PART 1 - AWAL

746 Words
“Kamu harus pindah ke sekolah asrama!” mama seperti biasa bertingkah layaknya pemain sinetron. Mahendra sangat tidak suka jika di atur-atur. Tetapi, tetap saja ia harus mendengarkan ceramah mama. “Aku udah tujuh belas tahun, baru aja naik ke kelas duabelas, aku nggak mau sekolah asrama, “ Mahendra membantah. Keduanya tengah duduk di sofa ruang tamu rumah. Mereka baru kembali dari sekolah Mahendra. Mama dipanggil ke sekolah karena Mahendra berantem dengan teman sekelasnya, juga pernah tidak masuk sekolah selama satu minggu penuh. Ia dikeluarkan dari sekolah. Kenakalan remaja seolah menjadi hal lumrah dalam kehidupan masa-masa SMA. Mahendra senang dengan dunia-nya yang asyik. Senang menulusuri hal-hal baru yang membuatnya penasaran. Ia bukan anak yang senang ikut tawuran. Namun, ia siap melawan orang-orang yang merendahkannya. Atupun orang-orang so mbong. “Kamu harusnya sudah lulus, kalau bolos terus, kamu nggak naik-naik, kapan bisa lulusnya!?” mama masih bersikap tegas. Ia tidak ingin anaknya terus menjadi remaja nakal yang malas bersekolah. “Aku bolos karena ada alasan, aku pasti lulus,” Mahendra masih bersikukuh. Ia tidak ingin dipindahkan ke sekolah berasrama. Lebih baik dipindahkan di sekolah negeri, di desa terpencil. “Jangan membantah mama!” Mahendra tidak bisa membalas lagi. Mama sudah berdiri dan pergi meninggalkan Mahendra dengan raut wajah yang masih marah. Mahendra bukan badboy. Setidaknya ia tidak menganggap dirinya seorang badboy. Ia tidak suka tawuran, tidak suka mabuk, tidak suka ke diskotik, dan ia juga tidak merokok. Baginya, badboy itu definisi untuk lelaki b******k. Lelaki yang mau hidup senang dengan merusak kehidupan orang lain. Lelaki yang tidak punya hati. Lelaki yang merugikan kehidupannya juga kehidupan orang-orang di sekelilingnya. Mahendra Prasetya tidak seperti itu. Ia juga tidak menganggap perokok adalah badboy. Pemabuk juga bukan badboy. Sekali lagi, badboy itu seharusnya dikhusukan bagi orang-orang b******k. Mahendra sendiri hanyalah murid kelas sebelas, yang pernah tidak naik kelas. Ia hanya pernah berantem dengan orang-orang yang memang pantas untuk mendapatkan pukulan. Contohnya kasus kemarin. Mahendra diusik harga dirinya, oleh teman satu kelas. Ia dianggap lelaki pemakai narkoba, dan dianggap suka jajan ke p*****r-p*****r pinggiran Jakarta. Mahendra marah, lalu memukul teman sekelasnya itu, hingga gigi milik lawannya patah sebelah. Ia memang pernah membolos selama satu minggu. Itupun karena ia melakukan perjalanan ke Yogyakarta. Ia mengunjungi kampus Universitas Gadjah Mada. Ia juga pergi ke wisata sejarah. Ia melihat sekeliling, mendengar percakapan orang-orang sekitar yang berlalu lalang. Mengamati dan belajar bagaimana menikmati hidup dengan sebaik-baiknya. Mahendra ingin belajar banyak hal, dan itu tidak melulu harus ia lakukan di sekolah. Meskipun, faktanya memang salah. Ia tidak meminta izin mama papa, juga tidak mengirim surat ke sekolah. Tetapi, bagaimana pun juga hal itu sudah terjadi. Ia tidak akan menyesalinya. Yang bisa ia lakukan adalah menerima hukuman dari mama. *** Hera tengah menyiapkan sarapan untuk suaminya. Meskipun, keluarga itu memiliki asisten rumah tangga. Hera selalu berusaha untuk membantu. Hitung-hitung berusaha menjadi istri yang baik, bagi Bagas Handoko, suami yang sudah menikahinya selama tujuh tahun. Handoko selalu bersikap mesra padanya. Ya, mungkin karena usia mereka masih terbilang muda. Handoko berusia tiga puluh lima. Sedangkan usia Hera menginjak tiga puluh. “Sayang, kok pagi-pagi udah cantik ya?” Bagas menyapa sang istri, kala duduk di meja makan. Bagas merupakan orang yang cukup sibuk dengan pekerjaannya, namun masih tetap menyempatkan sarapan bersama istri. Hera mensyukuri hal itu. Ia memberikan senyum termanis untuk sang suami. Pula pada anaknya yang berusia enam tahun, yang kini mulai bersekolah, kelas satu. “Kok Rara nggak dibilang cantik, “ anak itu merajuk. Ingin dipuji selayaknya sang mama. “Rara juga cantik dong, papa seneng punya dua orang cantik, “ Bagas mencubit kedua pipi anaknya itu. Sembari tersenyum ramah. Seperti halnya sebuah nyanyian. Harta yang paling berharga adalah keluarga. Hera meyakininya, memiliki keluarga kecil yang bahagia addalah bentuk kenikmatan yang Tuhan berikan padanya. Ia tidak henti-hentinya bersyukur. Sangat senang memiliki kehidupan penuh senyuman. Meskipun, kadang kala ia dan Bagas sering berdebat akan sesuatu hal. Namun, bisa teratasi atas pemahaman satu sama lain. Bagas selalu bisa mencairkan suasana yang tegang. “Sayang, kamu jadi ketemuan sama temen-temen?” Bagas mulai mengganti topik pembicaraan. Rara sudah tersenyum dan kini sedang menikmati sarapan paginya. “Jadi, udah lama banget mama nggak ketemu sama mereka, “ Hera berencana reuni dengan beberapa temannya di sebuah Kafe di Bintaro. “Pulang mau di jemput?” Bagas sebagai suami yang baik memang sering memperlakukan sang istri dengan sebaik-baiknya perilaku seorang suami. “Kamu kan sibuk, aku bawa mobil sendiri aja ya, “ Hera tahu suaminya banyak pekerjaan. Tidak mungkin ia meminta sang suami untuk ikut acara reuni ataupun mengantarkannya pulang-pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD