Mangata

1221 Words
"Nama Mereka sama?" Mangata menatap asisten utamanya, pria paruh baya itu hanya menggeleng pelan. "Nama mereka berbeda," ujar Fini pelan, pria itu menatap bosnya. "Dia begitu pintar menyembunyikan diri." Mangata bergumam pelan, lalu memijat panggal hidungnya. Kepalanya terasa berat, masih seperti hari-hari terdahulu, semakin hari rasa bersalahnya semakin bertambah. "Nari, sudah mulai cuti." Fini kembali membuka suara, mata Mangata terbuka lagi. "Penggantinya? Aku tidak ingin orang baru lagi." "Nari sudah memilih orangnya, gadis itu baru saja di mutasi dari kantor cabang." Fini memberikan sebuah map kepada Mangata. Kedua alis Mangata menyatu ketengah. "Bacalah, Anda mungkin bisa menemukan dia." Fini tersenyum begitu lebar, pria tua itu begitu yakin. Mangata membuka map di hadapanya, matanya menatapa tajam tulisan yang terterasa di sana, lalu menyipit saat menemukan nama seseorang yang ia cari. Mangata terkekeh pelan, pria itu menatap Fini. "Biarkan aku bermain sejenak dengan gadis ini." Fini menganggukkan kepalanya, lalu permisi undur diri. Setelah kepergian Fini, Mangata kembali duduk di kursi kebesarannya. Pria itu membuka laci mejanya. "Sejauh apapun kau pergi aku akan menemukanmu lagi-- meskipun harus mengorbakan gadis itu." Mangata berujar pelan sambil mengusap pelan foto seseorang yang cari belasan tahun silam. Mangata Deona Teja, putra kedua pengusaha real estate dan hotel di Indonesia, selain bisnis yang berkembang pesat di Asia tenggara, sekarang Bisnisnya sudah mulai merambah pasar Eropa dan Amerika,berkat usahanya sepuluh tahun di negeri orangnya, bisnisnya kini berjalan sesuai dengan mimpinya. Mangata, pria lajang idaman seluruh kaum hawa. Paras rupawannya merupakan perpaduan yang apik. Di usia Empat puluh tiga tahun, ia masih betah sendiri, tidak ada wanita yang mampu menembus dinding yang ia buat. Sepeninggal wanita itu, membuat Mangata berubah, selama ini pencarian sudah ia lakukan, namun tidak ada hasil. Akankah takdir Tuhan akan membawanya bertemu kembali dengan Wanita yang membubuhkan luka di hatinya. "Sejauh apapun kau pergi aku akan menemukan. Kau sudah membawa sebagian milikku pergi." Mangata mengecup pelan foto yang sudah mulai pudar di makan waktu. ... Pagi ini tidak ada rapat, jadi Mangata bisa bersantai sejenak. Setelah turun dari Grabcar, lelaki itu berjalan masuk ke dalam kantornya. Semenjak blue carnya berada di rumah sakit, Mangata harus terbiasa naik akutan online, ia malas harus mengambil mobil di rumah keluarganya, lebih tepatnya malas mendengar ocehan sang mami. Maminya masih ngencar mencarikannya pendamping, namun Mangata sama sekali tidak tertarik, ia lebih tertarik mencari 'karyawan magang' itu. Karyawan Magang adalah julukan yang Mangata berikan untuk wanita yang telah meninggalkannya, wanita itu pergi tanpa pamit dan kesalahan pahaman. Langkah kaki Mangata terhenti di lobby kantornya. Pria itu menatap dua orang yang sedang merebutkan sesuatu. Si perempuan, malah dengan garangnya menarik tas si pengendara motor yang ingin kabur. Kedua orang itu sedang berbicara serius. Lalu si laki-laki mengeluarkan dompetnya, lalu memberikan uang kepada si perempuan, lalu kedua kembali tertawa. Mangata terkekeh lalu masuk kedalam kantornya, melihat pemandangan tadi sedikit membuatnya iri. "Pagi pak Gata--" Mangata tersenyum kecil, sebagai balas ke pada bawahanya, lelaki itu masuk kedalam lift khusus untuk petinggi perusahan, terkadang ia tidak habis pikir dengan sang papi, kenapa lift-lift ini harus di beda-bedakan. Baru saja Mangata mencari posisi yang nyaman untuk bersandar, seseorang masuk kedalam lift. Pupil Mangata terbuka lebar, lalu ia kembali bersikap biasa, perempuan yang tadi ia lihat di lobby kini berada di sampingnya, salah satu karyawannya ini pasti salah masuk lift, dan Mangata memiliki sebuah ide yang muncul tiba-tiba. "Bangunnya kesiangan ya?" Mangata bertanya pada perempuan di sebelahnya, bukannya menjawab pertanyaannya perempuan itu malah menyandarkan tubuhnya di lift. Alis Mangata terangkat satu, lelaki itu kembali bertanya. "Helmnya bisa di lepas?" Mangata mencoba menahan tawanya, melihat perempuan itu yang baru sadar masih menggunakan helm. Mangata tidak enak hati, melihat perempuan di sampingnya kesusahan membuka helmnya, Mangata menggelengkan kepalanya sejenak, lalu tanganya terulur membantu membuka kaitan helm gadis itu. Mangata tersenyum kecil, saat perempuan itu merasa lega saat helmnya terlepas. "Turun di lantai berapa?" Tanya Mangata, "Lantai empat belas." Jawaban si perempuan dengan cepat. Mangata menyandarkan punggungnya di lift, kedua tanganya masuk ke dalam saku celana hitamnya. "Udah lewat tadi," seru Mangata dengan santainya. Mangata menoleh, ia melihat tubuh perempuan itu mendadak kaku. Kemungkinan si perempuan baru sadar jika ia salah masuk lift. Ya Tuhan, Mangata ingin tertawa terbahak-bahak saat ini. "Buk Marika--" Mangata dapat mendengar gumaman orang di sebelahnya, okey ia menatap perempuan itu lebih lama. Tubuh Mangata mendadak tidak bisa berkutik. Belum sempat Mangata berbicara, perempuan itu keluar dengan cepat saat lift berhenti. Mangata mencoba menghirup oksigen di sekitarnya. Kepalanya mendadak pening. "Pak--" Fini memanggilnya. "Dia?" Mangata belum bisa berpikir dengan logis, pertemuan yang tidak terduga. "Angela, dia yang akan menggantikan Nari." Mangata menghela napas panjang, sialan baru bertemu dengan perempuan itu saja ia sudah tidak bisa berkutik, apalagi bertemu dengan si karyawan magang, bisa-bisa ia pingsan mendadak. Mangata keluar dari lift di ikuti Fini, lelaki itu tidak memperdulikan tanggapan karyawannya yang berada di satu lift bersamanya. "Buatkan saya kopi." Fini mengangguk. "Pak Gata kenapa?" Tanya Sami, salah satu asisten Mangata selain Fini dan Nari. "Biasa--" Sami mengangguk singkat, kadang-kadang atasnya itu memang aneh. "Kamu buatkan pak Gata kopi," ujar Fini. "Baik pak. Oh ya pak Angela kapan pindah?" Baru di tinggal dua hari oleh Nari, Sami merasa pekerjaanya sangat banyak, meskipun ada Fini, tidak begitu membantu. "Saya sudah hubungi buk Marika, kemungkinan pagi ini dia sudah pindah kesini." Sami menganggukan kepalanya. Lalu pergi ke pantry membuatkan Mangata kopi. ... Debaran jantungnya begitu terasa, Angela berusaha menormalkan perasaanya. Ia merasa bingung dan takut. Selain masih baru, menjadi seorang asisten bukanlah bidangnya. Apalagi asisten seorang CEO, kalau ada pilihan antara membuat software atau menjadi seorang asisten ia akan memilih membuat software, ya tentu karena itu bidangnya. Kenapa juga Nari, harus memilihnya. Karena mereka tetanggan, oh tidak mungkin itu, Nari pasti ingin posisinya aman setelah cuti, ya tentu karena wanita itu tahu Angela tidak akan mencuri tempatnya. Menolehkan kepalanya beberapa kali, setelah aman sepi Angela keluar dari pintu darurat, ia takut salah naik lift lagi. Angela memperhatikan langkah kakinya, ia ingin kabur saja. "Angela." Baru saja Angela ingin membelokan langkahnya, seseorang memanggilnya. Kembali berjalan dengan penuh debaran, Angela mencoba untuk tersenyum. "Mbak Sami." Sami adalah teman Nari, salah satu asisten pak Gata. Memilik tubuh proporsional bak seorang paragawati, rambutnya lurus sepinggang membuat Angela iri. "Untung kamu dateng cepet, bantu mbak ngetik proposal ini ya." Angela mengangguk singkat, baru sampai ia sudah mendapatkan kerjaan. "Mbak? Meja saya yang mana?" Ada empat tiga meja besar di sana. Dua saling berhadapan dan satunya berada di tengah-tengah. "Yang sana." Sami menunjuk meja di sebelah kiri tubuh Angela. "Mejanya Mbak Nari ya?" Sami mengangguk. Angela nenghela napas panjang, lalu menyemangati dirinya. 'Tiga bulan akan cepat berlalu, semangan Njel!" "Mbak Sami, kata buk Marika Angela boleh minta sepada motor inventaris, Angel bilangnya ke siapa ya?" Angela bertanya dengan hati-hati, bahkan ia baru akan membuka ms word. "Kamu nggak ada kendaraan?" Sami berkata tanpa melihatnya, hal itu membuat nyali Angela menciut. "Ada, satu di pake mama lagi satu di pake Angelo." Suara ketikan keyboard hilang, Sami menggeser kursinya agar dapat melihat Angela. "Kamu punya kembaran?" Angela mengangguk singkat. "Pantesan, Nari bilang kamu sering telat." Sami berkata dengan datar. Ya mau gimana lagi, Angela hanya menunduk malu. "Nanti kamu sampai kan saja sama pak Fini, nanti dia yang akan mengurusnya ke bagian personalia." "Makasi mbak." Angela mendengar balasan Sami, meskipun suara wanita itu agak kecil. "Lanjutin kerjaan kamu, kerjaan kita masih banyak." Suara Sami kembali terdengar, "iya Mbak." TBC...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD