Chapter 2 : Panthera Pardus

3201 Words
Wanita itu memekik ngeri. Tepat setelah kain hitam bersulam emas yang ditarik Tazza meluncur mulus di atas lantai marmer, seraut wajah binatang buas menyeringai menampakkan diri. Gigi geliginya tajam, meneteskan air liur, berkumis senar dan nampak sangat-sangat tidak bersahabat. Keempat alat geraknya melata pendek ketika membungkuk, tubuhnya menyelasar panjang dengan tengkorak besar. Bulunya ditandai bintik-bintik seperti mawar namun yang satu ini terlihat lebih kecil dan padat. It is a Leopard! Leopard! What the f**k is going on? Kegilaan apa lagi yang hendak ditunjukkan lelaki itu? Ada napas tertahan di udara. Sejenak, Go Jun Hee tak menemukan perbedaan antara si Macan Tutul Afrika dengan pemiliknya. Mereka sama-sama jantan, berkulit cokelat keemasan, dan tentu—berdarah panas. Binatang itu terlihat begitu mengerikan dengan bobot tubuh yang berkisar di kilogram 90. Thats—very cool. She loves him madly, and the President is her motherfuckin’ man! “Beri salam pada sahabat baikku, Ms. Go—come on membungkuklah.” Tazza Choi berjalan ke sisi yang lainnya sembari menempelkan telunjuk di kaca. Otomatis tubuh subur Ginger mengikuti gerakannya, antusias, dan wajah bengisnya berubah manis penuh persahabatan. Go Jun Hee merundukkan kepala, ragu-ragu—dan gerakan itu mendapat perhatian Ginger yang mengaung seperti berkata bahwa tak ada yang diizinkan semudah itu menjadi bagian dari Franchuk villa. Tazza tertawa—tawa itu mendirikan bulu roma ketika Ginger ikut mengiringinya. “Kutemukan di daratan tandus Afrika ketika usianya baru 3 bulan. Dan kau lihat, dia tumbuh dengan baik bersamaku.” African Leopard itu meloncat dari satu dahan ke dahan yang lain, interior di dalamnya di desain menyerupai hutan hujan tropis dan padang thundra sebagai alas kaki-kakinya. Leopard adalah sejenis Felidae yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dalam berbagai habitat. “Ginger memang sudah kujinakkan namun insting alami oportunistik berburu tetap menjadi perilakunya. Kalau kulepas dia dari kandangnya, dia akan senang hati memperlihatkan kecepatan lari 36 mph padamu.” Semudah itu Tazza menjelaskan, sikap tubuhnya rileks. “Kau—mau mengeluarkannya?” “Tentu—sahabatku bukan tawanan, Ms. Go. Dia bebas bermain di rumahku” Telunjuk Tazza Choi bergerak ke sisi kanan, di mana terdapat tombol elips silver yang tiba-tiba muncul dari dalam tembok beton. Lalu terdengar suara arterisk sebelum kaca tebal pelindungnya terangkat pelan-pelan. Tubuh Ginger menyelinap begitu mudah di antara bukaannya. Hewan itu meloncat meloloskan diri dari kandang. Bunyi geraman dari kerongkongannya yang gemar menyantap daging mentah terdengar lebih jelas dan mengerikan. Hal pertama yang dilakukannya adalah menggertak manusia asing dalam ruangan tersebut, merasa tertarik ketika lawannya lagi-lagi mundur selangkah karena ketakutan. “NO, Ginger!” Tazza memerintah, otomatis kawan buasnya itu berhenti dari gerakan mengancamnya hanya untuk menoleh, berbalik dan berputar-putar di sekitar tubuh Tazza. Ekornya yang eksotis mengibas-ngibas saat Tazza mengelus permukaan kulitnya yang mengilap. “She is our friend, boy.” Bisik lelaki itu, seringai muncul di sudut bibirnya yang timbul-tenggelam. Memberi isyarat pada Go Jun Hee agar mendekat. Tak usah takut pada piaraannya yang betah bersimpuh di dekat kakinya. “So? Aku wanita yang mempunyai akses khusus menyelundup ke kamar pribadimu, Mr. President?” tungkai jenjang wanita itu mengekori langkah Tazza Choi yang mantap, untung saja—otot-otot di seluruh tubuhnya mulai merileks. Namun bukan berarti kewaspadaannya pada makhluk buas sialan itu sirna. Hell NO! Go Jun Hee membenci taring Ginger yang berkilat menjijikan. Baiklah, mari kita luruskan. Tazza is a introvert bastard, apakah akan semudah itu baginya membiarkan orang asing menginjak daerah teritorinya yang paling rahasia? Demi Tuhan! Tidak. Villa ini berdiri di atas lahan ratusan hektar, penting bicara jika kamar yang dibangunnya tidak hanya satu? “Aku rasa kau perlu menjaga angan-anganmu agar tetap terkendali, Ms. Go. Sedikit nasihat, bahwa lebih mudah menduga-duga daripada menerima kenyataan yang ada.” Nasihat rasa ancaman adalah kombinasi paling sumbang untuk didengar. Go Jun Hee meringis, tapi ia bukan tipe wanita yang gampang ditindas. “Wow oke baiklah.” Perempuan itu tertawa genit, telinga Ginger yang berdiri waspada bukan ancaman lagi buatnya. Selain pemompa intensitas suhu panas mendebarkan, ternyata Go Jun Hee bisa menemukan fungsi lain dari diri seorang Tazza Choi, yaitu pemberi rasa aman. “Aku ikut apapun rencanamu, Mister. Tanpa membantah.” Yeah, apapun. Termasuk urusan ranjang nanti. “Karena itu memang tugasmu, woman.” Tazza menyahut pendek, menuntun jauh meninggalkan kamar kamuflase di ruang utama tadi. Yang keliru dikira Go Jun Hee sebagai private room miliknya. Nyatanya, villa itu bukan sekadar bangunan tempat kau menyimpan uang dan barang-barang. Villa itu keramat, modern, serta dipenuhi misteri yang tak pernah terendus wartawan. Bangsawan sejati memang selalu punya tempat untuk melakukan konsolidasi dan integrasi, baik dengan kawan maupun lawan. Mata kaki pria itu menukik dan berbelok melewati lukisan Galileo yang sengaja didatangkan langsung dari Italia, memunculkan pemandangan lorong panjang yang tak putus-putusnya dipindai mata. Tak berujung, dingin kala mereka berdiri di mulut lorongnya. Lorong di depan sana berwarna biru, bertembok kaca melengkung, memantulkan siluet gurat-gurat cahaya panjang ke lantai keramik bergaya victorian dari arah atap dan b******k! Mereka dihimpit oleh sepasang aquarium raksasa. Go Jun Hee hampir tersedak ludahnya sendiri. Ada ikan pari raksasa yang berenang bebas di sisi kiri mereka, ikan-ikan kecil, and geez! Hiu putih! A shark! Wait, no no no! Maksudnya, banyak ikan hiu dan lebih banyak lagi hiu ketika mereka sampai di tengah-tengah perjalanan. Ginger dengan semangat menggapai-gapaikan cakarnya yang tajam, menggaruk kasar kaca yang tak mungkin lecet meski diserempet timah. Bola mata Jun Hee berputar, ia lebih suka menatap punggung Tazza yang bergerak dramatis daripada melototi tingkah laku si binatang liar. Demi dewa-dewa, adakah selera hidup pria tampan itu yang terlihat membosankan? “Kau pecinta makhluk-makhluk buas.” “Ya, sebab apapun yang kau miliki adalah cerminan dirimu.” Jawabnya diplomastis, dan Jun Hee menggunakan kesempatan tersebut untuk memutar ingatan. Barang mewah milik Presiden, hewan-hewannya, hingga lukisan abstrak berkelebat dalam kepalanya. Oke, semua itu bisa dibilang sebagai cermin. “Orang hanya akan menilai dari apa yang mereka lihat di luar, dan aku senang karena tak perlu repot-repot menjelaskan bagaimana aku, karakterku, serta apa yang paling aku inginkan.” Tazza Choi melanjutkan. Oh, dan itulah dia. Lorong lalu memutus, mereka dihadapkan pada empat sisi tembok yang tak memiliki pintu. Mengambil pengalaman dari peristiwa pertama, kali ini Go Jun Hee mawas-mawas diri, ia ingin terbiasa dengan segala sihir menakjubkan yang dipunyai Tazza Choi. Wanita itu lantas menjaga jarak dari si sialan Ginger, lebih suka merapat di sisi kanan Tazza untuk menikmati aroma jantannya, selagi lelaki itu sibuk mengetikkan serangkaian kode yang muncul dari dalam tembok. Yah, keajaiban yang lainnya dari villa si penguasa! Alih-alih membaurkan aroma musky atau patchouli ke tubuhnya, Tazza Choi lebih memilih ekstrak kacang tonka sebagai pendamping maskulinitasnya. Unik dan menggoda, serta memberi kesan percaya diri yang lebih mengagumkan. Aroma sensual itu terasa menempel di mana-mana, di sofa Monarch dan kasur Magnetic Floatingnya, di dinding dan lantai, di kayu bocote dan baja serta di penciuman Go Jun Hee. Seolah-olah mendeklarasikan diri bahwa dialah penguasa dunia yang sudah sepatutnya disegani—diberi hormat. Yes, and the door was close, is opened. *** Sebentar, selain tampan dan kaya—apakah Tazza Choi juga gila? Pria itu sama sekali tidak membicarakan perihal pertemuan di dalam ruang kubus yang dingin, luas serta penuh dengan meja-meja dari kayu ebony. Sepanjang perjalanan, pria alpha itu sibuk menebar ketegangan oxytocin ke seluruh penjuru udara. Sial! Kalau saja di dalam ruangan segi empat itu hanya ada benda mati, tentu tak masalah, tapi—deretan kursi-kursi cendana yang dibuat melingkar itu dipenuhi oleh laki-laki beragam macam pakaian, seram, berkarakter, dan Go Jun Hee berani taruhan jika dikantong mereka setidaknya terselip sebuah Walther PKK. “Wow, ini kejutan.” Go Jun Hee melirik amat kesal pada Tazza yang wajah tampannya itu datar saja, cemoohan tak tersirat yang menegaskan bahwa Tazza bodoh jika tak mengerti maknanya. “Kau sendiri yang tidak menyempatkan diri untuk bertanya, Miss. Go. Asal kau tahu, jika aku dan orang-orang ini bukanlah tipe manusia yang suka membuang-buang waktu. Time is sword, dan dunia tidak pernah tidur, tak ada pengecualian bagi kami yang mengendalikannya.” Ujar lelaki itu, siluet tubuhnya yang memantul di dinding seolah mengurung ruangan. Hitam dan agung. Puluhan pasang mata tak tanggung-tanggung menjadikan Tazza sebagai objek bidikan. Mau tak mau, Go Jun Hee melempar senyum terbaiknya, dan sukses mendapat perhatian. Wanita itu melenggok, memberi tekanan pada sepatu hak tingginya sebelum duduk di samping kursi cendana wangi Tazza. Ginger berada di tengah-tengah mereka, dan Go Jun Hee tak tahan untuk tidak mengumpat sekali saja. She just wanna kill somebody, Gzzz hard s**t and that is Ginger! Goddang! Binatang sialan itu mempersempit kesempatannya merapat di paha Tazza. “Well,” lelaki bersuit di seberang Tazza Choi angkat bicara, wajahnya serius dan sedatar permukaan ebony. Tak terlalu tinggi, namun kentara menunjukkan gelagat another hottes bachelors in the earth yang terjebak dalam kehidupan agen-agen dunia yang penuh kegilaan dan tragedi. Tazza Choi mengenalinya sebagai Kwon Jiyong. 27 tahun. Pandai, gesit, cukup tampan. “Semua orang sudah berkumpul, dan aku rasa, aku cukup berhak mengawali diskusi malam ini mengingat peranku yang sangat besar dalam melakukan investigasi selama berminggu-minggu—tanpa mengurangi rasa hormatku pada tuan rumah, izinkan aku menggunakan layar hologram anda, Mr. Choi.” Satu paket, wajah dan suaranya—datar. Tak benar-benar memberi penghormatan pada Tazza Choi. Agaknya, Kwon Jiyong jenis pria berego tinggi yang enggan tunduk pada kuasa siapapun. “Yeah. Go ahead.” Tazza mengedikkan kepala kasual, tangannya mengelus kepala Ginger. Yang disambut seringai lebar, air liur binatang pelari itu menetes-netes di atas lantai. Beberapa orang menatapnya ngeri. Kwon Jiyong berdehem. “Banyak sekali anggota gangster ataupun mafia di negara-negara besar. Berbasis kelompok organisasi rahasia, mafia-mafia ini membuat kekacauan, teror, dan tindak pidana kriminal. Menurut penelusuranku, perang gangster yang sering terjadi antara geng satu dengan geng lain biasanya disebabkan karena perebutan sebuah wilayah, monopoli perdagangan illegal serta prostitusi, sampai membekengi para pengusaha berkantong tebal—melindungi sesuatu,” Kwon Jiyong mengganti layar hologram. Kini sinar kehijauannya membentuk lambang kelompok separatis tertentu. “Seakan kebal hukum, kasus kejahatan mafia ini tidak pernah diusut tuntas, bahkan eksistensi keberadaan mereka semakin besar setiap detiknya, semakin tumbuh berkembang. Semuanya menyisakan pertanyaan, apakah kelompok mereka telah berkoordinasi dengan aparatur keamanan negara, atau kehadiran mereka memang disengaja sebagai alat teror milik penguasa untuk melenyapkan orang-orang yang berselisih paham ataupun menyingkirkan saingannya?” Ruangan itu lengang, hanya dengkuran Ginger yang terdengar menggema. Kepala orang-orang sibuk menekuri layar. “Kelompok Yamaguchi-gumi adalah salah satu dari tiga organisasi pendiri Yakuza, yang cukup tua, memiliki kekayaan lebih dari 80 Miliar US Dollar. Membuktikan mereka sebagai gangster terkaya di antara semua sindikat kejahatan di dunia. Sudah ada sejak abad ke 17, mereka berbaur dengan tradisi dan kebudayaan, begitu rapihnya hingga mereka mampu menyusup ke dalam kabinet pemerintahan Jepang.” Jelas Kwon Jiyong panjang lebar. “Oh yeah, seperti kasusnya Keishu Tanaka, Menteri Hukum yang dipecat karena terbukti anggota Yakuza—lalu ada Perdana Menteri Nobusuke Kishi yang dicopot jabatannya pada tahun 1971 dan Noboru Takeshita pada 16 tahun setelahnya.” Tazza Choi memperjelas, mengusap labiumnya sendiri dengan gerakan paling seksi yang pernah ada. Jiyong melirik sebentar, hanya menganggapnya angin lalu. “Filosofi mereka sebagai mafia paling berbahaya adalah materi dan uang, kehidupan bisnis mereka mayoritas berkembang di bidang properti, investor, pertambangan mineral, pencucian uang, saham, narkoba, prostitusi terselubung sampai imigrasi illegal,” beberapa data penting seperti foto pengintaian dan orang yang diduga kuat sebagai anggota Yakuza dimunculkan. “Mereka tidak hanya menguasai negeri Jepang, namun kekuatannya juga sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, sudah merambah ke jaringan Internasional. Sangat meresahkan negara—dan untukku pribadi, sebagai ketua tim A FBI, aku ingin menumpas habis kejahatan yang mereka tebarkan demi terciptanya kedamaian. Pembunuhan keji, suap, peredaran obat-obat terlarang, penipuan, prostitusi—” “Prostitusi?” Tazza menaikkan alis, “kenapa kau memasukkannya dalam daftar sapu bersih, Mr. Kwon?” Kesal karena penjelasannya diinterupsi, mata Jiyong menyipit. “Federal Bureau of Investigation didefinisikan sebagai badan penegak hukum federal yang menangani kasus investigasi dari Departemen Kehakiman. Deskripsi pekerjaan kami termasuk berurusan dengan kejahatan terorganisir, perdagangan narkoba, terorisme, pelanggaran hak sipil, spionase, PROSTITUSI, dan kekerasan dalam bentuk apapun itu.” Kwon Jiyong memberi efek bold pada kata yang dimaksudkannya. Tazza Choi mendengus tertahan—antara geli dan ironi, dalam hati ia menertawakan kelurusan Jiyong yang tak mampu menembus batas. Buat apa ada peraturan kalau bukan untuk dilanggar? Yah, paling tidak, satu dari sekian banyaknya. Kelonggaran itu juga perlu agar tatanan masyarakat tetap seimbang. “Oh ayolah, Mr. Kwon, aku bukan agen FBI sepertimu. Aku rasa kau tidak perlu menyingkirkan kesenangan bagi kaum laki-laki. Kau juga butuh tempat seperti itu untuk melemaskan otot-ototmu yang terlalu kaku itu.” Kalimatnya begitu terbuka. Ini kelihatan tak baik dengan ekspresi Jiyong yang seperti Raja Quincy—Juha Bach yang berkumis lebat. Datar plus bengis, dan jangan lupakan kemampuannya membantai ribuan Shinigami di Seiretei, Tazza Choi seolah Yamamoto Genryusai yang hendak dihancurkan dalam sekali tatap. “Sikapmu sangat tidak tahu aturan kalau boleh kukritisi, Mr. Choi. Kau mestinya mendukung pembersihan hitam di atas putih. Misi besar ini akan dilaksanakan besok pagi, jadi tidak perlu memperkeruhnya dengan mengatakan hal-hal yang tidak perlu.” Tambah Jiyong, geram tapi tidak meledak-ledak. “Aku sudah mengatur ruang gerak anak buahku, menyebarnya dari operasi yang paling kecil sampai beresiko tinggi. Kuharap kau menemukan tempat yang menyenangkan selain rumah bordil, karena akan kuhabisi mereka semua dengan sekali libas.” Terkejut? Ya. Tersinggung? Tidak. Tazza Choi menyimpan kedutan gelinya di sudut bibir. Menduga-duga jika lelaki berdarah Jepang-Korea itu tak suka wanita. Yah apapun itu, yang jelas, Kwon Jiyong sedikitpun tak gentar padanya. “Sayang sekali, padahal aku lebih suka melihat b****g wanita daripada melihat wajahmu.” GODDAMN s**t! Tazza benar-benar tak tahu etika tapi ia suka menemukan rona ungu di paras Jiyong. Percayalah, ia bukannya ingin menurunkan pamor orang lain, namun sekali-kali, orang yang tak mau mencoba out of the box harus diberi pelajaran. “Kau sudah membagi-bagikan potongan pekerjaan kepada mereka, jadi, katakan apa yang harus aku lakukan pagi-pagi buta nanti?” Saat itu juga sebuah bukaan menganga muncul di atas meja Tazza, sebuah bola cahaya hijau nampak ke permukaan dengan lambat. Sinarnya yang seperti bola ramal mati sedetik sebelum berubah menjadi hamparan peta yang menakjubkan. Titik-titik Jepang yang dapat mendetail saat Tazza menyentuhkan jarinya. Pemandangan yang sama terlihat di atas meja Kwon Jiyong—munculnya sebuah peta lumut terang. “Aku sudah menandai wilayah operasi dengan titik merah.” “Bar? Yang benar saja!” Jiyong mendengar Tazza Choi menggumam dengan kalimat yang paling menyebalkan untuk didengar. “Mr. Kwon, kau menyuruh anak buahmu untuk pergi menghancurkan tempat hiburan malam? Tsk, aku tidak tahu ada spesies manusia yang selucu kau di muka bumi ini.” Kwon Jiyong tersinggung, ini bukan hanya penumpasan biasa. Wilayah merah itu bukan sekadar bar, di sanalah biang perdagangan kartel obat bius dan kasino paling besar juga meresahkan. Pria kaku itu baru saja mau angkat bicara, tapi bukaan di dalam hologram hijau yang berkelip di meja Tazza Choi menghentikannya. Semua orang memperbaiki posisi duduknya dan membungkuk hormat. Tapi tidak dengan Tazza. “Bagaimana kabarmu?” Suara berat itu seperti muncul dari awang-awang. “Seperti yang kau lihat.” Tazza Choi mengedik tak acuh, menciptakan hening satu menit. “Tazza, belajarlah kau untuk mendengarkan orang lain, sedikit banyaknya kau butuh dikendalikan.” “Tsk—“ “Operasi ini demi reputasiku, juga keselamatan rakyat-rakyatku, nasib rekan-rekanmu di Las Vegas, dan seluruh penduduk bumi yang tak bersalah. Seriuslah sedikit saja, tinggalkan dulu barisan wanita-wanitamu itu dan fokus pada misi.” Abaikan suaranya yang bass dan sekokoh baja—well yeah, kemampuan beretorikanya memang tak perlu diragukan lagi, dialektika tajam yang dipilih laki-laki itu selalu efektif memancing reaksi dasar Tazza. “Dad.” Mengeluh, kemudian Tazza melipat kedua lengannya di depan d**a. “Yes, I’m still your Dad.” “Oh, c’mon,” erangnya, “apapun profesimu, tolong jangan libatkan aku lagi dalam misi perdamaian dan kesejahteraanmu. Aku ingin mencoba yatch pribadiku tanpa terbebani tugas yang kau tumpuk di atas pundak. Dad, you are a President and I’m too.” Dalam pandangan orang, mata Tazza yang memanjang seperti gabungan dari dua galaksi besar, NGC 2207 dan IC 2163—jangan tanyakan hasilnya, Tazza kini mirip the glowering eyes yang merupakan benda langit paling indah di semesta raya. “Kalau begitu kuletakkan saja kau dalam jajaran parlemen.” Senjata ampuh pria itu ditodongkan, Tazza menyipit—ough, menjengkelkan! Andrew Choi adalah salah satu Presiden yang musti diboikot agar cepat-cepat resign. “Ayolah, son, buat apa aku punya putera sehebat kau kalau kerjanya hanya menghambur-hamburkan uang—” “That’s my money.” “Memelihara binatang-binatang liar, mengoleksi furniture, menyelundupkan banyak wanita ke dalam suitemu—” “Ya! Ya! Oke well done—“ Tazza Choi habis sabar juga, kalau terus dibiarkan bicara, bisa-bisa Ayahnya memention daftar dosa-dosa di sepanjang hidupnya. “Mari kita pergi ke Jepang dan hancurkan mereka seperti apa maumu. Sekarang, hilanglah dari lubang itu dan kerjakan saja berkas-berkas pemerintahanmu di atas meja.” Perintah mulut Tazza kurang ajar, tapi dia tak peduli—mulutnya itu memang setajam pedang. “Biasakan dirimu mematuhi aturan.” “Ya, menghilanglah segera.” Tazza Choi menjawab cuek, orang-orang mereguk ludah susah payah. Serius, tak ada satu pun orang yang berani berbuat sekenanya pada sang Presiden. Tak ada, sekalipun itu seorang pemimpin gangster, mereka bakal berpikir dua kali mengatakannya. *** Wajah Tazza masih masam ketika keluar dari ruang rapat rahasia. Pembahasan sudah usai, Tazza harus kembali ke kamarnya, memasukkan alat-alat seperti kepunyaan Sherlock Holmes dan lari di treadmill setengah jam. Karena berlatih sebelum berperang itu semacam ritual khusus yang perlu ia lakukan. Biar otot-ototnya lemas dan tak terlalu kaku seperti Kwon Jiyong. “Hai,” Go Jun Hee menyilangkan kaki di depan pintu lift, mengedipkan mata dengan jahil. “aku heran mengapa ada pria yang tetap terlihat begitu ganteng meskipun ekspresinya tertekuk dalam-dalam. Hmmm—kau memang sesuatu ya, Presiden Choi?” alis Tazza lalu naik satu melihat Go Jun Hee mengurai langkah. “Mau ke mana kau? Kamar, gudang atau—“ “Fitness,” Tazza menjawab malas, “aku butuh sesuatu yang mampu meredam emosiku—dengan treadmill tentunya. Atau mungkin angkat beban.” Kening pria itu berkerut tatkala sepasang p******a Go Jun Hee bersentuhan dengan dadanya. Oke, reaksi lumrah yang dialami adalah merasakan panas karenanya. “Kenapa harus capek-capek lari di treadmill?” Go Jun Hee melingkarkan lengannya di sekeliling leher Tazza Choi, mengendus, menghirup aroma tajam-manis laki-laki itu. “menurutku ada yang lebih menarik daripada mengeluarkan keringatmu di atas mesin itu.” Tazza masih membisu. “Aku rasa kasurmu cukup besar untuk kita tiduri berdua.” Wanita itu menggigit bibir bawah Tazza yang sensual, lalu memagutnya dalam detik kedua. Sabar menunggu Tazza memberinya respon. Well, baiklah. Sebab menurut hukum alam, tak ada satu harimau lapar yang mampu mengabaikan daging mentah tergeletak di atas tanah. Itu namanya insting, karena mereka predator, karena mereka makhluk hidup. Lantas apa bedanya dengan dia? Tazza Choi sama dengan harimau dari segi manapun. Mereka sama-sama punya insting untuk membaui mangsanya. Dan dengan konsep itu, Tazza membiarkan Go Jun Hee menciuminya sembari sesekali dia memegang kendali. “Jadi—Mr. President, kau tidak menolak?” Go Jun Hee mengusap tepian bibir Tazza yang basah. Kulit di bibir atas pria itu yang kecokelatan nampak menggiurkan untuk dicicipi berkali-kali. “Hm,” Tazza menjilat bibirnya sendiri dengan gerakan provokatif. “bersenang-senang dengan wanita sepertimu boleh juga.” Oke, sekarang mari lupakan saja dulu relasi kerja di antara mereka, karena sekarang ada yang jauh lebih penting—menunggu untuk dituntaskan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD