Bab.2. Terpisah

2074 Words
Saat pagi, mereka semua penghuni panti seperti biasa selalu sarapan bersama di ruang tengah, menggunakan alas tikar untuk duduk dan piring plastik untuk mereka gunakan tempat makan. Hal seperti itu sudah membuat mereka tersenyum bahagia walaupun menyantap menggunakan lauk seadanya. “Candra, kamu mau tempeku?” tanya Nadin yang melihat Candra sedari tadi menatap piring plastik Nadin. Candra pun mengangguk sembari berkata, “Iya, aku mau tukar tempemu dengan tempeku. Abisnya ibu panti pilih kasih memberiku tempe lebih kecil, dari pada punya kamu.” Hal seperti itu sudah sering terjadi antara mereka berdua, yang mana Candra selalu terlihat iri dengan apa yang dimiliki Nadin. Namun Nadin tak pernah merasa berkecil hati, sebab Nadin begitu menyayangi Candra dengan sepenuh hati. Tetapi berbanding terbalik dengan Candra yang selalu menganggap semua lebih menyayangi Nadin dari pada dirinya. Perasaan duka masih begitu terasa dalam hati Nadin, namun karena dia lebih menyayangi Candra sehingga memilih untuk tetap sabar dan mengalah. Dia pun tak mengerti, entah kenapa dia terasa begitu terpukul padahal dia menganggap tak ada hubungan apapun dengan Ibu Erika. Dalam hatinya berkata, ‘Apa mungkin karena sedari kecil aku yang mengasuh Ibu Erika sehingga aku begitu terpukul? Apa yang lain juga meraskan hal yang sama dengan aku?’ “Nadin, ayo buruan berangkat. Keburu telat nanti,” ujar ibu panti. “Iya, Bu,” jawablu sembari beranjak dari kasur dan menenteng tas sekolah usang yang biasa aku kenakan saat sekolah. Aku melangkahkan kaki keluar kamar, terlihat teman-temanku sudah menungguku untuk berangkat. “Lelet banget, sih. Capek tunggu, ini,” celetuk Candra. “Sst ... nggak boleh begitu, ya,” tegur ibu panti. Candra pun memicingkan matanya sembari berjalan menuju pintu. “Ayo berangkat, tahu sendirikan kalau Nadin kesayangan Ibu panti. Dia yang telat nggak bakal ditegur, kalau kita pasti sudah dimarahin,” guman Candra. Nadin hanya menatap ke arah Candra menjawab apapun. Bu panti hanya mengelus kepala Nadin, sebab beliau kenal betul seperti apa kelakuan Candra. Sesampainya di sekolah, ibu panti seperti biasa hanya mengantakan sampai di depan pintu gerbang kemudian pulang. Beliau akan datang lagi, ketika nanti sudah waktunya anak-anak hendak pulang. Seolah-olah, seperti pelajar pada umumnya sesuai usia mereka. Bermain dan belajar rutin mereka lakukan. Candra dan Nadin tergolong anak yang berprestasi. Tetapi disegala bidang pasti tetap ada yang selalu terunggul dan pastinya itu si Nadin. *** Kegiatan seperti itu sudah rutin di laksanakan ibu panti hingga bertahun-tahun. Jika anak bisa berangkat sendiri, misal saat usia sembilan tahun pasti dibiarkan untuk berangkat sendiri bersama anak-anak yang usianya sudah lebih dewasa. Saat usia sembilan tahun Nadin dan Candra tetap berangkat bersamaan. Walaupun sifat mereka bertolak belakag tetapi mereka seola-olah tak bisa dipisahkan. Mereka apa-apa selalu berdua. Hal yang menjadi kebiasaan sedari kecil masih kerap terjadi hingga usia segitu. Dengan sikap baiknya Nadin malah membuat Candra seolah-olah semena-mena dengan Nadin agar dia selalu menang. Tetapi Nadin tak pernah sedikit pun punya pikiran negatif atau pun untuk membalas perlakuan Candra. Saat malam tiba, jam sudah menunjukkan pukul 20:00. Anak panti diajari tidur lebih awal. Nadin dan Candra pun berjalan beriringan menuju ke kamarnya. “Aku tadi nggak sengaja nguping saat ibu panti mendapatkan telepon. Kalau nggak salah dengar, besok ada sepasang suami istri kaya yang ingin ngadopsi anak cewek di sini. Kalau enggak salah lagi, orang itu mencari seuasia kita. Semoga besok aku deh yang dipilih, biar aku jadi orang kaya,” ujar Candra, sembari duduk di kasur. “Iya, Can. Semoga kamu bisa terpilih, ya. Oh iya, jangan lupakan aku kalau kamu sudah jadi orang kaya,ya,” ujar Nadin. Candra malah menyunggingkan senyumnya ke arah Nadin. Entah apa yang sedang ada di pikirannya Nadin tak pernah tahu, dia bahkan selalu berpikir positif bahwa saudaranya itu juga menyayanginya seperti yang ia rasakan. *** Keesokan harinya, pengurus panti menghimbau agar anak-anak bergegas mandi dan bersiap-siap. Mereka pun dihimbau untuk mengenakan pakaian terbaik mereka. Tak hanya anak perempuan, anak laki-laki pun sama. Pihak panti tak pernah berlaku pilih kasih atu pun membeda-bedakan seperti apa yang dirasakan Candra. “Anak-anak, Ibu selalu berpesan. Jadilah anak yang tahu sopan dan santun kepada siapa pun walaupun kalian sudah tak ada di sini. Kita sampai kapan pun tetap bersaudara, walaupun nantinta kita akan berbeda tempat tinggal,” nasihat ibu panti saat kami ngumpul sebelum sarapan dilakukan. Tak berselang lama setelah sarapan, terdengar suara mobil berhenti tepat di pelataran panti asuhan ini. Sontak kami semua heboh dan bergegas mengintip dari celah selambu jendela. Terlihat jelas pria tinggi,putih dan tampan yang menggunakan jas hitam, bercelana hitam dan sepatu yang senada dengan pakaiannya turun dari arah kursi kemudi. Tak hanya itu, dari pintu yang lain turun wanita cantik berpawakan kalem menggunakan dress berwarna merah muda juga ikut turun bersamaan dengan pria tersebut. “Cantik dan tampan ya, calon orang tuaku,” ujar Candra kala itu. “Jangan pede dulu, anak perempuan di sini bukan kamu saja. Di sini banyak, kalau terlalu berharap sakit loh,” ujar Putra anak panti di situ juga. “Halah, kamu saja yang iri Put kalau aku dapat orang tua yang kaya raya. Aku nggak akan mau kenal kamu kalau mereka sudah mengabdosiku. Bakal kuanggap kau seperti sampah,” cecar Candra. Perdebatan mereka pun terhenti saat ibu panti datang dari arah belakang kami. Beliau berkata,”Anak-anak, kenapa ribut-ribut?” Ibu panti saat itu juga menyingkap kelambu yang menutupi jendela, beliau bergegas membuka pintu setelah mengetahui jika di teras rumah ada orang datang. Kami semua hanya mengekor di belakang ibu panti. Kedua orang yang baru datang pun bergegas bersalaman ke ibu panti saat melihat beliau keluar dari balik pintu. Begitu pun dengan Candra, yang terlihat tak sabaran untuk bersalaman ke mereka berdua. “Halo, Tante,Om. Saya Candra, anak terpandai di panti dan sekolahan, loh,” ujar Candra. Kemudian kami semua juga bersallaman secara bergantian dengan antri pada umumnya. Entah kenapa sedari tadi aku memperhatika jika kedua orang tersebut terus melihat ke arahku. “Mari masuk!” ajak ibu panti. Mereka bertiga duduk di kursi ruang tamu, sedangkan kami semua anak panti duduk di tikar yang sebelumnya sudah kami siapkan. Mereka berdua terlihat begitu ramah dan sopan ketika berbicara. Dalam hati Nadin saat itu berkata,’Aku juga ingin dapet orang tua yang terlihat sabar dan ramah seperti merek. Walaupun nggak orang kaya pun aku mau, yang penting aku bisa merasakan bagaimana mempunyai keluarga utuh yang penuh dengan kasih sayang, seperti anak di luaran sana.’ Semua anak yang berda di sini pun mulai memperkenalkan diri satu-persatu. Mulai dari Candra yang sedari tadi tak sabaran ketika melihat mereka datang. “Perkenalkan, namaku Candra. Aku anak baik dan tentunya pandai. Saya yakin Om dan Tante akan bangga mempunyai anak seperti saya,” ujar Candra yang membanggakan dirinya sendiri. Terlihat ekspresi dari calon orang tua tersebut tak terlalu suka melihat tingkah laku Candra. Setelah itu bergantian dengan Nadin yang maju untuk memperkenalkan diri. Nadin membungkukkan badan terlebih dahulu, kemudian baru berbicara. “Asslamualaikum, perkanalkan nama saya Nadin. Saya berusia sembilan tahun, bulan agustus nanti sepuluh tahun.” Nadin malah terlihat diam saja dan berdiri di sana. “Nadin kelas berapa, Nak?” tanya pria tersebut. “Kelas empat tahun ini, Om,” jawab Nadin. Calon orang tua pun tersenyum kala melihat Nadin bertutur sapa lembut saat menjawab. “Nadin kenapa nggak ngucap apa saja kebaikan atau pun prestasinya?” tanya wanita tersebut. Nadin pun menggelengkan kepala sembari berkata,”Malu.” Hanya itu kata-kata yang terlontar dari mulut Nadin. Setelah itu, mereka pun mengizinkan Nadin untuk kembali duduk dan memberikan kesepatan ke anak yang lain. Setelah semua anak dirasa cukup, terlihat ibu panti dan kedua orang tersebut izin kebelakang untuk berembuk masalah ini. Mereka sengaja memilih masuk ke dapu dan sebelum pergi, ibu panti berpesan agar semua anak tetap diam di tempat masing-masing. Namun, nyatanya Candra tetap mengekor dengan cara mengendap-ngendap agar dapat mendengarkan pembicaraan mereka. “Bagaima Ibu Dian dan Pak Aska, silahkan memilih. Jika tak ada satu pun dari mereka juga nggak apa-apa. Sebelumnya saya minta maaf, jika anak didikan saya ada yang kurang sopan atau pun bagaimana,” ujar ibu panti. Namun saat mereka belum menjawab, tangan Candra mengenai Vas bunga yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Prang!! Vas bunga pun pecah saat terbentur dengan lantai. Sontak mereka yang ada di dapur pun menoleh dan segera menghampiri ke arah sumber suara. Benar saja, di sana terlihat Candra sedang berdiri dan terpaku menatap ke arah vas bunga tersebut. “Candra, kamu apa?” tanya ibu panti. “Maaf, Bu. Saya tidak sengaja” jawab Candra sembari menundukan kepala. “Candra, kamu nguping ya, Nak? Nggak boleh, loh,” nasihat wanita tersebut. Candra hanya menundukan pandangannya dari mereka bertiga. Kemudia mereka mengurungkan untuk berembuk, demi mengantarkan Candra ke tempat duduk bersama teman-temannya. “Anak-anak, kembali saya ingatkan. Berlakulah sopan dan satun, termasuk mendegarkan pembicaraan orang tua itu dinamakan tidak sopan. Saat ini saya menegur Candra, saya harap kejadian seperti ini tak pernah terjadi kembali.” Ibu panti memberitahu. “Tapi, Bu. Sayakan disuruh Nadin, masa yang di salahkan?” ujar Candra. Nadin yang tak tahu apa-apa, sontak bingung dengan ucapan yang dilontarkan Candra kepadanya. Dia saja dari awal melarangnya, namun dia tetap dengan pendiriannya. Terapi saat kepergok malah dengan mudahnya meleparkan kesalahannya ke orang lain. “Kok saya? Nggak, Bu. Saya nggak tahu apa-apa.” Nadin mencoba membela dirinya. “Nadin, apa itu benar?" ibu panti mencoba memastikan apa yang dikatakan Candra. Nadin pun hanya bisa menggelengkan kepala, sebab dia memang tak pernah melakukannya. Sedangkan Candra malah terlihat menyunggingkan sedikit senyum jahatnya. Saat itu, Ibu Dian selaku calon orang tua pun tiba-tiba memberikan keputusan jika beliau ingin mengadopsi Nadin saja. “Baiklah, saya Ibu Dian dan Pak Aska di sini memilih Nadin untuk menjadi anak angkat saya. Saya sudah memikirkan ini matang-matang,” ujar Ibu Dian. Nadin pun terperangah tak memepercayai apa yang sedang Ibu Dian sampaikan. “Tapi, Bu. Nadinkan sudah menyuruhku yang tidak sopan. Kenapa malah memilih dia, bukan saya saja?” tanya Candra yang terlihat tak menyukai perlakuan Ibu Dian. “Maaf, Bu. Bukannya ikut campur, jangan percaya dengan Candra. Saya melihat dengan mata kepala sendiri jika dia pergi dengan kemauannya sendiri, tetapi sekarang malah memfitnah Nadin yang enggak-enggak.” Putra membelaku. Candra pun tetap kekeh membela dirinya sendiri dengan menyebutkan kalau Nadin dan Putra sudah bersekongkol untuk menjelekkan nama baiknya, agar Candra tak berhasil diadopsi oleh mereka berdua. Suasana menjadi riuh karena Candra dan Putra terus menerus berdebat. Sedangkan Nadin hanya diam saj dan tak mencoba membela diri. Hingga dia merasa masalah ini tak ada habisnya jika dia tak ikut angkat bicara. “Diam!” teriak Nadin. Sontak mereka berdua terdiam dan menatap ke arahku. “Kenapa jadi perdebatan, sih? Kalau Candra mau ikut, silahkan dengan senang hati. Saya nggak apa-apa di sini,” ujar Nadin sembari menghampiri Candra. “Kamu ikut saja, nggak apa-apa. Kitakan masih bisa berteman,” ujar Nadin dengan lembut, sembari menyentuh tangan Candra. Namun Candra saat itu, malah menghempaskan tangan Nadin. “Pergi sana! Semua gara-gara kamu, kamu bisa-bisanya menjelek-jelakkan aku dengan cara menyuruhku nguping segala.” Nadin memalingkan wajahnya dan melipat tangannya di atas perut. Nadin memilih diam agar sahabatnya yang disayang tak marah-marah lagi. Kemudian ibu panti terlihat berbisik-bisik dengan Bu Dian dan Pak Aska. Lalu terlihat Ibu Dian bergegas menggandeng Nadin. “Saya tetap ingin mengangkat Nadin sebagai anak saya, ini sudah keputusan saya dengan suami saya. Untuk Nadin, kamu cepat-cepat membereskan peralatan kamu ya, Nak!” pinta Ibu Dian. Dengan berat hati Nadin pun ikut pergi bersama orang tua angkatnya. Setelah itu, Nadin pun berpamitan ke semua penghuni panti asuhan. Saat bersalaman dengan Putra dia berkata, “Put, aku titip Candra, ya. Kalian jaga diri baik-baik, aku akan selalu kangen kalian.” Setelah itu, dia bersalaman dengan Candra tetapi dia enggan menatap Nadin dengan baik. Dia berkata, “Candra, aku pamit. Aku sayang sama kamu, jangan ginilah.” “Susah pergi saja!” usir Candra. Bersambung ... ■■■ Hai... Ini karya orisinal aku yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto atau di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB. Dengan kata lain, kalian membaca cerita hasil curian. Perlu kalian ketahui, cara tersebut tidak PERNAH SAYA IKHLASKAN baik di dunia atau akhirat. Karena dari cerita ini, ada penghasilan saya yang kalian curi. Kalau kalian membaca cerita dari hasil curian, bukan kah sama saja mencuri penghasilan saya? Dan bagi yang menyebarluaskan cerita ini, uang yang kalian peroleh TIDAK AKAN BERKAH. Tidak akan pernah aku ikhlaskan. Lina Agustin
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD