Prolog

826 Words
Sendirian di tengah keramaian itu antara menyenangkan dan tidak menyenangkan. Menyenangkannya, karena terlalu ramai aku tidak perlu khawatir akan jadi pusat perhatian meski sendiri dan dalam keadaan galau sekalipun. Tidak menyenangkannya, karena rasanya kok aku mengenaskan sekali? Sendiri? Di tengah orang-orang yang bercanda dengan kawan, keluarga, atau bahkan kekasih mereka?! Lupakan soal kekasih, itu hanya akan membuat diriku terlihat semakin lebih menyedihkan. Intinya, di antara dua kondisi itu aku dalam keadaan tidak menyenangkan kali ini. Kenapa? Karena aku justru tambah galau melihat orang-orang itu bisa tertawa dengan lepasnya sementara aku... Oke, ini memang masalah yang sangat klasik. Pagi-pagi saat hendak berangkat interview kerja aku yang notabennya penggangguran sudah berbulan-bulan lamanya ini dapat ceramahan rutin dari ibuku tercinta. Apa isi ceramahnya? Apalagi kalau bukan masalah pekerjaan dan masalah yang ujung-ujungnya berhubungan dengan pasangan. Begini ceritanya... "Yang bener interview-nya, biar keterima kerja. Dan kalau udah keterima yang bener kerjanya jangan maen-maen kayak kemaren, baru seminggu kerja udah ketiduran di kantor, dipecat kan jadinya" sindir Ibu saat aku sedang memakai sepatu. Aku hanya diam tanpa berani membalas ucapan beliau. "Terus kalau udah bener kerja kan bisa cari jodoh sekalian. Nggak malu umur udah mau 30 belum dapet jodoh juga? Ibu tuh yang risih digunjingin tetangga, kamu dianggap nggak laku dan perawan tualah. Nggak enak tau Lan dengernya." Nah kan ujung-ujungnya ke jodoh lagi, membuat kupingku panas saja. Tapi pada akhirnya aku hanya mengangguk sebagai reaksi kalau aku mendengarkan. Meski inginnya sih aku menimpali, "Yah, Bu. Siapa juga sih yang nggak mau nikah? Lani juga udah berusaha cari jodoh dari lulus kuliah dulu. Allah aja yang belom ngasih." Inginnya sih begitu, tapi kalau sampai aku berani melakukannya anggap saja aku sudah siap dikubur hidup-hidup oleh Ibu karena durhaka. "Ya udah. Lani pergi dulu ya, Bu. Doain biar keterima, biar bisa cari jodoh kayak yang Ibu bilang," pamitku mencium punggung tangan Ibu. Jangan tanya Ayahku ke mana, karena Allah lebih sayang Ayah hingga memanggil beliau lebih dulu. "Aamiin. Biar Ibu bisa pamer mantu sama Bu Sri tuh, emang dia doang yang bisa punya mantu!" sungut Ibu misuh-misuh. Dalam hati aku menimpali, "Iya kalau dapet, kalau nggak kan Ibu tetep panas hati tuh dipamer-pamerin mantunya Bu Sri yang PNS itu." Aku menghela nafas. Di dalam mini market yang tersedia tempat duduk untuk anak-anak muda nongkrong ini aku masih sibuk merenungkan nasibku yang tidak ada kemajuan sejak lulus kuliah. Pekerjaan pindah-pindah, tidak ada sekalipun yang bisa bertahan lama. Ada saja halangannya untukku bisa tetep di tempat kerja yang sama. Dari mulai aku yang tidak nyaman sampai perusahaan justru bangkrut di saat aku justru sudah terlanjur menyukai pekerjaan itu. Soal pasangan jangan ditanya. Apa sebegitu buruknya aku sampai rasanya tidak ada satupun yang terlihat menyukaiku akhir-akhir ini. Padahal dulu, aku ini termasuk yang banyak ditaksir dikalangan anak kampus. Bukannya sombong, tapi nyatanya ya begitu, cuma dulu aku yang terlalu sayang Ibu ini lebih milih menyelesaikan kuliahku dulu dibanding harus memikirkan pacaran atau bahkan menikah. Aku kasian melihat Ibu yang sudah susah payah membiayai kuliahku dengan hasil kerja kerasnya sendiri sejak Ayah meninggal. Dan aku tidak mungkin menyia-nyiakan itu. Tapi dampaknya, karena terlalu seriusnya mengejar apa yang aku pikir bisa membahagiakan ibu dengan karir yang cemerlang nyatanya sekarang malah seperti ini. Hasilnya jodoh belum ada, kerjaan pun tidak jelas. Sebenernya aku lebih kasihan melihat Ibu, dibicarakan tetangga karena aku yang begini-gini saja. Padahal nilai akademikku di sekolah maupun di universitas termasuk yang bisa dibanggakan, sayang karena masalah jodoh ini semua yang kupunya itu bukan apa-apa. Kalau kata Mpok Mira si pemilik warung di seberang rumahku itu, "Percuma lu, Lan, sekolah tinggi nilai bagus, nyatanya kalah juga sama si Emma yang lulusan SMP dikawinin sama anaknya Pak RW kampung sebelah, padahal umurnya baru 17. Lah elu, udah mau kepala tiga, pendidikan bagus, mana laki yang mau sama lo? Kok gue kagak liat." Kurang asem memang itu tukang warung, aku dibandingin sama si Emma yang memang genit dari sananya. Tidak masalah kalau Mpok Mira ini bicaranya hanya padaku, yang jadi masalah ia bicara sepeti itu di depan Ibu. Jadilah adu mulut antar ibu-ibu tidak bisa dihindari. Sekali lagi aku menghela nafas, menyeruput kopi yang kubeli di mesin kopi otomatis tadi. Aku melirik jam yang ada di pergelangan tangan. Sebentar lagi dzuhur, harusnya aku pulang sejak tadi, tapi ya karena di rumah pun aku tahu hanya akan sendiri akhirnya aku duduk-duduk cantik dulu deh di sini. Ibu pasti masih di toko bunga. Toko bunga punya keluarga yang menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian keluarga kami, selain terima pensiunan PNS Ayah sih. "Sampai kapan ya gue ngebebanin Ibu terus," bisikku dalem hati. Lagi asik-asiknya meratapi nasib, seseorang duduk di sampingku dengan cup mie-nya. Aku melirik sekilas, tapi belum lewat tiga detik aku melirik lagi ke orang atau lebih tepatnya pria yang duduk di sampingku ini. Dan saat itulah jantungku seolah berhenti di detik selanjutnya. Dia kan.... Dia kan... DIA UTHA KAN!?! Kalau tidak salah yang berarti benar cowok di sampingku ini Utha! Darutha Malasadewa! Temen SMP sekaligus cinta pertamaku itu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD