Angela

1347 Words
"Nanti pulangnya naik angkot aja ya?" Angela mentapa punggung pria yang memboncengnya, lalu bibirnya melengkung kebawah. "Lo nggak bisa jemput?" Angela bertanya, pria itu menolehkan sekilas. "Gue ada rapat BEM." jawaban datar. Sialan, ingin rasanya Angela mencubit pinggang adik kembarnya. "Gue tunggu deh." Angela masih tidak mau kalah, bukan karena apa ia tidak ingin naik angkot. Selain pernah kecopetan ia juga pernah salah naik anggkot. "Gue kasih uang buat naik ojol, lo mau kan?" Angela mengangguk-anggukan kepalanya, meskipun pria di depanya tidak melihat responnya. "Lo mau turun di depan lobby?" Mata Angela membola, "Nggak usah." Namun belum sempat Angela mengeluarkan bantahan, sepeda motor Angelo sudah berhenti tepat di depan Lobby kantornya. Angela malu dengan kelakuan adik kembarnya ini, adakah tong sampah besar untuk membuang adiknya ini. "Turun--" Tuh kan Angelo sudah bertitah. "Gue duluan." Belum sempat Angelo kabur, Angela sudah menahan tas adiknya itu. "Lo mau kabur-kabur. Uangnya belum lo kasih." Tawa Angelo terdengar seperti dibuat-buat, Angela tidak ingin di tipu adik kembarnya lagi. "Lo kan udah kerja, kenapa masih nagih uang sama gue sih. Seharusnya lo yang ngasih ke gue." Angela tidak peduli dengan ocehan Angelo, matanya terfokus melihat adiknya mengeluarkan uang pecahan lima puluh ribu dua lembar. "Terima kasih." Angelo masih tidak rela uangnya berpindah tangan. "Seharusnya saat masuk universitas lo jangan ambil Kedokteran, omongan mama lo percaya. Seandainya lo ambil ilmu komputer-kan kita bisa kuliah sama-sama, lo nggak perlu capek-capek kerja." Angelo mengusap pelan rambut saudarinya itu, seharusnya Angela mengikuti kata hatinya. "Gue udah ikhlas nggak kuliah, gue lebih mending belajar di salah satu platform online." Angela tau, Angelo itu merasa bersalah, bukan karena apa. Dulu pas mereka mau masuk universitas, ia tidak lolos beasiswa dua kali, ia sudah pasrah tidak bisa kuliah, namun Angelo merasa itu salahnya. "Nanti gue udah lulus, Lo kuliah lagi ya." Mata Angela berkaca-kaca Angelo adalah setengah jiwanya. "Iya, lo cepetan berangkat gih. Nanti telat." "Lo kali duluan masuk, ini jam delapan kurang sepuluh." Angela segera mengecek jam tanganya, mata gadis itu membola. "Gara-gara lo sih. Gue masuk." Angela segera berlarian masuk ke dalam kantornya, ia bahkan tidak sadar masih menggunakan helm, terlebih lagi ia tidak memperhatikan lift yang ia masuki. "Bangunnya kesiangan ya?" d**a Angela kembang kempis, napasnya masih terputus-putus, gadis itu menyandarkan tubuhnya di dinding belakangnya. "Helmnya bisa di lepas?" Pertanyan dari seseorang membuat Angela tersadar, lalu tanpa sengaja ia melihat bayanganya yang masih menggunkan helm. Tolong ingatkan ia menyalahkan adiknya itu. Kesusahan Angela melepas helmnya, pengait di helmnya sudah di karatan, hal itu membuat agak susah membukanya, namun tiba-tiba seseorang membatunya, dan terlepas juga helmnya, Angela merasa lega. "Terima kasih." Angela masih belum sadar di mana ia berada, bahkan beberapa pasang mata menatapnya dengan tidak suka. "Turun di lantai berapa?" Suara pria itu kembali terdengar. "Lantai empat belas." Angela menyahut, ia masih deg-degan. "Udah lewat tadi." Mata Angela terbuka, tubuh gadis itu mendadak kaku. Diantara semua orang disana Angela mengenali salah satunya, Kepala Devisinnya. "Buk Marika?" Cicit Angela pelan, wanita paruh baya itu menatapnya tajam, membuat Angela menundukan kepalanya. Ia salah masuk lift, lift ini khusus untuk petingi perusahaam bukan karyawan biasa sepertinya. Suara lift berhenti terdengar, setelah pintu terbuka Angela bergegas berlarian, tanpa peduli orang-orang yang menatapnya aneh. Gadis itu segera berlarian menuju tangga darurat, sialan gara-gara Angelo ini semua. Ah dadanya terasa sesak. Angela menatap dinding,"Lantai sembilan belas--" Angela bergumam pelan, berarti ia harus turun lima lantai, supaya sampai di ruanganya. Rasanya seperti iron man, membawa helm dan tasnya, Angela berjalan tertatih-tatih menuruni tangga darurat. Sampai di ruanganya, banyak karyawan yang memperhatikannya, maklum, ia anak baru disini, baru tiga bulan ia pindah ke kantor pusat. Ini bukan pertama kalinya ia datang terlambat. "Lo kenapa Njel?" Sunny, seorang rekan kerjanya mengahampiri Angela. Wanita itu adalah seniornya, sok peduli namun membicaranya juga di belakang. "Biasa mbak, di anter Angelo." Lihatlah baru mendengar nama Angelo wanita di hadapanya bersemu merah 'cih dasar' gerutu Angela dalam hati, Sunny akan senang tiasa menjadi temannya jika tema obrolanya Angelo. "Angelo telat bangun ya? Lo sih nggak mau ngasih no hpnya dia." Kening Angela