Terakhir Kali Bercinta

1202 Words
“Say my name, Pearl,” pinta Mark di sela-sela permainan mereka. Wanita berparas manis tersebut tertawa kecil, memperlihatkan lesung pipinya. “Pearl, please.” Mark kembali mengulangi kalimatnya saat gadis kesayangannya itu belum memenuhi permintaanya. “Kenapa sih harus manggil nama kamu?” goda Pearl yang sebenarnya sudah mengerti dengan tradisi Mark dalam permainan mereka ini. “Karena, suara kamu indah. And it turns me on more and more.” Setelah mendapatkan jawaban yang menyejukkan hatinya, beberapa detik kemudian ia mengabulkan permintaan lelaki itu. “Mark. Only Mark. My only Mark.” Pearl memejamkan kedua matanya, sesekali menggigit bibir bawahnya dengan setiap hentakan nikmat yang diberikan oleh Mark kepada dirinya. Buliran keringat sudah membuat tubuh mereka kuyup. Hingga hentakan terakhir membuat Pearl membuka mulutnya dengan desahan suara halus saat Mark kembali berhasil membuat Pearl takjub dengan kemampuan Mark di atas ranjang. Lelaki itu mengatur napasnya sejenak, lalu memberikan kecupan-kecupan kilat pada wajah dan sisi sensitif Pearl. Tak lupa, ia selalu membisikkan kalimat pujian kepada Pearl karena sudah memberikan kenikmatan luar biasa kepadanya. “You are always great, Pearl.” Pearl sudah berada di dalam pelukan Mark. Telunjuknya mulai bergerak halus pada d**a Mark lalu menepuknya dengan pelan. Ia merasakan jemari Mark yang terus mengelus rambutnya yang sudah kusut. Ia dapat merasakan dengan jelas kalau Mark benar-benar memberikan kehangat kepadanya, baik di atas ranjang ini, maupun di dalam hatinya. Namun ada hal yang akan dikatakannya hari ini. Sesuatu yang sudah ia gumulkan cukup lama. Apalagi dengan status mereka yang sudah menjadi mahasiswa tingkat akhir. Realistis, kata itu terus melekat semakin kuat di dalam benak Pearl belakangan ini. Membuat keberaniannya semakin maju, meskipun keraguannya masih ada. “Besok Sabtu. Nginep di sini aja. Besok pagi kita olahraga,” ujar Mark menawarkan hal yang biasa kepada Pearl saat permainan mereka berlangsung di hari menjelang akhir pekan. Pearl melepaskan tubuhnya dari dekapan Mark, hingga posisinya sudah sejajar dengan Mark. “Mark, aku ....” Pearl menghentikan kalimatnya. “Kenapa? Ngomong aja? Mau cerita apa sini ngomong. Skripsi? Astaga, baru proposal ‘kan. Masih ada berapa bulan Pearl. Semester ini aja kita belum masuk. Kamu ini suka kebanyakan mikir. Kejauhan.” Satu sentilan kecil mendarat di kening Pearl. Ia memberikan senyuman kecut. Rangkaian kata sudah berada di ujung lidahnya. Ia menghela napasnya sejenak, mempersiapkan dirinya beberapa detik untuk mengatakan hal yang mungkin akan menjadi perdebatan bagi mereka kelak. “Mark, aku rasa sebaiknya—“ Kembali ia menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. “Sebaiknya kita berdua jadi teman.” Kerutan kecil terlukis di kening Mark. Ia membuang pandangannya sejenak ke sembarang arah sebelum kembali menatap Pearl. Perasaan gelisah mulai muncul dalam hatinya, namun Mark berusaha menepisnya. “I-iya. Kita berdua, kita berdua memang teman. Kita berdua sudah menjadi teman dan sudah menjadi lebih dari teman. I’m yours, Pearl. Your boyrfriend, your man.” “Maksud aku, cukup sampai teman. Tidak lebih dari teman, Mark. Kamu ngerti ‘kan maksud aku?” “Pearl, I don’t get it.” “Astaga ....” Pearl mengusap wajahnya yang masih lembap karena sisa keringat.”Haruskah aku ngomong secara gamblang, Mark? Aku mau kita berdua cukup menjadi teman. Aku mau kita putus, Mark. Please, aku tau kamu pura-pura nggak ngerti.” “Hei, sebentar. Ini nggak lucu, Pearl. Tolong jangan sampai aku kelitikin kamu nih.” Pearl langsung menjauhkan tubuhnya sebelum jemari Mark mendarat di pinggangnnya. Melihat sikap dan raut wajah Pearl, Mark yakin kalau hal ini bukanlah sekedar lelucon. “Pearl.” Kembali Pearl berhasil menghindar saat telunjuk Mark hendak merapikan helaian rambutnya. Ia beranjak dari ranjang dan mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. Lalu ia mengenakan kembali jins biru dan kemeja putih yang dikenakannya. “Aku balik aja,” ucap Pearl tanpa melihat ke arah Mark sama sekali. “Pearl.” Belum sempat melangkah, Mark sudah mengenggam pergelangan tangan Pearl. Lelaki itu bahkan hanya sempat mengenakan celananya, membiarkan pinggang ke atasnya tidak tertutupi satu helai benang pun. “Mark, gue mohon. Ini adalah yang terakhir. It’s okay if you don’t want to see me, if you need time. Gue ngerti kalau sampai lo kayak gitu.” Bahkan kosa kata aku-kamu sudah berganti menjadi gue-lo. Mark lalu memeluk Pearl dari belakang. “Aku nggak tau kenapa kamu marah sama aku. Kalau kamu butuh waktu, aku nggak pa-pa. Tunggu semenit. Aku pakai baju dan ambil jaket dulu. Aku anterin kamu balik.” “Mark, please!!” Dengan kasar, Pearl melepaskan tubuh lelaki itu darinya. Ia lalu memaksa dirinya untuk menatap kedua manik mata Mark. “Pearl, kamu kenapa? Aku nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba gini. We just had s*x, we just had fun. Aku salah apa tadi? Kamu kasih tau kalau kamu nggak suka, aku nggak akan melakukannya.” “Gue cuma mau kita putus, Mark. That’s all.” “Tapi kenapa?” “Apakah lo butuh alasan untuk hal ini?” “Tentu saja. We just had s*x. Aku bahkan melihat kamu ikut menikmatinya tadi. Kita juga lagi nggak ada masalah apapun. Lalu—“ “Ini masalahnya, Mark. Masalahnya adalah karena kita masih bersama.” “Pearl ....” “Mark, gue nggak bisa sama lo lagi. Kita udah skripsi. Gue mau fokus.” “Kita bisa jalanin bareng, Pearl. Kamu mau kita ketemu seminggu sekali, nggak pa-pa. Aku ngerti. Aku akan bantu kamu.” “Mark ....” “Aku akan bantu kamu untuk pengumpulan datanya. Kamu butuh apa? Aku akan lakukan dan berikan semuanya untuk kamu, Pearl.” “Tapi lo nggak bisa memberikan gue masa depan, Mark!” PRANGGG!!! Kata-kata itu sukses menghunus hati Mark, seperti banyak jarum tengah menusuk dadanya. “Benar kata teman-teman gue, gue kurang realistis. Lo bisa bilang gue matre, tapi gue hidup di dunia, di Jakarta. Gue nggak mau hidup sama orang susah kayak lo. Apa yang gue bisa harapin dari lo, Mark? Money? Fame? Lo bahkan masih tinggal di kos, di saat banyak anak lain udah di apartemen. Asal lo juga nggak jelas. Bokap lo entah kemana, gue nggak tau apa yang bisa gue banggain, apa yang bisa gue pertahanin dari lo, untuk bertahan di dunia seperti ini.” Tanpa ia sadar, satu bulir air mata keluar dari sudut matanya. “Gue sebenarnya nggak mau ngomong ini ke lo. Tapi lo memaksa gue mengatakan semuanya, agar bisa masuk akal bagi lo. Terkadang, lebih baik lo tidak tahu alasan di belakangnya, lebih baik menurut lo tidak masuk akal, karena kebenaran itu sering menyakitkan, Mark.” Lelaki itu masih kehabisan kata-kata untuk membalas kalimat dari Pearl. Bahkan lututnya sudah mulai gemetar, kedua manik matanya sudah terarah ke lantai. Karena tidak ada satu kalimat pun yang bisa ditepis olehnya. “Gue akuin, gue nyaman saat pacaran sama lo. Lo baik, perhatian. You’re too good in bed too. Tapi setelah gue pikirin lagi, bukan itu aja yang gue butuh, Mark. It’s more than that. Dan gue nggak melihat itu dari lo.” Pearl menyeka air matanya yang juga perlahan membasahi wajahnya. Lelaki itu masih mematung dengan kepala tertunduk. “Thanks untuk semuanya.” Pearl sudah meninggalkan Mark tanpa mengucapkan kalimat perpisahan lagi. Pintu kamar kosnya sudah tertutup, menyisakan dirinya sendiri di dalam kamar yang seketika dipenuhi dengan suasana pelik ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD