“Anak siapa, Nil?” tanya Popi berusaha tenang walau ia kaget ketika mendengar Nilam hamil.
“Aku gak tahu kenapa bisa hamil.”
“Gak tahu gimana sih, kan kamu yang rasain dan kamu yang lakuin. Gimana sih kamu.”
“Aku waktu itu ngantar makanan ke hotel dan ada pria di sana, dia menarikku dan kami melakukannya. Sepertinya dia diberi obat birahi, ketika menciumku aku merasa seperti menginginkannya juga, mungkin tertular lewat napas kami.”
“Kamu tahu pria itu siapa?”
“Aku tahu, dia memberi kartu nama dan kartu debit. Dia juga yang membantu biaya pengobatan ibu.”
“Siapa dia?”
Tak pikir panjang, Nilam memberikan kartu nama pria itu kepada Popi. Sama halnya dengan Nilam kala itu, Popi juga terkejut melihat kartu nama di tangannya.
“King Haidar Sanjaya? Dia yang menghamilimu?”
Nilam mengangguk.
“Astaga, Nilam, dia sudah menikah, pernikahannya juga megah, semua kalangan menyaksikannya.”
“Aku pusing,” lirih Nilam. Aku harus gimana, Popi? Aku nggak tahu harus gimana sekarang. Aku hamil itu mengejutkan. Hidupku saja sudah sangat rumit, apalagi ditambah dengan anak yang ada di kandunganku saat ini.”
“Tidak ada cara lain, kamu harus menghubungi King Haidar, katakan kepadanya yang sebenarnya. Beliau bisa membantu dengan cara apa. Dia bisa membantumu.”
“Dia tidak mungkin menikahiku, kan?”
“Nggak ada yang nggak mungkin, kamu nggak mungkin menanggung ini sendirian.”
“Tapi—”
“Pokoknya kamu harus menghubungi King Haidar, hanya itu satu-satunya cara agar kamu tahu apa yang bisa kamu lakuin.”
Nilam enggan memberitahu King tentang kehamilannya, itu akan membuatnya kehilangan segala hal dalam hidup. King bukan orang yang akan bertanggung jawab. Malam itu adalah kesalahan. Sudah pasti King akan lari dari tanggung jawab apalagi sudah memberikan uang kepadanya cukup besar.
***
King dan keluarga Sanjaya saat ini sedang duduk berkumpul di ruang tengah, mereka berbincang tentang perjodohan Raikal Sanjaya—adik King—dengan salah satu wanita yang berasal dari keluarga yang sama dengan mereka.
Rudi Sanjaya—sang Ayah—yang mengatur semuanya. Sama persis dengan dua tahun yang lalu ketika mengatur pernikahan King dan Erin.
“Kita tidak tinggal di jaman dulu, kenapa kamu mau menjodohkan Raikal? Perjodohan yang kamu atur dua tahun yang lalu untuk King saja tidak beres. Bahkan Eren saja tak pulang-pulang.” Nenek Lena—orang tertua di keluarga Sanjaya, Ibu kandung Rudi, angkat bicara.
“Bu, Eren kan seorang pengusaha, sudah pasti tidak akan bisa menetap di Indonesia, dia pasti akan pulang setelah semua pekerjaannya di Bandung selesai.” Rudi melanjutkan.
“Tapi, dengan dia pergi, hamil cucu keluarga ini saja tidak mau dan jawabannya selalu belum siap.”
“Karena itu, kita mengharapkan pernikahan Raikal.” Rudi melanjutkan.
“Papi serius?” tanya Wanda Sanjaya—sang istri.
“Serius, Mi. Apa Papi kelihatan tidak serius? Ini anak Pak Joni,” jawab Rudi.
“Ibu punya permintaan.” Nenek Lena melihat seluruh anggota keluarganya secara bergantian.
“Apa itu, Bu?”
“Ibu mau, King menikah lagi. Bagaimana pun juga King adalah anak tertua di rumah ini. Sudah seharusnya dia memberikan ahli waris untuk keluarga Sanjaya.”
“Apa? Menikah? Nenek jangan mengada-ngada. Menikah dengan Eren saja sudah membuat saya pusing. Apalagi menikah lagi.” King angkat bicara.
“King, kamu mau selamanya seperti ini? Menikah tapi tidak seperti punya istri? Selama ini, Eren sudah menikmati hidupnya dengan baik, kamu juga harus melakukan hal yang sama.” Nenek Lena melanjutkan.
“Selama ini, saya selalu menurut kata keluarga, namun kali ini saya minta maaf, saya tidak ingin menikah lagi.”
“King, dengarkan Nenek, Nenek sudah tua. Jika ini yang membuat Nenek bahagia, kamu bisa kan memberikannya?”
“Tapi, Nek—”
“Ya sudah kalau kamu tidak mau. Nenek memang tidak berguna lagi dan semua omongan Nenek tidak didengarkan lagi.”
“Tapi, Nek—”
“Tidak usah. Anggap saja Nenek tidak pernah mengatakannya.”
“Baiklah. Terserah Nenek.” King tidak mungkin mengecewakan neneknya yang sudah bersusah payah selama ini membesarkannya. Hanya neneknya yang memahaminya semenjak ibunya meninggal.
“Bagaimana dengan Eren, Bu?” tanya Wanda.
“Ibu akan bicara pada Eren.”
Sebagai toko utama pembicaraan kali ini, King memilih diam setelah setuju, sejak dulu juga hidupnya memang sudah diatur oleh keluarganya. Mau menikah dengan siapa pun ia tidak bisa memilih sendiri, tapi dipilih oleh keluarganya.
“Tuan Muda!”
“Ada apa denganmu?” tanya King.
“Ada hal penting yang ingin saya sampaikan.” Sadly menunduk sesaat karena sudah mengacaukan perbincangan keluarga didepannya.
“Katakan saja. Ada apa?” Kali ini Rudi melanjutkan.
“Tapi—”
“Tidak ada rahasia di dalam keluarga Sanjaya. Jadi, katakan.” Rudi melanjutkan.
Sadly menoleh dan melihat atasannya yang saat ini mengangguk, biarkan semua orang mendengar apa pun yang akan Sadly sampaikan.
“Tuan Muda King, wanita yang bersama Anda di hotel Aksa satu bulan yang lalu, sedang di rumah sakit.”
“Lalu?”
“Beliau sedang hamil.”
“Lalu?” King menautkan alis.
“Hamil anak Anda.”
“Apa?” King bangkit dari duduknya. King memang memberi perintah kepada asistennya agar mengawasi Nilam.
Semuanya terkejut mendengarkan, terutama Nenek Lena, yang memang berencana mencari istri kedua untuk King, baru saja dibicarakan angin segar muncul.
“Antarkan saya ke sana.” Nenek Lena melangkah memajui Sadly.
“Bu, kita belum tahu, siapa yang Sadly maksud.”
“Ibu yakin, yang Sadly katakan memang benar. Bahwa wanita itu hamil anak King.”
“Demi mendapatkan cucu Ibu jangan sampai salah dalam mengambil langkah.”
“Ibu lebih dulu lahir dibandingkan kalian.” Nenek Lena begitu yakin. “Ada apa denganmu, King? Ayo temui wanita itu.” Nenek Lena menepuk bahu King.