Bab. 1. Awal Mula

3043 Words
Berawal di salah satu desa di Kota Jakarta pada tahun 1977, seorang warga setempat menemukan seorang bayi perempuan yang dibuang di semak-semak dalam keadaan masih hidup dan dibungkus kantong kresek hitam. Saat itu, waktu sudah menunjukkan pukul 02:00, saat itu yang menemukan sepasang suami istri yang hendak pergi ke pasar untuk berjualan. Mereka berdua mendengar suara tangisan bayi saat melewati tempat pembuangan sampah di lahan kosong, yang mana di sana terdapat bangunan terbengkalai dan semak belukar tumbuh dengan lebatnya. Bu Nani dari awal mendengar suara itu, bergegas mengajak suaminya untuk mencari sumber suara bayi itu, namun selalu ditolak suaminya sebab merasa ketakutan. “Pak, berhenti! Dengar nggak sih, seperti ada suara bayi menangis?” tanya Bu Nani saat melewati tempat tersebut. Pak Kolil tetap melajukan motornya sebab beliau juga merasa takut, sebab saat itu mereka melewati jalanan yang sepi tak ada bangunan kecuali bangunan terbengkalai tersebut. “Apa sih, Bu? Itu bayinya Mbak Kun minta mimik s**u. Kita ke pasar saja, jangan nakut-nakutinlah.” Pak Kolil menanggapi dengan bercanda sebab beliau merasa ketakutan. “Halah, Pak. Ini beneran, loh. Berhenti dulu, yuk.” Bu Nani tetap kekeh mengajak suaminya untuk berhenti. Akhirnya Pak kolil menuruti kemauan istrinya dan mereka berdua memberanikan diri untuk mencari ke arah sumber suara tersebut. Dan benar saja, mereka menemukan kantong kresek hitam besar terlihat sesuatu ada di dalamnya dan ada suara bayi menangis yang terdapat di dalamnya. Awalnya mereka ragu, namun karena merasa penasaran mereka pun memutuskan untuk tetap mengambilnya. Saat di buka ada bayi perempuan yang mana ari-arinya masih menempel. “Ya Allah, Pak. Sepertinya bayi ini baru dilahirkan terus di buang. Kita bawa saja bagaimana?” tanya Bu Nani. “Kita bawa ke panti depan saja, Bu. Yang terdekat dari sini kan panti kasih ibu itu,” ujar Pak Kolil. Sesampainya di sana, dengan cepat para pengurus panti membersihkan badan bayi itu kemudian tidak lupa diberikan nama oleh mereka. Bayi itu diberi nama Candra. *** Saat pagi telah tiba, kembali datang seorang perempuan berpakaian lusuh sembari membawa kantong kresek dan menggendong bayi yang sangat cantik. Beliau terlihat sangat kelelahan dan pucat pasi. Ibu panti yang merasa iba, menyuruhnya agar masuk ke dalam panti asuhan untuk istirahat. Saat itu, ibu panti menanyakan apa yang terjadi. Ternyata, wanita itu adalah korban perdagangan perempuan dan bayi ini adalah anaknya. Dia dijual oleh ibu tirinya di luar pulau yang jauh dari sini. Dia hanya berbekal uang tak seberapa, pakaian bayi dan bayinya yang terpenting dibawanya. Beliau ujar, ingin menitipkan anaknya di sini, sebab dia merasa tak pantas untuk mengurusnya. “Bu, saya mau menitipkan anak saya di sini. Saya tahu, umur saya nggak akan lama lagi, sebab saya mempunyai penyakit kanker otak stadium akhir. Saya yakin, tak ada tempat yang layak selain di sini. Saya nggak mau anak saya suatu saat mengalami hal serupa dengan saya. Nama anak ini Nadin,” ujar perempuan itu sembari menunjuk ke arah anaknya. “Kalian berdua tinggallah di sini. Saya malah senang jika bisa melihat kalian dengan keadaan baik,” ujar ibu panti. “Benarkah, Bu? Apa nanti saya tak merepotkan Ibu di sini?” tanya ibunya Nadin. Mulai hari itu Nadin dan ibunya tinggal di sana, setiap hari membantu ibu panti untuk mengurus urusan anak panti. Ibunya Nadin bernama Erika, dia wanita cantik yang kalem. Saat itu Ibu Erika berjalan menghampiri ibu panti yang berada di dapur. “Bu, sedang apa? Apa saya boleh membantu?” tanya Ibu Erika kala itu. “Eh, Erika. Istirahatlah, Nak. Ibu biar dibantu Susi untuk menyiapkan untuk anak-anak, kamu istirahatlah,” jawab ibu panti. “Tapi, Bu,” ujarnya menggantung. Ibu panti pun menghampiri Ibu Erika yang tengah menggendong Nadin. Beliau pun mengelus pundak Ibu Erika dengan lembut sembari berkata, “Kamu istirahatlah, Nak. Ibu masih sanggup, pikirlah kesehatanmu dan anakmu saja.” Ibu Erika pun tersenyum dan mengangguk sembari berbalik badan hendak pergi ke kamarnya yang sebelumnya sudah diberitahu oleh ibu panti. Tak berselang lama, makanan pun akhirnya siap. Ibu panti kembali menghampiri Ibu Erika, yang sedang duduk menemani Nadin dan Candra sedang tidur. “Nadin, Candra, kalian berdua anak-anak yang cantik. Kasihan kalian memiliki nasib yang sama, mungkin Nadin bernasib lebih baik sebab ada Ibu yang saat ini menemani. Ibu harap, kalian hingga dewasa bisa berteman baik bahkan menganggap saudara satu sama lain hingga akhir hayat kalian nanti,” ujar Ibu Erika penuh harap. Saat Ibu Erika sedang asyik melihat kedua bayi cantik dihadapannya, tiba-tiba ia terperanjat kaget karena suara ketukan pintu. Tok tok tok .... “Erika, makan dulu yuk, Nak. Biar Nadin dan Candra, si Susi yang jagain,” ujar ibu panti dari balik pintu. “Iya, Bu,” jawab Ibu Erika sembari beranjak dari tempat duduknya. Beliau melangkahkan kaki keluar dari kamarnya, menuju ruang makan. **** Mulai sejak itu, Ibu Erika setiap harinya mengurus Nadin dan Candra, entah kenapa beliau sangat menyayangi Candra seperti menyayangi nadin sebagai anaknya sendiri. Mereka tumbuh bersama menjadi anak-anak yang sangat lucu. Memang dari segi karakter, entah kenapa Candra lebih kasar. Sedangkan sebaliknya, Nadin justru diam saja atau hanya menangis saat dilukai Candra. Pagi itu, mereka duduk di teras sembari memegang boneka masing-masing, namun entah apa maksud Candra tiba-tiba memaksa mengambil milik Nadin. “Bawa sini bonekanya, aku nggak mau ini,” ujar Candra sembai membuang Boneka miliknya. Setelah itu, dia meraih boneka Nadin dengan paksa. “Kok kamu begitu, sih. Kan bonekanya sama, Can?” ujar Nadin mengiba. “Nggak mau. Kamu saja yang ngambil, aku maunya ini kok. Jangan pelit, deh.” Candra pun masuk ke dalam panti terlebih dahulu. Sedangkan Nadin, mau nggak mau harus mengambil boneka itu. Dia dengan wajah lesu meraih boneka yang ada di tanah. Mereka yang saat itu masih usia empat tahun, Nadin tergolong anak yang lebih cepat dewasa dari Candra. Bahkan seolah-olah Candra lebih pantas dibilang adik dari Nadin sebab kelakuan mereka yang terlalu berbanding jauh. Dia tetap mencoba tersenyum dan bergegas menghampiri Candra yang sudah terlebih dahulu masuk. Ternyata dia sedang duduk di dekat ibunya, Nadin pun ikut bergabung dengan mereka. Wajah sedih Nadin tak bisa disembunyikan sehingga ibunya bertanya ke dia. “Nadin kenapa, Nak?” tanya Ibu Erika. “Nggak apa-apa, Bu.” Nadin memeluk boneka itu dengan sangat erat. Ibu Erika yang merasa curiga dengan perilaku Nadin, memutuskan untuk meraih boneka itu dari tangan anaknya. Beliau berkata, “Sini Ibu lihat, kenapa bonekanya di peluk seperti itu.” Ibu Erika pun melihat ada yang beda dari boneka ini. Sebab beliau hafal betul dua boneka yang diberikan itu kedua anak itu. Bu Erika pun melihat ke ekor boneka beruang itu, yang mana ada tulisan huruf C di sana. Setelah itu, Bu Erika menghampiri Candra dan duduk di sebelahnya. “Candra, berikan boneka itu ke Nadin ya, Nak. Nanti punyamu Ibu cucikan, sama dijahit ulang, ya,” ujar Ibu Erika dengan lembut. Candra pun melihat Ibu Erika dengan tatapan tajam, dia terlihat tak menyukai perkataannya. Dia berkata, “Nggak adil, kenapa semua harus Nadin. Punyaku jelek, punya Nadin bagus. Kalian sayangnya hanya sama Nadin, bukan denganku.” Candra pun beranjak dari tempat duduknya dan membuang boneka itu hingga mengenai wajah Nadin. “Bu, aku nggak apa-apa, kok. Biar boneka ini dipakai Candra, aku pakai boneka yang ibu bawa saja,” ujar Nadin sembari menyerahkan bonekanya ke Ibu Erika. “Maaf ya, Nak. Kamu harus mengalah lagi,” ujar Ibu Erika sembari merengkuh tubuh Nadin ke pelukannya. “ Iya, Bu,” ujar Nadin dengan senyuman polos. *** Kejadian seperti itu kerap kali berulang-ulang. Dari pihak panti, Ibu Erika atau siapa pun sebenarnya tak pernah membedakan mereka satu sama lain. Hanya saja Candra yang mempunyai sifat iri dengki yang membuat dia selalu tak merasa puas dengan apa yang sudah ia miliki. Entah tak tahu kenapa, mereka yang tumbuh bersama dengan tempat dan pengasuh yang sama, tak membuat mereka memiliki kepribadian yang sama pula. Nadin yang tumbuh dengan sifat yang lemah lembut, ramah dan kalem, sedangkan Candra memiliki sifat yang ingin menang sendiri, pemarah dan kasar. Hingga suatu hari, saat mereka sedang belajar bertiga dengan Ibu Erika di teras, tiba-tiba beliau dari hidungnya keluar darah dan wajahnya terlihat pucat. Nadin yang melihatnya seketika mendekat ke arah beliau dan menanyakan keadaanya. “Bu, kenapa? Hidungnya berdarah? Saya ambilkan obat, ya” ujar Nadin, sembari bergegas mengambil obat yang diletakkan di lemari kamar mereka. Sedangkan Candra yang mengetahuinya, hanya diam tak menghiraukan kondisi Ibu Erika kala itu. Ibu Erika pun tersungkur ke lantai, namun Candra yang melihatnya lagi-lagi hanya diam saja.Bahkan dia berkata, “Malah pingsan, ngerepotin banget orang penyakitan ini. Nadin yang baru kembali mengambil obat, histeris kala melihat Ibu Erika dalam kondisi seperti itu. “Ibu, bangun. Candra tolong panggil ibu panti di belakang, kita harus membawanya ke rumah sakit,” ujar Nadin. Candra memicingkan matanya lalu menjawab, “ Panggil saja sendiri, jangan malas. Merepotkan!” “Ya Allah, Candra. Kalau begitu tolong tunggu Ibu Erika ini,aku manggil Ibu Panti dulu,” ujar Nadin, yang tampak gelisah. Nadin walaupun nggak tega, harus memanggil ibu panti yang berada di belakang. Dia berlari sekuat tenaga, hingga dia yang berlari terlalu kencang tak bisa menghindari ada sedikit anak tangga yang ada di rumah bagian belakang. Bruk!! Dia jatuh tersungkur dan tangannya terasa terkilir. Namun karena rasa khawatirnya ke Ibu Erika yang terlalu tinggi, sehingga dia tetap seperti niatannya memanggil bu panti. Ibu panti terlihat sedang merajut dan ditemani anak-anak yang lain. “Bu, tolong Ibu Erika. Beliau pingsan di depan, ayo kita bawa ke rumah sakit,” ujarku dengan napas terengah-engah. “Ya Allah, Erika.” Bu panti bergegas beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan cepat menuju ke teras depan. Anak-anak yang lain pun ikut mengekor di belakang kami, saat kami sampai di teras ternyata Ibu Erika tetap tergeletak sendirian dan Candra masih dengan posisinya semula. “Candra, apa-apaan kamu! Ibu pingsan, kamu malah duduk diam di situ,” cecar Putra. “Mau diapain juga tetap pingsan, biarin saja kali. Kenapa kalian pada heboh, sih?” ujar Candra dengan entengnya. “Sudah-sudah, panggil Pak Joko di depan minta bantuan untuk mengangkat Ibu Erika ke mobil dan segera membawanya ke rumah sakit,” suruh ibu panti. Sejak kejadian itu, Ibu Erika sudah tak bisa melakukan kegiatan apa pun. Karena dari pihak kedokteran mengatakan keadaan Ibu Erika semakin parah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan, salah satunya karena Ibu Erika tak pernah rutin check up sebab keterbatasan biaya untuk berobat. Bertahun-tahun, Ibu Erika terkulai lemah di atas kasur. Nadin yang memang anak kandungnya pasti bisa merasakan ikatan batin yang kuat diantar mereka berdua. Nadin merawatnya dengan tekun, walaupun tenaganya terbatas karena faktor usia, tetapi semangatnya tak pernah padam. “Bu, yang kuat. Aku di sini selalu menjagamu, jangan pernah tinggalkan aku. Aku menyayangimu, seperti Ibu kandungku sendiri,” ujar Nadin dengan polos. Ibu Erika pun tersenyum, namun air matanya pun berlinang saat mendengar ucapan Nadin. Dalam hatinya berkata, ‘Nadin, Ibu juga sangat menyayangimu. Ibu memang Ibu kandungmu, tetapi maaf jika belum bisa memberitahukanmu saat ini.’ Berbeda dengan Candra, dia malah seolah-olah jijik melihat Ibu Erika yang semakin lama tubuhnya kurus kering dan hanya bisa terbaring di atas kasur. “Kapan Ibu sembuh, sih? Dua tahun tergeletak begini terus, kalau mati kenapa nggak mati saja. Menyusahkan!” hardik Candra “Candra! Jaga ucapanmu,” tegur Nadin. “Heh, kita itu di sini cuma anak buangan, jadi kamu nggak perlu mengistimewakan yang ada di sini. Toh, kita itu hanya sampah yang dipungut,” ujar Candra. “Pergi, kalau kamu hanya ingin menghardik Ibu Erika. Justru berterima kasihlah ke beliau saat masih hidup, karena selama ini kita di urus dia penuh kasih sayang seperti anak dia sendiri, bukan malah menghujatnya,” ujar Nadin. “Itu kamu, bukan aku!” ujar Candra. Saat mereka berdebat, tanpa ia sadari napas Ibu Erika melenguh panjang dan saat itu juga nyawa Ibu Erika melayang. “Keluar!” bentak Nadin. Memang baru kali ini Nadin berkata dengan Nada tinggi dengan Candra, sebab dia merasa Candra tak sopan dengan orang yang selama ini mengasuhnya tanpa meminta imbalan apapun kepadanya. Saat iru, Candra pun keluar dengan menyunggingkan senyumnya. Sedangkan Candra, kembali merengkuh tubuh Bu Erika dengan lembut. “Bu, tidur? Maafkan kata-kata Candra, ya. Aku tahu, dia juga sangat menyayangimu, namun hanya cara bicaranya yang salah,” ujar Nadin belum menyadari Ibu Erika Meninggal. Nadin pun merasa ada yang aneh dengan Ibu Erika, sebab dia tak bergerak sama sekali. Dia mencoba memanggilnya, “Bu, bangun.” Nadin pun duduk dan mencoba memanggil dan menggoyang-goyangkan tubuh Bu Erika, tetapi lagi-lagi tak ada respon sama sekali. Dia pun mendekatkan jarinya ke lubang hidung Ibu Erika, dia pun menangis histeris saat menyadari perempuan yang sangat ia sayangi itu telah tiada. “Ibu!” teriak Nadin. Teriakannya hingga terdengar di rumah bagian belakang panti asuhan yang biasanya mereka gunakan untuk merajut dan bermain. Semua penghuni yang mendengarnya sontak berlari ke arah sumber suara, terkecuali Candra. Candra hanya kembali menyunggingkan senyumannya sembari berkata,”Mati benerankam. Begitu saja kok lama banget.” “Ibu.” Nadin menangis tersedu-sedu, sembari memeluk jasad ibunya. Ibu panti pun menghampirinya dan mengecek nadi dan napas Ibu Erika. Kemudian beliau merengkuh tubuh Nadin dan mencoba menenangkannya. “Susi, tolong kabarin Bapak kalau Ibu Erika sudah tiada,” perintah ibu panti ke Susi amaknya untuk memanggil Pak Joko adalah suami dari Ibu panti sendiri. “Nadin sayang, biarkan ibumu tenang di sana. Saat ini dia sudah tak merasakan sakit lagi,” ujar ibu panti mencoba menenangkan Nadin. Nadin sontak menatap ke arah ibu panti, lalu berkata, “Ibuku?” Ibu panti terperangah saat mendengar pertanyaan Nadin karena aku sengaja keceplosan masalah ini. Ibu panti sengaja merahasiakan ini, sebab sehari sebelum kepergian Ibu Erika, beliau berpesan agar menyembunyikan itu dari dia. Ibu Erika tak ingin hubungannya dengan Candra semakin jauh, hanya gara-gara Nadin memiliki ibu daripada Candra. “Ibu kita semua Nadin, memang betul Ibu panti kalau nyebutnya juga Ibumu,” sahut Putra. Nadin pun menganggukkan kepal pertanda ia mengerti yang diucapkan Putra. Tak berselang lama, Susi dan Pak Joko datang. “Bu, sudah kuberitahu ke yang lain untuk mengurus pemakaman Erika. Tolong anak-anak ditenangkan di rumah belakang, ya,” ujar Pak Joko. Mereka semua yang ada di sini merasa terpukul dengan kepergian Ibu Erika, terutama Nadin yang sedari kecil diasuh dan tidur bersamanya. Walaupun sama seperti Nadin, entah kenapa Candra tak sedikit pun memiliki empati dan rasa sedih itu. Di sana ibu panti mencoba menenangkan mereka semua. “Bu, kita lihat Ibu Erika, ya. Aku ingin menemaninya untuk terakhir kalinya. Boleh?” tanya Nadin. “Iya, sayang. Ayo, kita sama-sama kedepan untuk mendoakan Ibu Erika,” ajak ibu panti. Mereka semua pun beranjak dari tempat duduknya dan bergegas melangkah ke ruangan bagian depan. Ternyata di sana sudah banyak para pelayat yang berdatangan. Nadin yang melihat jenazah Ibu Erika hendak dimandikan, tiba-tiba terkulai lemah tak sadarkan diri. Dia merasa begitu terpukul hingga pingsan. “Nyusahin banget, deh,” ujar Candra saat melihat ibu panti menggendong Nadin untuk membantu menyadarkannya. Ibu panti menyuruh salah satu anak asuh, untuk mengambilkan minyak kayu putih agar Nadin cepat sadar. Candra di sini hanya mengomel hal yang tidak penting, saat itu juga Putra yang menyahutnya. “Heh, bisa diam nggak? Kalau nggak bisa bantu apa-apa, cukup diam,” bentak Putra. “Apa sih, ngatur-ngatur,” jawab Nadin. Cukup waktu lama, Nadin akhirnya tersadar. Dan saat itu, bertepatan dengan akan diberangkatkan jenazah Ibu Erika kepemakaman. Nadin tetap kekeh ikut kepemakaman, walaupun sebenarnya dia merasa tidak kuat menahan rasa sedih yang membelenggu hatinya saat ini. Semua anak panti dan pelayat pun mengantarkan jenazah Ibu Erika ke pemakaman. Putra sengaja menggandeng Nadin untuk menguatkan temannya itu. Dia berkata, “Doakan semoga bahagia di sana ya, Nad. Ibu Erika orang yang baik, dia sudah nggak sakit lagi.” Nadin pun menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum walaupun perih. Dia yakin, kuat seperti anak-anak yang lain. Prosesi pemakaman pun dilaksanakan, jenazah mulai dimasukkan ke liang lahat dan sat itu juga Nadin nangis histeris. “Ibu, aku ikut. Jangan tinggalin aku!” ujar Nadin. Putra yang berada di sampingnya mencoba menguatkan temannya dengan cara memeluknya. Sembari berkata, “Nadin, yang sabar.” Nadin pun juga tak mengerti, kenapa dia merasa sesakit ini kala ditinggal Ibu Erika. Dia merasa kasih sayang Ibu Erika seperti ibu kandungnya sendiri. Tak berselang lama, akhir ya pemakaman pun selesai, sesampainya di rumah mereka di suruh membersihkan badan lalu disuruh berkumpul lagi di ruang tengah. “Anak-anak, kalian segera mandi. Nanti kalau sudah kumpul kembali di sini,” perintah ibu panti. “Baik, Bu,” jawab mereka serempak. Dengan langkah gontai Nadin berjalan menuju kamarnya. Di kamar itu, sebelumnya mereka huni bertiga, Nadin, Ibu Erika dan Candra. Namun kali ini, mereka hanya tinggal berdua. Nadin memeluk salah satu baju Ibu Erika yang ada di almari, dia kembali menitikkan air mata. “Nggak usah lebay, toh kita sudah biasa ditinggalkan. Buruan sana mandi duluan,” ujar Candra. “Kamu dulu saja, aku masih ingin di sini,” jawab Nadin. “Terserah!” ujar Candra sembari berlalu pergi meninggalkan Nadin sendirian di kamar. Cukup lama Nadin tetap dalam posisi yang sama hingga Nadin kembali ke kamarnya. “Nad, buruan mandi. Ditunggu ibu panti, itu. Sudahlah, yang mati biarin mati. Kamu tangisi tujuh hari tujuh malam juga nggak akan hidup,” cecar Candra. Nadin hanya beranjak dari tempat duduknya dan bergegas mengambil pakaiannya, tanpa menjawab satu perkataan apa pun yang di lontarkan Candra. Dalam hatinya berkata, ‘Bu, aku rindu. Kenapa secepat ini ninggalin aku.’ Setelah itu, dia segera mandi lalu berkumpul sesuai perintah ibu panti. Semua anak panti berkumpul di ruang tengah. “Nadin, sini sayang,” ujar ibu panti. Nadin pun beranjak dari tempat duduknya, menghampiri ibu panti. “Nadin, Ibu dan Bapak memutuskan kalau kalian berdua. Sini Candra,” ujar ibu panti. Ibu panti belum melanjutkan perkataannya sebelum Candra datang. Saat Candra juga duduk di samping ibu panti, beliau berkata, “Kalian pindah ke kamar lain, ya. Jadi satu sama Dian dan Sari.” Nadin hanya mengangguk menuruti perintah Ibu dan Bapak Panti. Mulai malam itu, Nadin dan Candra tidur satu kamar dengan dua temannya yang lain. Di kamar itu untuk ditinggali empat orang anak, di sana terdapat dua ranjang yang ada tangganya. Jadi, satu ranjang itu bisa digunakan dua orang anak, yang mana satu tinggal di kasur atas dan satunya di bawah. Mereka diantar ke kamar dan ibu panti meminta mereka juga segera istirahat. Saat di dalam kamar Candra kembali terlihat menyunggingkan senyumnya. “Kalian istirahatlah. Semoga besok kita lebih baik dari hari ini,” ujar ibu panti sembari menutup pintu kamarnya. “Kamu tidur bawah, yang di atas khusus buat aku,” ujar Candra sembari naik ke tangga ranjang itu. Nadin hanya mengangguk dan segera duduk di atas ranjang bagian bawah. Dian dan Sari yang melihat Nadin pun menghampirinya. “Nadin, kalau ingin tidur di atas gunakan tempat tidur kami nggak apa-apa,” ujar Dian. Nadin melihat ke arah mereka secara bergantian, lalu berkata, “Aku nggak apa-apa, kok. Aku di sini saja, kita istirahat saja, yuk,” ujar Nadin sembari membaringkan tubuhnya di atas kasur. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD