Apa Tujuannya?

740 Words
Mataku terbuka lebar menyambut ucapan suamiku barusan. Benarkah dia serius dengan ucapannya? Ya, Allah aku tidak sedang mimpi kan sekarang? Tak tahukah dia, dengan menyebut dirinya sendiri sebagai suamiku, itu sangat membuat hatiku berbunga. Setidaknya, aku tahu kalau lelaki tampan ini mengakuiku sebagai istrinya. Meski aku tahu, tak ada cinta di hatinya untukku. Tak mengapa, cinta akan datang seiring berjalannya waktu. Witing tresno jalaran soko kulino. Yang aku perlu tingkatkan saat ini hanyalah sabar. Itu saja. "Oh, suamimu datang menjemput rupanya, Ndra? Tumben!" Entah kenapa Farel seperti menatap tak suka pada suamiku. Dia menyilangkan tangan di depan d**a saat matanya bersitatap dengan mata elang suamiku. Dasar cowok petakilan! Aku hampir tak percaya dan rasanya perlu menajamkan pendengaran saat mendengar Mas Aryan berdecak. Mungkinkah lelaki 26 tahun ini sedang marah? Atau … dia sedang kesal karena pujaan hatinya tak juga muncul di hadapannya? Entahlah. "Apa ada yang salah? Apa masalahnya kalau seorang suami ingin menjemput istrinya? Apa kamu keberatan?" Dari nada bicaranya, Mas Aryan seperti tengah memendam kekesalan. Apakah dia cemburu melihatku dekat dengan Farel? Ah, kurasa tidak. Mungkin saja, dia kesal karena Mela belum juga keluar sampai saat ini. "Bukannya kamu nikahin Sandra karena terpaksa? Kok jadi ngegas gini, Yan Yan!" celetuk Farel tanpa beban. Sudah jelas-jelas umur Mas Aryan dengan Farel terpaut lima tahun, kok berani-beraninya si Farel hanya panggil nama pada suamiku yang tampan ini. Apa semua lelaki begitu? Melihat lelaki yang jauh lebih tua pun seperti melihat dan bercakap dengan yang sepantaran? Rahang kokoh Mas Aryan tampak mengeras dan giginya bergemeletuk menyambut ucapan pemuda banyak gaya yang berdiri di sampingku. Benarkah kali ini dia sedang marah? Marah karena apa? Apakah dia menyesal menikah denganku dan gagal mendapatkan Mela? Agaknya, sih, iya. "O … iya, Melania masih di dalam, mungkin setengah jam lagi baru keluar," timpal Farel tanpa sedikit pun menunjukkan rasa takut melihat ekspresi wajah suamiku yang tampak tidak bersahabat. Tampak kilat kemarahan di mata Mas Aryan ketika menyambut ucapan-demi ucapan yang Farel lontarkan padanya. "Aku rasa kau terlalu banyak bicara, Farel!" desis suamiku dengan bahu berguncang seperti menahan emosi. Ia lantas menarik tanganku--membawaku menjauh dari hadapan Farel. Farel hanya mengusap rambut dengan santai menanggapi perkataan suamiku. Benar-benar pemuda satu ini, selalu saja terlihat santai dalam segala suasana. Dengan langkah cepat, Mas Aryan menyeretku untuk segera masuk ke mobilnya. "Mas, lepasin, aku bisa jalan sendiri!" Aku menghempas dengan kasar tangan lelaki yang mencengkeram dengan kuat pegangan tanganku. Dengan hati masygul aku masuk ke dalam Pajero Sport yang dibawa suamiku. "Kamu kenapa, sih, kasar banget?" ungkitku saat kami sudah duduk bersebelahan di dalam mobil. Mas Aryan tak segera menjawab pertanyaanku. Napasnya memburu dengan pandangan mata lurus ke depan, sementara tangannya mulai mengendalikan kemudi. "Siapa yang nyuruh kamu buat jemput aku? Papa?" Aku menerka-nerka. Mas Aryan tak menyahut. "Nyebelin. Punya suami pelit. Pelit bicara!" protesku kesal. "Diamlah! Kau terlalu banyak bicara, Sandra!" ketus Mas Aryan sesaat setelah menatapku sekilas. Hatiku mencelos mendengar makiannya. Ya … suamiku memang kadang sekasar ini. Namun, entah mengapa sosoknya tetap saja mengagumkan bagiku. Aku memang mengaguminya semenjak pertama kali bertemu di sebuah kafe saat aku, Mela, dan Desti tengah hang-out bersama lebih dari dua tahun yang lalu. Akan tetapi, hatiku hancur saat menyadari lelaki ini ternyata menaruh hati pada Mela, sahabatku. Air mataku hampir luruh dengan sikap suamiku yang memang kadang pemarah dan kasar seperti ini. "Udah, aku turun aja, aku bisa pulang sendiri!" Tanpa terasa aku berbicara sambil terisak. "Apa kamu gila, Sandra?" desis Mas Aryan sambil menatapku sekilas. Sementara tangannya terus mengendalikan kemudi. Aku tak menjawab. Tapi isakan tangisku masih bisa terdengar dengan jelas. "Gak usah nangis!" ketus suamiku tanpa menatapku. Ya ampun, menangis pun tak boleh? "Pelit!" pekikku kesal. "Pelit?" Mas Aryan menautkan alis menatapku yang sedang mengusap sudut mata yang mulai berembun menggunakan punggung tangan. "Iya, pelit! Padahal nangis kan gratis, kenapa kamu ngelarang?" tanyaku kesal. Saat kulirik, Mas Aryan tampak memalingkan muka menatap ke luar. "Udah, gak usah nangis lagi! Kita mau ke rumah Papa, seperti biasanya jaga sikapmu dan gak usah bicara macam-macam di depan Papa!" Suamiku memberi komando. Dalam hal ini, aku wajib menjalankan perintahnya kalau tak mau didiamkan berhari-hari. Walah, pantas saja suamiku ini mau repot-repot menjemputku ke kampus. Rupanya ada alasan kuat yang mendasari. Hm! Aku tak boleh banyak bicara kan nanti di depan papa mertua? Akan tetapi, banyak aksi boleh, kan? Dalam diam, aku pun menyusun rencana untuk melancarkan ambisiku yang selama ini terpendam. Tak kan kusia-siakan, kunjungan ke rumah papa mertua kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD