Bab 3 - Jalan-jalan Bersama

1454 Words
“Duh, ngomong-nya kok bisa barengan gitu sih,” goda Lily ketika anaknya dan Asa ngomong berbarengan. “Ma, Pa. Apa maksud perkataan Papa tadi?” tanya Jay yang masih terlihat shock, otaknya menjadi tidak bisa mencerna perkataan Papanya dengan baik. “Loh, bukannya sudah jelas, kami para orangtua ingin kamu menikah dengan Asa. Lagipula Papa lihat kamu memiliki hubungan yang baik dengan Sam, Papanya Asa.” jelas Reno. “I-iya, aku tahu Pa. Tapi, kenapa harus sama dia, Maksudnya aku, aku saja belum pernah bertemu dan berbicara banyak dengannya sebelumnya.” “Iya, gak apa-apa Jay. Berarti kamu bisa pacaran setelah menikah, itu lebih enak loh.” balas Lily dengan santai. “Tapi, Pak, Bu. Maaf ya, aku bukannya mau menolak, tapi aku 'kan masih sekolah Pak, Bu.” celetuk Asa berbicara dengan nada lucu. Sebenarnya ia tidak mau menolak perjodohan ini, toh ia dijodohkan dengan pria tampan dan mapan, siapa yang mau menolaknya. Hanya saja ia masih kepikiran dengan sekolahnya. Bagaimana dengan sekolahnya nanti? “Asa, kamu tetap bisa sekolah kok, lagipula kamu 'kan sudah mau lulus juga. Kalau orang kuliahan tidak apa-apa bila sudah menikah." jawab Sam. “Ya, benar itu kata Papamu, kamu tenang saja Asa.” tambah Lily. “Oh, begitu ya. Kalau gitu aku mau deh nerima perjodohannya.” jawab Asa dengan senyum malu-malunya. Reno sedikit terkesiap ketika mendengar penuturan dari Asa, gadis mungil itu dengan mudah menerima perjodohan ini. “Nah, itu Asa sudah terima. Kamu bagaimana Jay? Tapi, Papa ngga mau menerima penolakan ya,” Jay tampak tersenyum kecut, “Ya, kalau ngga menerima penolakan, ngapain masih ditanya sih Pa.” “Itu berarti kamu terima 'kan?” tanya Reno memastikan dan Jay pun hanya mengangguk sebagai respon. Sontak semua orang di sana kecuali Jay pun menyunggingkan senyum leganya. “Oke, baiklah karena kedua belah pihak sudah setuju, bagaimana jika kita langsung tentukan tanggal pernikahannya?” usul Reno. “Oh, iya boleh Pak Reno.” Sahut Wati yang sedari tadi banyak diam. “Apakah harus sekarang juga diskusinya Pa? Aku harus kembali ke perusahaan, banyak pekerjaan.” “Udah, pekerjaan itu bisa nanti di handle yang lain. Yang penting sekarang kamu harus fokus dengan perjodohan kalian.” Jay pun hanya terdiam dan tak berkutik lagi, ia tidak ingin menentang perkataan orangtuanya lagi karena ia sangat menyayangi orangtuanya. “Kalau aku terserah para orangtua aja Pak, Bu.” timpal Asa Yanga tampak sedang memilin ujung sweaternya. “Hm, Pak Sam, Bu Wati ada saran atau masukan?” tanya Reno. “Hm ... Kalau saran saya sih Pak, Bu untuk tanggal pernikahan mereka harus ada jarak beberapa bulan juga dari sekarang, agar mereka bisa saling mengenal dan bisa mempersiapkan semuanya dengan matang.” tutur Sam memberi saran. “Iya Pak, dan saran saya pilih tanggal pernikahan di tanggal yang cantik agar lebih mudah mengingatnya.” tambah Wati. Reno dan Lily tampak menganggukan kepalanya menyetujui perkataan calon besannya yang ada benarnya itu. “Hm, 'kan sekarang bulan Januari dan seminggu lagi juga sudah masuk bulan Februari. Bagaimana jika pernikahan mereka diadakan bulan Maret tanggal 3?” usul Lily. Reno langsung melirik ke arah istrinya yang memberikan usulan yang brillian menurutnya itu. “Ide bagus sayang. Aku setuju dengan usulan dari istriku. Bagaimana dengan yang lain?” tanya Reno sembari mengedarkan pandangannya pada orang-orang yang hadir di sana. “Aku setuju Pak Reno.” sahut Sam. “Aku juga setuju Pak,” tambah Wati. “Oke, semua orangtua sudah menyetujuinya, bagaimana dengan kedua calon mempelai ini?” tanya Reno seraya menatap Jay dan Asa bergantian. “Aku setuju kok Pak, Bu. Aku ngikut keputusan orangtua saja.” jawab Asa. “Hm, aku juga setuju.” jawab Jay akhirnya. Sontak senyum cerah pun mengembang di wajah para orangtua ketika mendengar jawaban anak-anak mereka. “Baiklah, nanti setelah menikah, Asa bisa langsung tinggal dengan Jay di apartemen Jay.” Lily kembali berbicara. Sontak Jay menyatukan alisnya dengan mata yang menatap ke arah mamanya. “Ma, apa maksudnya? Aku akan tinggal dengan dia,” tutur Jay dengan jarinya menunjuk ke arah Asa. “Ya dong Jay, masa habis nikah nanti kalian tinggal beda rumah.” “Tapi Ma—“ “Ngga ada tapi-tapian Jay,” potong Reno dengan cepat hingga Jay tidak bisa menyelesaikan perkataannya. Sementara itu Asa tampak mengerucutkan bibir kecilnya, ia sedikit merasa sedih ketika mendengar penuturan dari Jay yang tampaknya tidak ikhlas menerima perjodohan ini. “Jay, sekarang Papa mau kamu ngajak Asa jalan-jalan. Terserah mau ke mana aja, yang penting jalan-jalan bersama.” lanjut Reno dengan niat hati agar Jay dan Asa bisa berkenalan lebih dekat. “Tapi, Pa. Aku harus kembali ke perusahaan.” “Urusan perusahaan, biar Papa yang urus. Habis ini Papa juga mau ke perusahaan.” “Oke,” jawab Jay mau tak mau seraya menghela napasnya kasar. Setelah pertemuan keluarga barusan, kini Asa sedang berada di dalam mobil Jay. Sesuai perintah dari Reno, Jay dan Asa langsung pergi jalan-jalan bersama. “Kamu mau ke mana?” tanya Jay membuka suaranya, namun pandangannya tetap fokus menatap jalanan di depannya. “Hm, ke Mall boleh ngga Om?” tanya Asa balik. “Hm,” jawab Jay dengan guamaman kecil. “Om, kok gitu sih responnya. Om ngga suka ya sama aku?” tanya Asa dengan puppy eyes-nya serta bibir bawah yang dimanyunin mendekati Jay untuk menatap wajah tampannya. Jay tampak melirik orang di sebelahnya dengan ekor matanya sejenak lalu kembali fokus ke jalanan. “Saya aja belum kenal kamu, bagaimana bisa saya menentukan kalau saya suka sama kamu atau tidak.” Asa kembali ke posisi semula sembari bersedekap d**a dan bibir yang mengerucut. “Tapi, tadi 'kan kita sudah kenalan Om. Masa Om lupa sih!” Jay menutup matanya sejenak sembari menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. “Maksud saya bukan perkenalan seperti itu. Tapi, saya harus kenal kepribadian seseorang dulu agar bisa menyukai seseorang.” “Oh ... Kalau begitu mari kita saling mengenal satu sama lain mulai dari sekarang.” Jay pun mengalihkan sejenak pandangannya pada Asa yang tampak menyunggingkan senyum cerianya. Jay pun mengedipkan matanya berkali-kali ketika melihat senyum Asa yang begitu manis, “Hm, terserah kamu.” Setibanya di sebuah pusat perbelanjaan terbesar atau mall di kawasan Jakarta. Ketika Jay telah memarkirkan mobilnya di parkiran basement, mereka pun turun dari mobil dan Asa langsung berjalan lebih dulu memasuki Mall, sedangkan Jay tampak mengekor sembari memantau dari belakang layaknya bodyguard. Tempat pertama yang didatangi Asa adalah area bermain, “Om, main itu yuk!” seru Asa dan tanpa sadar menarik-narik lengan Jas yang Jay kenakan. “Mau naik apa?” “Naik rollercoaster itu, ayo naik itu!” seru Asa tanpa henti hingga akhirnya Jay pun menerima ajakan Asa dan kini mereka tampak sedang mengantri untuk menaiki wahana rollercoaster yang menjulang tinggi itu. Saat tiba giliran mereka, mereka pun mengambil duduk di kursi ketiga dari depan. Setelah mengencangkan pengaman, seorang petugas pun menjalankan mesin rollercoaster hingga rollercoaster yang menjulang tinggi itu bergerak. Seketika semua orang berteriak merasakan sensasi yang menegangkan dari atas sana. Hingga saat rollercoaster telah berhenti dan semua orang pun keluar dari kursi rollercoaster, Asa dan Jay tampak belum bergeming dari tempatnya, Asa pun melirik sebelah tangannya yang berada di pahanya tampak digengam oleh Jay. “Om! om takut ya?” “Hah? Takut? Ya, ngga lah.” “Tapi, itu tangannya.” ucap Asa dengan matanya yang tampak melirik ke arah tangannya yang digengam Jay. Jay pun mengikuti arah mata Asa lalu reflek langsung menjauhkan tangannya tanpa berbicara apapun, ia pun segera berdiri lalu keluar dari kursi tersebut. Asa tampak menunjukkan senyum miringnya lalu ikut menyusul Jay turun ke bawah. “Apa kita bisa pulang sekarang?” tanya Jay. “Cepat banget sih Om, baru juga sampai. Keliling-keliling dulu yuk,” “Tapi—“ ucapannya terhenti ketika Asa dengan seenak jidatnya langsung melangkahkan kakinya meninggalkan Jay. Dan mau tak mau Jay kembali mengikutinya. Asa melangkahkan kakinya dengan bahagia menelusuri mall dengan wajah yang celingak-celinguk memandang sekitar, saat ia menemukan toko menjual boneka-boneka, tanpa basa-basi ia langsung memasukinya. Asa tampak melihat-lihat boneka yang berada di sana dengan tatapan berbinar, sedangkan Jay tampak mengikuti dari belakang tanpa peduli dengan apa yang dilakukan Asa. Hingga tubuh Jay akhirnya bertabrakan dengan tubuh Asa ketika Asa tiba-tiba berhenti. Asa tampak mengambil sebuah boneka gajah dari IKEA, “Om, beliin ini dong Om. Aku suka banget sama bonekanya. Beliin ya, beliin yaa ....” “Kamu mau boneka itu? Tapi kamu 'kan sudah besar.” “Ihh ... Om! Yang suka boneka itu 'kan ngga harus anak kecil aja. Aku masih suka tidur dengan meluk boneka kok. Beliin yaa ... Pleasee ....” Jay tampak berpikir sejenak. ‘Udah besar, masih juga suka boneka. Bagaimana mau jadi istriku kalau kelakuannya saja masih kayak anak-anak begini.’ batinnya. “Om! Om kok diam aja sih. Mau beliin atau ngga sih?” “Iya, iya saya beliin.” jawab Jay akhirnya. “Yeayyy ... Makasih ya Om,” seru Asa dengan bahagia dan reflek memeluk Jay sejenak. “Hm,” Setelah itu Asa pun menarik lengan Jay untuk membayar bonekanya, ia pun keluar dari toko boneka tersebut sembari memeluk boneka gajah ukuran jumbo itu dengan erat. “Sekarang mau pulang ngga?” tanya Jay. “Ya udah pulang yuk Om. Om udah capek ya?” “Iya, ya udah ayo pulang.” Jay pun kini berjalan lebih dulu menuju parkiran basement, sementara itu Asa mengikutinya dari belakang dan masih sibuk dengan bonekanya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD