Chapter 3 : The Fuckin’ Situation

3324 Words
Tazza duduk di kursi pilot helikopter Cayuse OH-6 miliknya. Sebuah helikopter kecil dengan julukan Flying Egg yang kuat dengan drag sangat rendah, mampu melakukan manuver cepat dan lincah. Pria itu sekarang mengenakan kaos hitam Hugo Boss—sebuah brand yang juga pernah menyediakan seragam khusus untuk SS dan Hitler, dipadukan dengan jaket kulit Diadora hitam yang resletingnya mencapai hingga ke leher, lalu celana jeans Burberry Prorsum warna abu-abu gelap. Dan sepatu pria itu—Ya Tuhan! Bisa turunkan usia Tazza Choi ke level 25 saja? Pria itu sangat-sangatlah menawan dengan outfit apapun. Di seputar pinggang sampai kaki Tazza Choi terdapat macam-macam bagian untuk mengontrol terbangnya benda baja itu. Ada collective yang letaknya di lantai kabin di sebelah kiri kursinya, lalu ada throttle di ujung collective, dan cyclic yang berada tepat di depan kursinya. Tazza Choi mirip master sulap yang tak canggung lagi dikelilingi oleh benda-benda sihir. “Sorry, lama menunggu,” Go Jun Hee menutup pintu helikopter, membenahi pakaian operasinya yang sekeren Tazza Choi. Dia seperti Wonder Woman yang siap turun ke medan perang, dengan senjata sepasang dalaman seksi. “agak lelet membersihkan diri karena kau ‘muntah’ di mana-mana.” Matanya mengedip dengan nakal, Tazza lalu mendengus. Oke, yang satu jam lalu memang terasa luar biasa. Setidaknya cukup ampuh untuk menjernihkan pikiran semrawut Tazza sebelumnya. Pria itu membungkuk untuk memasangkan sabuk pengaman Go Jun Hee, tentu saja tindakannya sangat tidak terduga-duga. Dan by the way, ini adalah sabuk pengaman empat titik dengan semua tali yang menghubungkan satu gesper pusat, Tazza Choi mengencangkan kedua tali itu di atas dan hampir membuat Go Jun Hee tidak bernapas selama 10 menit. Namun agaknya wanita itu terlalu cepat menguasai diri. Senyum menggodanya kembali terbit di atas bibir yang sensual. “You save,” Tazza berbisik dengan mulut yang hampir tidak bergeser. “ini memang takkan jadi penerbangan yang nyaman, tapi rileks saja.” Go Jun Hee mencairkan udara yang sempat membeku dengan kekehan tawa. “Mr.President, jangan memperlakukanku seperti ini. Kalau nanti aku benar-benar jatuh hati padamu bagaimana?” Tazza mendongak sedikit dan mencium bibir wanita itu. “Bagus. Artinya aku punya teman tidur yang tidak berubah-ubah.” Jawaban paling lancang sekaligus manis dari mulut seorang laki-laki, seolah yang ada di otaknya hanya memberi makan enak selangkangannya. Go Jun Hee tertawa, dia setuju, kalaupun jatuh cinta pada Tazza apa yang akan berubah? Tidak ada, kecuali hubungan mereka di atas tempat tidur yang kian panas. Tazza kembali ke kursinya, menyesuaikan diri dengan segala peralatan yang ada di sana. Mula-mula memeriksa alat pengukur, memencet saklar dan tombol dari aris dari lampu dan saklar yang ada di depan tubuh Go Jun Hee. Kemudian muncul sedikit kedipan lampu dan cahaya dari berbagai pengaturan, dan seluruh lampu panel instrumen otomatis ikut menyala. “Pasang headphonenya dengan benar,” Tazza Choi memberi perintah, dia sendiri sudah memakainya. Lantas sekonyong-konyong, bayangan Captain America yang berada di pesawat dalam film-film, kalah oleh visual milik Tazza yang mengagumkan. Sementara di atas dua orang itu baling-baling mulai berputar. Tangan-tangan Tazza dengan cekatan terus membalik berbagai saklar.  “Well, kepada menara penerbangan Franchuk President 007. PDX, ini dengan mesin Helikopter Cayuse OH-6—Franchuk villa, terbuka untuk lepas landas. Harap konfirmasi, over.” Suara bariton Tazza memenuhi kedua belah headphone, terasa menggema. “Kepada Cayuse OH-6, anda bebas. PDX memanggil, lanjutkan ke satu empat ribu, menuju nol satu nol, over.” Seseorang menyahut dengan suara yang seperti keluar dari mesin komputer. “Franchuk menara, Cayuse OH-6 set, over dan keluar.” Tazza Choi membalas, dan helikopter naik perlahan-lahan dengan lancar ke udara. Tazza nampak tenang, matanya awas dan tajam menembus gelap di hadapan mereka. Ketika Go Jun Hee menatap ke bawah, lampu terang dari daerah terpencil di situ menyusut seperti liliput. Setelah mereka berada dalam ketinggian yang lebih dahsyat, nyaris tak ada apa-apa lagi bisa dilihat. Ini seakan mereka masuk ke dalam dimensi tanpa warna. Go Jun Hee melirik ke sampingnya, Ya Tuhan bagaimana bisa Tazza melihat ke mana mereka akan menuju dengan modal mata telanjang? Pria ini benar-benar ilmu hitam! “Mulai senang mengamati wajahku?” Tazza Choi tiba-tiba bersuara, meski wajahnya itu menunjukkan konsentrasi, tapi dia tetap bertanggung jawab mengawasi berbagai alat indicator di depannya. “Sepertinya,” bahkan sejak awal bertemu sudah begitu, jawaban jujur Go Jun Hee di dalam hatinya. “karena memang wajahmu ganteng dan tidak membosankan. Apa itu suatu kesalahan kalau aku tertarik?” “Tidak semenjak aku terbiasa mendengar kalimat itu.” Oke, sombongnya pria ini memang bukan main, jadi Go Jun Hee tidak perlu repot-repot mencatatnya dalam daftar daya tarik Tazza Choi. “Omong-omong, apa ini kecepatan maksimum helikopter tuamu?” Go Jun Hee memancing di air keruh. Tazza Choi menoleh, matanya berkilat-kilat. “Aku anggap ucapanmu sebagai tantangan untuk melakukan manuver. Pegang sabuk pengaman itu erat-erat.” *** Mereka tiba di Tokyo 30 menit lalu. Mendaratkan helikopter terlebih dahulu di tempat yang aman, dan ganti pakaian dengan outfit yang lebih formal. Jas dan gaun tentu pantas untuk memasuki lobi hotel bintang lima. Sekarang mereka tengah menuju sebuah daerah bernama Kabukicho Shinjuku Tokyo, yang merupakan misi utama operasi bersih baccarat terbesar di negeri matahari terbit itu. “Wow, aku selalu beroperasi di tempat yang memang diburu agen-agen hukum, tapi ini pusat kota di Jepang! Awesome, mereka bergerak serapih itu melakukan tobaku di tengah lapisan masyarakatnya.” Go Jun Hee memberi komentar ketika Tazza Choi melajukan mobil sport warna merah di jalanan. Sementara pria itu mendengarkan apa saja ocehannya ketika mengamati strategi operasi di dalam jam tangannya—sebetulnya milik Tazza juga. Tapi sesekali pria itu menjawab pertanyaannya, menjelaskan apa yang kurang dimengertinya. “Itulah, kejahatan memang selalu ada di tempat yang buruk. Tapi di tempat yang baik?” “Itu namanya menyamar,” Go Jun Hee menyelesaikan kalimat Tazza Choi yang tadi sempat menggantung. “dan strategi.” Tambahnya kemudian. Lalu hening, tak ada lagi yang mencoba membuka percakapan. Di luar, angin berhembus dingin, dari jendela yang gelap mereka bisa melihat pohon sakura berjajar di sepanjang jalan. Berbunga, dan bunga-bunga pink muda itu sebagian terserak sampai ke tengah jalan. Lantas beterbangan dilibas ban mobil Tazza. “Oh my God! Itu Royal Tokyo Tower Bridge Suite! Apa mereka sudah gila melakukan transaksi di dalam bangunan itu? Yang benar saja, lokasi itu dekat Imperial Palace, dan—dan Roppongi Hills.” Go Jun Hee speechless bukan main, hotel itu tempat di mana banyak kepala negara menginap dalam kunjungan mereka ke Jepang. Ya Tuhan, siapa pemimpin Yakuza ini? Mengapa dia sampai berani-beraninya bermain di tempat terbuka? “Aku harap kau tidak gentar menghadapi bahaya apapun itu,” Tazza Choi menyeringai dan sialan! Itu iblis sekali di mata siapapun, iblis yang menggoda. “masih terlalu dini untuk itu.” Lanjutnya, meraih satu kantong kulit kecil dari kaca spion, menaburkannya di dashboard yang bertahtakan beberapa butir berlian. “Ambil yang kau butuhkan.” Pria itu memberi perintah. Go Jun Hee lalu mengambil beberapa katana, satu pisau kecil mirip gunting kuku, cincin dan magnet ear, sama seperti yang sekarang menempel di belakang daun telinga pria itu. Selagi mobil melaju menuju ballroom, Tazza Choi berkali-kali menjalin komunikasi dengan agen lain. Yang tentu saja tak semua turun di lokasi ini. Mereka semua berpencar. “Rapihkan kembali, Ms. Kau tahu betul mata petugas vallet itu mengarah ke mana.” Katanya tanpa ekspresi. Menghentikan jalannya roda, mesin, lalu menurunkan kaca mobilnya. “Selamat malam, Tuan.” “Selamat malam.” Tazza menampilkan satu senyum palsu. *** “Di sana ada Robert Sakimoto,” Tazza Choi mengerutkan kening ketika Ayahnya menyebutkan satu nama lewat komunikasi rahasia mereka. Robert Sakimoto setahunya ialah seorang pengusaha emas, berdarah setengah Australia, dan dulu sempat jadi kandidat duta UNICEF. Ada hubungan apa pria itu dengan gembong kejahatan di Jepang ini? “dia dituduh menyetubuhi anak di bawah umur! Ayolah Tazza , sejak kapan otakmu tumpul begini?” Well, sejujurnya Tazza baru tahu mengenai informasi itu. “Aku tidak terlalu mengikuti berita di Australia. Malas berurusan dengan kanguru, aku yakin b******n-b******n di sana hanya kelas kakap.” Terdengar Ayahnya menghela napas. “Oke, jadi sejauh ini kasus Robert sudah masuk pengadilan tinggi.” “Kau pikir dia benar-benar melakukan itu?” “Tentu saja, jaksa penuntut hanya kekurangan bukti.” “Sekarang apa yang kau inginkan dariku?” Go Jun Hee mendekat ke arahnya setelah sukses menempelkan alat penyadap di lift utama. Tempat keluarnya orang-orang yang naik ke lantai Golden Nine. “Ambil bekas air liur dan sidik jarinya.” “Hanya itu?” Ayahnya membenarkan. “Kau harus mendapatkannya, Tazza. Anak perempuan ini berhak mendapatkan keadilan.” Tazza mendengus geli, berpikir jika Ayahnya pantas muncul di halaman depan komik buatan Marvel. “aku tidak mau cucu perempuanku nanti mengalami hal yang sama.” Apa katanya tadi? “Ya, ya, cucu perempuanmu bisa kau temukan di panti asuhan. Bye, Dad.” Tazza Choi memutuskan sambungan komunikasinya. Ya Tuhan, apakah dunia ini sudah gila? Banyak wanita berserakan di mana-mana dan kenapa seorang laki-laki dewasa harus menyetubuhi anak kecil yang tingginya mungkin tak lebih dari 4 kaki? Pria bangkot macam Robert pasti punya duit triliunan, dan untuk menyewa 100 p*****r dengan p****t mirip Nicki Minaj pun tidak mau? Yeah well, atau mungkin dia memang p*****l. “Mr. Choi senior?” Go Jun Hee bertanya, dan mendapatkan anggukan sebagai jawaban. “Aku lelah sayang, jadi ayo kita pergi ke kamar dan tidur,” Tazza menarik pinggang Go Jun Hee merapat pada tubuhnya, berbisik, “pasang wajah kurang lebih yang mencerminkan itu semua.” Sepasang mata Tazza jatuh ke petugas keamanan yang tersebar di lantai dasar ini. “Yes, darling.” Go Jun Hee mengecup sekilas bibir seksi Tazza, membuat pria itu agak menyipit. Tak terlalu suka disentuh kalau bukan dia yang berinisiatif. “Kenapa? Agar terlihat meyakinkan, jangan masam begitu.” Go Jun Hee angkat bahu dengan santai. Sembari berjalan, Tazza Choi mengutak-atik jam tangan Jean Dunand Shabaka miliknya yang sudah dimodifikasi. Jam tangan seharga 500.000 USD atau setara dengan 7 miliar itu menjelma menjadi barang mata-mata spektakuler. Warnanya gold, merah bata, dan perak. Klasik dan elegan, mana ada yang akan sadar jika benda mahal itu berbahaya bagi musuh? Tazza menekan tombol 9 di dalam lift, tapi lift itu tidak bereaksi. Dengan suara operator berbicara; Anda harus memasukkan ID terlebih dahulu. Tazza Choi merogoh sesuatu dari setelan armani cokelatnya. Sebuah kartu platinum seukuran atm, lalu menggesekannya ke samping tombol-tombol di lift. Pemindai di atasnya langsung bekarja cepat, lift pun berjalan. “Aku merasa aneh sendiri,” Go Jun Hee mengeryit heran merasakan sesuatu, tapi kemudian terbelalak. “lift ini berjalan ke bawah! Astaga! Lantai 9 ada di bawah.” “Benar, Golden Nine ada di bawah. Disebut dunia bawah, sama seperti konsep mitologi Yunani. Yang Hades kuasai.” Ketika menjawab, lift yang mereka masuki berhenti. Pintu berdenting terbuka. Dan hal pertama yang mereka lihat adalah lorong berpenerangan biru. Dengan musik lembut. Mereka melangkah keluar, bergandengan tangan bak sepasang pengantin yang dimabuk asmara. Ada banyak pintu yang mereka lewati, tapi Tazza terus memacu langkahnya menuju ruangan nomor 11. Ketika tubuh tegapnya berada tepat di mulut pintu, pintu itu terbuka sendiri. Dan pemandangan di dalamnya sanggup membuat siapa saja menganga lebar. Ini lebih hebat daripada tempat perjudian di film Percy Jackson, atau di Macau. Manusia berjubel untuk bermain judi. Pecandu judi dari berbagai negara berkumpul jadi satu. Masuk lebih dalam, ruangan itu didesain mewah bukan main. Atapnya dibuat melengkung, diisi oleh keramik-keramik berlambang gereja, lampu, dan besi warna emas. Atap itu disangga oleh beton yang dari dalamnya menyorot lampu putih. Mereka memasuki lobi yang grand dan lebih mengagumkan. Tazza Choi menganggukkan kepalanya ke arah concierge wanita yang tersenyum kepada setiap pelanggan. Banyak mesin judi canggih terpasang di sepanjang jalan, dikerubungi. Cara mainnya hanya dengan memasukkan sebuah koin yang dibeli seharga 13 juta. Tapi bukan wilayah ini yang hendak dituju Tazza Choi. Sorry saja, dia tidak suka permainan anak-anak seperti itu. Hampir semua mesin judi bertuliskan aksara kanji. Astaga, ini pagi buta dan begitu banyak orang bersenang-senang di dalam sini. Kehadiran mereka tentu saja menyedot perhatian orang-orang. Tazza dan pasangannya yang cantik serta menggoda. Tazza makin mengeratkan pelukan di pinggul Go Jun Hee dan mereka naik ke lantai tiga. Tempat judi sesungguhnya berada. Tempat di mana buruannya berada. Pintu lift berdenting terbuka, lalu mereka disambut oleh seorang petugas yang membawa alat pemindai. Setelah proses panjang pemeriksaan dilalui, mereka diizinkan memasuki area casino yang lebih privasi. Orang-orang berdasi dengan kacamata di wajah mereka, duduk mengelilingi meja yang terdapat uang dan koin-koin di atasnya. Para perempuan cantik ada di setiap pangkuan. Dan tanpa ragu Tazza Choi mendekat, kedatangannya disambut baik. “Wah, wah, wah, ini dia Tiopi Kieth yang kita tunggu-tunggu. Dan kau—“ laki-laki penjilat ini bernama Wu Yi Fan, pengusaha emas, dengan genitnya mengangkat tangan Go Jun Hee untuk dikecup lembut. “my lady yang sangat cantik dengan gaun merah itu, siapa namamu?” “Julia Kim.” Jawab Go Jun Hee dengan senyum anggunnya. “Kalau begitu mari, mari kita duduk dan ramaikan malam ini hingga pagi tiba.” Tazza Choi duduk di dekat penjudi paruh baya yang tidak dikenalinya, dan di sebelah kanannya ada Robert Sakimoto. Gotcha! Ini terlalu mudah dilakukan. Sementara dia harus rela Go Jun Hee ditarik paksa Wu Yi Fan. Tapi tidak masalah, yang penting wanita itu mendapatkan sidik jari dan liur si pria Tiongkok. Sekejap saja, mereka tenggelam dalam indahnya permainan judi. Tazza tentu bertaruh banyak, dia tidak pelit, menghamburkan uang untuk misi bukan masalah besar. Tapi sudut jiwanya selalu tak ingin rugi, otak Tazza Choi yang cerdas menolak membodoh-bodohkan diri di depan banyak orang. Meski buat keperluan penyamaran sekalipun. Tidak, itu melukai egonya, apapun situasinya dia harus selalu menjadi seorang pemenang. “Kau hebat sekali,” Tazza menoleh mendengar pujian Robert, mengangkat bahu casual. “kapan-kapan aku ingin belajar trik darimu. Usahaku pasti akan sangat maju berkat suntikan dana dari uang judi.” Well, orang kaya memang tidak pernah puas. Apa yang bisa dilakukan Tazza Choi selain mengangguk? “Anda mau rokok?” Tazza menampilkan senyum luwes yang anggun sembari menawarkan sekotak linting tembakau, merek paling nikmat dan mahal yang ada di dunia. Siapa yang bisa menolak, malaikat saja mungkin akan rela menanggalkan jubah putihnya demi mengisap nikotin ini. Robert Sakimoto mengambil sebatang, meletakan benda itu di antara bibir atas dan bawah. “ada korek api?” “Tentu saja.” Tazza Choi cekatan merogoh saku jasnya. Lalu menjangkau gelasnya dan meneguk sedikit vodka sebelum menyerahkan korek api. “Oh, sorry—“ korek api itu jatuh bersamaan dengan isi vodkanya ke pangkuan Robert Sakimoto. Wanita pendampingnya sampai meloncat turun. “I’m so sorry, sir, benar-benar tidak disengaja.” “Ok, its okay.” Robert mengangkat tangan dan meletakkan dulu rokoknya di atas meja untuk menjangkau serbet. Dan kesempatan itu tidak disia-siakan begitu saja oleh Tazza. Dengan kecepatan cahaya dia mengganti rokok itu, memasukkan yang agak basah karena liur Robert ke dalam saku. Di dalam sana ada semacam plastik pelindung dengan bubuk putih. Tazza memasukkan rokoknya agar menyatu dengan bubuk itu, jenis bubuk yang akan memperkuat DNA dari air liur. Posisi rokok yang diganti oleh Tazza persis sama. “No problem, aku bisa membersihkannya.” Untung saja kejadian itu tidak begitu banyak mengundang perhatian. Tazza Choi mengangguk, lehernya bergerak melirik Go Jun Hee yang terpana atas aksinya tadi. Dan pria itu mengakui, main mata dengan seorang wanita menjadi bagian yang mampu mendesirkan darah panasnya. Tapi kemudian dagu Go Jun Hee terangkat angkuh, lengan rampingnya melingkar di leher Wu Yi Fan dan dalam satu kedipan mata saja, bibir mereka bertemu dalam sebuah kecupan pendek yang sensual. Jari-jari Go Jun Hee yang lentik bersembunyi di belakang punggung, lalu nampak kembali sambil membawa secarik plastik bening, tipis, dan lengket. Dengan menggoda ditempelkannya plastik lengket itu ke depan bibirnya yang tadi dikecup mesra. Bekas bibir Wu Yi Fan beserta sedikit air liurnya otomatis berpindah ke permukaan plastik itu. Misi sukses. Sialan! Tazza mengerutkan dahinya. Kenapa wanita itu bisa begitu seksi? *** Menjelang pukul 4.30 dini hari, Tazza Choi naik ke lantai atas. Keluar dari Golden Nine, meninggalkan Go Jun Hee di sana untuk menyelesaikan misi penting. Dia sendiri juga demikian, Tazza Choi harus mencari keberadaan pemimpin Yakuza. Dan menurut informasi yang dikirim oleh Marco, pemimpin Yakuza yang dicari agen mata-mata selama 7 tahun terakhir itu berada di lantai 19. Watamura Hiriko. Mantan PM Jepang 18 tahun lalu. Tazza tahu kali ini misinya tak sederhana. Pemimpin Yakuza itu punya banyak sekali anak buah, dinding serta atap jadi mata dan telinganya. Dia mengganti outfitnya—lebih gelap, muda, tapi tetap berkesan misterius. Berubah menjadi Tazza yang tidak glamour. Di kantong celana diadoranya ada Glock-17 versi terbaru. Tidak bisa terdeteksi oleh pemindai besi. Pria alpha itu berjalan angkuh, tidak melirik kanan kiri. Fokus pada apa yang ada di depan. Orang-orang yang berpapasan dengannya boleh terpesona, mereka mungkin mengira dia sosok yang keluar dari sebuah novel, tapi baginya perhatian mereka tidak penting dibalas. Lift yang ditumpangi Tazza Choi muncul di lantai 19. Suasana memang terang, tapi amat sepi. Seorang pemimpin Yakuza tentunya tak akan memilih kamar yang terekspose umum. Jadi ayolah, Tazza Choi harus kerja sedikit lebih keras untuk mencari. Pria itu baru saja mengambil 10 langkah ketika radar kewaspadaannya menyala. Ada bayangan hitam yang memantul di dinding. “Daddy?” Bodohnya Tazza yang hampir saja melesatkan sebutir peluru dari selongsong Glock 17 anyarnya. Ternyata bayangan hitam itu hanyalah pantulan tubuh sesosok anak laki-laki yang keluar dari dalam lift. Kecil dan tingginya tak lebih dari kisaran 3 kaki. “Daddy?” suara itu sekali lagi menyapa, “Daddy? Daddy!” Tazza diam layaknya arca. Tubuhnya ditubruk sepasang lengan yang kini melingkari kakinya. Anak kecil itu dengan ceria terus berseru; Daddy, Daddy! Membuat pelipis Tazza Choi berdenyut nyeri. HELL, kapan dia punya anak? Tazza menghela napas, mengamati baik-baik raut si anak yang seperti ditaburi potongan mutiara. “I’m not your Daddy, stay away from me.” Kalau orang dewasa mendengarnya bicara seperti itu, mereka pasti akan lari tunggang langgang. Tapi ini anak kecil! Anak kecil yang malah tertawa-tawa. Tazza tanpa sadar memberengut, ada yang lucu? “Yeay! Daddy pulang! Daddy pulang.” “Kau mabuk apa?” Tazza Choi menoyor jidat anak laki-laki itu, mendorongnya lagi ketika hendak memeluk kakinya kembali. Kalau dilihat dari jauh, anak laki-laki itu seperti sedang menyembah patung berhala. “Sudah kubilang menjauhlah, tingkahmu bisa merusak operasi malam ini.” “Daddy, ayo kita ke kamar—ayo ke kamar!” Oke, anak laki-laki yang gila dan tuli ini bisa saja memancing siapapun datang ke lantai 19. Sialan benar! Apa perlu Tazza membungkam mulut anak ini dengan batang kaktus di pinggir lift sana? “Hei, boy, kau salah orang.” Astaga! Kegilaan macam apa ini? Jika dalam keadaan lain dia bisa saja menghabiskan slot pelurunya untuk menyingkirkan pengganggu, tapi kali ini lain! Demi Tuhan, INI ANAK KECIL! Dan wajahnya nampak tidak—berdosa. “Kembali pada ibumu sana.” “Kita akan berkumpul di kamar, Daddy! Di kamarku ada banyak mainan, kita bisa main bersama.” Anak itu menarik-narik ujung baju Tazza, namun dengan tega pria itu menghempaskannya. “Aku tahu anak-anak belum mampu berpikir sempurna, tapi mana ada yang setolol dirimu.” Tazza menyipitkan matanya jengkel. “Kau makan apa tadi? Atau jangan bilang kalau kau menenggak arak Ibumu?” “Jo-ah!” Spontan kepala Tazza dan anak laki-laki itu terarah ke pintu lift yang sekarang telah tertutup rapat. Di sana berdiri seorang wanita; napasnya memburu, wajahnya nampak cemas. “Jo-ah! Ya Tuhan, aku mencarimu ke mana-mana tahu,” wanita itu berjalan makin dekat dengan heels merahnya yang runcing. Sepasang mata tajam Tazza jatuh ke pinggul wanita itu. Well, ini jenis bagian tubuh yang akan terlihat seksi ketika telanjang. Kau tahu—jenis-jenis yang cocok untuk—stop, tidak, jangan bayangkan apapun, man! Tazza Choi menatap lamat-lamat wajah si anak lelaki yang mendongak penuh harap kepadanya. Oke akhirnya ada hal penting yang bisa dia sampaikan pada anak itu. Paling tidak, berhasil ada sekarang. Tazza sangat ingin mengatakan; nak, Ibumu hot sekali. Dia seperti Aprodhite. Bisik otaknya—agak sinting sebenarnya, karena, di mana coba dia pernah bertemu dewi cantik itu? Sialan memang wanita ini, membuatnya berdelusi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD