Bab 4 - Sekolah

1441 Words
Keesokan harinya, Asa terbangun pagi seperti biasanya, ia harus kembali masuk sekolah pagi ini. Ia mengucek-ngucek matanya berkali-kali dan mencoba untuk melirik jam dinding di kamarnya yang telah menunjukkan pukul 6 pagi. Itu artinya masih ada kurang lebih waktu 1 jam sebelum kegiatan belajar mengajar di sekolahnya dimulai. Ia pun mencoba bangkit dari ranjangnya dengan sempoyongan karena ia belum sepenuhnya tersadar. Ia pun mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Setelah mandi dan berpakaian rapi, Asa pun keluar dari kamarnya menuju ruang makan untuk bertemu mamanya yang pasti sedang berada di sana. "Pagi Mamaa ....” seru Asa dengan ceria, kemudian langsung mengecup pipi Mamanya yang tampak sedang menata sarapan ke atas meja. “Pagi sayang, kamu mau sarapan dulu?” tanya Wati pada anaknya yang kini sudah mengambil duduk di salah satu kursi. “Iya Ma. Hm, Papa mana Ma?” tanya Asa yang tampak sedang mengambil roti tawar dan mengoleskannya dengan selai coklat. “Masih di kamar kayaknya, tadi lagi mandi.” Asa pun tampak menganggukan kepalanya sembari mengunyah roti tawar lapisnya. Wati pun mengambil duduk di hadapan Asa lalu ikut bergabung memulai sarapan pagi ini, “Ehm, Sa, Mama mau tanya sama kamu. Bagaimana jalan-jalan kemarin bareng Jay? Dia orangnya gimana?” tanya Wati yang tidak sempat bertanya pada anaknya kemarin. “Hm, Om Jay itu orangnya formal, cuek. Hm, apalagi ya ... Aku belum terlalu bisa menjelaskannya Ma, karena aku baru sekali bertemu dengannya.” tuturnya sembari memasang tampang berpikir mencoba mengingat-ingat kepribadian Jay yang ia ketahui setelah bersama kemarin. “Eh, kok manggilnya Om?” tanya Wati yang terlihat bingung ketika Asa menyebut Jay dengan sebutan 'Om'. “Iya, soalnya wajah Om Jay udah kayak Om-om. Umur kita juga pasti jauh beda 'kan Ma?” “Jay sama kamu itu beda 13 tahun, usianya sudah menginjak 32 tahun sekarang. Ya, walaupun umur kalian beda jauh, tapi kamu ngga boleh manggil gitu, masa nanti sudah menikah kamu masih panggil dia Om.” “Ya, gimana ya Ma. Dia itu--“ “Pagi para kesayangannya Papa!” celetuk Sam yang baru saja datang hingga membuat Asa menghentikan penuturannya. “Pagi Pa! Sarapan Pa,” ujar Asa. “Iya sayang,” Sam langsung mengambil duduk di salah satu kursi lainnya. “Mas, kamu nanti langsung berangkat kerja?” tanya istrinya. “Iya, seperti biasa sayang. Kenapa memangnya?” “Gak apa-apa sih. Jadi, Asa nanti perginya naik sepeda lagi?” “Loh, 'kan Asa biasanya juga naik sepeda ke sekolah. Ya 'kan Sa?” “Iya Pa,” jawab Asa seraya menganggukan kepalanya menyetujui perkataan Papanya. “Tapi, kasihan loh Asa kalau harus naik sepeda terus setiap hari, nanti Asa capek.” “Tenang Ma, nanti kalau Asa udah nikah, dia akan diantar ke sekolah pakai mobil sama Jay.” balas Sam santai. “Ya udah Ma, Pa aku berangkat sekarang ya.” Asa pun berdiri dari posisinya lalu mencium tangan orangtuanya berpamitan untuk berangkat sekolah. Wati tampak mengusap pelan kepala anak semata wayangnya, “Hati-hati ya Sa,” “Iya Ma,” Asa pun bergegas keluar dari rumah setelah memakai sepatunya, ia pun mengambil sepedanya yang sudah berada di luar. Ia memang sudah terbiasa ke sekolah atau kemanapun pergi dengan sepeda Phoenix pink putih miliknya yang tampak dilengkapi dengan keranjang di depannya. Jarak dari rumah ke sekolahnya menghabiskan waktu sekitar 20 menit jika menggunakan sepeda. Namun, ia senang menaiki sepedanya itu, hitung-hitung juga sekalian olahraga, begitulah pikirnya. Setibanya di SMA Bakti 1, Asa pun memarkirkan sepedanya di area parkir khusus roda dua, di sana juga terlihat ada beberapa sepeda yang terparkir di sana. Setelah itu ia pun bergegas masuk ke dalam kelasnya yang berada di lantai 2. Ia melangkahkan kakinya dengan semangat menaiki anak tangga, dan saat berada di atas, tepatnya di sebuah ruang kelas yang di atasnya terdapat tanda XII IPA 2, ia pun melangkah masuk ke dalam kelas tersebut lalu mengambil duduk di bangkunya yang berada di no kedua pada barisan ketiga dari pintu masuk. Teman sebangkunya terlihat belum datang, karena bangku di sebelahnya tampak masih kosong. Selang beberapa menit kemudian, seorang gadis mungil yang tidak jauh berbeda dengan Asa dengan rambut yang terurai indah dan gaya centilnya memasuki kelas, ia pun langsung mengambil duduk di sebelah Asa. “Morning, Asa! Bagaimana pagimu hari ini?” sapa Yenny, teman sebangkunya. “Morning too Yen, tentu saja gue selalu happy setiap pagi. Bagaimana dengan lo?” “Gue juga happy, eh lo tau ngga sih kemarin gue ketemu cowok ganteng banget! Seksi dan tinggi! Uhh ... Ya ampun rasanya pengen gue miliki.” Yenny kembali memulai per-ghibahan di pagi hari yang cerah ini. “Ih masa? Di mana?” tanya Asa yang tampak penasaran, ia tampak mencondongkan tubuhnya mendekat ke Yenny. “Gue ketemu di Kafe, sendirian aja lagi. Rasanya pengen gue temanin.” “Jangan-jangan dia jomblo, sendirian aja. Ngapa ngga langsung lo samperin? Biasanya lo ngga ada malunya.” “Aduh Sa, gue ngga tahu juga kenapa. Tapi, kemarin itu jiwa ngga tahu malu gue tuh lagi ngga bangkit. Gue rasanya malu gitu.” Sontak Asa tertawa keras ketika mendengarnya, “Hahaha ... Seorang Yenny Tri Wulandari malu, itu tidak mungkin. Om-om tampan lewat di depan sekolah aja lo cegat, masa kali ini ngga sih.” “Hm, itu dia makanya Sa. Kayaknya tuh cowok punya aura-aura kelam deh wkwkwk.” “Hahahaha ... Ada-ada aja lo,” “Eh, ada Bu Siti, ada Bu Siti!” seru para siswa yang berada di luar lalu bergegas masuk ke dalam kelas ketika mengetahui guru pertama yang mengajar di kelas mereka telah tiba. Mereka pun akhirnya memulai pelajaran pagi ini yang dimulai dengan pelajaran Kimia. *** Kringg.... Bel pulang sekolah pun berbunyi, saat-saat yang paling dinantikan oleh seluruh penghuni sekolah yang didominasi oleh para remaja belia. Seluruh penghuni kelas pun seketika berhamburan keluar kelas untuk pulang ke rumah masing-masing tak terkecuali dengan Asa dan Yenny yang kini sedang mengendong tas gendong mereka lalu keluar dari kelasnya. Mereka berjalan beriringan menuruni tangga dan menelusuri koridor sekolah, “Yen, lo pulang di jemput lagi?” tanya Asa membuka pembicaraan. “Ngga Sa, gue bawa motor. Kalau lo gimana?” “Gue naik—“ Ting! Sontak Asa menghentikan perkataannya ketika ponsel yang berada dalam saku roknya berbunyi yang menandakan ada notifikasi pesan masuk di ponselnya. “Hm, sebentar ya Yen.” Asa pun berhenti melangkah lalu mengambil ponselnya. Ia membuka layar ponselnya dengan finger print lalu melihat ada sebuah notifikasi pesan masuk dari no yang tidak dikenalnya, [Saya Jay, ini no saya, jangan lupa di save. Saya sudah menunggu kamu di luar sekolah. Cepatlah keluar.] Seketika mata Asa membulat melihat isi pesan tersebut yang ternyata berasal dari Jay, pria yang akan dijodohkan dengannya. Yenny yang melihat perubahan di raut wajah temannya itu pun langsung menepuk pelan bahu Asa, “Sa, Lo kenapa? Siapa yang sms?” Asa tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Err ... Astaga! Yen, penggaris gue ketinggalan di laci meja. Gue balik ke kelas dulu ya, lo langsung duluan aja?” “Yakin lo ngga mau di temanin?” “Iya, yakin.” jawab Asa mantap dan diakhiri dengan senyum lebar canggung yang bahkan membuat Yenny menaruh curiga. “Hm ... Ya udah deh gue duluan aja, tapi lo ngga ada nyimpan rahasia apapun dari gue ‘kan?” “Ngga kok. Serius deh,” “Ya udah gue balik duluan, byee Asaaa ....” “Byee Yen ....” Asa sempat melambai-lambaikan tangannya terlebih dahulu pada Yenny, sebelum akhirnya ia pun berpura-pura untuk kembali berjalan ke kelasnya. Sebenarnya satu pun barangnya tidak ada yang tertinggal, ia hanya tidak ingin Yenny mengetahui Jay ataupun tentang rencana perjodohan yang direncanakan untuknya itu. Setelah menunggu beberapa menit di atas, ia pun kembali turun lalu berjalan perlahan menuju parkiran. Ia tampak mengedarkan pandangan ke segala arah untuk menemukan keberadaan temannya, 'Hm, sepertinya Yenny udah pulang.’ batin Asa. Ia pun kembali melangkahkan kakinya menuju keluar gerbang sekolah. Saat tiba di depan gerbang sekolah, ia menemukan Jay dengan balutan jas hitamnya sedang berdiri di samping mobil Mercedes Benz hitam, ia tampak melirik jam di tangannya sesekali. Asa pun segera menghampiri Jay, “Om! Maaf ya lama nunggu.” “Kamu dari mana saja? Saya sudah lama menunggu di sini.” “Ya, maaf Om. Kelasku baru usai barusan,” “Ada aja alasan kamu, ayo pergi.” “Mau ke mana Om?” tanya Asa dengan dahi yang mengernyit. “Orangtua kita nyuruh kita untuk ke butik membuat outfit pernikahan hari ini.” “Oh, begitu. Aku pulang dulu ya Om ke rumah, mau ganti baju.” “Ngga usah, langsung aja. Saya ngga punya banyak waktu.” Jay langsung berjalan menuju pintu kursi kemudi. “Tapi, Om. Sepedaku gimana?”Jay kembali mengalihkan pandangannya pada Asa, “Nanti saya antar kamu balik lagi ke sini setelah dari sana.” jawab Jay lalu langsung masuk ke dalam mobilnya tanpa menunggu respon dari Asa. Asa pun mau tak mau ikut masuk ke dalam mobil Jay, 'Gimana sih Om Jay, masa nanti aku suruh balik ke sini lagi bawa sepedaku. Bukannya langsung diantar pulang gitu, terus sepedaku dibawa sama suruhannya gitu kek. Ini malah disuruh balik ke sini lagi, huhh .... ‘ batin Asa kesal sembari melirik Jay dengan tatapan sinisnya. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD