1. Entah Takdir Atau...

1022 Words
  Aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Terakhir yang aku dengar dari temen-temen SMA bocah ini—tidak dalam artian yang sebenarnya—pergi ke Amerika untuk melanjutkan S2. Setelah itu aku tidak tahu dan tidak peduli juga sih kabarnya bagaimana. Tapi kadang aku masih suka stalking di grup line SMA, katanya dia sedang kerja di sana setelah S2-nya selesai, lalu kenapa bocah ini ada di sampingku? Apa aku salah orang? Mungkin karena terlalu asik memperhatikanya sembunyi-sembunyi di balik cup coffe yang tidak seberapa besarnya ini, orang di sampingku mulai sadar dan menoleh ke arahku. Mendapat tatapannya yang tiba-tiba membuatku kaget, tersedak karena kopiku sendiri. Aduh Lani... lo malu-maluin banget sumpah! "Uhuk uhuk uhuk" Aku berusaha mengendalikan suara batuk yang keluar sambil menutupi wajah dengan tissu. Sesekali ngelirik ke arahnya yang mulai memusatkan perhatian padaku. Matilah aku, apa aku kabur saja ya? Tapi bukankah itu hanya akan terlihat lebih aneh? "Minum, Mbak," katanya menyerahkan botol air mineralnya. Aku menerima tawarannya sambil berusaha tersenyum, meski ku rasa justru terlihat aneh karena bibir yang harusnya memperlihatkan senyum justru malah ku tutupi dengan tissu. Hasilnya? Yang terlihat hanya kernyitan kedua alis. Tapi siapa yang peduli? Yang kubutuhkan  saat ini adalah menyelamatkan tenggorokan yang rasanya seperti tercekik. Mengambil tissu lagi, aku masih berusaha menutupi setidaknya seperempat bagian wajah. Dengan begitu aku bisa dengan aman pergi tanpa dia kenali. Aku berdeham, mencoba menyamarkan suara ala-ala "sebut saja namanya Mawar" yang sering muncul televisi. "Ehm! Makasih, Mas. Biar saya ganti air mineralnya," kataku hendak membalas kebaikannya. Lagi pula aku tidak mau punya hutang budi, apalagi dengan bocah satu ini. "Eh nggak usah, Mbak." Dia menahan pergelangan tanganku, membuatku tersentak karena sentuhannya yang tiba-tiba. Sial, kenapa aku jadi macam ABG yang belum bisa move on hanya karena bertemu mantan gebetan sih? Kenapa juga harus pura-pura tidak kenal begini?! Tapi mau buka jati diri sekarang pun sudah telat, yang ada malah memalukan bertemu dia dengan keadaanku yang—yah kalian tahu sendirilah. Hatiku perih jika harus menceritakan hidupku lagi. "Ah, sorry. Tapi beneran nggak usah, saya masih punya air mineral satu lagi kok." Dia melepaskan tangannya yang tadi menyentuh pergelangan tanganku, melirik botol air mineral di depannya untuk mengisyaratkan apa yang dia maksud. Utha memang masih punya satu botol air mineral yang masih tersegel rapih, dan aku baru ingat Utha ini memang suka sekali minum air mineral hingga berbotol-botol. Mungkin itu yang bikin badannya sehat dan keliatan—hush! Lani lo mikirin apa sih?!! "Emm.. Kalau gitu saya permisi duluan deh. Sekali lagi makasih Mas buat airnya," aku pamit, masih dengan suara yang disamarkan. Meski ada kemungkinan suaraku sekarang berbeda dengan suaraku saat SMA dulu tidak ada salahnya kan aku berjaga-jaga. Siapa tahu dia mengenaliku melalui gelombang suara? Buru-buru aku menyambar tas, dan sesegera mungkin pergi dari sana. Bodohnya karena terlalu buru-buru, aku malah menabrak orang yang berjalan dari arah berlawan. Tersungkurlah sampai bokongku yang tidak ada seksi-seksinya ini menyentuh lantai hingga membuatku meringis kesakitan. "Aduh, ma-maaf, Mbak!" "Mbak, nggak apa-apa?" seru suara Utha dan orang yang menabrakku bersamaan. Aku masih meringis saat Utha mengulurkan tangannya untuk menbantuku berdiri. Sialnya, aku lupa kalau saat ini sedang main kucing-kucingan dengan Utha, jadilah aku memperlihatkan wajahku yang polos ini di depannya, hingga aku tersadar dia mengamatiku lamat-lamat. "Loh?" Nah, jangan bilang dia ingat aku! Please, Tha, please.. Di saat seperti ini aku lebih beharap kamu lupa ingatan seperti gambaran di sinetron-sinetron itu. Sedang kalutnya memikirkan cara untuk menghindar dari situasi absurd macam ini, entah mendapat ide dari mana akhirnya aku nunjuk keluar jendela kaca yang ada di depan. "Wah ada kucing kawin!" teriakku seperti orang gila, dan saat perhatian Utha teralih, dengan kecepatan cahaya aku memilih melarikan diri dari sana. Tanpa memastikan Utha benar-benar mengingatku atau tidak. *** Seminggu sejak pertemuan tidak terduga dengan Utha—yang entah disadarinya atau tidak—aku menerima panggilan kerja dari kantor yang seminggu lalu aku datangi. Katanya sih aku diterima, dan diminta mulai kerja hari ini. Mendampingi Bos yang baru datang dari luar negeri, katanya. For Your Information, aku memang melamar sebagai sekertaris, untuk Bos perusahan itu yang mendadak pulang setelah lama mengurusi perusahaan cabang di luar negeri sana. Tidak terlalu mengerti detailnya sebab aku hanya dengar separuh dari penjelasan HRD saat interview kemarin. Ah, apa pun, yang penting aku diterima bukan? Lagi pula Ibu senang mendengarnya. Sampai-sampai sebelum adzan subuh berkumandang aku sudah diminta bangun untuk siap-siap ke kantor agar tidak telat katanya. Ibu memang punya cara pandang sederhana untuk bisa merasa bahagia, tapi sayangnya disituasi yang sebaliknya pun sama sederhananya. Sampai-sampai aku lebih milih nontonin banci taman lawang deh dari pada melihat Ibu yang sedang badmood. Seperti pagi ini, setelah dengan senyum indahnya Ibu menyambutku yang sudah siap ke kantor—hanya keluar sebentar membeli sayuran di Mang Tatang, saat kembali wajahnya sudah masam bukan main. Aku menelan saliva susah payah. Roman-romannya Ibu akan misuh-misuh lagi pagi-pagi begini, dan semoga aku tidak dibawa-bawa dalam topik misuh-misuh Ibu. "Itu si Ibu Erna tetangga sebelah kita nyebelin banget masa, Lan! Ibu kan cerita kalau kamu udah dapet kerja di kantor, nah dia malah nuduh yang nggak-nggak. Lewat jalan belakanglah, inilah, itulah—" Dan segala keluhan lain yang ternyata ada sangkut pautnya denganku. Jadilah pagi itu bukan lagi pagi yang indah, tapi pagi yang cukup melelahkan karena harus mendengarkan keluhan Ibu sampai kuping berbusa. Kalau bukan karena alasan aku harus ke kantor sesegera mungkin, Ibu pasti akan tetap bekicau sampai satu jam ke depan. Untunglah topik "Aku sudah kerja" ini bisa mengalihkan perhatian Ibu. Aku kira hanya sampai di situ aku menganggap hari ini adalah hari yang kurang menyenangkan, nyatanya sesuatu—entah bisa dibilang kesialan atau bukan—yang lebih besar menunggu di depan mata. Saat aku tiba kantor dan bertemu Bos yang akan ku dampingi mulai hari ini, rasanya semua ketidakberesan hari ini lengkap sudah. Dengan senyum khas-nya yang dulu selalu membuat hatiku berdebar tidak karuan, pagi ini dia membuatku berdebar tidak karuan juga. Bedanya, karena aku tidak menyangka— KENAPA HARUS UTHA YANG JADI BOSKU?!!! "Pagi, Lani. Selamat bergabung di perusahan kami," katanya menatapku lurus. Detik itu juga rasanya aku ingin balik badan dan kabur dari sana. Sayangnya seluruh tubuhku entah kenapa justru tidak mau mengikuti keinginan otak yang terus meronta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD