Stars 4 - I Never Thought i’d live to see it

1720 Words
“Apa yang kau lakukan membuatku tak nampak berharga kau cintai..”    ~ Rona Mentari Rona membulatkan mata saat merasakan bibir Bintang membungkam bibirnya dengan kasar. Kembali terkesiap, rasanya berbeda. Berbeda dengan ciuman pertama yang mereka lakukan dulu. Jika ciuman pertama mereka dahulu begitu lembut dan penuh dengan kehati-hatian. Ciuman yang Bintang lakukan sekarang begitu kasar, begitu memaksa. Tangan Bintang menahan kepala Rona agar tidak dapat bergerak sehingga ia dapat memaksa Rona agar menikmati ciuman paksaan yang ia lakukan. Air mata yang selama ini Rona tahan akhirnya keluar. Ciuman kasar yang Bintang lakukan, tak ayal membuat Rona terlihat seperti p*****r rendahan yang pantas untuk di perlakukan seperti itu. Hati Rona sakit. Sebenci itukah Bintang sehingga memperlakukannya seperti itu? Bintang tak ayal seperti pria b******k yang memperlakukan wanita tanpa rasa hormat. Entah mendapat kekuatan dari mana Rona mendorong tubuh Bintang agar menjauhinya. PLAKKK! Tangan Rona refleks menampar keras pipi Bintang sehingga membuatnya terlonjak kaget, lalu menatap wajah Rona yang penuh dengan air mata. "PERGI JAUH DARIKU! AKU MEMBENCIMU!" Rona berlari menjauh mening-galkannya yang terpaku. Terus berlari tanpa memperdulikan rasa sakit yang kembali menyerang pergelangan kakinya. Menurutnya, rasa sakit pada kaki tak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit yang hatinya rasakan, setelah kembali Bintang koyak dengan begitu sadis. Rona begitu membenci Bintang. Membencinya karena kembali hadir pada hidup yang sudah susah payah ia bangun kembali tanpa kehadiran Bintang. Keberadaan Bintang sekarang tak ayal, kembali menabur garam di lukanya yang masih belum mengering. ☆☆☆☆☆   Kakinya terus berlari kencang. Tak ada lagi yang bisa dia lakukan selain berlari sejauh mungkin dari pria itu. Saat menemukan karang-karang besar yang ada di salah satu sudut pantai dia berlari kesana guna menyembunyikan diri. Tak memperdulikan kakinya yang mulai kembali nyeri akibat melakukan aktivitas yang tak seharusnya dia lakukan. Rasa sakit ini membuatnya sadar bahwa dia tak cukup pantas untuk Bintang hargai. “Aakh!” pekik Rona kesakitan saat kakinya sudah tak mampu lagi menahan tubuhnya sehingga membuatnya terjatuh ke hamparan pasir pantai. Dia terduduk lemah, menatap pergelangan kaki kanannya yang mulai kembali membiru. Rasa sakit dan nyeri yang kembali datang membuatnya harus memijat pelan pergelangan kaki kanannya dengan air mata yang mulai kembali mengalir. Tetesan air itu perlahan semakin deras. Ingatan tentang kebersamaan mereka yang dulu begitu bahagia menyeruak satu persatu, namun perlahan berubah mejadi kesakitan. Rasa sakit yang dulu dia coba tahan, namun akhirnya tak sanggup. Isakan-isakan menyayat hati keluar begitu saja mengingat apa yang Bintang lakukan. Bukan hanya tadi. Dulu, saat mereka tidak sengaja bertemu saat Rona menjenguk Deeva di rumah sakit. Pria itu menuduhnya sebagai perusak rumah tangga orang lain hanya karena dia memeluk Alfian dari belakang. Dia tak menyangka bahwa Bintang selama ini menganggapnya sebagai wanita yang tak punya harga diri. Seharusnya dulu, dia tak pernah mempercayai semua kata-kata manis dan rayuan yang Bintang ucapkan untuknya. kata-kata yang akhirnya membelenggunya dengan rasa sakit yang teramat sangat. Seolah rasa sakit itu terpatri di hatinya. Tak akan pernah bisa di hilangkan. Sudah ratusan bahkan ribuan kali dia berdoa agar tidak dipertemukan kembali dengan pria itu, namun ternyata nasib sedang mempermainkanya. Layaknya ketidaksengajaan yang berubah menjadi kebetulan, dan akhirnya dia memang ditakdirkan untuk bertemu kembali dengan Bintang lewat permainan-Nya. Rona memegang bibir  merasakan kekasaran yang Bintang lakukan kepadanya. Masih terasa dengan jelas bagaimana bibir Bintang menyapu bibirnya dengan kasar, lumatan Bintang yang penuh dengan emosi bahkan tatapan tajam nan dingin yang Bintang berikan membuat hatinya kembali meringis. Dia menggerakan kasar tangannya guna menghapus bekas lumatan Bintang pada bibirnya. Tak dipedulikan, rasa perih akibat gosokan itu. Satu-satunya yang Rona pikirkan adalah menghapus jejak laki-laki itu dari dirinya.  Dihempaskan tangannya kasar, lalu menarik lututnya sehingga sejajar dengan d**a. Memeluk lututnya erat sembari menyembunyikan wajahnya yang basah karena air mata. Tangisannya semakin menyayat hari. Pikirannya kembali melayang memikirkan sejak kapan Bintang berubah kasar dan selalu memberikan tatapan dingin. ☆☆☆☆☆ Angin laut mulai menerpa tubuhnya dengan begitu kencang, membawa sedikit bulir-bulir air dari lautan. Warna biru kehijauan perpaduan antara lautan luas dengan langit yang membentang perlahan mulai berubah menjadi padanan warna hingga yang bercampur merah yang menandakan mentari sore mulai kembali ke peraduannya. Cahaya orange yang menerpa biru laut di bawahnya memberi efek yang begitu indah dan menakjubkan. Rona mendesah pelan di sela sesegukan yang terdengar karena tangisan hebat yang dia lakukan. Jika saja hatinya dalam keadaan baik-baik saja dan tidak dalam keadaan hancur seperti sekarang, sudah dipastikan bahwa ia akan menikmati fenomena menakjubkan yang selalu jadi favorite-nya dulu. Wajahnya basah dengan bagian mata yang terlihat sembab. Hidungnya tersumbat pertanda dia sudah menghabiskan banyak waktu untuk menangisi pria yang selalu saja membuatnya kembali merasakan rasa sakit. Kilasan ingatan tentang perubahan sikap pria itu kembali memenuhi pikirannya. Tatapan dingin yang menjadi awal mula pertengkaran hingga akhirnya membuat mereka berpisah. Rona mengusap matanya yang membengkak. Tubuhnya perlahan bangkit dari tempat yang ia duduki tadi. Rasa kebas karena sudah terlalu lama berlutut membuatnya sedikit oleng. Dihembuskan napasnya lemah memikirkan berapa lama mereka akan terjebak di pulau tak berpenghuni ini. Haruskah Rona kembali merasakan perlakuan yang selalu Bintang perlihatkan atau haruskah Rona menekan egonya dan mencoba membuka pikiran agar bisa berbicara baik-baik dengan Bintang. Jauh di lubuk hati Rona. Da masih belum siap untuk kembali membuka luka yang telah ia tutup begitu rapat. Tapi, kalaupun ia hanya tetap diam dan menatap Bintang dengan penuh kebencian juga tak akan menyelesaikan segala masalah yang terjadi diantara mereka. Rona kembali menutup mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya agar memenuhi paru-parunya yang kosong. Menengadahkanmata menatap langit yang mulai mengelap dan dihiasi kilau layaknya permata yang begitu indah. Pandangannya terfokus pada bintang yangterlihat paling berkilau diantara yang lain. “Haruskah aku mencobanya?” gumamnya menatap hiasan langit malam.Rona kembali menggeleng. Dia belum siap dan masih membutuhkan banyak waktu untuk berpikir. Perlahan, Dengan langkah terseok Rona kembali ke bibir pantai, tempat dimana dia dan Bintang tadi bertengkar. Saat merasakan Bintang berada di dekatnya, Rona memaksakan kakinya untuk berjalan normal. Langkahnya terhenti saat Bintang berada di hadapannya. “Makan ini.” Bintang menyodorkan beberapa butir pisang dan kelapa yang telah sedikit terbuka ke depan mata Rona membuatnya mengangkat wajahnya. Terdiam saat melihat raut kesedihan dan kekhawatiran dari wajah Bintang, namun seakan tak ingin Rona mengetahuinya, dengan segera, dia merubah kembali raut wajahnya menjadi dingin dan kaku seperti sebelumnya. “Nggak perlu,” tungkas Rona kesal berusaha menjauh, namun terhalang oleh Bintang yang entah sejak kapan berpindah tempat ke depannya. “Aku bilang makan dulu, kamu punya magh kronis.” Rona mengernyitkan kening. Bingung dengan nada yang diucapkan Bintang tadi. Nada itu memang datar dan terkesan dingin. Tapi, bagaimana mungkin Bintang masih mengingat penyakit menyebalkan yang selama ini Rona derita. “Rona!” pekik Bintang dengan nada perintah yang entah mengapa membuat Rona mengambil pisang dan buah kelapa itu lalu berjalan meninggalkan Bintang menuju hamparan pasir yang cukup tinggi dipenuhi dengan sisa-sisa batang pohon yang telah mati. Disingkirkan dengan kaki kirinya ranting-ranting pohon dan rumput-rumput kering di sekitarnya, lalu duduk di tempat itu. Perlahan, dia mulai memakan pisang-pisang itu guna menambah energinya yang begitu terkuras. Perutnya sudah minta di isi sejak tadi. Bahkan, rasa perih dari asam lambungnya yang naik sudah dia rasakan sejak tadi namun dia tahan. Rona bahkan baru ingat bahwa ini makanan pertamanya sejak 30 jam yang lalu. Persiapan pernikahan Alfian membuatnya lupa makan. Mata Rona beberapa kali mencuri pandang ke arah Bintang yang duduk dengan kedua tangan berada di belakang, seolah menopang tubuhnya. Pria itu terlihat termenuk memandangi ombak pulau ini yang mulai beriak. Berbeda dengan ombak di pulau pribadi Alfian yang tenang. Rona mendesah panjang. Hatinya kembali teriris melihat penampakan punggung Bintang dari belakang. inga bahwa punggung itu dulu selalu memberikan kehangatan dan tempat terbaik untuk melepas semua rasa lelah dan letih yang dia rasakan. Namun sekarang, punggung itu terpampang jela di depannya, namun tetap saja tidak dapat dia raih. Berbeda dengan dulu dimana berada di dekat Bintang adalah tempat ternyamannya, baginya sekarang berada di dekat pria itu memberikan ketidak-nyamanan. Pria itu menguras seluruh tenaga dan emosinya. Dia letih, seolah badan dan otaknya tak dapat bekerja dengan selayaknya. Malam sudah semakin larut, namun mereka terjebak dalam kesunyian yang begitu menyakitkan.  Rona mengusap tubuhnya mencari kehangatan d kesunyian malam. Pakaian yang dia terlalu tipis untuk berada di tempat ini sekarang. Angin  yang terus menerpa dirinya membuatnya kedinginan. Rona mengigit bibir, menahan teriakan yang akan keluarkan saat kembali merasakan nyeri di pergelangan kakinya. Kalut saat mengingat dirinya sempat jatuh ke laut tadi. Painkiller itu? Dengan cepat, Rona berdiri mencari keberadaan obat penopang hidupnya. Dirogohnya kantung kemeja tipis yang dia kenakan, namun nihil, obat itu tak ada di sana. Tangannya kembali bergerak mencari di saku celana belakangnya, namun tetap nihil membuat Rona kalang kabut. Rasa takut kehillangan obat itu mulai mengusai dirinya. Pikiran-pikiran bahwa nanti,dia tak akan dapat menahan rasa nyeri tanpa obat itu kembali menghantuinya. Tangan Rona merogoh kantung depan celana, merasakan sesuatu yang menonjol di sana. Dihembuskannya napas lega, saat tangannya berhasil  mengambil obat itu. Tak ulangnya, dia mengucapkan rasa syukur seraya memeluk botol kecil obat itu. Setidaknya, Rona dapat bertahan beberapa hari tanpa merasakan nyeri itu. Pandangan mata Rona memandang ke laut lepas. Berharap Alfian dan keluarganya yang lain segera menyadari keberadaan mereka dan secepatnya mencari mereka. Dia tak sanggup jika harus berada bersama Bintang dalam waktu yang lama.  Tanpa sengaja, mata Rona bertemu dengan Bintang, sekilas pria itu kembali menatapnya dengan tatapan kesedihan dan kekhawatiran, namun sedetik kemudian kembali berubah menjadi ekspresi dingin dan datar. Seolah apa yang baru saja dilihat Rona tadi hanyalah pikiran konyol yang tak akan pernah benar-benar dia rasakan. Dengan cepat, Rona mengalihkan pandangan. Dia tak peduli. Setidaknya untuk saat ini dia berusaha untuk tidak mengindahkan keberadaan Bintang. Dia perlu mengistirahatkan tubuh dan pikirannyayang sudah begitu lelah. Disingkirkan sampah dedaunan, ranting-rumput kering yang berada di sekelilig. Perlahan, perlahan dia mulai merebahkan diri dengan menjadikan tangannya sebagai bantal. Tubuhnya sudah terlalu lelah untuk peduli bahwa sekarang dia tidur tanpa beralaskan apapun, selain pasir pantai yang menjadi tempatnya untuk melepaskan penat sejenak. Rona mulai menutup mata, menahan hawa dingin yang merasuk ke pori-pori kulitnya. Dia tak tau apa yang bisa di lakukan selain berdoa bahwa apa yang terjadi ini hanyalah mimpi dan saat dia membuka mata, semua akan kembali seperti sedia kala. Tanpa ada pertemuan menyakitkan antara dia dan Bintang. Dia sudah hampir terhanyut ke dalam mimpi saat sayup-sayup nmendengar suara ranting dan dedaunan kering terinjak. Tubuhnya yang sudah begitu lelah membuatnya tak sanggup membuka mata saat merasakan sesuatu yang hangat melingkupi tubuhnya yang kedinginan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD