“Yang kuinginkan bukan kau pergi meninggalkanku begitu saja melainkan, kau datang menghampiri dan memeluk tubuhku erat.”
- Rona Mentari
Rona terbangun saat merasakan panas mentari pagi mulai menerpa wajahnya. Kelopak matanya yang awalnya belum sepenuhnya terbuka, segar seketika saat menyadari sesuatu menutupi kakinya.
Tubuhnya membeku saat melihat jaket jersey AC Milan milik Bintang menutupi kakinya yang terbuka. Matanya menatap sendu jaket itu.
Haruskah kau memberiku tatapan dingin itu?
Batin Rona terluka dengan tatapan dingin yang selalu Bintang perlihatkan. Tak jarang, dia bertanya kepada dirinya sendiri apa kesalahannya sehingga membuat tatapan lembut dan penuh kasih sayang yang Bintang berikan dulu berubah dingin seperti itu.
Rona memegang kedua pipinya yang terasa begitu lengket. Merasakan jejak-jejak air mata yang telah mengering di pelupuk matanya. Yakin bahwa dia kembali terisak di dalam mimpi.
Semalam, entah mengapa dia merasakan usapan lembut yang bermain di pipinya menghapus tetes air mata yang terjadi di alam bawah sadarnya.
Rona menggeleng. Membuang pikiran yang tak akan pernah terjadi. Bintang dengan segala egonya tak akan pernah melakukan hal itu. Berusaha menggelak dan meyakinkan diri sendiri, bahwa apa yang dia rasakan hanyalah efek dari ketakutannya tinggal berdua di pulau tak berpenghuni.
Rona kembali memandang sekeliling mencari keberadaan Bintang yang menghilang dari pandangan matanya, namun kemudian kembali menggeleng seolah tak peduli. Toh, selama ini ada atau tidaknya Bintang tidak terlalu berpengaruh buatnya, selain hanya membuat kadar emosinya meninggi.
Perlahan, dia bangun dan merenggangkan tubuhnya yang kaku karena tidur di pasir tanpa alas sedikitpun. Bekas menghitam layaknya api unggun yang berada tak jauh darinya membuat seberkas pemikiran itu kembali datang.
Rona menggeleng cepat. Otaknya menolak pikiran akan kebaikan yang Bintang lakukan. Dia menghela napas dalam sebelum akhirnya berjalan menuju tepi pantai. Jika sajaa dia tak berada dalam situasi seperti ini dengan Bintang, Rona akan begitu takjub dan menikmati pemandangan yang disuguhkan.
Ketakutan terbesarnya sekarang bukanlah berlama-lama di pulau ini, melainkan Bintang. Dia sudah terbiasa hidup di negara asing sehingga membuatnya mudah beradaptasi di tempat yang sulit sekalipun. Dia bukan Bianca yang akan berteriak takut saat berada di alam seperti ini. Seorang Rona sudah terbiasa ikut komunitas pecinta Alam sehingga membuatnya yakin bisa bertahan di tempat seperti ini.
Dia hanya takut keberadaan Bintang di dekatnya akan membuka kembali hati yang telah dia tutup rapat dan membuat Rona kembali merasakan rasa sakit yang lebih dari sebelumnya.
Langkah kaki Rona menapaki pasir putih. Dia tak bisa berdiam diri saja tanpa melakukan apapun. Dia harus mencari cara agar orang-orang mengetaui keberadaannya di pulau ini.
Matanya menjelajah, mencoba mencari sesuatu yang berguna, hingga menemukan ranting kayu pajang tak jauh dari tempatnya berdiri. Diambilnya ranting itu, lalu mulai bergerak menuliskan huruf SOS sebesar mungkin, hingga terlihat jika ada pesawat atau helikopter yang mungkin terbang di atas sini.
“Ngapain kamu?” suara dingin itu kembali terdengar sehingga membuat Rona menghentikan tulisannya di huruf O. Rona terpaku menatap Bintang yang terlihat mempesona dengan celana selutut dan t-shirt hitam yang menampakan dadanya yang bidang. Wajahnya terlihat santai tanpa beban karena telah membuat Rona terjebak di pulau tak bepenghuni seperti ini.
Rona meradang. Matanya kembali memancarkan kebencian. “Kamu nggak lihat aku sedang buat apa, atau kamu buta jadi harus nanya kayak gitu?”
Deru napas Bintang berubah menjadi memburu lagi mendengar nada ketus yang Rona perlihatkan kepadanya. “Aku bertanya baik-baik padamu.”
“Dan aku tak ingin menjawabnya dengan baik-baik.” Rona kembali tak peduli dengan Bintang. Kembali diraihnya ranting yang sempat jatuh tadi, lalu mulai melanjutkan menulis huruf S besar.
“Terserah apa kata kamu. Sekarang, ikut aku!” ucapnya kembali dengan nada perintah.
Rona menatap tak peduli Bintang yang berjalan menuju sekoci kecil mereka yang terdampar. Naik ke atasnya, mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menolong mereka saat berada di pulau ini. Rona memicingkan mata saat melihat Bintang mengambil benda seperti pistol berwarna orange dengan peluru yang lumayan besar.
“Kamu mau diam di situ atau ikut aku cari makan? Kita perlu pasokan makanan. Jangan harap aku akan terus menyediakanmu makan,” kata Bintang dingin membuat Rona mendengus.
Mata Rona menatap sebal Bintang yang sedang mengambil sesuatu seperti pisau dari sekoci, lalu berjalan memasuki hutan.
Rona ragu.
Haruskah ia meninggalkan pesisir dan mengikuti Bintang masuk ke dalam hutan?
Bagaimana jika ada regu penyelamat dan tidak menyadari keberadaan mereka?
“Jangan berandai akan ada regu yang menyelamatkan kita secepat ini. Ingat kita sedang berada di pulau terluar Indonesia!” teriak Bintang dari kejauhan.
Dengan terpaksa, Rona berjalan mengikuti langkah Bintang memasuki hutan, mengedarkan pandangan menatap hijaunya dedaunan rimbun khas tanaman di negara tropis. Pohon-pohon besar berdampingan dengan pohon sedang dan semak belukar. Beberapa tanaman yang tak pernah Rona lihat sebelumnya membuatnya begitu kagum.
Rona menghentikan langkah, jemarinya bermain di depan d**a memikirkan letak pulau mereka berada sekarang. Setaunya kedua pulau pribadi Alfian berada di kepulauan Raja Ampat.
Mungkin kah mereka tak jauh dari pulau itu, atau mungkin yang Bintang katakan bahwa mereka berada di pulau terluar Indonesia?
Pandangan mata Rona terhenti. Matanya menatap Bintang yang terlihat sibuk dengan salah satu tanaman dan berusaha memetik buahnya. Dengan cepat ia bergerak ke arah Bintang, lalu...
Plakk
Bunyi keras suara tangan Rona yang memukul Bintang sehingga apa yang tadi dia petik berjatuhan.
“Kamu gila!!” geram Bintang. Matanya memancarkan amarah ke arah Rona yang ikut terpancing emosi.
“Kamu yang gila! Kamu mau mati di pulau terpencil ini?! Kamu nggak tau Buah itu apa?!” Rona menunjuk buah hitam keunguan yang jatuh berantakan di bawah. Buah cantik yang memiliki pesona yang mematikan.
“Deadly Nightsade.” Rona bergerak menatap bunga ungu tanaman itu yang begitu cantik dipandang. “salah satu tumbuhan paling berancun di dunia. Racun Atropine dan Scopolamine di dalamnya akan membuatmu mati seketika tak seberapa lama memakan buah itu. Jadi kamu lebih baik cari buah yang sudah sering dimakan daripada sok tau dan akhirnya malah membuat kamu mati sia-sia di pulau ini.”
Wajah Bintang yang awalnya melunak saat mendengar ucapan Rona berubah kembali menjadi keras saat mendengar kata-kata sarkatis yang Rona pergunakan. Menepuk kedua tangannya dengan wajah datar, lalu melapkan kedua tangannya itu ke belakang celana sebelum kembali berjalan meninggalkan Rona memasuki hutan.
Langkah Rona melambat saat Bintang terus masuk ke dalam hutan pulau ini yang masih perawan. “Kamu bisa nggak sih jalannya pelan sedikit.” Kesal karena Bintang tak peduli ucapannya terus saja melaju.
Bergedik ngeri saat pisau kecil yang Bintang temukan tadi menebas semak belukar yang menjalar untuk membuka jalan mereka memasuki hutan. Rasa kagum melihat tanaman-tanaman langka yang berada di hutan ini berubah menjadi rasa takut saat mereka mulai menapak masuk ke dalam hutan.
Rona hanya bisa mendengus kesal saat Bintang tak menggubrisnya, terus saja melangkah tanpa menoleh ke belakang. “Dasar cowok menyebalkan. Bagaimana mungkin ia berjalan tanpa melihat kebelakang,” dengus Rona kesal menghentakan kaki.
Matanya kembali menatap Bintang yang tak memperdulikan keberadaanya, seolah pertolongan yang dia lakukan tadi tidak ada pengaruh sama sekali. “Aku harus kuat. Aku bisa melakukannya,” gumam Rona pelan menyemangati diri saat pergelangan kaki kanannya mulai kembali merasakan sakit. Digigit ujung bibirnya guna menahan rasa nyeri yang kembali menyerang seraya menajamkan pendengaran.
Mungkin dia tak seperti perempuan lain yang akan berteriak saat pertama kali melangkahkan kaki ke alam liar, tapi tetap saja dia seorang wanita yang takut akan hewan buas terutama hewan itu...
Rona menghentikan langkah saat mendengar suara desisan. Matanya terpejam membayangkan binatang itu ada di dekatnya. Telinganya awas mencoba kembali mendengarkan desisan binatang itu.
Tubuh Rona mulai bergetar.Pikirannya mulai kacau.Seharusnya,dia tidak mengikuti permintaan si b******k itu untuk masuk ke dalam hutan. Rona mempercepat langkah mendekati Bintang yang semakin jauh dari pandangan.
“Kamu bisa jalan lebih cepat, Nggak sih?!” teriaknya dari kejauhan saat melihat Rona mendekat.
“Ini juga udah cepat!” Rona terus berusaha mendekatinya, hingga jarak mereka tinggal sepuluh meter Rona kembali berhenti. Kakinya mulai kembali sakit. Pergelangan kaki kirinya yang mulai kembali membengkak. Seharusnya, dia tidak memaksakan langkahnya untuk berlari seperti tadi.
“Aku bilang jalan lebih cepat, bukannya berhenti!!” Bintang kembali teriak. Nada marah dan emosi terdengar dengan jelas dari ucapannya.
Rona mencoba tidak menghiraukan Bintang yang berjalan mendekat. Berusaha mengatur napasnya guna menahan rasa sakit.
“Aku bilang jalan lebih cepat. Kenapa kamu tidak pernah mendengar ucapanku!” Bintang mangacak rambutnya kesal, lalu mulai mengacak pinggang. Matanya tajam menahan amarah, kilatan matanya seakan ingin meluapkan kemarahan pada Rona.
Rona menatap Bintang dengan emosi yang sama. Telinganya panas mendengar ucapan menyakitkan. Emosinya kembali tersulut. Rasa sakit di kakinya bergantikan dengan rasa perih di hatinya mendengar bentakan dan teriakan Bintang. “Aku tak pernah memintamu untuk masuk ke dalam hutan sialan ini! Kamu yang memaksaku ikut bersamamu!” teriak Rona membuat Bintang terkejut.
“Jalan lebih cepat? CK,” dengus Rona. “Kamu kira aku nggak berusaha untuk mempercepat langkahku? Kamu pernah berpikir bahwa langkah perempuan dan laki-laki itu berbeda? Seharusnya kamu memperlambat langkahmu dan menunggu, bukan dengan meninggalkanku seperti ini!” teriak Rona membuat Bintang terdiam.
Bintang terlihat menyesal mengucapkan kata-kata itu. Kakinya ingin bergerak mendekati Rona, namun diurungkannya saat melihat Rona bergerak mundur. “Kalau memang aku merepotkanmu, kamu bisa pergi meninggalkanku, seperti yang kamu lakukan waktu itu!” Pekiknya kembali menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata dan memandang Bintang dengan penuh kebencian.
“Rona, aku..”
“Aku apa?!” bentaknya menghentikan ucapan Bintang. “Tunggu apa lagi? PERGI! AKU BILANG PERGI!” Rona mendorong tubuh Bintang agar menjauh darinya.
Bintang terlihat ingin mengucapkan sesuatu namun diurungkan saat dorongan Rona semakin kencang. Ia berjalan menjauh meninggalkan Rona sendiri.
Tubuh Rona luruh. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Dia terduduk memeluk tubuhnya tanpa memperdulikan tanah yang lembab. Bintang kembali meninggalkannya sendiri, seperti yang ia lakukan dahulu saat perpisahan mereka.
Bintang meninggalkannya lagi, saat Rona meminta. Bukankah seharusnya pria itu sadar bahwa saat seorang wanita meminta pria untuk meninggalkannya berarti wanita itu meminta pria itu untuk mengejar, meminta maaf dan memohon agar wanita itu kembali kepadanya. Tapi ini. Bintang malah meninggalkannya tanpa pernah memikirkan apa yang Rona inginkan.
Hati Rona kembali terluka. Bintang kembali menorehkan luka untuknya dan luka itu terasa lebih perih dari luka sebelumnya. Pria itu kembali menaburkan garam di luka yang belum sepenuhnya sembuh, membuat dadanya begitu sesak sehingga ingin meledak.
Rona menekan d**a kirinya guna menahan rasa sakit yang dia rasakan. Tangisnya kembali keluar dengan kencang. Air mata kembali mengalir dengan deras. Dia sendiri bahkan dapat mendengar isakan pilu yang dia keluarkan. Baru semalam,dia berpikir untuk mencoba membuka hatinya dan berbicara dengan Bintang, tapi kejadian tadi membuatnya berpikir dua kali untuk melakukannya. Rona bahkan sekarang ragu apakah dia masih memiliki hati untuk Bintang kembali sakiti.
Rona kembali membenamkan kepala dilututnya, mencoba menghentikan tangisnya yang semakin kencang, hingga akhirnya Rona kembali mendengar suara gemerisik yang membuat tubuhnya menegang.
Bibirnya berubah kelu. Wajahnya memucat, tubuhnya bergetar hebat memikirkan sumber dari suara gemerisik itu. Ketakutan dan rasa panik memenuhi dirinya memikirkan bahwa binatang yang paling dia benci berada di dekatnya. Telinganya menajam. Tubuhnya kaku saat mendengar suara desisan mendekat.
Rona mencoba mengangkat kepala. Jantungnya berhenti berdetak, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin seolah darah tidak mengalir. Mata Rona menatap tak percaya saat melihat inatang itu ada di hadapannya, menatapnya dengan menjulurkan lidah berwarna biru dan bercabang.
“AAA!!!” Teriak Rona kencang membuat burung-burung yang awalnya hinggap di pepohonan mulai berterbangan. Tubuh Rona bergetar hebat. Ketakutan ter-besarnya menjadi kenyataan. “To...long!!”
Rona terus berteriak meminta tolong. Teriakan dan pekikannya semakin keras saat melihat hewan itu meliuk mendekati tubuhnya membuatnya mendorong tubuhnya ke belakang.
“Bintang.. tolong....” isaknya tanpa sadar memanggil nama Bintang. Dia begitu ketakutan sehingga akhirnya menurunkan ego yang selama ini dia junjung tinggi.
“Aku mohon tolong aku Bintang...” rintih Rona saat binatang itu meliuk naik ke kakinya.
“RONA!!” Bintang berlari mendekati Rona yang meringkuk. Menjauhkan ular itu dari tubuhnya lalu mendekap erat tubuh Rona yang bergetar.
“Maafkan aku.”
Rona terus menangis mengeluarkan perasaan marah, kecewa, kesedihan dan ketakutan yang dia rasakan. Tubuhnya terus bergetar ketakutan membuat Bintang semakin mempererat pelukan.
“Maafkan aku yang telah meninggalkanmu. Maafkan aku karena telah membuatmu berada dalam bahaya. Maafkan aku.” Bintang terus meminta maaf.
Rona membalas pelukan tangan Bintang, lalu membenamkan kepalanya di d**a bidang Bintang mencari perlindungan. Bintang terus memeluk tubuh Rona erat, membelai rambutnya seraya mengecup puncak kepalanya
“Aku mohon, jangan pernah tinggalkan aku lagi.” Pinta Rona membuat Bintang mengangguk.
“Aku berjanji tak akan pernah meninggalkanmu kembali,” janji Bintang lalu mengangkat tubuh Rona, membawanya menjauh dari tempat itu.