“Jika saja aku dapat memutar waktu, maka aku ingin ke masa dimana aku tidak mengenalmu...”
~ Rona Mentari
“Rona... Rona...,” panggil seseorang dengan nada dingin membuat Rona tercekat. Napasnya terasa begitu berat, paru-parunya seakan penuh dengan sesuatu. Sesak membuatnya susah bernapas.
“Na .. Rona … Rona ….” Sayup-sayup suara itu terus terdengar. Terkesan dingin namun masih terdengar nada kekhawatiran di sana. Otak Rona mulai berpikir pemilik suara yang terus memanggilnya hingga akhirnya dia sadar siapa pemilik suara itu.
“Uhuk..uhuk … uhuk.” Rona terbatuk-batuk mengeluarkan air laut yang tadi memenuhi paru-parunya. Matanya sedikit terbuka dan melihat samar-samar bayangan seorang pria yang berada tepat di sampingnya saat pertama kali membuka mata. Dia menerjab beberapa kali sebelum akhirnya duduk dengan cepat dan mendorong tubuh Bintang sehingga membuat perahu yang dia tumpangi kembali bergoyang.
Rambut dan Pakaian Bintang basah, sesaat Rona dapat melihat ekspresi lega dari wajah Bintang, namun dengan cepat pria itu memasang wajah kaku dan dingin seperti semula.
“Kamu mau bawa aku kemana?” Tanya Rona panic saat merasakan dirirnya masih berada di sekoci yang tadi mereka naiki. “Kenapa kita masih di sini? Mana pulau Alfia tadi?!” teriaknya tak dapat menyembunyikan emosi saat pulau pribadi milik Alfian tadi tak berada di sekeliling mereka, bahkan lampu-lampu yang awalnya menerangi pulau itu sudah tak terlihat lagi.
“JAWAB AKU, INI DIMANA?” teriak Rona saat Bintang tak menjawab ucapannya, Emosinya meninggi saat melihat Bintang yang terlihat begitu santai.
“Seperti yang kamu lihat, kita berada di tengah laut,” ucap Bintang santai, menyilangkan kedua tangannya di depan d**a seraya terus menatap dingin.
Tatapan Bintang membuat Rona mengigil, namun dia tak gentar kembali menatap pria itu dengan tatapan tajam “Aku mau kembali ke Pulau Alfian.”
“Nggak akan. Sebelum kamu menjawab pertanyaanku,” ucap Bintang santai dengan tatapan datar membuat Rona semakin emosi
“SUDAH KU BILANG BEBERAPA KALI. KALAU AKU TAK AKAN PERNAH MENJAWAB PERTANYAANMU!” teriak Rona kembali membuat kilat emosi di mata Bintang.
“Terserah kamu. Toh, bukan aku yang rugi,” tungkasnya. “Tapi... jangan harap aku akan membawamu kembali ke Pulau pribadi Alfian sebelum kamu menjelaskan semuanya,” ancam Bintang seraya meletakan dayung sekoci ini di belakang tubuhnya.
Rona terdiam mendengar ancaman Bintang. Dia menatap ragu. Rona membenci suasana ini. Suasana di mana dia harus memilih sesuatu yang paling tidak dia inginkan. Dia tak ingin bicara dan menjelaskan semua kepada Bintang, tapi melihat hamparang laut yang luas dan gelap di sekelilingnya membuat dia ketakutan. tak dapat membayangkan betapa dalamnya laut ini jika dia kembali tercebur seperti tadi.
Rona menjauhi Bintang, duduk di salah satu ujung sekoci sembari menekuk lutut membiarkan Bintang melakukan apa yang dia inginkan. Harga dirinya terlalu tinggi hanya untuk menjawab keinginan pria itu. Dia berusaha tidak mengindahkan keberadaan Bintang dan hanya menundukan kepala. Berada di dekat pria itu sajha sudah membuatnya merasakan kepedihan mendalam, apalagi dia harus membuka luka yang telah dia tutup rapat-rapat itu. Bintang tak berhak memintanya membuka masa lalu yang sudah dia kubur dalam-dalam. Baginya, kebersamaan mereka dulu hanya memberikan bekas luka yang sulit untuk dihilangkan, bahkan setelah dia pergi dan membangun hidupnya kembali setelah Bintang hancurkan.
Diam-diam, beberapa kali Rona mencuri pandang ke arah Bintang yang terus menatapnya dingin membuat hatinya seakan diremas. Dia lelah. Otak dan pikirannay seakan tak berfungsi dengan selayaknya. Keberadaan Bintang di dekatnya benar-benar menguras emosinya.
Malam sudah semakin larut dan dia masih saja berdiam diri terjebak dalam keheningan yang tak ingin dia dan Bintang akhiri. Dia hanya memperhankan harga dirinya, tak ingin kembali mengalah dan hanya bisa membiarkan sekoci yang dia dan Bintang tumpangi terus menjorok ke laut lepas.
Cahaya Bulan dan taburan bintang-bintang yang awalnya menemani mereka perlahan menghilang bergantikan dengan langit hitam kelam yang menambah rasa mencekam.
Rona bergedik ngeri saat rasakan ombak laut yang awalnya tenang mulai ganas. Sekoci yang mereka naiki terombang-ambing sehingga membuat dia harus terus memegang kedua sisi sekoci ini.
“Puas kamu!” teriak Rona kepada Bintang yang terlihat sibuk memasang sesuatu di sekoci mereka.
“Aku tak akan membawamu naik sekoci ini jika saja kamu mau menjawab pertanyaanku, lagipula kita tak akan berada di tengah lautan seperti ini, jika saja kamu tidak jatuh.”
“Kamu masih menyalahkanku?” ucap Rona tak percaya diikuti dengan rintik-rintik hujan yang mulai menerpa mereka. “Jangan pernah melimpahkan semua kesalahan kepadaku. Jelas-jelas kamu yang salah. Ini semua salahmu, jika saja kamu tidak memaksaku untuk menaiki sekoci sialan ini. Ini semua tak akan pernah terjadi!”
Rona ketakutan. Mata terus menatap kearah gulungan ombak yang terus mengenai sekoci mereka sehingga beberapa kali membuatnya oleng. Tubuhnya kembali basah karena hujan turun semakin deras. Rona terus berusaha berpegangan erat di sekoci itu agar tidak kembali jatuh ke laut.
“Masuk ke sini,” ucap Bintang dingin mengejutkan Rona, dia tersentak saat melihat Bintang berada di dekatnya. Sisi yang Bintang tempati tadi telah tertutup kain yang begitu kuat, sehingga membuat ombak yang mengenai sekoci mereka tidak masuk ke dalam sekoci.
“Aku bilang masuk kesini, kalau kamu tak mau mati tenggelam!” teriak Bintang diikuti dengan petir besar sehingga membuat Rona ketakutan lalu bergerak mendekati Bintang.Mereka merebahkan diri masuk ke dalam kain penutup tenda itu. Tak seberapa lama, mereka merasakan ombak besar mengenai sekoci mereka sehingga membuatnya kembali terombang ambing.
Tubuh Rona bergetar, tangannya mengambil tali-temali yang ada di pinggir sekoci lalu menggenggamnya erat, seraya berdoa dalam hati bahwa ini akan segera berakhir dan dia dapat kembali bersama keluarganya.
☆☆☆☆☆
Rona terbangun saat merasakan panas matahari pagi menerpa wajahnya dari balik kain sekoci yang mereka tumpangi. Tersentak saat melihat Bintang berada di sampingnya, memeluk tubuhnya erat. Konta saja, dia mendorong tubuh Bintang lalu beranjak menuju salah satu sudut sekoci.
Tubuhnya membeku, matanya menerjab tak percaya dengan apa yang dia lihat. Debur Ombak yang terdengar menyadarkannya bahwa apa yang dia lihat sekarang bukan mimpi. Sekoci yang mereka naiki sekarang terdampar di salah satu pulau tak berpenghuni yang tak dia ketahui keberadaanya.
“Kenapa?” Tanya Bintang santai melihat wajah Rona yang pucat pasi
“Kamu harus tanggung jawab atas semua yang terjadi! Bawa kembali sekocimu, lalu kembalikan aku ke pulau milik Alfian,” desis Rona marah.
Bintang hanya terdiam sebelum akhirnya turun dari sekoci lalu berjalan menuju sudut yang ditempati Rona.
“K-kamu mau a-pa?” Rona ketakutan saat melihat Bintang mulai melepaskan kain penutup lalu mulai mendorong sekoci menuju daratan.
“Aku bilang kembalikan aku ke pulau milik Alfian!!” perintah Rona namun tidak digubris Bintang.
“BINTANG!” teriak Rona akhirnya menyebut namanya membuat Bintang berhenti dan menatapnya tajam.
“Kenapa kamu baru berteriak memanggil namaku hanya di saat kamu marah?” ucapnya mengacak pinggang.
“Aku bilang naik, Kita harus kembali ke pulau Alfian!” perintah Rona tak mau tau.
“Pakai apa?” kekeh Bintang mendengar perintah Rona. “Sekoci ini, silahkan kalau kamu mau pergi, tapi aku tak jamin kamu akan menemukan pulau Alfian dan malah semakin jauh mengarungi lautan,” ucapnya santai membuat Rona bergedik ngeri.
“K-kamu mau k-kemana?!,” tanya Rona saat Bintang kembali mendorong sekoci mereka lalu berjalan menuju daratan.
Bintang seolah tak mendengar teriakan Rona terus saja berjalan memasuki pulau tak berpenghuni ini. Rona yang terlihat kesal atas sikap Bintang segera turun dari sekoci mereka. Dengan setengah berlari, ia menyusul Bintang lalu menarik tangannya kasar.
“Kamu harus bertanggung jawab atas semua yang terjadi!” pekik Rona.
Bintang menghempaskan tangan Rona lalu menatapnya dengan amarah yang sama. “A-aku? Bertanggung jawab?” kekehnya geli. “Kenapa aku yang harus bertanggung jawab? Sudah kubillang, semua ini tak akan terjadi jika kamu mau menjawab semua pertanyaanku dan jika kamu tidak keras kepala, sehingga membuatmu jatuh ke lautan.”
“Kamu masih nyalahin aku?!” Rona tak percaya dengan ucapan Bintang yang memojokannya. “Sudah kubilang, jangan pernah melimpahkan kesalahan. Jelas-jelas kamu yang salah. Jika saja kamu tidak memaksaku untuk naik sekoci sialan itu semua ini tak akan pernah terjadi!” ucap Rona dengan nada tinggi membuat Bintang balik menatapnya dengan tatapan yang menusuk.
“Karena ini memang salahmu. Jika saja kau lebih bersahabat. Kita tak akan seperti ini. Jika kamu mau berbicara baik-baik denganku, aku tak akan memaksamu untuk menaiki secoki sialan itu.”
“Ck.” Rona terkikik geli mendengar ucapan Bintang, “kenapa kamu selalu menyalahkanku atas semua hal yang terjadi, baik dulu maupun sekarang?”
“Memang begitu kenyatannnya. Kamu yang dulu berbohong kepadaku, saat aku jujur kepadamu dan juga kamu yang duluan meninggalkanku, disaat aku begitu setia kepadamu.”
“Ck. Setia?” kikik Rona geli kembali menatap Bintang yang kini berada di sampingnya. “Bukan aku yang meninggalkanmu, kamu tak ingat kejadian itu? Aku tak menyangka setelah sekian tahun aku dan kamu tidak bertemu, kamu masih tetap sama. Masih melihat apa yang ingin kamu lihat, mendengar apa yang ingin kamu dengar dan masih suka berpikir apa yang sesuai dengan apa yang kamu pikirkan, tanpa peduli itu benar atau salah.”
Bintang terdiam. Matanya menerawang seolah memikirkan apa yang Rona ucapkan.
Rona berusaha berjalan menjauhi Bintang yang tertegun. Namun, baru beberapa langkah. Bintang kembali mencengkram tangannya sehingga membuat Rona kembali kesakitan. Matanya memancarkan kemarahan sehigga membuat nyali Rona menciut.
“Lepasin!” Rona berusaha melepaskan cengkraman tangan Bintang. Namun, gagal. Matanya menyalang menatap Bintang.
“Kapan aku meninggalkanmu?” tanya Bintang dingin menarik tubuh Rona paksa sehingga tubuhnya bersentuhan dengan d**a Bintang tanpa melepaskan cengkramannya.
“Lepas!” ronta Rona mencoba kembali menjauhkan tubuhnya dari Bintang, namun nihil.
Semakin Rona meronta, semakin Bintang mendekatkan tubuh sehingga membuat tubuh mereka tak berjarak. Rona meronta lebih keras saat merasakan tangan Bintang melingkar erat di pinggangnya. Emosi bercampur dengan ketakutan, marah dan kekecewaan merasakan perlakuan yang Bintang lakukan.
“Aku tak pernah meninggalkanmu, kamu yang pergi lebih dahulu meninggalkanku!” ucap Rona dengan nada tinggi sebelum merasakan bibir Bintang membungkam bibirnya kasar.