mengerut, "Apa hubunganya?" Seru Angela sambil menghidupkan PC di hadapanya, pekerjaan lumayan padat hari ini, jika tidak ingin lembur ia harus segera bekerja. "Kan gue bisa nelponin Angelo pagi-pagi, biar lo nggak telat." Rasanya Angela ingin muntah mendengar perkatan pd Sunny. "Sorry, tapi Angelo udah ngelarang gue ngasih nomornya ke siapapun, untuk masalah organisasi aja, itu susah minta nomor Angelo." Angela tersenyum lebar, membuat Sunny pergi sambil ngedumel. Ah ia sudah bosan suasan ini. Baru saja Angela ingin membuka emilnya, suara Buk Marika membuatnya jemarinya terhenti mengetik di papan keyboard. "Angela--" suara itu membuat bulu kuduk Angela meremang, Inotonasi suara yang seram bagi siapun mendengarnya. "Tuh kan, di panggil lagi, terus panggil saya buk, siapa tau saya ngajuain surat pengunduran diri," gerutu Angela pelan, ia malas sekali mengangkahkan kainya masuk ke dalam ruangan Marika. "Misi buk--" Angela masuk kedalam ruangan kaca, dari dalam sana ia bisa melihat para teman sejawatnya salah bergerombol membicarakanya. Sialan, ia tidak pernah membuat sensasi, kenapa senang sekali orang-orang itu membicarakan dirinya. "Buk, saya minta maaf karena salah masuk lift," ujar Angela lirih, ia meminta maaf terlebih dahulu. "Kamu kenapa lagi? Masalah telat sudah saya maklumi, karena itu salah satu permintaan kamu saat di mutasi." Angela menundukan kepalanya, ia mang mengajukan beberapa syarat, saat ingin di mutasi. Karena jarak rumahnya yang lumayan jauh dari kantor, ia memilih untuk datang terlambat, dan pulangnya juga lebih lama dari teman-temannya. "Gara-gara Angelo buk, saya di kerjain." Terdengar helaan napas berat Buk Marika, semakin membuat Angela merasa bersalah. "Nanti setelah kamu jadi salah satu asisten CEO kamu bisa minta salah satu motor inventaris, Njel." Mata Angela membola setelah mendengar perkataan ibu Marika. "Maksud ibu, saya jadi asisten CEO gitu?" Tanya Angela dengan terbata-bata. Marika menganggukan kepalanya, "Nari, sudah mulai cuti melahirkan. Wanita itu ingin kamu yang menggantikannya." Keterkejutan masih tergambar jelas di wajah cantik Angela. "Kenapa saya Buk? Saya cuma sekadar dekatnya Mbak Nari." Angela tentu tidak ingin membuat atasanya salah paham. "Nari milih kamu, setelah mengamati kamu, dia merasa cocok mengantikan tugasnya selama ia cuti." Angela mencoba tersenyum lebar. "Harus ya buk?" Ibu Marika menganggukan kepalanya. "Kapan pindahmnya buk? Nanti setelah mbak Nari cuti saya bisa balik lagi kan?" "Tentu, biar kamu suka terlambat kamu adalah salah satu karyawan paling ulet disini, saya sebenarnya nggak rela kamu pindah." Mendengar ucapan Marika membuat sebuah ide muncul di kepala Angela. Gadis itu meremas kedua tanganya, "Seharusnya ibu bisa nolak." "Sayangnya, Pak Gata udah setuju dengan pilihan Nari." Bahu Angela melemas, kepalanya tertunduk lesu di atas meja. "Pak Gata nggak merasa ilfeel gitu dengan tingkah saya tadi Buk? Yang di lift itu lho. Siapa tau saya batal jadi penggantinya Mbak Nari." "Nggak ada sangkut pautnya Njel, sana siap-siap. Sebentar lagi Pak Fini akan kesini." Angela menghela napas panjang, sudah Nasibnya seperti ini, suka sekali mereka memindah-mindahkannya. "Saya keluar ya Buk." Setelah melihat anggukan kepala Marika, Angela segera keluar dari ruangan itu. Segera ia merapikan segala barangnya, ia akan meninggalkan ruangan yang baru enam bulan ia tempat disini, sedih rasanya. "Lo mau kemana Njel?" Manik, salah satu temannya bertanya setelah melihat ia merapikan barang-barangnya. "Lo di pecat?" Angela menggelengkan kepalanya. "Gantiin mbak Nari." Ucapan Angela sontak membuat seisi ruangan yang penghuninya wanita lajang berteriak histeris. "Lho kok lo yang gantiin Nari, seharusnya kan gue." Sunny segera mengahampiri Angela, wanita itu nampak kesal padanya. "Mana gue tau, disuruh pindah ya pindah." Angela memutar bola matanya malas, ia sangat malas berdebat dengan Sunny. "Lo pasti nyogok Nari kan? Ngaku aja lo, lo pasti ngincer pak Gata-kan?" Dengan kasar Sunny menyentak bahu Angela. "Woi, gue nggak serendah itu, lihat mukanya pak Gata aja cuma sekilas dan gue masih kecil." Angela menatap Sunny garang. "Saya nggak suka ataupun tertarik dengan pak Gata, biarpun dia singel dan kaya. Maaf banget, kalau rencana mbak Sunny jadi sugar baby-nya pak Gata harus gagal." Angela menyeringai pelan lalu menepuk pelan bahu Sunny. Angela dapat merasakan tubuh Sunny yang tegang, biarkan saja ia akan pergi dari circel ini, biarpun cuma tiga bulan. "See you mbak." Angela pergi sambil membawa barang-barangnya, tidak lupa helmnya. Petualan baru akan di mulai. TBC...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD