3. Sang Tunangan

1614 Words
Pikiranku entah melanglang buana ke mana sampai-sampai tidak sadar sudah sampai di depan toko bunga Ibu. Kalau bukan karena suara Pak supir taksi yang tidak sabar menangih ongkos taksinya padaku, mungkin aku masih melamun di sana. Padahal aku sendiri tidak terlalu ingat sedang melamunkan apa. Ah hari ini aku pulang sejam lebih awal. Karena bos baru—kupret—itu mempersilakan aku pulang lebih dulu setelah wanita yang rupanya tunangannya itu datang. Katanya sih mereka mau ke mana gitu, memangnya aku peduli? Tidak dengar juga si Utha ngomong apa saat mengenalkan tunangannya itu padaku. Otakku blank setelah tahu Utha sudah punya tunangan. Jangan tanya kenapa karena aku pun tidak tahu. Sudahlah, bukan urusanku juga. Mungkin blank-nya otakku ini ada kaitannya dengan nasibku yang belum menemukan jodoh. Dengan kata lain, mengakui atau tidak, mungkin aku iri karena Utha sudah menemukan tambatan hatinya. Sementara aku? Hiks, sudahlah! "Lan!" suara Ibu membuyarkan lamunanku yang makin lama makin melantur. Kutatap wajah Ibu yang mengerut heran melihatku, yang akhirnya ku balas dengan senyum canggung sambil menggaruk dahi. "Kamu itu dari tadi Ibu panggilin malah ngelamun di depan situ. Sini masuk!" suruh Ibu dari dalam toko, sebagai anak yang baik dan penurut aku pun langsung mematuhi perintahnya. Ibu menuangkan segelas air yang segera beliau serahkan padaku, sambil memberikan sentuhan lembutnya pada anak-anak rambutku yang berantakan. Meski Ibu itu kadang galak dan absurd nggak karuan, kasih sayangnya yang seperti inilah yang kadang membuatkku tidak mau berjauhan dari Ibu, kalau perlu tidak usah nikah dan bisa tetap terus tinggal dengan Ibu. Tapi pikiran itu hanya mampir sedetik di otakku, karena kalau itu sampai terjadi yang ada yang ada Ibu mengusirku dari rumah. Dihapus segera dari daftar kartu keluarga sebagai anak durhaka yang tidak mau melanjutkan keturunan, membayangkannya saja sudah membuatku ngeri bukan main. "Gimana kerjaannya?" pertanyaan klasik Ibu kalau aku dapat kerjaan baru, dan jawaban klasik pula yang keluar dari bibirku jika mendapat pertanyaan yang sama, "Mayan, dari pada manyun." Dan seketika Ibu langsung mukul pundakku gemas. Padahalkan pukulannya sama sekali tidak menggemaskan-alias sakit! "Kamu tuh kalau ditanya jawabnya gitu mulu," keluh Ibu. Ya gimana aku nggak jawabnya gitu mulu, Ibu juga nanyanya gitu mulu, tentu saja jawaban itu hanya kubiarkan dalam hati. Bisa-bisa Ibu mengambil racun tikus kalau aku sampai berani menyampaikannya. "Ya abis Ibu juga nanyanya kerajinan. Mana Lani tahu, baru juga sehari. Kalau udah seminggu, sebulan, dua bulan, tiga bulan tuh baru Lani bisa ngerasain kerjaannya enak apa nggak," dalam hati aku menambahkan "Lagi pula baru sehari Lani udah punya firasat buruk, mana bos-nya si kutu kupret pula." Ibu mengeluarkan dengusan tanda tidak puas dengan jawabanku, "Ck, ya siapa tau aja kamu udah klik dalam sehari kan bisa," kilah Ibu tidak mau kalah. Akhirnya aku memilih diam, dari pada makin lebar ini masalah. Aku duduk di salah satu kursi yang ada di toko bunga Ibu, memerhatikan Ibu yang sedang merangkai bunga pesanan pelanggan. Aku sih sebenernya anak baik, selalu ingin membantu Ibu di saat-saat seperti ini, sayangnya Ibu selalu mengomel kalau aku sudah mengambil alih bunga-bunga itu dan mulai ngerangkainya. Hal yang sering Ibu bilang sih, "Kamu itu nggak berbakat ngerangkai bunga! Udah nyerah aja dari pada kamu buang-buang bunga Ibu dan malah bikin Ibu bangkrut," katanya yang membuat hatiku terluka. Sejak saat itulah aku tidak lagi pernah mencoba membantu Ibu dalam hal merangkai bunga. Sebagai gantinya yang bias kulakukan hanya membantu doa dan mengantar pesanan bunganya saja. "Mau pulang bareng?" tanya Ibu membuyarkan lamunanku yang lagi-lagi liar mengudara. Aku pun tersenyum lantas mengangguk sebagai jawaban. *** Pagi-pagi aku sudah dibuat sibuk sama si kutu kupret-dibaca Utha. Bagaimana tidak? Baru datang saja aku sudah disuguhi kerjaan yang numpuk di atas meja. Nyusun ini, nyusun itu, bikin laporan ini, laporan itu, bolak-balik ruangannya hanya untuk hal-hal sepele seperti kemarin-kemarin. Seumur-umur aku kerja di tempat lain, sepertinya baru kali ini aku merasa capek bukan main, kerjaan juga tidak ada habis-habisnya. Anehnya si Utha seperti biasa saja dengan semua tugasku, dia juga kelihatan sibuk sih, malah lebih aneh ya kalau dia sibuk aku tidak? Hhmm.. sepertinya aku memang sudah lebih dulu sensi dengan semua yang berkaitan dengan Utha, sudah saatnya aku bersikap profesional. "Bapak nggak makan siang di luar sama tunangan Bapak kayak biasanya?" tanyaku entah sudah ke berapa kali berada di ruangannya. Utha masih keliatan sibuk dengan berkas-berkas di atas meja. Padahal jam makan siang sudah lewat dari tadi. Bukannya aku khawatir atau apa sama dia, tapi masalahnya aku juga belum makan! Ingin izin makan siang dari tadi, tapi tidak enak meninggalkannya yang kelihatan sedang sibuk sekali. Makanya aku tunggu dia berinisiatif menyuruhku istirahat makan siang lebih dulu, tetapi sudah lewat satu jam lebih Utha masih saja tidak lepas dari berkas-berkasnya. Apa dia juga tidak lapar? "Pak?" tegurku karena dia tidak juga menimpali. Dan syukurlah dia menaikan pandangannya ke arahku. "Kamu kalau mau makan siang duluan aja, Lan. Saya masih banyak kerjaan," katanya datar. Utha ini kalau lagi serius sama sesuatu pasti gitu. Lupa kalau perut juga harus diisi, ckck. "Tapi Bapak kan juga belum makan, atau Bapak mau saya beliin makan siang aja?" tanyaku.   Kurang baik apa coba aku sebagai sekertarisnya? Eh ini memang salah satu jobsdesk-ku sih, karena kalau Utha sampai sakit kerjaanku juga sudah pasti bertambah karenanya. Utha lagi-lagi tidak jawab, kembali sibuk dengan kertas-kertas yang harus ia periksa lantas ditandatangani. Melihatnya seperti itu membuatku memutuskan untuk pergi dari ruangannya, dari pada aku jadi pajangan yang menunggunya merespon ucapanku. Lebih baik aku yang inisiatif membelikannya makanan. Menu yang dia makan pasti tidak jauh-jauh dengan apa yang ku pesan kemarin-kemarin. "Tunggu." Gerakan tanganku yang baru saja akan memutar knop pintu berhenti karena suara Utha. Ketika aku berbalik menghadapnya, dia sudah berdiri dari kursinya. "Kita makan siang sama-sama aja. Lama-lama saya bosen juga ada di ruangan terus," katanya melewatiku dan keluar lebih dulu. Aku masih diam sampai jari telunjuknya mendarat di keningku dan mendorong kepalaku pelan. "Heh, ayo!" *** Jujur aku sama sekali tidak pernah terpikirkan akan makan siang berdua saja dengan Utha selama bekerja dengannya. Aku hanya menawari akan membelikan makanan yang ingin dia makan, bukan malah makan siang sama-sama seperti ini. Di restoran yang kelihatannya sangat mahal pula! Duh, aku tidak punya cukup uang untuk makan di sini. Jatah makan siangku hanya cukup untuk makan di warteg. Jangan bilang Utha hendak mengerjaiku lagi? Alih-alih mengajakku makan siang bersama, aku justru malah disuruh membayar semua makanannya! Tidak, otakmu terlalu sinetron sekali Lani! "Udah pesen aja, gue yang traktir," kata Utha yang duduk di depanku dengan senyum tipis di bibirnya, seolah tahu kerisauanku setelah masuk restoran ini. "Serius lo? Nggak lagi ngibul kan?! Jangan sampe pas gue udah mesen banyak, terus nanti pulangnya lo tiba-tiba ninggalin gue dan-" "Nggak, Lan. Otak lo itu dikontaminasi apaan sih? Negatif mulu pikirannya sama gue," keluhnya sambil tertawa. Aku masih menatap Utha curiga, meski aku tahu Utha bukan orang kikir tapi dia itu jahil! Malah kadar kejahilannya kadang lebih menjurus ke kata sadis. "Kali ini gue serius! Udah lo pesen apa aja, lo udah laper banget kan dari tadi?" Dia berusaha meyakinkanku, seolah tahu arti tatapanku padanya. Akhirnya aku mengangguk. Positive thingking sajalah, bener juga kata Utha aku sudah lapar dari tadi. Setelah menyebutkan menu pesanan kita ke pelayan di restoran itu, sambil menunggu aku dan Utha mulai ngobrol ngalor-ngidul. Dari mulai masalah kerjaan sampai mengenang masa-masa SMA kita dulu. "Oya, Mami pengen banget ketemu lo setelah gue bilang kalo lo kerja sama gue. Mami bilang kangen banget sama lo, pengen liat Lani yang cupu dulu kayak gimana sekarang." Aku berdesis, "Yang terakhir paling cuma tambah-tambahan lo doang. Mana ada Lani cupu? Ada juga Lani itu kembang sekolah dulu," kataku berusaha membanggakan diri, tapi lagi-lagi Utha malah terbahak karena ucapanku barusan. "Kembang sekolah? Lo yakin? Kalo kembang sekolah kok sampe sekarang nggak laku-laku?" ejeknya yang langsung menusuk ke hati. Ini orang nggak bisa baca situasi kali yah? Mana yang bisa dipakai untuk bahan bercanda dan mana yang tidak. Itu terlalu sensitif buat Lani tahu! "Anjir, nggak usah bawa-bawa masalah jodoh juga kali!" kulempar saja serbet yang ada di dekatku ke arahnya. Dan tawa Utha malah meledak melihatku kesal bukan main. Aku berasa berubah jadi badut kalau di depan orang ini, entah kenapa dia tertawa mulu kerjaannya. Males meladeni Utha yang masih sibuk menahan tawa, ku alihkan pandanganku ke luar jendela. Dan saat mataku tertuju pada satu titik itulah kedua alisku bertemu. Di luar sana aku melihat seseorang yang... bukannya itu tunangan Utha ya? "Tha, bukannya itu tunangan lo ya?" tanyaku sambil nunjuk ke arah tunangan Utha yang berada di luar sana, sayangnya ketika Utha menoleh ke arah yang aku tunjuk orang sudah tertutup mobil yang terparkir di sana. "Mana?" "Tadi, di balik mobil itu! Sekarang udah nggak keliatan." Utha balik menghadapku, sama sekali tidak ada raut penasaran di wajahnya. "Salah liat kali lo. Cheryl bilang dia lagi sibuk sama keluarganya ngomongin masalah nikahan kita. Jadi nggak mungkin ada di sini." Iya kah? Perasaan terakhir aku memeriksa mata, penglihatanku masih normal senormal-normalnya, masa iya sih aku salah lihat. Tapi bisa jadi sih, lagi pula aku kan baru lihat tunangan si Utha itu sekali, mungkin aku memang salah orang. "Heh, makan! Emang gue teraktir lo buat diliatin doang!" gerutu Utha menyadarkanku dari lamunan. Di depan mulutku sudah ada sesuatu yang Utha sodorkan oleh garpunya. Otakku yang masih loading membuatku menerima saja apa yang dia berikan padaku, lagi pula rasanya enak! Karena rasa enak itulah kesadaranku kembali sepenuhnya. Mengambil sendok garpu di depanku, aku mulai memakan menu makan siangku dengan lahap. Peduli amat dengan Utha yang menertawakanku karena aku makan begitu buasnya. Mungkin aku harus mulai bersyukur karena bertemu Utha, karena jika tidak bertemu dengannya, aku tidak tahu kapan lagi bisa menikmati makanan seenak ini, gratis pula! Pokoknya lain kali Utha harus meneraktirku dan Ibu makan di sini lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD