Selama di perjalanan, Asa sibuk memperhatikan jalanan luar dari kaca jendela mobil dan sesekali melirik Jay yang tampak sibuk memperhatikan jalanan di depannya. Sebenarnya ia tidak suka dengan suasana canggung seperti ini, ia pun mencoba untuk menanyakan hal-hal random yang terlintas dipikirannya. “Hm, Om kalau boleh tahu umur Om berapa ya? Kita hanya baru tahu nama satu sama lain aja 'kan?”
“Kenapa memangnya?” tanya Jay tanpa mengalihkan atensinya dari jalanan.
“Hm, ngga apa-apa. Pengen tahu aja. Kata mamaku sih aku sama Om Jay beda 13 tahun. Emang benar ya?”
“Ya, itu kamu udah tahu. Tinggal kamu hitung aja sendiri,”
“Oh, jadi benar umur Om sudah 32 tahun?”
“Hm,” Jay tampak hanya merespon dengan gumaman tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.
“Tapi, kenapa Om belum menikah? umur segitu 'kan sudah termasuk umur yang matang.”
“Saya sibuk, saya ngga sempat cari istri. Kamu bisa diam gak sih? nanya terus dari tadi.”
“Galak amat sih Om, nanti cepat tua loh.”
“Memang saya sudah tua.” sontak Asa terkekeh mendengar penuturan dari Jay. “Kok santai banget ngaku udah tua, wkwkwk ....” Jay pun melirik orang di sebelahnya dengan tatapan sinisnya, “Kamu bisa diam gak sih? Saya pusing dengarnya.”
Asa pun hanya menyunggingkan senyumnya lalu membuat gesture seperti mengunci mulutnya. Jay pun kembali fokus ke jalanan sembari menggelengkan kepalanya.
Setibanya, di butik Permata di mana butik ini adalah tempat langganan keluarga Fernando jika mau membuat outfit yang mereka butuhkan. Itu karena pemilik dari butik permata ini adalah Kakak dari Mama Jay. Setelah memarkirkan mobilnya di depan butik tersebut. Jay dan Asa pun keluar dari mobil lalu Jay lebih dulu melangkah dan diikuti dengan Asa di belakangnya.
“Selamat siang Jay,” sapa wanita paruh baya seraya memeluk Jay akrab.
“Siang Tante Lina, apa kabar Tan?” balas Jay seraya mencium tangan wanita yang disebut Lina tersebut.
“Tante baik, kamu sendiri gimana?”
“Aku juga baik Tan,” jawab Jay dengan senyum tipisnya.
“Oh, baguslah kalau begitu. Tante tahu kamu ke sini pasti mau buat outfit pernikahan 'kan?” Lina sudah tahu tentang rencana perjodohan Jay dan Asa dari Lily, adiknya sendiri. Dan dia juga sudah diberitahu Lily sebelumnya bahwa Jay dan Asa akan datang siang ini untuk membuat outfit pernikahan.
“Hm, iya Tan. Oya kenalin ini Asa. Dia—“
“Oh, jadi ini nak Asa. Dia calon istri kamu 'kan?”
“Iya Tan,” jawab Jay singkat.
“Siang Tan,” sapa Asa ramah seraya mencium tangan Lina.
“Siang juga. Kamu cantik banget ya kayak boneka hidup.” Lina tampak sibuk memperhatikan wajah manis nan halus Asa. Yang ditatap pun hanya bisa mengeluarkan cengiran lebarnya, “Hehe ... Tante bisa aja. Makasih ya Tan,”
“Ya udah, sekarang kita ke atas yuk untuk lihat koleksi outfit pengantin yang kalian suka dan sekalian ngukur.” ajak Lina dan diangguki oleh keduanya.
Mereka pun akhirnya pergi ke lantai 2 di mana di sana tampak lengkap perlengkapan untuk mengukur dan juga koleksi outfit pernikahan yang digantung di atas sebagai contoh.
Lina pun mengeluarkan sebuah buku tebal yang berada dalam sebuah etalase. “Ini buku koleksi outfit pengantin yang Tante punya. Kalian bisa lihat dan pilih di sini model yang kalian inginkan.” Jay dan Asa pun mulai melihat-lihat koleksi outfit pengantin dengan berbagai jenis model dan warna yang berada dalam buku tersebut.
“Om, warna ungu ini bagus ya,” celetuk Asa seraya menunjuk gambar outfit pernikahan couple dengan warna ungu muda itu. Jay tampak diam dan masih sibuk memperhatikan gambar lain. “Warna kuning ini bagus juga, biru ini bagus juga sih. Eh, tapi yang pink kayaknya lebih oke nih. Om mau pilih yang mana nih?” lanjutnya.
“Terserah kamu aja,”
“Kalau terserah aku, emang Om mau pakai warna pink?”
“Ya, jangan warna pink juga dong. Pilih warna yang natural.”
“Bantuin pilihin dong Om, aku ‘kan bingung, warnanya bagus-bagus semua.”
“Hm, ya udah yang warna hitam putih ini aja, lebih natural dan elegan.” Jay tampak menunjuk outfit pernikahan yang bernuansa hitam putih di mana pakaian pria berupa kemeja putih dibalut dengan jas hitam dan juga dasi kupu-kupu hitam dan dilengkapi dengan celana dasar hitam. Sedangkan untuk outfit wanitanya berupa gaun putih bersih dengan motif bunga-bunga dengan warna soft pink di beberapa spot gaunnya.
“Hm, oke boleh juga.”
Jay dan Asa pun akhirnya telah menentukan pilihan mereka dan kini mereka tampak sedang diukur untuk proses pembuatan outfit mereka. “Oke, Jay, Asa sudah selesai.” ujar Lina setelah mengukur tubuh mereka.
“Baik, Tan. Hm, kira-kira kapan ya outfitnya jadi?” tanya Jay.
“Pokoknya sebelum hari pernikahan, Tante pastikan sudah siap. Jadi, kamu tenang saja ya Jay, Oke?” jawab Lina seraya mengedipkan matanya dengan gesture jarinya yang membentuk tanda oke.
Jay tampak tersenyum tipis, “Ya udah Tan, aku sama Asa pamit dulu ya,”
“Oke, hati-hati ya.” Jay dan Asa pun akhirnya meninggalkan butik tersebut setelah berpamitan dengan Lina, mereka kini dalam perjalanan pulang untuk kembali ke sekolah Asa.
Setibanya di sana, Jay pun memarkirkan mobilnya di depan gerbang sekolah. Asa tampak melepaskan seatbeltnya, sementara Jay hanya diam sembari memegang setirnya.
Karena tidak kunjung ada suara dari orang sebelahnya, Asa pun mengalihkan pandangannya, “Om, beneran mau nurunin aku di sini?” tanya Asa pelan
Sontak alis Jae menyatu, “Loh, bukannya kamu bilang mau ambil sepedamu? saya ngga bisa temanin, saya sibuk.” jawab Jay yang seakan tahu isi pikiran Asa.
“Oh, ya udah deh aku turun. Hati-hati ya Om,” Asa pun keluar dari mobil Jay dan sekian detik kemudian mobil Jay pun langsung melesat pergi meninggalkan Asa tanpa membunyikan klakson sedikitpun.
Asa pun terlihat memandang mobil Jay yang telah menjauh tersebut dengan tatapan kesal dan jengahnya. “Dasar Om Jay ngga peka! Gimana sih dia, bukannya ngantar aku pulang, malah aku disuruh bawa sepeda sendiri. ‘kan bisa nyuruh asistennya untuk bawa sepedaku biar aku bisa pulang bareng dia, ini malah aku disuruh pulang sendiri. Kesell!” gumam Asa emosi seraya menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Ia pun mengembungkan pipinya lalu berjalan masuk ke dalam sekolah untuk mengambil sepedanya.
***
Setibanya di perusahaan, Jay pun kembali masuk ke dalam ruangannya dan diikuti dengan seorang wanita yang mengenakan pakaian khas kantor dengan rambut pendek yang langsung berdiri di depan meja Jay. “Pak Jay, saya hanya ingin mengingatkan bahwa setengah jam lagi Bapak ada meeting dengan JS Company.”
“Oh, iya. Terima kasih sudah diingatkan Fania, sebentar lagi saya akan ke sana.”
“Baik Pak.” balas Fania, sekretaris Jay.
“Kalau begitu nanti 15 menit sebelum dimulai tolong arahkan pihak dari JS Company untuk memasuki ruangan meeting.” Perintah Jay yang tampak sedang duduk di kursi kerjanya.
“Siap Pak! Kalau begitu saya permisi,”
“Hm,” jawab Jay dengan gumaman dan kepala yang mengangguk.
Jay pun segera membuka laptopnya setelah Fania keluar. Ia membuka sebuah projek yang akan didiskusikannya nanti dengan partner kerjanya. Ia tampak menatap layar laptop tersebut dengan fokus dan sesekali jari-jarinya tampak menari-nari di atas keyboard untuk menambahkan sesuatu yang menurutnya kurang.
Tak terasa jam terus berputar, Jay pun tak sengaja melirik jam di laptopnya yang telah menunjukkan pukul 2.45 siang yang itu artinya ada waktu 15 menit lagi sebelum meeting di mulai. Ia pun segera menutup laptopnya dan menyiapkan keperluan untuk meeting. Ia juga menyempatkan diri untuk merapikan barang-barang yang sedikit berantakan di atas meja sebelum meninggalkan ruangannya.
Saat tiba di luar ruangannya, ia berpapasan langsung dengan Fania yang tampak sudah siap dengan sebuah tab dan buku catatan di tangannya.
Jay pun lebih dulu melangkah dan diikuti dengan Fania di belakangnya berjalan menuju ruangan meeting yang juga berada satu lantai dengan ruangan Jay.
Saat tiba di ruangan meeting, Jay melihat ada dua orang perwakilan dari JS Company, Jay pun menyalami kedua pria paruh baya tersebut, “Selamat siang dan selamat datang di FRD Sejahtera, Tbk.”
“Selamat siang juga Pak Jay,”
“Silakan duduk,” Jay pun mempersilakan kliennya untuk duduk setelah menyalami mereka. Sekian menit kemudian Jay pun membuka laptopnya lalu mendiskusikan sebuah projek bersama pihak dari JS Company, sedangkan Fania bertugas untuk mencatat jalannya meeting beserta keputusan meeting nantinya.
Hingga tak terasa satu jam telah berlalu, mereka pun menyudahi meeting kali ini. “Baik Pak Wilyus, Pak Riko. Kita lanjutkan membahas projek ini lain kali.”
“Ya, lebih cepat lebih baik Pak Jay. Kalau begitu kami permisi,” Dua pria tersebut pun menyalami Jay sebelum mereka keluar dari ruang meeting. Fania pun juga pamit kepada Jay untuk mengantarkan para klien tersebut hingga ke depan.
Setelah meeting, Jay pun berjalan keluar dari ruangan meeting menuju kembali ke ruang kerjanya. Sepertinya ia bisa beristirahat sekarang karena tidak ada jadwal apapun lagi setelah ini dan akhirnya ia pun memutuskan untuk pulang cepat saat senja telah tiba.
Saat ia keluar dari ruangannya sembari membawa tas kerjanya, tak sengaja ia berpapasan dengan Sam, kepala bagian produksi sekaligus adalah Papa Asa, gadis belia yang dijodohkan dengannya.
“Sore Pak Jay, Pak Jay mau pulang ya?” sapa Sam lebih dulu.
“Pak, saya 'kan sudah sering bilang jangan panggil saya Bapak, panggil Jay saja, saya sudah menganggap Bapak sebagai bapak kedua saya,"
“Iya, di sini saya 'kan tetap bawahanmu. Saya merasa tidak enak memanggilmu dengan namanya saja tanpa embel-embel apapun. Saya merasa kurang sopan saja,”
Jay terlihat menyunggingkan senyum kecilnya, “Ya udah, terserah Bapak saja. Saya sudah ngga ada kerjaan lagi, makanya saya langsung pulang.”
“Oh, kalau begitu hati-hati di jalan ya Pak Jay,”
“Iya Pak,” sekali lagi Jay tampak menunjukkan senyum kecilnya sebelum akhirnya meninggalkan Sam menuju lift untuk turun ke lantai dasar.
TBC