Chapter 2 || Ujian

1189 Words
“Aku mohon Om. Ijinkan Rere mengikuti tes itu.” ucap Renata memohon kepada seorang pria yang mengenakan jas putih yang sama dengannya. Renata protes karena dari sekian nama dokter spesiallis baru yang masuk ke dalam list ujian pertukaran dokter ke Amerika, hanya namanya lah yang tidak tercantum dan itu membuat Renata bertanya-tanya. Pria paruh baya itu mengelus rahangnya sembari berpikir. “Om mau mau saja tapi resikonya cukup besar. Kamu tahu sendirikan bagaimana protektifnya ayah kamu. Dia bisa sangat marah kalau tahu kamu mengikuti tes ini.” ucap Dokter Rudi sahabat sang Ayah. Masih terbayang di benaknya tempo hari saat Dito mengetahui tentang rencana pertukaran dokter ke Amerika. Dito dengan tegas melarang Rudi untuk mencantumkan nama putrinya dalam ujian seleksi tersebut. “Ayolah Om Rere mohon. Ijinkan Rere ikut ujian itu ya. Om tahu kan Rere hanya ingin mencoba mandiri jauh dari jangkauan Papa. Bagaimana bisa Rere mandiri kalau setiap langkah yang Rere ambil ada campur tangan papa di dalamnya. Rere hanya ingin membuktikan pada diri sendiri kalau Rere juga bisa sehebat Papa. Rere mohon Om ijinkan Rere ikut ujian itu ya, Please…” Renata menyatukan kedua tangannya seraya memasang wajah memelas. Rudi menghela nafas berat. Ayah dan anak sama saja keras kepalanya, pikirnya. “Maafin Om, Rena. Om sudah janji sama Papa kamu untuk tidak mencantumkan nama kamu di ujian kali ini. Om benar-benar minta maaf.” ucap Rudi membuat Renata kecewa. “Kenapa Om? Kenapa cuma nama Rere yang ngga tercantum di list. Kenapa Om?” “Rena, kamu tahu sendiri kalau kamu satu-satunya anak perempuan di keluarga. Bagaimana bisa papa mu melepasmu sendirian di New York nak.” “Itu bukan alasan yang masuk akal! Ayolah Om Rere pengen ikutan ujian itu.” “Maafkan Om Re. Om tidak bisa mengikutsertakan kamu kali ini.” Ucap Rudi menyesal. Renata menitikkan air matanya. “Om sama saja seperti Papa. Om dan Papa ngga pernah tahu apa yang aku alami selama ini. Kalau kalian pikir mereka selama ini mengakui kinerja ku, itu semua karena nama Papa. Semua karena nama Dokter Andito Wiguna, Kepala Rumah Sakit RM. Mana berani mereka memperlakukan aku layaknya orang biasa. Aku capek Om. Aku lelah dengan kepura-puraan ini. Aku hanya ingin di akui karena usaha ku sendiri bukan di bayang-bayangi nama besar Papa. Apa itu pun salah?” ucap Renata frustasi. Ia mengungkapkan isi hatinya selama ini yang tak mampu ia katakan kepada semua orang yang selalu menganggapnya remeh dan hanya mendompleng nama besar Ayahnya. Gadis manis itu tak kuasa menahan tangisnya. Rudi jadi serba salah menanggapinya. Ia menyodorkan sekotak tissue ke arah Renata. “Tanpa perlu membuktikan diri, kamu memang hebat Rena. Bahkan Om sendiri mengakui kelihaian mu dalam bekerja. Tolong jangan dengarkan mereka mereka yang hanya iri dengan kehidupan mu. Pikirkan saja masa depan mu, nak.” “Tadinya aku sangat berharap banyak sama Om, tapi Om sama aja kayak Papa.” ucap Renata kecewa. Ia memilih pergi dari ruangan Rudi sambil menangis. Rifki yang baru saja keluar dari ruang sebelah melihat Renata keluar dengan menangis. “Kenapa dia?” gumam Rifki. *** Renata memilih menenangkan diri di atas rooftop. Ia duduk di salah satu sudut sambil menekuk kedua lututnya. Kepalanya tertunduk dan kembali menangis. Sementara itu Rifki yang penasaran mengikuti Renata sampai ke rooftop. Pria itu celingukan mencari keberadaan Renata. Rifki melihat Renata tengah menangis dipojokan. Rifki tersenyum geli melihat kelakuan Renata yang persis mirip anak kecil. Padahal selama ini Renata yang ia kenal adalah wanita tangguh dan bar-bar. Entah sudah berapa kali ia bertengkar dengan senior mereka di rumah sakit gara-gara pasien, tapi wanita itu tak pernah menunjukkan kelemahannya. Hari ini Rifki melihat sendiri sisi lemah seorang Renata. “Are you oke?” tanya Rifki sambil duduk jongkok di depan Renata. Gadis itu mengangkat kepalanya yang sudah basah dengan air mata. Renata langsung memeluknya dengan erat dan kembali menangis dengan kencang. Sesaat tubuh Rifki menegang karena aksi Renata yang tiba-tiba memeluknya. Namun perlahan ia merilekskan tubuhnya. “Ada apa? Kamu bisa cerita sama aku kalau kamu mau.” ucap Rifki mengusap punggung Renata. “Aku benci Papa.” ungkapnya. Rifki mengerutkan dahinya. Ini kali pertamanya Renata mengatakan kalau dirinya membenci papanya. Pria yang selalu ia banggakan dan menjadi inspirasi dalam hidupnya. “Hah?” “Aku benci Papa tapi aku ngga bisa membencinya.” “Maksud kamu?” Renata melepas pelukannya. Ia menyeka air mata yang membasahi wajahnya. Renata mulai bercerita tentang apa yang di alaminya dan Rifki dengan setia mendengarkan semua keluh kesah Renata. Rifki senyam senyum sendiri melihat cara bicara Renata yang tampak seperti gadis kecil di matanya. “Jadi Papa kamu udah ngasih warning duluan ke Dokter Rudi untuk ngga ijinin kamu ikutan tes itu?” “Iya. Kesel banget aku. Kamu tahu sendiri kan Papa aku lebaynya kayak apa. Om Rudi juga sama aja ngeselinnya!” Rifki tertawa. “Coba kamu bicara baik-baik sama dokter Dito. Tanyakan apa alasan beliau tidak memperbolehkan kamu untuk ikut ujian. Setidaknya kamu harus tahu alasannya.” “Kamu ngga mengenal Papa aku. Sebenarnya di keluarga Papa tuh jauh lebih keras kepala daripada Bunda. Itulah mengapa kenapa aku bar-bar & keras kepala karena semuanya turun dari Papa. Kalo Papa bilang No ya jangan harap berubah jadi Yes.” “Memangnya kenapa sih kamu kepengen banget ikut ujian itu? Aku aja yang terpilih males sebenarnya. Tapi sekarang aku semangat karena kamu mau ikutan ujian itu.” ucap Rifki sambil menyunggingkan senyumnya yang menawan. “Aku cuma mau bekerja dimana orang tak mengenal siapa latar belakang keluarga ku. Kalo masih di Indonesia mereka pasti menyangkut pautkan aku dengan Papa dan itu membuat aku kesal. Aku emang mengikuti jejak Papa menjadi seorang dokter tapi style aku dan Papa berbeda. Aku ngga suka di sama-samain sama Papa seolah aku ngga bisa apa-apa kalo bukan tanpa bantuan nama besar Papa. Aku mau buktikan sama mulut manusia sampah itu kalo aku juga dokter yang berkompeten.” ucap Renata berapi-api. “Kamu dokter yang hebat Nata.” Puji Rifki. “Ngga usah peres deh. Aku lagi serius nih malah dibecandain.” Gerutu Renata kesal. Rifki tertawa. “Lah yang peres itu siapa? Itu pengakuan jujur dari aku tahu. Aku seneng banget pas kita collab di ruang operasi. Kamu cekatan, profesional meski bar-bar tapi nyatanya aku nyaman tiap kali kita kerja sama. Aku ngga tahu pemikiran mereka tentang kamu seperti apa tapi seperti yang kamu bilang tadi style kamu dan dokter Dito sangat berbeda. Kamu ya kamu bukan duplikat dokter Dito. So, kamu harus pede dengan itu Nata.” Ucap Rifki sambil mengelus rambut panjangnya. “Tahu ah pusing.” Erang Renata kembali menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya di antar kedua lutut. “Gini deh daripada kamu rungsing ngga jelas mending kita jalan. Kamu mau pergi kemana nanti aku yang anterin.” Usul Rifki. “Aku ngga mau jalan, maunya ke Sasana. Udah lama aku ngga menghajar orang.” Ucap Renata membuat Rifki bergidik ngeri. “Sasana? Kamu ngga bermaksud jadiin aku kelinci latihan mu kan Nat?” tanya Rifki ngeri. “Kalo kamu bersedia sih aku oke oke aja.” Jawab Renata senang. “No thanks. Mending aku anter kamu kesana aja dari pada hilang nyawa gara-gara pelampiasan amarah kamu.” Renata tertawa. Keduanya segera turun dari rooftop sambil bercanda. Renata terus menggoda Rifki untuk menjadi obyek baku hantamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD