aku yang marah kemudian meninggalkan Adi pergi dengan Nina. Meski ia sudah berjanji akan meninggalkan wanita itu tetapi ternyata Adi hanyalah berdusta. Nina terus saja berusaha menenangkanku. Selang beberapa menit setelah aku membaca pesan wa itu pesannya langsung hilang. “Pesan ini telah dihapus” tulisannya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diriku, sambil menyeka-nyeka air mata dan terisak “Nin, kita harus ke kota sekarang” “Sekarang? Malam begini? Pake apa?” “Pokoknya kamu nurut aja, aku yang handle” “Gimana caranya?” “Kamu diem aja, pokoknya kamu ngangguk aja ya nanti didepan papa” Aku dan Nina bersiap, membersihkan wajah dari air mata kami dan mengenakan hijab kami kemudian kami ke bawah mencari bang Hendri. Bang hendri adalah adik kandung ayahku, usianya hanya beda 5th dariku, teman sepermainanku. Dia tak mau dipanggil paman karena dari kecil kita sudah temenan. Aku main sepeda dia yang ajarin, aku digangguin anak lain dia yang pasang badan. Pokoknya dia sosok kakak yang sangat melindungiku. Ayahku mengurusnya sejak dia umur 10th. persisnya sejak nenek meninggal. “Bang, kunci mobil ada?” “Ada” jawab bang Hendri yang sedang berbaring sambil membaca buku Lalu aku berlari menuju kasir toko mencari papa “Pah, mau jajan nasi goreng mas Joko, boleh pinjem mobil? Perginya sama bang hendri kok” rayuku “Kok jauh? Beli nasi goreng ‘Uda Man’ aja, kan enak deket lagi cuma didepan ini” sambil menunjuk kedai nasi goreng “Enggak selera pa, pedes. Pengennya nasi goreng jawa yang maniss kayak papa” rayuku lagi “Ah, alesan biasa juga makan nasi goreng padang malah kurang pedes, minta tambah lagi cabenya. Kalo ngerayu gitu, papanyalah dibilang manis!” “Boleh ya boleh ya!” “Iya, tapi jangan lama, pulang makan langsung pulang ya” “Iya, makasih papa” jawabku sambil senyum sumringah. “Yes, mobil udah dapet sekarang tinggal bang hen nih” fikirku Aku berlari ke kamar belakang menemui bang hendri, aku mengajaknya pergi membeli nasi goreng. Bang hen bertanya apakah aku sudah izin papa? Kenapa gak beli nasi goreng uda man didepan aja? Bang hen juga bilang jangan lama-lama. Pokoknya semua pertanyaan bang hen sudah kujawab dengan sebaik mungkin agar ia setuju untuk pergi bersama kami dengan mobil. Kami berangkat, diperjalanan aku tiba-tiba menangis sesenggukan. Bang Hen panik lalu menghentikan mobilnya didepan pertokoan yang jaraknya sekitar 5 menit dari ruko. Aku mulai menceritakan pesan yang aku terima tadi, Nina yang duduk dikursi belakang membantuku meyakinkan bahwa cerita ini benar adanya. Aku tak sempat screenshoot bukti bahwa percakapan benar, tapi tulisan pesan ini telah dihapus masih bisa terlihat di story percakapanku dengan “calon suamiku” oleh bang Hen. Bang hen kaget bukan main. Ia tak menyangka bahwa Adi tega berbuat demikian di hari mendekati hari pernikahan kami. Wajahnya tampak marah dan geram, tetapi ia terus saja membawa sifat tenang dan mulai menjalankan mobil lagi. “Kita ke kota sekarang, kita selesaikan masalah kamu dan Adi”tegas bang Hendri. Seketika aku terdiam memandangi aspal jalan dan berharap segera sampai. Kosong dan sunyi, jalanan desa yang meriah dengan warna hijau padi yang sedang subur juga perkebunan disempanjang jalan lintas ini, malam ini menjadi gelap dan suram. Aku menyandar ke bagian kiri bahuku menempelkan kepala ke jendela, menyisahkan masih luas kursi bagian depan untuk di duduki oleh seorang lagi karena postur tubuhku yang langsing. Karena malam hari dan jalanan sepi jadilah kami sampai ke tempat tujuan lebih cepat dari biasanya. Aku langsung meminta bang Hendri untuk menuju Hotel Tiara tempat Adi dan selingkuhannya berada. Sesampai ditempat aku gelagapan, seperti orang gila aku melepaskan safe belt dan ingin melesak keluar dari mobil. Tapi pintu dikunci. Bang hen berusaha menenangkanku “Syah, dengerin abang” sambil memegang kedua bahuku kuat “Biar semua abang yang urus, kamu gak usah teriak, histeris atau nangis-nangis didepan Adi, jadilah wanita tegar, dan anggun dalam menyikapi sebuah masalah. Ngerti kan maksud abang?” Aku mengangguk pelan, kemudian kami turun dan aku menunggu di lobi hotel sambil bang Hen berbicara ke resepsionis hotel. Aku mendengar percakapan mereka dari kursi tunggu di lobi, aku dengar bang Hen bilang bahwa ia diminta saudaranya untuk datang menemuinya dikamar 201 karena ada hal penting yang harus dibicarakan. Resepsionis menerima penjelasan bang Hen dan mempersilahkan kami untuk naik. Lalu kita naik lift, sampai dilantai 2 kami langsung menemukan kamar tersebut. “Shuuut” bang Hen meletakan telunjuk didepan bibirnya mengisyaratkan kalau aku dan Nina harus menepi dan tidak boleh mengeluarkan suara. Bang hendri ketuk pintu kamar mengaku room boy tok-tok-tok “Permisi, room boy” Cukup lama pintu dibuka sekitar 5 menit Aku yang menunggu di samping pintu sudah tak karuan. Tanganku dingin dan keringatan. Jantungku berdegup kencang antara marah, cemas dan takut. Buru-buru Adi membuka pintu yang terkunci mengenakan celana pendek dan kaos oblong berwarna putih, kemudian pintu dibuka. Terperangah muka Adi melihat siapa yang datang “B-bang?” katanya “Kurang ajar kamu ya? Sama siapa kamu disini?” abang membentak “Sendiri bang” “Penipu” Braaaagh bang Hen meninju rahang kiri Adi sampai ia jatuh tersungkur ke pintu. Aku melesek masuk , kutampar wajah Adi dan kujambak rambutnya sampai kepalanya menengadah ke langit-langit kamar hotel. “Tega kamu ya Adi sama aku? Aku yang setia sama kamu, nungguin kamu sekian tahun kamu giniin? Apa salahnya kamu menungguku tiga minggu lagi? Apakah kali ini nafsumu sudah benar-benar mengalahkan akal sehatmu? Sudah sekian kali kamu ketahuan selingkuh dan aku selalu saja memaafkanmu berharap kamu akan berubah? Tapi? Apa ini semua hah!” Bang Hen melerai, Adi tampak tak berani berbuat apa-apa untuk membalas, ia hanya berusaha mengelus-elus pipinya yang tampak kesakitan sambil berusaha bangkit. Ia juga berusaha menjelaskan alasan kenapa ia berada di hotel itu, ia ingin menambah kebohongannya. Aku yang semula berada di bibir pintu masuk mencari wanita kurang ajar itu untuk memberinya pelajaran. Kudapati ia sedang bersembunyi di sudut tempat tidur mengenakan pakaian tidur hitam seksi yang menurutku tidak pantas dia kenakan sebagai seorang gadis. “Dasar wanita kurang ajar” sambil tanganku melayang ke pipinya “Bukankah kalian sudah berjanji untuk berpisah? Lalu apa ini semua?” Tak terima, ia berusaha sekuat tenaga membalas tamparanku namun usahanya sia-sia, tangannya ditahan Nina yang kemudian diputar kebelakang sehingga ia kesakitan. Kujambak rambutnya sambil berkata, “Suatu hari kamu akan diperlakukan persis seperti yang kamu lakukan terhadapku hari ini!” sekali lagi kutampar pipinya “Dan kamu Adi, jangan pernah bermimpi tentang Pernikahan! Kita putus!” Aku berlari sambil menangis, turun disusul Nina dan bang Hendri melewati tangga. Kami masuk ke mobil dan mobil mulai berjalan. Di dalam mobil hp ku dan hp bang Hendri bersahut-sahutan berdering ditelpon papa. Tapi tak ada satupun yang mengangkat karerna situasi memang lagi chaos. Mobil berjalan pulang, sekitar 10 menit perjalanan bang Hen memelankan laju mobilnya masuk ke sebuah SPBU di tengah kota. Dia turun dan mengisi bahan bakarnya. Dia kembali ke mobil membawa 2 botol air putih dingin dan sebungkus tahu sumedang. Selesai mengisi bahan bakar mobil dijalankan ke arah mushala di areal SPBU kemudian bang Hen turun. Nina memaksaku minum tapi aku menolaknya. Dari jauh kulihat bang hendri sedang mengangkat telpon berbicara kepada seseorang. Ah, paling bicara ke papa pikirku. Aku sedikit melamun sampai akhirnya tertidur. Waktu sudah menunjukan dini hari. Toko papa sudah tutup dan semua karyawan papa sudah pulang. Mobil berhenti, aku terbangun, kulihat bang Hendri sedang membuka pintu garasi mobil, yang sengaja belum papa kunci, dari kejauhan terlihat mama dan papa yang belum tidur menunggu kami pulang. Mobil masuk ke garasi, kami turun dari mobil, wajahku nampak kacau. Mataku bengkak. Aku lihat mama mengajak Nina berbincang, aku meluruskan pandanganku dan langsung menuju kamar, berbaring dan berselimut. Nina menyusul, malam ini dia menginap denganku. *** Mungkin karena terlalu lelah subuh ku jadi kelewatan. Aku bangun, membuka tirai jendela, ternyata seberkas cahaya sinaran matahari pagi sudah melewati celah gang tepat disebelah kamarku, “Ah kalau aku kuat pasti aku sudah ke areal persawahan pagi ini, menghirup aroma tanah subur khas persawahan dan padi yang sedang menghijau”. Sudah jam setengah enam pagi, aku bangun lalu bersihkan diri, wudhu langsung sholat subuh. Setelah sholat kucari Nina, “Ah, mungkin Nina sudah pulang”. Rumah Nina memang tidak jauh dari rumahku hanya berselah dua rumah ke arah belakang rumahku. Ayahnya seorang PNS di kelurahan dan ibunya adalah ibu rumah tangga seperti mama. Keluarganya dan keluargaku sudah kenal baik sejak dahulu. Kepalaku sakit sekali. Aku langsung rebahan dan melanjutkan istirahatku. Mamaku masuk ke kamar sambil membawakan susu hangat milo kesukaanku. Aku meminumnya, tidak banyak bertanya mama langsung memintaku untuk beristirahat. Ia duduk diatas kepalaku sambil memijat-mijatnya. Terasa enak sekali saat mama melakukannya padaku. Tampak sekali wajah mama yang penuh dengan senyum dusta menyimpan kesedihan dan keprihatinan melihat nasibku. Putri satu-satunya yang gagal menikah. Akupun belum sanggup untuk menceritakan apapun ke mama. Aku mengangguk saat mama memintaku istirahat. Kemudian mama keluar dari kamarku dengan menutup pintu. Lalu akupun tertidur. Waktu sudah menunjukan jam 10 pagi, aku bangun badan ku sudah agak enakan. Kamarku sudah bersih, tak ada kertas-kertas di meja maupun pernak-pernik souvenir pernikahan. Hantaran saat lamaranpun sudah raib entah kemana, mungkin sudah dibersihkan oleh uni Ida, pembantu kami. Aku turun kebawah mengenakan jilbabku takutnya banyak karyawan papa berseliweran karena biasanya mereka sudah datang dari pagi dan berberes membersihkan toko juga di bagian gudang. Mama memintaku makan sedikit, aku tak berselera. Hanya segelas air putih yang aku butuhkan karena memang kebiasaanku minum segelas air selepas bangun tidur. Aku lirik meja diruang keluarga, tak tampak lagi undangan pernikahanku, daftar-daftar tamu yang harus diundang juga semua perlengkapan pernikahanku yang beberapa hari ini mama sibuk dengannya juga sudah bersih, entah dibuang atau masih diletakan mama disuatu tempat. Aku naik lagi kekamar, mengambil hp ku yang sudah mati sendiri mungkin karena baterainya sudah habis. Kucolokkan powerbank dan kuaktifkan. Saat aktif kulihat ada ratusan pesan dari adi yang belum kubaca, juga puluhan panggilan tak terjawab darinya. Dia mengirimkan banyak sekali permohonan maaf dan alasan-alasan yang dibuat-buat, “Syah, maafkan aku. Aku khilaf. Aku janji tak akan mengulangi perbuatanku. Please sayang kita jangan batal nikah ya. Pernikahan kita tinggal sebentar lagi. Mau dimana ditaroh muka aku didepan semua kolega aku? Bagaimana dengan martabat keluarga aku? Bagaimana dengan nama baikku dan keluarga aku? Please aku janji bakal berubah sayang please” “Aku tau kamu marah tapi jangan gini juga donk caranya” “Please read wa aku syah” “Syah aku masih sayang kamu” “Syah, aku mencintaimu” “Syah I love so much more than anything in this world. You do know about that right? I believe so. Please honey please” Dan masih banyak lagi rengekan yang pria egois itu kirimkan dipesan WA,ku serta berbagai alasan yang benar-benar memuakkan. Kurenungkan sejenak dan aku ucapkan “Bismillah”. Aku menghapus nomor Adi dari kontak hp ku, memblokirnya di WA, i********:, dan f*******:. Semua pesan emailnya pun sudah kutandai untuk dimasukan ke kotak sampah sebelum aku membacanya. Aku benar-benar membencinya. Aku tak mau lagi bertemu dengannya, aku tak mau lagi mendengar suaranya ataupun melihat pesan darinya. Perbuatannya sungguh diluar batas. Bagaimana mungkin dia bisa setega itu kepadaku? Aku benar-benar sangat-sangat membencinya. Tak kalah dengan itu, ibunya juga sibuk menghubungiku. Belasan panggilan telpon waktu subuh tadi terlihat darinya, tapi aku tak mengindahkannya. Aku terlanjur sakit dan terpuruk, aku tak mungkin menjadikan ia suamiku. Aku sungguh tak bisa *** Tiga hari paska malam buruk itu aku masih saja letih, badanku capek, sakit, dan lemah sudah tiga malam ini juga aku tidak bisa tidur. Berulang-ulang aku bangun ditengah malam kemudian menangis sejadi-jadinya sampai akhirnya tertidur lagi. Tapi Alhamdulillah ada Nina, sahabatku yang setia bersama denganku. Meski tidak menginap ia selalu mengunjungiku. Hampir setiap sore uni Ida mengunjungiku ke kamar, kalo soal pijat memijat memang uni Ida jagonya. Hari ini Nina mengajakku menonton drama komedi romantis Korea. Berkat Nina Perlahan-lahan aku mulai melupakan masalahku, meski aku belum siap untuk keluar rumah atau jalan-jalan, Nina tetap mengerti. Hari ini Nina juga menceritakan padaku bahwa setelah kejadian itu pagi-paginya orang tua Adi datang kerumah untuk meminta maaf tetapi orang tuaku tidak mau dan sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Sempat terjadi keributan juga perihal orang tua Adi yang meminta uang hantaran dikembalikan, tetapi sesuai adat disini jika yang bersalah adalah laki-laki maka uang hantaran hangus! Berbeda halnya jika yang bersalah pihak perempuan maka semua uang hantaran harus dikembalikan utuh. Saat ngobrol dan menonton kami mendengar suara mobil datang di depan toko papa, kukira biasa mobil antar barang tapi entah kenapa aku ingin melihat siapa yang datang. Iseng kami mengintip melalui jendela kaca lantai 2 ruko, tak disangka ternyata Sinta yang datang bersama seorang pria. Entah siapa itu, kalau itu ayahnya terlihat terlalu muda. Kami kenakan jilbab kami lalu turun kebawah perlahan mengintip dari tangga kearah ruang tamu. Terlihat Sinta, laki-laki itu, papa dan mama ku sedang ngobrol serius diruang tamu. Kami menguping dan mendengar semua pembicaraan mereka. “Perkenalkan saya Sinta, dan ini Papah saya. jadi begini ya ibuk bapak, mungkin ibu dan bapak sudah tau perihal hubungan saya dan Adi”. “Enggak, saya gak tau dan enggak mau tau” jawab mama ketus “Saya juga tidak peduli ibu mau tau atau tidak yang ingin saya jelaskan itu bahwa saya dan Adi sudah berpacaran lama. Aisyah pun tau kalau kami pacaran” mendengar hal ini kupingku memerah, beraninya dia berbohong didepan kedua orang tuaku? ingin sekali rasanya turun dan menampar mulutnya. Tetapi jika aku lakukan maka Adi akan besar kepala dan merasa aku masih mencintainya. Jadi aku urungkan saja niatku. “Oh, jadi kamu selingkuhan adi yang ditampar anak saya kemaren? Gimana? Sakit? Lalu untuk apa lagi kamu kemari hah? Jawab?” bentak papa “Pah, sabar pah, sabar. Malu sama karyawan pap” sambil mengelus punggung papa, terlihat beberapa karyawan papa lalu lalang di pintu yang menghubungkan rumah kami dan toko yang sepertinya lupa mama tutup. Ada yang pura-pura mengangkat barang atau mengambil sesuatu. Mungkin maksudnya ingin menguping. “Ia pak sabar, banyak hal yang ingin kami jelaskan disini pak. Tapi kelihatannya kami tidak akan berlama-lama lagi pak.” muka laki-laki pendamping Sinta yang mengenakan jeans hitam dengan kemeja bermotif garis tegak itu mulai pucat “Sin, keluarin bukti-buktinya.” Lanjutnya sambil nyoel-nyoel kaki Sinta. Terlihat sinta sibuk merogoh tasnya dan mengeluarkan beberapa amplop. “Ini ya, buk pak hasil laboratorium dan hasil USG yang menyatakan bahwa dek Sinta, eh, maksud saya anak saya ini sedang hamil empat bulan. Maka dari itu sepertinya pernikahan anak bapak dan Adi memang harus dibatalkan” lanjut pria berkepala botak itu. “Tanpa kamu suruhpun pernikahan sudah kami batalkan. Sekarang tidak perlu basa basi lagi pergi bawa wanita ini dan keluar dari rumah saya.” Bentak papa Mereka berdua pergi, aku dan Nina berlari kembali ke atas sebelum mereka melihat. Tetapi, kami masih penasaran kami memperhatikan mereka berdua dari atas, anehnya terlihat dari atas bahwa mereka berdua berpelukan di dalam mobil, apa iya ayah dan anak semesra itu? Ah sudahlah pikir kami. *** KADO PERNIKAHAN Aku tak mau membicarakan Adi lagi, bagiku lembaran buku Adi sudah tertutup, bagiku cerita Adi di hidupku sudah usai, sudah tamat dan mendapat ijazah. Tak mau lagi kubuka kenangan lama itu, tak mau lagi kuulang memori itu, tak mau lagi ku bermimpi menjadi seorang ratu dan beliau rajanya. Tak mau ak
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD