2. Bos Kupret

1345 Words
Kutu, kupret, kambing, kodok, dan segala sebangsanya yang biasa keluar dari mulut preman taman lawang kalau sedang marah. Rasanya itu cukup untukku mendeskripsikan bagaimana "W-O-W" pertemuanku dan Utha kali ini. Setelah minggu lalu mati-matian mengehindarinya karena alesan nasibku yang belum layak dipamerkan, Tuhan ternyata begitu baik hingga membuatku sakit perut dengan pertemuan tidak terduga ini. Ah, ini sih bukan sekedar pertemuan ya? Karena mulai hari ini sampai entah kapan, hampir 24 hari dalam sebulan aku akan bertemu dengannya sebagai "atasan" yang harus aku hormati. "Udahan kagetnya?" suara Utha memecahkan lamunanku yang mulai melantur kesana-kemari. Dari ekspresinya kelihatan sekali bahwa ia begitu puas melihatku datang padanya dengan posisi sebagai bawahannya. Lihat saja senyum—ah tidak, seringaiannya itu, seolah menandakan    bahwa nasib malangku sudah menunggu di depan mata. "Ehm," aku berdeham, berusaha menguasai suaraku yang ada kemungkinan tersangkut di tenggorokan. "Selamat pagi, Pak." Bukan menjawab pertanyaannya, aku lebih memilih bersikap formal. Bagaimana pun mulai beberapa detik lalu dia sudah menjadi atasanku. Tapi alasan sebenernya sih lebih karena aku tidak mau keliatan begitu bodoh di hadapannya. Situasi ini sama sekali tidak menguntungkan bagiku. Tahu apa reaksi Utha setelah aku bersikap sopan dan formal macam itu padanya? Dia malah dengan lantangnya tertawa terbahak sambil memegangi perut. Membuat keningku otomatis berkerut heran. Kenapa lagi ini bocah? Kebelet BAB kali ya? Melihatnya tertawa sampai sebegitunya tanpa niat berhenti tentu saja membuatku lama kelamaan cemas juga. Apa mungkin Utha kesambet jin pas berangkat ke kantor tadi? "P-Pak? Bapak nggak apa-apa?" "Buahahaha.. Mu-muka lo.. Muka lo!" Muka? Reflek kedua tanganku langsung memegangi wajahku, meraba-raba memastikan bahwa tidak ada hal yang aneh atau memalukan yang menempel di wajahku. Bukan hanya sebatas itu, aku juga bergegas menyambar cermin yang ada di meja kerja Utha untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa tidak ada yang salah dengan wajahku. Dan nyatanya memang tidak ada apa-apa. "Njirrr... Sumpah, ekspresi lo kocak banget, Lan!" Sompret! Jadi dia tertawa hingga begitu hebohnya karena ekspresiku?! Sekali lagi kupastikan wajahku di depan cermin yang ku pegang, dan entah kenapa otakku justru langsung membenarkan apa yang Utha bilang. Ekspresiku memang lucu, pantas sekali untuk menjadi bahan tertawaan. Eh, kok aku malah mengakui sih?! "Kocak mata lo c***l! Gue berusaha menghormati lo sebagai Bos gue malah diketawain. Bos kupret dasar!" Lupakan kalau aku masih harus berformal dan bersopan-ria padanya, bagiku ucapannya itu sudah merupakan bentuk dari sebuah perhinaan martabat seorang perempuan polos sepertiku. "A-abis hahaha... Muka lo blo'on banget kalo lagi kaget kayak gitu! Buahaha." Sial, suara tawanya malah makin kencang saja. "Lo kalo masih ketawa gue balik aja dah, dari pada kerjaan gue ngeliatin orang gila, nanti ketularan gila lagi gue." Coba mengancam, aku pura-pura jual mahal juga sih sebenernya. Masa bodo dengan Utha yang berstatus bos atau bukan, bisa jadi aku akan langsung dipecat setelah ini. Lagi pula aku sudah pasrah atas nasibku, sejak aku tahu atasan yang harus aku dampingi adalah si Utha kunyuk kupret ini. "Eh, eh janganlah! Gitu aja ngambek lo, Lan. Kaya perawan tua yang ngebet kawin aja." Siuallllll... Ini bocah tidak bisa apa mengatakan hal yang lebih manusiawi? Dari tadi selalu sukses membuat ubun-ubunku panas karena ucapannya. Aku diam, tidak menanggapi ucapannya. Mataku sibuk mengamati tangannya yang menahan pergelangan tanganku dengan tatapan sinis. Utha yang menyadari hal itu langsung melepaskan tanganku dan berdeham sambil ngusap tekuk. "Sorry, muka lo emang kocak soalnya. Ditambah inget pas kita ketemu minggu lalu, makin ngakak deh gue." Bentar. Minggu lalu? Jangan bilang kalau Utha— "Lo kira gue nggak tau mbak-mbak aneh yang keselek di minimarket itu? Udah gitu lo masih nyoba buat ngibulin gue pakek bilang ada kucing kaw—" "Ehm, Maaf, Pak. Saya ke sini untuk bekerja, kalau Bapak ingin bicara personal dengan saya harap di luar jam kerja," ucapku kembali mengubah topik, karena aku tahu jika topik ini dilanjutkan hanya akan semakin merusak reputasiku saja di depannya. Utha terdiam sebentar, menatapku dengan sebelah alis naik yang membuat kadar kegantengannya bertam—eh tidak, lupakan ucapanku barusan. Intinya dia menaikan sebelah alis, setelahnya meletakan kedua tangan di depan d**a sambil mengamatiku dengan tatapan tajam miliknya. "Kamu benar, nanti kita bicara lagi soal personal di luar jam kerja." Utha mengangguk-angguk, setuju dengan argumenku yang sebenernya aku pakai untuk melarikan diri dari situasi seperti ini. Entah jika nanti-nanti aku kelepaskan ber"gue-elo" padanya, tergantung sikapnya padaku juga kan. "Hhm, kalau begitu kita mulai dengan tugas pertama kamu. Kita ada rapat di lantai 10, dan saya lebih suka naik tangga kalau di jam-jam seperti ini, jadi saya harap kamu ikut saya ya? Dan..." Utha menggantung ucapannya, berbalik ke meja kerja dan mengambil sesuatu di sana. Tumpukan berkas yang lumayan banyak. Dia berjalan menghampiriku dengan tumpukan berkas itu, memintaku mengulurkan kedua tangan dengan isyarat mata. Lantas tanpa aba-aba dengan agak kasar Utha menyerahkan tumpukan berkas-berkas itu hingga aku hampir menjatuhkan semua berkas itu karena posisiku yang tidak siap. "Bawa itu." Sok keren, Utha langsung berlalu pergi tanpa mempedulikanku yang bersusah payah bawa berkas-berkas itu sambil mengikuti langkahnya. Otakku yang baru "connect" mengenai naik tangga yang ia katakan sebelumnya langsung mengutuk Utha dalem hati. Dasar Utha resek! Dia pasti sengaja melakukan ini padaku!!! *** Seharian itu, di hari pertama kerja aku benar-benar dikerjai oleh Bos kupret satu itu. Dia sengaja membuatku harus bolak-balik sana-sini, naik tangga hingga lantai 15 padahal berkas yang harus diantarkan jelas-jelas ditujukan untuk lantai 3. Membelikannya makan siang yang tidak cukup satu menu dari satu restoran, bolak-balik ruang kerjanya hanya untuk mendengarkan dia meminta pendapat konyol seperti, "Lan, menurut kamu ruangan kerja saya harus di renovasi nggak sih?" atau "Lan, kayaknya mulai besok saya mau ganti merek kopi aja deh. Kamu ingetin OB ya biar nggak pakai merek kopi ini lagi." lebih parahnya lagi, dia memanggilku masuk ke rungannya hanya untuk bertanya, "Lan, semir sepatu saya kurang mengkilap ya?" KURANG KERJAAN BANGET KAN BOS SATU ITU?!? Ya ampun, aku saja harus menahan emosi berpuluh-puluh kali sambil mengucapkan nama tuhan berkali-kali dalam hati. Kalau bukan karena teringat Ibu yang sangat senang melihatku sudah bekerja lagi, sudah kutimpuk bos satu itu pakai heels yang saat ini ku pakai. Dipecat-dipecatlah sekalian. Habis Utha benar-benar menguji kesabaran! Tapi setelah dipikir-pikir sepertinya lebih baik jika aku bersabar menghadapinya, selain karena aku tidak tahu motif apa yang membuatnya memperlakukanku seperti ini, aku juga tidak mau nama baikku tercemar karena menyerang bos dengan sadis di hari pertama kerja. Bisa-bisa aku tidak akan pernah bisa mendapatkan pekerjaan lagi karena catatan kriminal, dan ujung-ujungnya pasti membuat Ibu bersedih lagi. "Lan? Hei, kamu dengerin saya nggak sih? Saya tuh lagi minta pendapat loh sama kamu!" "Iya-iya, Pak, saya denger. Bapak minta pendapat kan mau makan siang di mana besok," aku mencoba mengulangin keluhannya yang entah sudah keberapa kali--tentu dengan membuatku sukses harus bolak-balik ke ruangannya. Meski meja kerjaku ada di depan ruangannya sekalipun, tapi sungguh, mondar-mandir dengan alasan tidak penting macam ini tuh bikin capek! Capek fisik capek hatiiii... Kan bisa pakai intercom, tidak harus mengerjaiku sesadis ini juga kali! "Hem, bagus kalau kamu denger. Jadi, cari restoran yang makanannya udah pasti enak. Karena saya udah lama tinggal di luar negeri, jadi kurang tau—" Bla bla bla bla Utha mulai mengoceh lagi, yang tentu saja malas kujabarkan lebih detailnya. Aku heran, kenapa dia jadi cerewet sekali macam ini sih? Sudah gitu dari gelagatnya dia seperti menunjukan ada dendam kusumat apa gitu sama aku. Sampai-sampai tega membuatku mengerjakan tugas yang seharusnya tidak ada dalam jobsdesk-ku sebagai bawahannya. Bukannya aku hitung-hitungan soal kerjaan, tapi yang realistis sedikit bisa kan?! Masih dalam waktu yang membosankan mendengerkan ocehan Utha yang sebenarnya hanya berputar-putar di sana, seseorang mengetuk pintu ruangan Utha. Tanpa menunggu sang penguasa mengizinkan masuk orang itu sudah menampakan dirinya dengan senyum semringah. Wanita, super, cantik, sumpah. "Sayang?" dan suaranya enak didengar. Tunggu, perasaan tadi wanita ini mengatakan sesuatu yang terdengar... Sa-yang? SAYANG?!? Aku langsung menoleh ke arah Utha, dan pria itu sudah tersenyum dengan indahnya. Berdiri dari kursi kekuasaannya menghampiri wanita cantik itu, melewatiku seolah aku tidak terlihat di tempat ini. "Hai, Sayang." Hal selanjutnya yang aku lihat entah kenapa membuat dadaku sesak, dan jantungku mulai berdenyut nyeri. Apalagi saat Utha mencium kening wanita itu. Sepertinya aku harus ke dokter jantung, bisa jadi jantungku kenapa-napa bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD